Dalam realitas kehidupan, ternyata putusnya perkawinan semakin lama semakin menjadi persoalan dalam masyarakat, karena di samping kasus perceraian semakin banyak, sebabnya pun semakin beragam dan kompleks. Meskipun diizinkan, perceraian tetaplah suatu perbuatan yang tidak dianjurkan dalam agama, terutama agama Islam yang menganggap perceraian sebagai “Perkara halal yang paling dibenci”.
Islam memang mengharapkan agar setiap perkawinan akan langgeng, sehingga berbagai aturan telah ditetapkan untuk menjaga kelanggengan itu. Seperti; dibimbing untuk memilih pasangan yang baik, diatur akad nikahnya, diatur pula hak dan kewajiban masing-masing pasangan, dan diajarkan pula tahapan penyelesaian masalah bila terjadi. Namun demikian, Islam tidak memungkiri bahwa ada pasangan yang mengalami kesulitan dalam kehidupan berumah-tangga, sehingga kebersamaan tidak lagi mendatangkan kebahagiaan, malah sebaliknya menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan. Karena itu, disamping Islam menyuruh memelihara kelanggengan perkawinan, juga membuka peluang kecil untuk keluar dari kesulitan perkawinan dengan membolehkan perceraian bila memang keadaan menuntut. Apabila kesulitan itu ada di pihak suami, dan persoalan itu tidak bisa terselesaikan, maka ia dibolehkan menempuh jalan “cerai talak”[1]. Sebaliknya, apabila istri yang merasa tersiksa di rumah tangga karena suaminya, maka ia dibenarkan mengajukan perceraian atau “khulu‘ [2]. Hanya saja, di Indonesia kata khulu’ lebih familiar dengan istilah “gugat cerai” [3].
Permasalahan
Bagaimana pelaksanaan perceraian dengan khuluk yang salah satunya tidak tercapai mufakat tentang tebusannya dan atau telah mufakat besar/jenis tebusannya.
Apa akibat hukumnya jika terjadi perceraian karena khuluk.
Pengertian
Al-khul` berarti menanggalkan dan melepaskan. Salah satu cara melepaskan ikatan perkawinan yang datangnya dari pihak istri dengan kesediaannya membayar ganti rugi. Terdapat beberapa definisi khuluk yang dikemukakan oleh ulama mazhab.
Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan "melepaskan ikatan perkawinan yang tergantung kepada penerimaan istri dengan menggunakan lafal khuluk atau yang semakna dengannya". Akibat akad ini baru berlaku apabila mendapat persetujuan istri dan mengisyaratkan adanya ganti rugi bagi pihak suami.
Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan khuluk dengan "talak dengan ganti rugi, baik datangnya dari istri maupun dari wali dan orang lain". Artinya, aspek ganti rugi sangat menentukan akad ini di samping lafal khuluk itu sendiri menghendaki terjadinya perpisahan suami istri tersebut dengan ganti rugi. Menurut mereka, apabila lafal yang digunakan adalah lafal talak, maka harus disebutkan ganti rugi. apabila yang digunakan adalah lafal khuluk maka tidak perlu disebutkan ganti rugi, karena lafal khuluk sudah mengandung pengertian ganti rugi.
Ulama Mazhab Syafil mendefinisikan khuluk dengan "perceraian antara suami istri dengan ganti rugi, baik dengan lafal talak maupun dengan lafal khuluk". Contohnya, suami mengatakan pada istrinya, "Saya talak engkau atau saya khuluk engkau dengan membayar ganti rugi kepada saya sebesar...," lalu istri menerimanya[4].
Ulama Mazhab Hanbali mendefinisikannya dengan "tindakan suami menceraikan istrinya dengan ganti rugi yang diambil dari istri atau orang lain dengan menggunakan lafal khusus". Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa ulama Mazhab Hanbali membolehkan terjadinya khuluk tanpa ganti rugi. Tetapi pendapat ini tergolong lemah di kalangan ulama Hanbali. Adapun pendapat terkuat di kalangan Mazhab Hanbali ialah bahwa dalam khuluk aspek ganti rugi merupakan rukun khuluk[5]. Oleh sebab itu, khuluk harus dengan ganti rugi dari pihak istri atau orang lain.
Dari empat definisi di atas, menurut Wahbah az-Zuhaili, ahli fikih di Universitas Damascus (Suriah), yang berlaku luas adalah yang dikemukakan ulama Mazhab karena sangat sesuai dengan pengertian bahasa dari kata khuluk itu sendiri. Singkatnya, sesungguhnya definisi khusus khulu' membuat hilang berbagai hak istri. Definisi khulu' menurut pendapat mazhab Maliki adalah, talak dengan 'iwadh, baik talak ini berasal dari istri maupun dari orang lain yang selain istri yang terdiri dari wali ataupun orang lain, atau talak yang diucapkan dengan lafal khulu'.
Definisi ini menunjukkan bahwa ada dua macam khulu': Pertama, yaitu yang mayoritas terjadi adalah yang berdasarkan 'iwadh harta. Kedua, talak yang terjadi dengan lafal khulu' meskipun tidak berdasarkan 'iwadh apaapa. Misalnya si suami berkata kepada si istri, "Aku khulu' kamu" atau "Kamu terkhulu'." Dengan kata lain, si istri ataupun orang lain memberikan harta kepada si suami agar menalak si istri. Atau membuat jatuh hak si istri yang harus dipenuhi oleh si suami, maka dengan khulu' ini jatuh talak ba'in[6].
Legalitas
Khuluk sebagai salah satu jalan keluar dari kemelut rumah tangga yang diajukan oleh pihak istri didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 229 yang artinya: "...Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya..." Alasan lain yang dikemukakan oleh ulama adalah sabda Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan al-Bukhari, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban tentang kasus istri Sabit bin Qais yang mengadukan perihal suaminya kepada Rasulullah SAW. Setelah Rasulullah SAW mendengar seluruh pengaduan tersebut, Rasulullah SAW bertanya: "Maukah kamu mengembalikan kebunnya (Sabit)?" Istri Sabit menjawab: "Mau." Lalu Rasulullah SAW berkata kepada Sabit bin Qais: "Ambillah kembali kebun engkau dan ceraikanlah ia satu kali."[7]
Berdasarkan hadis ini, disunahkan seorang suami untuk mengabulkan permintaan istrinya. Tuntutan khuluk tersebut diajukan istri karena ia merasa tidak akan terpenuhi dan tercapai kebahagiaan di antara mereka, seperti yang diungkapkan oleh istri Sabit bin Qais dalam riwayat tersebut, yakni: "Saya tidak mencelanya karena agama dan akhlaknya, tetapi saya khawatir akan muncul suatu sikap yang tidak baik dari saya disebabkan pergaulannya yang tidak baik." Alasannya adalah pergaulannya yang tidak serasi dengan suaminya. Agar keadaan tersebut tidak berlarut-larut sehingga dapat menjerumuskan rumah tangga mereka pada keadaan yang tidak diingini Islam, maka istri Sabit melihat lebih baik mereka bercerai. Dalam keadaan seperti itu, menurut Ibnu Qudamah, ahli fikih Mazhab Hanbali, keduanya lebih baik bercerai. Akan tetapi, jika istri tidak memiliki alasan yang jelas, maka ia tidak boleh mengajukan khuluk, karena Rasulullah SAW mengingatkan dalam sabdanya: "Wanita mana saja yang menuntut cerai pada suaminya tanpa alasan, diharamkan baginya bau surga" (HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmizi. Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Alasan khuluk
Khuluk termasuk salah satu unsur alasan perceraian sebagaimana alasan-alasan perceraian dalam peraturan perundangan yaitu :
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
sakah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
Suami melanggar taklik talak;
peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga[8].
Menurut ulama fikih, penyebab terjadinya khuluk antara lain adalah munculnya sikap suami yang meremehkan istri dan enggan melayani istri hingga senantiasa membawa pertengkaran. Dalam keadaan seperti ini Islam memberikan jalan keluar bagi rumah tangga tersebut dengan menempuh jalan khuluk. Inilah yang dimaksudkan Allah SWT dalam firman-Nya pada surah an-Nisa’ (4) ayat 128 yang artinya: "Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyus atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih balk (bagi mereka)..." Perdamaian dalam ayat ini dapat dilakukan dengan mengakhiri hubungan suami istri melalui perceraian atas permintaan istri dengan kesediaannya membayar ganti rugi atau mengembalikan mahar suami yang telah diberikan ketika akad nikah berlangsung. Alasan lain penyebab khuluk menurut Ibnu Qudamah adalah ketidakpuasan seorang istri dalam nafkah batin.
Syaikh as-Sa’di menyebutkan beberapa alasan seorang istri meminta khuluk, diantaranya adalah :
Istri tidak suka dengan akhlak suami , karena akhlak merupakan perhiasan batin.
Istri tidak suka kepada fisik atau jasmani suami yang buruk, sebab bagusnya fisik merupakan perhiasan lahir.
Adanya kekurangan pada aspek agama sang suami.
Adanya kekhawatiran dari istri berupa ketidak mampuannya untuk menjalankan kewajibannya kepada suaminya, atau murka atau marah kepada suaminya[9].
Syarat khuluk
Bagi suami : suami yang akan menceraikan istrinya dalam bentuk khuluk sebagaimana berlaku dalam talak, adalah seorang yang ucapannya telah diperhitungkan. Syaratnya adalah akil, baligh, dan bertindak atas kehendaknya sendiri dengan kesengajaan. Bila suami masih belum dewasa atau siuami dalam keadaan gila , maka yang akan menceraikan dengan khuluk adalah walinya. Demikian pula bila keadaan seseorang yang dibawah pengampuan (pengawasan) karena kebodohannya, maka yang menerima permintaan khuluk istri adalah wali
Bagi istri : ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah suami , dalam arti istrinya atau orang yang telah diceraikan , masih berada dalam iddah roj’i. Istri adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta, karena untuk keperluan pengajuan khuluk ini, harus menyerahkan harta. Untuk syarat ini ia harus seorang yang telah baligh, berakal, tidak berada dibawah pengawasan , dan sudah cerdas bertindak atas harta[10].
Rukun khuluk
Rukun khuluk menurut jumhur ulama selain Mazhab Hanafi adalah sebagai berikut :
Adanya ijab (pernyataan) dari pihak suami atau wakilnya, atau walinya jika suami masih kecil atau orang bodoh.
Status mereka masih suami istri (belum pisah).
Adanya ganti rugi dari pihak istri atau orang lain. Ganti rugi ini tidak harus dinyatakan secara jelas apabila lafal yang digunakan adalah lafal khuluk, karena risiko khuluk itu adalah adanya ganti rugi dari pihak istri. Tetapi, jika yang digunakan adalah lafal selain khuluk, maka ganti rugi harus
Adanya lafal yang menunjukkan pengertian khuluk.
Istri menerima khuluk tersebut sesuai dengan ijab yang dikemukakan suami[11].
Selanjutnya mengenai uang tebusan, mayoritas ulama menempatkan iwadh sebagai rukun yang tidak boleh dtinggalkan untuk sahnya khuluk. Mengenai sighat atau ucapan cerai , dalam hal ini tanpa menyebutkan nilai ganti , maka ia menjadi talak biasa[12].Oleh karena itu menurut penulis, bahwa para penulis Ensiklopedia Sains Islami menerapkan pasal 148 KHI dan sekaligus mengesampingkan pendapat Mahkamah Agung dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Agama Buku II 2013 halaman 151 yang menurutnya tidak bernyawa lagi atau para penulis Ensiklopedia Sains Islami belum pernah membaca pendapat Mahkamah Agung tersebut.
Yang sangat urgen adalah rukun yang terakhir adalah I’wadl (Tebusan), yaitu tebusan yang harus diberikan istri kepada suami. Maka khulu’ menjadi tidak sah tanpa adanya tebusan. Namun ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini; apakah khulu’ tetap sah walaupun tanpa adanya tebusan?. Menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah khulu’ menjadi tidak sah tanpa adanya tebusan. Sedangkan menurut Hanafiyyah walaupun tanpa tebusan khulu’ tetap sah. Adapun ulama Malikiyyah mengatakan khulu’ tetap sah baik itu dengan tebusan atau tanpa tebusan.
Proses perceraian dengan khuluk menurut KHI :
Kompilasi Hukum Islam (KHI) membedakan cerai gugat dengan khulu’. Namun demikian, ia mempunyai kesamaan dan perbedaan di antara keduanya. Persamaannya adalah: keinginan untuk bercerai datangnya dari pihak isteri. Perbedaannya, yaitu cerai gugat tidak selamanya membayar ‘iwadl (uang tebusan) yang menjadi dasar terjadinya khulu’ atau perceraian. Khulu’ yang dimaksud, diatur dalam pasal 148 KHI dengan prosedur sebagai berikut:
Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khulu‘, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.
Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing.
Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khulu‘, dan memberikan nasehat-nasehatnya.
Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya ‘iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat 5.
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau ‘iwadl, Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.
Dari uraian di atas, nampak perbedaan antara cerai gugat dan khulu’. Namun, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tidak membedakan antara keduanya sehingga tidak membicarakannya. Karenanya penyelesaian berdasarkan pasal 148 KHI yang semula perkara cerai gugat dengan khuluk setelah ada putusan Pengadilan Agama lalu eksekusinya mengacu pada pasal 131 ayat 5 yaitu suami mengikrarkan talaknya terhadap istri. Proses penyelesaian yang berakhir dengan ikrar suami dalam hal ini bagi perkara yang tidak ada kesulitan, seperti tidak ada rekonpensi dari suami atau tidak ada gugatan cerai yang dikumulasi dengan gugatan bersama[13] (pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989) tentu penyelesaiannya lebih sulit, sehingga Mahkamah Agung telah mengantisipasi bahwa untuk mengesampingkan ketentuan pasal 148 KHI, lagi pula menurut penulis mungkin selama ini belum ada Pengadilan Agama yang mengabulkan permohonan eksekusi harta bersama atas putusan cerai talak ( versi pasal 148 KHI dengan mengacu pasal 131 ayat 5 KHI ) yang direkonpensi dengan harta bersama, dimana putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap akan tetapi Pengadilan Agama tidak berani mengabulkan permohonan eksekusi harta bersamanya dengan alasan pemohon dan termohon secara yuridis masih terikat dalam perkawinan (belum bercerai), padahal antara suami istri sudah jelas tidak mungkin lagi untuk rukun kembali[14]. Kelemahan tetap di pihak istri kalau ada salah satu pihak yang mengkumulasikan gugatan/permohnan dengan harta bersama atau suami yang mengajukan gugatan rekonpensi harta bersama tentu banyak kendala, waktu yang berlarut-larut kapan selesainya.
Itulah gambaran penyelesaian secara umum, akan tetapi khuluk yang diatur dalam KHI tentu menurut penulis lebih sulit dalam eksekusinya sekalipun masalah tebusan sudah mufakat, terutama jika istri sekaligus mengajukan gugatan rekonpensi tentang pembagian harta bersama yang tidak sedikit jumlahnya. Kemungkinan juga suami sengaja menunda-nunda pelaksanaan ikrar, karena menurut pasal 148 KHI telah menunjuk penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat 5 KHI , berarti setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang perceraian dengan khuluk, sudah berkekuatan hukum tetap lalu suami dipanggil untuk mengikrarkan talak terhadap istrinya.
Proses perceraian dengan khuluk ala Mahkamah Agung
Mahkamah Agung dalam menangapi masalah penyelesaian perceraian dengan khuluk ini dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Agama Buku II 2013 halaman 151 menyatakan bahwa:
Talak khuluk merupakan gugatan istri untuk bercerai dari suaminya dengan tebusan. Proses penyelesaian gugatan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur cerai gugat dan harus diputus oleh hakim.
Amar putusan talak khuluk berbunyi : “Menjatuhkan talak satu khul’i ( nama----------bin---------------) terhadap Penggugat ( nama--------------binti -------------) dengan iwadh berupa uang sejumlah Rp---------------( tulis dengan huruf----------) .
-tentang Iwadh tersebut dapat pula berupa uang , rumah atau benda lainnya secara bersama.
Terhadapa putusan talak khuluk dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.
Ketentuan khuluk sebagaimana tersebut dalam pasal 148 KHI harus dikesampingkan pelaksanaannya. Gugatan khukuk tetap dilaksanakan sesuai ketentuan huruf a, b, dan c di atas[15].
Dari muatan pasal 148 KHI dan membandingkannya dengan pedoman Mahkamah Agung dalam Buku II 2013 halaman 151 tentu yang tepat dan relistis dalam proses penyelesaiannya agar mengikuti petunjuk Mahkamah Agung, karena itu penulis sepakat untuk mengesampingkan pasal 148 KHI sekalipun Mahkamah Agung sendiri menggunakan istilah Talak Khuluk, berikut ini tahapan yang harus dilakukan pihak istri dalam mengajukan perceraian dengan khuluk yaitu :
Setelah gugatan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri, sesuai dengan peraturan perundangan, istri maupun suami akan dipanggil oleh Pengadilan Agama untuk melaksanakan sidang pertama.
Dalam sidang pertama jika suami istri hadir , maka majelis hakim akan mendamaikan suami istri sesuai maksud pasal 130 HIR dan kalau tidak berhasil damai maka suami istri diperintahkan untuk mengikuti proses mediasi sesuai Perma Nomor 01 tahun 2016 tentang proses mediasi di Pengadilan.
Dalam mediasi harus ada iktikad baik dari suami istri untuk menyelesaikan masalahnya terutama kalau ada inisiatif istri untuk melakukan perceraian dengan khuluk karenanya, setelah tidak berhasil damai, mediator berusaha mengarahkan agar terjadi kesepakatan tentang tebusannya.
Mediator melaporkan secara tertulis kepada ketua majelis hakim tentang pelaksanaan mediasi apakah berhasil atau tidak.
Kalau masalah tebusan tidak terjadi sekepakatan baik dalam mediasi maupun dalam persidangan maka prosesnya dilakukan sebagaimana memeriksa perkara cerai gugat dengan tahapan-tahapan jawab menjawab, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan dan musyawarah hakim untuk membacakan putusan.
Berbeda dengan penyelesaian menurut Mahkamah Agung yang langsung memberlakukan putusannya, memudahkan eksekusi dan tidak perlu ada ketergantungan suami sehingga cara seperiti inilah yang telah dipilih Mahkamah Agung, kan sudah jelas tujuan perceraian dengan khuluk sudah tercapai kenapa harus ada ikrar suami itulah mungkin pertimbangan Mahkamah Agung kenapa mengesampingkan proses 148 KHI.
Selanjutnya ternyata belum berhenti pada putusan khuluk belaka akan tetapi ada masalah lain yang mengikutinya yaitu :
Khulu’ di Masa Haid.
Khulu’ tidak terikat dengan waktu tertentu[16], untuk itu boleh dilakukan diwaktu suci atau haidh, hal ini berbeda dengan talak yang diharamkan untuk dilakukan di saat haidh. Yang demikian itu dimaksudkan agar suami tidak mengulur-ulur waktu ‘iddah, sedangkan khulu’ adalah permintaan istri untuk menghilangkan “bahaya” yang dialaminya. Begitu juga karena Rasululllah Saw. tidak menanyakan keadaan Mukhtali’ah (Istri Tsabit bin Qais tatakala ia meminta khulu’ dari suaminya) apakah ia saat itu dalam keadaan suci atau haidh. Dan tidak adanya dalil yang mengatakan tidak boleh meminta khulu’ ketika haidh. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa khulu’ dapat dilakukan kapan saja meskipun sang istri sedang haidh.
Khulu' Dilakukan Orang Yang Tengah Sakit
Sah khulu' yang dilakukan oleh orang yang sedang sakit parah[17]. Karena jika dia menjatuhkan talak yang tidak memiliki 'iwadh, maka sah talaknya, apalagi talak yang memiliki 'iwadh. Juga karena ahli warisnya tidak akan mendapatkan kerugian apa-apa dengan tindakan khulu'nya.
Mazhab Maliki mengungkapkan mengenai hal ini dengan pendapat mereka, terlaksana khulu' yang dilakukan oleh orang yang tengah terkena penyakit yang mengkhawatirkan. Sebagai isyarat bahwa secara prinsipil mereka tidak mengharamkan talak pada masa ini yang menyebabkan keluarnya ahli waris.
Menurut pendapat yang masyhur, istri yang dia khulu' pada masa dia sakit mendapatkan warisan dari suami jika suami meninggal dunia pada masa khulu' ini akibat penyakit yang mengkhawatirkan. Meskipun masa iddahnya telah selesai, dan dia kawin lagi dengan orang lain. Sedangkan istri tidak mewarisi suaminya jika istri meninggal dunia sebelum suami pada masa suami sakit, meskipun istri tengah sakit pada saat terjadi khulu'; karena suamilah yang membuat hilang apa yang seharusnya berhak untuk dia dapatkan.
Demikian juga Setiap pasangan suami istri atau salah satu dari keduanya berhak untuk mewakilkan orang lain dalam khuluk[18].
Masa ‘Iddah Bagi Khulu’.
Sebagaimana talak, bagi wanita yang khulu’ juga diharuskan untuk ‘Iddah. Dengan maksud istibra’ (meyakinkan bahwa dalam rahimnya tidak ada janin/kandungan). Namun berapakah tempo I’ddah yang harus ditempuh wanita dalam khulu’?, ulama telah berbeda pendapat dalam hal ini. Salah satunya adalah pendapat Jumhur ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) yang mengatakan bahwa ‘iddah seorang wanita yang meminta khulu’ adalah sama dengan ‘iddah wanita yang ditalak, yaitu tiga quru’ (tiga kali haid). Landasannya adalah firman Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah ayat 228: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'”. Dan juga karena khulu’ adalah perpisahan antara suami istri setelah adanya perkawinan (dukhul), maka ‘iddah-nya tiga quru’ sebagaimana perpisahan selain khulu’.
Selain pendapat jumhur, terdapat juga pendapat kedua yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ustman bin Affan, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa ‘iddah bagi wanita khulu’ adalah cukup dengan satu kali haidh. Dalilnya yaitu; sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dan Ibnu Majah bahwa Rasulullah Saw. telah menjadikan ‘iddah istri Tsabit bin Qais satu haidh saja.
Apakah Khulu’ Talak atau
Ulama telah berbeda pendapat. Menurut Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafii’yyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad mengatakan bahwa khulu’ adalah thalaq ba-in. Sedangkan menurut riwayat lain dari Imam Ahmad bahwa khulu’ adalah faskh.
Konsekuensi dari perbedaan pendapat di atas dapat terlihat ketika seorang suami telah men-thalaq istrinya dua kali, kemudian meng-khulu’-nya, maka; Bagi yang mengangap khulu’ itu thalaq, berarti telah jatuh thalaq tiga, yang berarti suami tidak lagi halal untuk merujuk kembali istrinya, kecuali wanita tersebut telah menikah dengan laki-laki lain kemudian diceraikan.
Sedangkan bagi yang menganggap khulu’ itu faskh, maka suami tersebut berhak untuk merujuk istrinya, meskipun wanita tersebut belum menikah lagi dengan laki-laki lain, apabila sudah habis masa ‘iddah-nya.
Rujuk Setelah Khulu’.
Tidak ada rujuk bagi seorang suami dari seorang istri yang telah pisah dengan sebab khulu’. Baik itu bagi yang menganggap khulu’ itu thalaq ba-in maupun faskh. Jika dia menginginkan kembali kepada isterinya maka harus dengan akad pernikahan dan mahar yang baru.