Kamis, 29 September 2022

Tanya dan jawab : Bayar Hutang Dahulu Atau Aqiqah?

Pembahasan Kelima belas Perkara yang Perlu Diingat  Banyak terlontar pertanyaan dari orang-orang pada malam tanggal tigapuluh Dzulqa’dah, apakah mereka boleh memotong rambut dan kuku mereka? Kita katakan, “Jika belum pasti masuk bulan Dzulhijjah pada malam tiga puluh tersebut, maka mereka diperbolehkan untuk itu dan tidak mengapa, sebab permasalahan ini berhubungan dengan masuknya bulan Bulan Dzulhijjah itu dapat ditetapkan dengan melihat hilal atau menyempurnakan Dzulqa’dah tigapuluh hari. Namun siapa yang ingin berhati-hati pun dibolehkan. Jika telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan seorang muslim belum berniat menyembelih kurban lalu memotong rambut dan kukunya, kemudian setelah lewat dua atau tiga hari atau lebih ia ingin menyembelih kurban, maka wajib baginya untuk tidak memotong semenjak ia berniat, dan tidak mengapa baginya perkara yang telah berlalu. Walillaahil Hamd. Para ulama berbeda pendapat, apakah memotong rambut dan kuku hukumnya haram, adalah makruh atau mubah bagi orang yang ingin berkurban? Yang rajih, hukumnya adalah haram, karena asal dari larangan adalah untuk pengharaman dan tidak ada yang memalingkan hukum tersebut dari asalnya. Namun bila seorang muslim telah memotong rambut dan kukunya, maka tidak dikenakan fidyah, hanya saja wajib baginya bertaubat dan beristighfar dari pelanggaran larangan tersebut. Orang yang ingin menyembelih kurban kemudian telah memotong rambut dan kukunya masih diperbolehkan menyembelih kurbannya, dan memotong rambut dan kukunya tersebut tidak menghalanginya berkurban, sebab hal itu adalah satu perkara dan hal lainnya adalah perkara berbeda. Namun, orang tersebut berdosa dengan sebab melanggar larangan tersebut. Sedangkan apa yang diduga oleh orang umum bahwa itu menyebabkan kurbannya tidak diterima, maka tidak berdasar sama sekali secara syari’at. Orang yang memiliki hajat di bolehkan memotong rambut, kuku dan sedikit bulunya, seperti jika kukunya sobek lalu butuh di potong atau kulitnya terkelupas sehingga mengganggunya, maka ia dibolehkan untuk menghilangkannya atau terkena luka sehingga butuh memotong bulu atau rambutnya dibolehkan. Larangan memotong rambut, kuku dan kulit ditujukan khusus bagi orang yang ingin berkurban untuk dirinya dan keluarganya, atau menyumbang kurban untuk orang hidup atau yang telah Sedangkan orang yang dimasukkan dalam pahala kurban seperti isteri dan anak, maka tidak terkena larangan ini, karena larangan ini khusus bagi yang ingin berkurban saja. Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan tersebut juga mengenai mereka, karena mereka berserikat dengan orang yang berkurban dalam masalah pahala, sehingga berserikat juga dalam hukum. Namun yang rajih adalah pendapat pertama. Wallaahu a’lam. Perwakilan tidak ada pengarunya dalam larangan memotong rambut dan kuku serta kulit ini, karena yang dilarang memotongnya hanyalah orang yang ingin berkurban. Adapun wakil dan orang yang diwasiati maka tidak Sedangkan dugaan banyak orang bahwa jika ia (orang yang berkurban) telah diwakilkan orang lain (penyembelihannya), maka, ia di bolehkan memotong rambut, kuku dan kulitnya, maka ini tidaklah benar. Hal ini harus diingat! Orang yang ingin berkurban dan telah bertekad melaksanakan haji atau umroh, janganlah memotong rambut dan kukunya ketika ihram, sedangkan mencukur atau mengambil sebagian rambutnya karena haji dan umroh, maka itu adalah wajib walaupun orang yang berhaji atau umroh tersebut akan menyembelih kurban, karena mengambil rambut atau mencukur ini adalah nusuk (bagian dari haji atau umroh), sehingga tidak dikenai larangan memotong rambut dan kuku ini. Seorang wanita dibolehkan menyembelih kurbannya langsung. Adapun dugaan orang umum (awam) tentang ketidakbolehan wanita menyembelih tidak ada dasarnya dalam syari’at. Ibnu Qudamah berkata dalam kitab al-Mughni, “Ibnul Mundzir berkata, ‘Semua ulama -yang telah aku hafal- sepakat membolehkan sembelihan oleh wanita dan anak-anak.’”[1] Baca Juga  Perihal Kurban Dan Aqiqah, Kambing Jantan Atau Betina Imam al-Bukhari meriwayatkan satu hadits dengan sanadnya dari Ka’ab bin Malik, beliau berkata:  أَنَّ جَارِيَةً لَهُمْ كَانَتْ تَرْعَى غَنَمًا بِسَلْعٍ فَأَبْصَرَتْ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا مَوْتًا فَكَسَرَتْ حَجَرًا فَذَبَحَتْهَا فَـقَالَ ِلأَهْلِهِ لاَ تَأْكُلـُوا حَتَّى آتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَسْأَلَهُ أَوْ حَتَّى أُرْسِلَ إِلَيْهِ مَنْ يَسْأَلُهُ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ بَعَثَ إِلَيْهِ، فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَكْلِهَا  “Seorang jariyah (budak perempuan) milik mereka menggembalakan kambing di daerah Sil’a, lalu ia melihat seekor kambingnya akan mati. Kemudian ia memecah batu dan menyembelih kambing tersebut. Maka Ka’ab berkata kepada keluarganya: Jangan kalian makan dulu sampai aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya atau sampai diutus orang yang menanyakannya. Lalu sampailah beliau ke Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mengutus seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk memakannya.”  Ada juga orang yang tidak memperhatikan wasiat kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya, lalu menyumbang kurban untuk kerabatnya yang telah meninggal dan tidak menunaikan wasiat mereka. Ini adalah tidak boleh, karena melaksanakan wasiat hukumnya wajib, apabila menambah dan menyumbang dari dirinya, maka tidak mengapa. Kami telah melihat orang yang memiliki tanggung jawab atas wasiat kedua orang tuanya atau salah seorang darinya memenuhi wasiat mereka tersebut dengan berdalih mereka menyumbangkan untuk orang tuanya tersebut setiap tahun seekor kurban atau Hukum ini juga mencakup wasiat kerabat atau yang lainnya. Maka ingatlah hal tersebut. Sebagian orang yang menyembelih kurban, mereka sengaja mengambil sedikit darahnya dan melumurkannya ke tembok dengan anggapan bahwa tembok ini akan menjadi saksi baginya di hari Kiamat dan membiarkan darah tersebut sampai hilang dengan sendirinya. Perbuatan ini tidak ada dalilnya dalam syari’at, bahkan pelakunya dikhawatirkan (menjadi sesat) kalau saja tidak Dewasa ini muncul satu perkembangan baik yang timbul dari solidaritas dan kerjasama kaum muslimin, yaitu pengiriman hewan kurban kepada para pengungsi dan muhajirin kaum musli-min di beberapa negara-negara Islam. Sebagian ulama melarangnya dan sebagian lain membolehkannya dan yang rajih menurut saya, di sana ada perbedaaan antara kurban seorang muslim untuk diri dan keluarganya serta yang telah diwasiatkan kepadanya dengan kurban tabarru[2]. Adapun sembelihan muslim untuk diri dan keluarganya, dan demikian juga yang diwasiatkan dengan ketentuan tempat dan orang yang dibagi yang telah ditentukan, maka menurut saya yang utama adalah tidak dikirimkan dan harus disembelih ditempat orang yang berkurban tersebut. Sedangkan hewan kurban tabarru’, maka perkaranya mudah saja –insya Allah-. Baca Juga  Bagaimana Kurban Bagi Orang Yang Sudah Meninggal? Seandainya perkara ini diserahkan kepada tinjauan mufti sesuai kebutuhan manusia dan yang lebih kuat menurutnya dari prioritas yang ada, maka tentunya hal itu benar.  Seandainya waktu penyembelihan kurban yang sah telah lewat, padahal seorang muslim tersebut memiliki udzur atau udzurnya selalu ada sampai lewat waktu penyembelihan kurban yang sah tersebut, contohnya hewan kurbannya kabur dan tidak ditemukan kecuali setelah lewat waktu penyembelihan atau ia mewakilkan kepada orang lain untuk menyembelihnya, lalu sang wakil tersebut lupa, kemudian orang yang mewakilkan tersebut mengetahui bahwa wakilnya tersebut belum menyembelihnya, maka apakah ia boleh menyembelih (setelah waktu tersebut) dan menjadikan udzur tersebut sebagai pembenar keabsahan kurbannya? Hal ini masih menjadi perselisihan para ulama. Namun, Allah -Ta’ala- telah menghilangkan kesulitan umat ini dan tidak membebankan mereka dengan sesuatu di luar kemampuannya serta mensyari’atkan orang yang tertidur dari shalat atau lupa darinya untuk melaksanakan shalat ketika ingat tanpa ada kaffarat baginya. Jika hewan kurbannya telah ditentukan, maka wajib menunaikannya dan tidak boleh menggagalkannya, serta tidak boleh menggantinya kecuali dengan yang lebih baik. Sedangkan apa yang dilakukan sebagian orang yang membeli hewan kurbannya lalu menjualnya serta meremehkan hal tersebut, maka ini adalah kesalahan yang perlu diperingatkan. Apabila hewan tersebut melahirkan setelah penentuan tersebut, maka hukum anaknya sama dengan hukum induknya. Apabila mati sebelum disembelih, jika disebabkan kecerobohan dari orang yang berkurban, maka ia harus menggantinya, dan jika disebabkan perlakuan orang lain, maka orang tersebut wajib mengganti Namun apabila hilang setelah disembelih atau dicuri, jika disebabkan karena kecerobohannya, maka hendaklah dia mengganti apa yang dishadaqahkan dari hewan tersebut saja, dan bila tidak maka tidak ada kewajiban menggantinya sama sekali. Orang yang mendapatkan pemberian bagian dari hewan kurban atau mendapat shadaqah darinya, maka diperbolehkan menggunakannya sesukanya, baik dijual, dihadiahkan atau dishadaqahkan kembali. Tapi jangan menjualnya kepada orang yang memberinya atau bershadaqah kepa [Disalin dari kitab Ahkaamul ‘Iidain wa ‘Asyri Dzil Hijjah, Penulis Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar. Judul dalam Bahasa Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penerjemah Kholid Syamhudi, Lc. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir] Referensi : https://almanhaj.or.id/18698-perkara-yang-perlu-diingat-dalam-kurban.html Pertanyaan. Ketika anak kami lahir, kami tidak mampu melaksanakan aqîqah. Sekarang kami mampu melakukannya, apakah aqîqah wajib bagi kami? Mohon penjelasan. Syukran.  Jawaban. Aqîqah adalah kambing yang disembelih dengan sebab kelahiran bayi sebagai bentuk syukur kepada Allah Azza wa Jalla. Tentang hukum aqîqah, sebagian Ulama berpendapat hukumnya wajib, sedangkan jumhur (mayoritas) Ulama berpendapat hukumnya mustahab (sunnah). Sedangkan waktu aqîqah, Syaikh Abu Mâlik Kamal Ibnus Sayyid Sâlim berkata, “Menurut Sunnah (Nabi) anak di aqîqahi pada hari ke tujuh (kelahiran) berdasarkan hadits Samurah bin Jundub bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى  Setiap bayi tergadai dengan aqîqahnya, disembelihkan (kambing) untuknya pada hari tujuh, kemudian dicukur, dan diberi nama.  Jika tidak bisa hari ke tujuh, maka pada hari ke 14, jika tidak bisa maka pada hari  ke 21. Ini adalah pendapat Hanâbilah (para pengikut Imam Ahmad), pendapat lemah dari Madzhab Mâliki, juga pendapat Ishâq, juga  ada riwayat dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma. Jika dia menyembelih sebelumnya atau sesudahnya, itu mencukupinya (yakni: sah), karena tujuan tercapai dengannya. Syâfi’iyyah menyatakan bahwa aqîqah tidak hilang dengan mengundurkan waktunya, tetapi disukai tidak mengundurkan dari umur baligh. Jika diundurkan sampai baligh hukum aqîqah gugur bagi selain si anak, sedangkan dia (si anak) diberi hak pilih di dalam meng aqîqah dirnya sendiri”. [Shahîh Fiqih Sunnah 2/383]  Maka jawaban kami terhadap pertanyaan anda adalah: anda boleh melakukan aqîqah anak anda setelah memiliki kemampuan, namun hukumnya tidak wajib.  Wallâhu a’lam. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]    HR. Abu Dâwud, no: 2838; at-Tirmidzi, no: 1522; Ibnu Mâjah, no: 3165; dll. Dishahîhkan oleh al-Hâkim, disetujui oleh Adz-Dzahabi, Syaikh al-Albâni, dan Syaikh Abu Ishâq al-Huwaini di dalam kitab Al-Insyirâh Fî Adabin Nikâh, hlm:97  BAYAR HUTANG DAHULU ATAU AQIQAH?  Pertanyaan. Ustadz saya mau bertanya, mana yang lebih utama, membayar hutang ataukah mengadakan aqiqah untuk anak yang baru lahir ? Syukran ustadz, Abdullah di Gorontalo  Jawaban. Jika hutang itu sudah jatuh tempo, maka membayar hutang harus lebih diutamakan daripada mengadakan aqiqah. Karena membayar hutang hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan Ulama’, sedangkan mengadakan aqiqah diperselisihkan, sebagian Ulama’ berpendapat aqiqah itu wajib, sedangkan jumhur (mayoritas) Ulama’ memandang hukumnya sunah. Sedangkan ibadah yang hukumnya wajib itu harus didahulukan daripada yang hukumnya sunnah.  Namun jika hutang itu belum jatuh  tempo, maka aqiqah lebih diutamakan. Karena ibadah yang sudah datang waktunya lebih diutamakan daripada ibadah yang belum datang waktunya. Kesempatan melakukan kebaikan hendaklah segera dimanfaatkan., Pembahasan Kelima belas Perkara yang Perlu Diingat  Banyak terlontar pertanyaan dari orang-orang pada malam tanggal tigapuluh Dzulqa’dah, apakah mereka boleh memotong rambut dan kuku mereka? Kita katakan, “Jika belum pasti masuk bulan Dzulhijjah pada malam tiga puluh tersebut, maka mereka diperbolehkan untuk itu dan tidak mengapa, sebab permasalahan ini berhubungan dengan masuknya bulan Bulan Dzulhijjah itu dapat ditetapkan dengan melihat hilal atau menyempurnakan Dzulqa’dah tigapuluh hari. Namun siapa yang ingin berhati-hati pun dibolehkan. Jika telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan seorang muslim belum berniat menyembelih kurban lalu memotong rambut dan kukunya, kemudian setelah lewat dua atau tiga hari atau lebih ia ingin menyembelih kurban, maka wajib baginya untuk tidak memotong semenjak ia berniat, dan tidak mengapa baginya perkara yang telah berlalu. Walillaahil Hamd. Para ulama berbeda pendapat, apakah memotong rambut dan kuku hukumnya haram, adalah makruh atau mubah bagi orang yang ingin berkurban? Yang rajih, hukumnya adalah haram, karena asal dari larangan adalah untuk pengharaman dan tidak ada yang memalingkan hukum tersebut dari asalnya. Namun bila seorang muslim telah memotong rambut dan kukunya, maka tidak dikenakan fidyah, hanya saja wajib baginya bertaubat dan beristighfar dari pelanggaran larangan tersebut. Orang yang ingin menyembelih kurban kemudian telah memotong rambut dan kukunya masih diperbolehkan menyembelih kurbannya, dan memotong rambut dan kukunya tersebut tidak menghalanginya berkurban, sebab hal itu adalah satu perkara dan hal lainnya adalah perkara berbeda. Namun, orang tersebut berdosa dengan sebab melanggar larangan tersebut. Sedangkan apa yang diduga oleh orang umum bahwa itu menyebabkan kurbannya tidak diterima, maka tidak berdasar sama sekali secara syari’at. Orang yang memiliki hajat di bolehkan memotong rambut, kuku dan sedikit bulunya, seperti jika kukunya sobek lalu butuh di potong atau kulitnya terkelupas sehingga mengganggunya, maka ia dibolehkan untuk menghilangkannya atau terkena luka sehingga butuh memotong bulu atau rambutnya dibolehkan. Larangan memotong rambut, kuku dan kulit ditujukan khusus bagi orang yang ingin berkurban untuk dirinya dan keluarganya, atau menyumbang kurban untuk orang hidup atau yang telah Sedangkan orang yang dimasukkan dalam pahala kurban seperti isteri dan anak, maka tidak terkena larangan ini, karena larangan ini khusus bagi yang ingin berkurban saja. Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan tersebut juga mengenai mereka, karena mereka berserikat dengan orang yang berkurban dalam masalah pahala, sehingga berserikat juga dalam hukum. Namun yang rajih adalah pendapat pertama. Wallaahu a’lam. Perwakilan tidak ada pengarunya dalam larangan memotong rambut dan kuku serta kulit ini, karena yang dilarang memotongnya hanyalah orang yang ingin berkurban. Adapun wakil dan orang yang diwasiati maka tidak Sedangkan dugaan banyak orang bahwa jika ia (orang yang berkurban) telah diwakilkan orang lain (penyembelihannya), maka, ia di bolehkan memotong rambut, kuku dan kulitnya, maka ini tidaklah benar. Hal ini harus diingat! Orang yang ingin berkurban dan telah bertekad melaksanakan haji atau umroh, janganlah memotong rambut dan kukunya ketika ihram, sedangkan mencukur atau mengambil sebagian rambutnya karena haji dan umroh, maka itu adalah wajib walaupun orang yang berhaji atau umroh tersebut akan menyembelih kurban, karena mengambil rambut atau mencukur ini adalah nusuk (bagian dari haji atau umroh), sehingga tidak dikenai larangan memotong rambut dan kuku ini. Seorang wanita dibolehkan menyembelih kurbannya langsung. Adapun dugaan orang umum (awam) tentang ketidakbolehan wanita menyembelih tidak ada dasarnya dalam syari’at. Ibnu Qudamah berkata dalam kitab al-Mughni, “Ibnul Mundzir berkata, ‘Semua ulama -yang telah aku hafal- sepakat membolehkan sembelihan oleh wanita dan anak-anak.’”[1] Baca Juga  Perihal Kurban Dan Aqiqah, Kambing Jantan Atau Betina Imam al-Bukhari meriwayatkan satu hadits dengan sanadnya dari Ka’ab bin Malik, beliau berkata:  أَنَّ جَارِيَةً لَهُمْ كَانَتْ تَرْعَى غَنَمًا بِسَلْعٍ فَأَبْصَرَتْ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا مَوْتًا فَكَسَرَتْ حَجَرًا فَذَبَحَتْهَا فَـقَالَ ِلأَهْلِهِ لاَ تَأْكُلـُوا حَتَّى آتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَسْأَلَهُ أَوْ حَتَّى أُرْسِلَ إِلَيْهِ مَنْ يَسْأَلُهُ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ بَعَثَ إِلَيْهِ، فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَكْلِهَا  “Seorang jariyah (budak perempuan) milik mereka menggembalakan kambing di daerah Sil’a, lalu ia melihat seekor kambingnya akan mati. Kemudian ia memecah batu dan menyembelih kambing tersebut. Maka Ka’ab berkata kepada keluarganya: Jangan kalian makan dulu sampai aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya atau sampai diutus orang yang menanyakannya. Lalu sampailah beliau ke Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mengutus seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk memakannya.”  Ada juga orang yang tidak memperhatikan wasiat kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya, lalu menyumbang kurban untuk kerabatnya yang telah meninggal dan tidak menunaikan wasiat mereka. Ini adalah tidak boleh, karena melaksanakan wasiat hukumnya wajib, apabila menambah dan menyumbang dari dirinya, maka tidak mengapa. Kami telah melihat orang yang memiliki tanggung jawab atas wasiat kedua orang tuanya atau salah seorang darinya memenuhi wasiat mereka tersebut dengan berdalih mereka menyumbangkan untuk orang tuanya tersebut setiap tahun seekor kurban atau Hukum ini juga mencakup wasiat kerabat atau yang lainnya. Maka ingatlah hal tersebut. Sebagian orang yang menyembelih kurban, mereka sengaja mengambil sedikit darahnya dan melumurkannya ke tembok dengan anggapan bahwa tembok ini akan menjadi saksi baginya di hari Kiamat dan membiarkan darah tersebut sampai hilang dengan sendirinya. Perbuatan ini tidak ada dalilnya dalam syari’at, bahkan pelakunya dikhawatirkan (menjadi sesat) kalau saja tidak Dewasa ini muncul satu perkembangan baik yang timbul dari solidaritas dan kerjasama kaum muslimin, yaitu pengiriman hewan kurban kepada para pengungsi dan muhajirin kaum musli-min di beberapa negara-negara Islam. Sebagian ulama melarangnya dan sebagian lain membolehkannya dan yang rajih menurut saya, di sana ada perbedaaan antara kurban seorang muslim untuk diri dan keluarganya serta yang telah diwasiatkan kepadanya dengan kurban tabarru[2]. Adapun sembelihan muslim untuk diri dan keluarganya, dan demikian juga yang diwasiatkan dengan ketentuan tempat dan orang yang dibagi yang telah ditentukan, maka menurut saya yang utama adalah tidak dikirimkan dan harus disembelih ditempat orang yang berkurban tersebut. Sedangkan hewan kurban tabarru’, maka perkaranya mudah saja –insya Allah-. Baca Juga  Bagaimana Kurban Bagi Orang Yang Sudah Meninggal? Seandainya perkara ini diserahkan kepada tinjauan mufti sesuai kebutuhan manusia dan yang lebih kuat menurutnya dari prioritas yang ada, maka tentunya hal itu benar.  Seandainya waktu penyembelihan kurban yang sah telah lewat, padahal seorang muslim tersebut memiliki udzur atau udzurnya selalu ada sampai lewat waktu penyembelihan kurban yang sah tersebut, contohnya hewan kurbannya kabur dan tidak ditemukan kecuali setelah lewat waktu penyembelihan atau ia mewakilkan kepada orang lain untuk menyembelihnya, lalu sang wakil tersebut lupa, kemudian orang yang mewakilkan tersebut mengetahui bahwa wakilnya tersebut belum menyembelihnya, maka apakah ia boleh menyembelih (setelah waktu tersebut) dan menjadikan udzur tersebut sebagai pembenar keabsahan kurbannya? Hal ini masih menjadi perselisihan para ulama. Namun, Allah -Ta’ala- telah menghilangkan kesulitan umat ini dan tidak membebankan mereka dengan sesuatu di luar kemampuannya serta mensyari’atkan orang yang tertidur dari shalat atau lupa darinya untuk melaksanakan shalat ketika ingat tanpa ada kaffarat baginya. Jika hewan kurbannya telah ditentukan, maka wajib menunaikannya dan tidak boleh menggagalkannya, serta tidak boleh menggantinya kecuali dengan yang lebih baik. Sedangkan apa yang dilakukan sebagian orang yang membeli hewan kurbannya lalu menjualnya serta meremehkan hal tersebut, maka ini adalah kesalahan yang perlu diperingatkan. Apabila hewan tersebut melahirkan setelah penentuan tersebut, maka hukum anaknya sama dengan hukum induknya. Apabila mati sebelum disembelih, jika disebabkan kecerobohan dari orang yang berkurban, maka ia harus menggantinya, dan jika disebabkan perlakuan orang lain, maka orang tersebut wajib mengganti Namun apabila hilang setelah disembelih atau dicuri, jika disebabkan karena kecerobohannya, maka hendaklah dia mengganti apa yang dishadaqahkan dari hewan tersebut saja, dan bila tidak maka tidak ada kewajiban menggantinya sama sekali. Orang yang mendapatkan pemberian bagian dari hewan kurban atau mendapat shadaqah darinya, maka diperbolehkan menggunakannya sesukanya, baik dijual, dihadiahkan atau dishadaqahkan kembali. Tapi jangan menjualnya kepada orang yang memberinya atau bershadaqah kepa [Disalin dari kitab Ahkaamul ‘Iidain wa ‘Asyri Dzil Hijjah, Penulis Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar. Judul dalam Bahasa Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penerjemah Kholid Syamhudi, Lc. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir] Referensi : https://almanhaj.or.id/18698-perkara-yang-perlu-diingat-dalam-kurban.html

Pertanyaan.
Ketika anak kami lahir, kami tidak mampu melaksanakan aqîqah. Sekarang kami mampu melakukannya, apakah aqîqah wajib bagi kami? Mohon penjelasan. Syukran.

Jawaban.
Aqîqah adalah kambing yang disembelih dengan sebab kelahiran bayi sebagai bentuk syukur kepada Allah Azza wa Jalla. Tentang hukum aqîqah, sebagian Ulama berpendapat hukumnya wajib, sedangkan jumhur (mayoritas) Ulama berpendapat hukumnya mustahab (sunnah). Sedangkan waktu aqîqah, Syaikh Abu Mâlik Kamal Ibnus Sayyid Sâlim berkata, “Menurut Sunnah (Nabi) anak di aqîqahi pada hari ke tujuh (kelahiran) berdasarkan hadits Samurah bin Jundub bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

Setiap bayi tergadai dengan aqîqahnya, disembelihkan (kambing) untuknya pada hari tujuh, kemudian dicukur, dan diberi nama.

Jika tidak bisa hari ke tujuh, maka pada hari ke 14, jika tidak bisa maka pada hari  ke 21. Ini adalah pendapat Hanâbilah (para pengikut Imam Ahmad), pendapat lemah dari Madzhab Mâliki, juga pendapat Ishâq, juga  ada riwayat dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma. Jika dia menyembelih sebelumnya atau sesudahnya, itu mencukupinya (yakni: sah), karena tujuan tercapai dengannya. Syâfi’iyyah menyatakan bahwa aqîqah tidak hilang dengan mengundurkan waktunya, tetapi disukai tidak mengundurkan dari umur baligh. Jika diundurkan sampai baligh hukum aqîqah gugur bagi selain si anak, sedangkan dia (si anak) diberi hak pilih di dalam meng aqîqah dirnya sendiri”. [Shahîh Fiqih Sunnah 2/383]

Maka jawaban kami terhadap pertanyaan anda adalah: anda boleh melakukan aqîqah anak anda setelah memiliki kemampuan, namun hukumnya tidak wajib.

Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


HR. Abu Dâwud, no: 2838; at-Tirmidzi, no: 1522; Ibnu Mâjah, no: 3165; dll. Dishahîhkan oleh al-Hâkim, disetujui oleh Adz-Dzahabi, Syaikh al-Albâni, dan Syaikh Abu Ishâq al-Huwaini di dalam kitab Al-Insyirâh Fî Adabin Nikâh, hlm:97

BAYAR HUTANG DAHULU ATAU AQIQAH?

Pertanyaan.
Ustadz saya mau bertanya, mana yang lebih utama, membayar hutang ataukah mengadakan aqiqah untuk anak yang baru lahir ? Syukran ustadz, Abdullah di Gorontalo

Jawaban.
Jika hutang itu sudah jatuh tempo, maka membayar hutang harus lebih diutamakan daripada mengadakan aqiqah. Karena membayar hutang hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan Ulama’, sedangkan mengadakan aqiqah diperselisihkan, sebagian Ulama’ berpendapat aqiqah itu wajib, sedangkan jumhur (mayoritas) Ulama’ memandang hukumnya sunah. Sedangkan ibadah yang hukumnya wajib itu harus didahulukan daripada yang hukumnya sunnah.

Namun jika hutang itu belum jatuh  tempo, maka aqiqah lebih diutamakan. Karena ibadah yang sudah datang waktunya lebih diutamakan daripada ibadah yang belum datang waktunya. Kesempatan melakukan kebaikan hendaklah segera dimanfaatkan.