1. Para pemegang akidah ini berpegang teguh dengan Kitab Allâh dan Sunnah Rasûl-Nya
Mereka berpegang teguh dengan Kitab Allâh dan Sunnah Rasûl-Nya serta mengimani semua yang datang dalam Kitab Allâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka juga benar-benar meyakini bahwa tidak boleh meninggalkan sesuatupun dari apa yang datang dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Dan memang wajib atas setiap Muslim untuk mengimani dan membenarkan semua yang datang dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sehingga mereka mengimani semua nash yang termuat di dalamnya, misalnya nash yang berisi berita tentang Allâh, asma’ dan sifat-Nya; para nabi-Nya, hari akhir, taqdir dan lainnya. Mereka mengimaninya, baik secara global maupun terperinci. Iman secara global terhadap semua yang Allâh Azza wa Jalla beritakan berupa perkara-perkara iman. Iman secara terperinci terhadap semua yang telah sampai ilmunya kepada mereka dalam Kitab Allâh dan Sunnah Nabi-Nya.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allâh dan Rasûl-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu. [Al-Hujurat/49:15]
Beginilah sikap mereka terhadap semua nash al-Kitab dan as-Sunnah. Mereka menerima dan mengimani semuanya. Sikap mereka adalah seperti yang dikatakan sebagian kaum salaf, “Dari Allâh Azza wa Jalla datangnya risalah; kewajiban Rasûl adalah menyampaikannya; sedangkan kewajiban kita adalah menerimanya.”
Barangsiapa yang berpegang teguh terhadap Kitab Allâh dan Sunnah Nabi-Nya, dengan berpedoman dan berlandaskan pada keduanya, maka keselamatan, istiqâmah dan jauh dari penyelewengan akan menyertainya atas izin Allâh Azza wa Jalla.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Inti yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan; antara petunjuk dan kesesatan, jalan kebahagiaan dan keselamatan dengan jalan kecelakaan dan kebinasaan, adalah dengan menjadikan apa yang dibawa oleh para Rasûl-Nya sebagai kebenaran yang wajib untuk diikuti. Dengannya terwujud pembeda (antara yang hak dan batil), petunjuk, ilmu dan iman. Sehingga ia percaya bahwa itulah al-haq dan kebenaran. Adapun selainnya berupa perkataan seluruh manusia, maka harus ditimbang pada kebenaran tersebut. Jika perkataan itu sesuai dengannya, maka itu benar, namun bila menyelisihinya, maka itu batil. Adapun jika tidak diketahui, apakah itu sesuai dengan kebenaran (yang datang dari Allâh dan Rasûl-Nya) atau tidak, (misalnya-red) karena ucapan tersebut masih bersifat global, sehingga tidak diketahui maksud pemilik ucapan tersebut; atau telah diketahui maksudnya, akan tetapi tidak diketahui apakah (ajaran) Rasûl membenarkannya atau tidak, maka (dalam kondisi seperti ini-red) kita harus menahan diri. Seseorang tidak boleh berbicara kecuali dengan dasar ilmu. Sedangkan ilmu adalah apa yang ditopang oleh dalil; dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[1]
Inilah inti sari jalan yang ditempuh Ahlussunnah wal Jamaah dalam masalah yang agung ini –semoga Allâh merahmati mereka-. Mereka berpedoman pada al-Kitab dan as-Sunnah. Dengan berpedoman seperti ini, mereka berhasil mendapatkan keselamatan dan kekokohan akidah.
Syaikhul Islam rahimahullah sering mengatakan, “Barangsiapa yang memisahkan diri dari dalil, ia akan sesat jalan. Dan tidak ada dalil kecuali apa yang dibawa oleh Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[2]
Ibnu Abil `Izz dalam Syarah al-`Aqîdah Ath-Thahâwiyyah berkata, “Bagaimana mungkin bisa sampai pada ilmu ushul (ilmu prinsip-prinsip agama) tanpa (berpedoman) pada apa yang dibawa oleh Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[3]
Jadi, sikap Ahlussunnah yang berpedoman pada ajaran yang terkandung dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam , merupakan sebab utama kekokohan akidah mereka. Tak ada seorangpun dari Ahlussunnah wal Jamaah –semoga Allâh merahmati mereka- yang merumuskan suatu keyakinan dari dirinya sendiri; atau mendatangkan suatu keyakinan atau agama dari pendapat, perasaan dan pikirannya. Yang biasa melakukan perbuatan seperti itu adalah para pengikut hawa nafsu. Oleh karena itu akidah para pengikut nafsu itu kropos alias tidak kokoh; dan sering terjadi ketidakkonsistenan di tengah mereka, sebagaimana akan dijelaskan nanti insya Allâh Azza wa Jalla .
Adapun ahlussunnah, tak ada seorangpun dari mereka yang menggagas suatu keyakinan dari diri mereka sendiri. Bahkan mereka semua berpedoman dan bersandar pada Kitab Allâh Azza wa Jalla dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Di sini akan kami nukilkan ungkapan yang sangat indah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Beliau rahimahullah berkata, “Keyakinan (i’tiqad dalam akidah) bukanlah dariku, bukan pula dari orang yang lebih senior dariku,[4] akan tetapi keyakinan itu diambil dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Dan apa yang telah menjadi kesepakatan para salaf (pendahulu) umat ini, diambil dari Kitabullah dan dari hadits-hadits riwayat al-Bukhâri, Muslim dan lainnya; berupa hadits-hadits yang telah dikenal dan yang valid dari salaf umat ini.”[5]
Syaikhul Islam juga berkata, “Keyakinan asy-Syâfi’i rahimahullah , dan keyakinan para salaf umat ini; seperti imam Mâlik, ats-Tsauri, al-Auza’i, Ibnul Mubârak, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, yang itu juga keyakinan para masyâyikh yang menjadi panutan seperti al-Fudhail bin Iyâdh, Abu Sulaiman ad-Dârâni, Sahl bin Abdillah at-Tustari dan selain mereka; sesungguhnya tidak ada pertentangan di antara para imam tersebut dan para Ulama semisal mereka dalam hal prinsip-prinsip agama. Demikian pula Abu Hanifah rahimahullah . Sesungguhnya keyakinan yang valid dari Abu Hanifah dalam masalah tauhid, takdir dan semacamnya, sesuai dengan keyakinan para ulama tersebut. Dan keyakinan para ulama tersebut, itulah keyakinan yang dipegang oleh kalangan sahabat dan tabiin yang mengikuti jejak sahabat dengan bijak. Dan itulah yang dikatakan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah.”[6]
Jadi, ini adalah prinsip dasar pertama atau point pertama dari sebab-sebab kokohnya akidah ini dalam diri para pemegangnya; yaitu berpedoman pada al-Kitab dan as-Sunnah. Tanpa berpedoman pada keduanya, tak ada jalan menuju kokohnya akidah. Tanpa itu, tak ada jalan menuju keselamatan dan keistiqamahan.
2. Para Ulama Salaf Meyakini Kitabullah dan as-Sunnah mengandung Akidah yang haq dan Sempurna.
Mereka meyakini bahwa keduanya mengandung akidah yang haq tak ada kekurangan sama sekali dari semua sudut pandang. Sungguh, akidah yang haq sudah sangat jelas dan tanpak terang benderang dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu
yaitu telah sempurna dalam hal akidah, ibadah dan perilaku. Lanjutan ayatnya:
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. [Al-Mâ’idah /5:3]
Telah dijelaskan dalam al-Quran dan as-Sunnah semua hal yang dibutuhkan manusia, baik yang terkait dengan masalah i’tiqad (keyakinan), ibadah, juga mu’amalah (tata cara berinteraksi antar sesama), akhlak dan suluk. Dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِىٌّ قَبْلِى إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
Tidak ada nabi sebelumku melainkan menjadi kewajiban atasnya untuk menunjukkan kebaikan yang ia ketahui kepada umatnya, dan memberi peringatan tentang keburukan yang ia ketahui kepada mereka. [HR. Muslim]
Ketika Ahlussunnah mengimaninya secara sempurna dan mereka benar-benar merasa puas bahwa agama mereka, baik yang terkait akidah, ibadah maupun suluk; itu semua telah dijelaskan dengan sangat gamblang dalam al-Quran dan as-Sunnah, maka mereka memegang teguh itu secara konsekuen dan mereka landaskan segala sesuatunya pada apa yang datang dalam al-Quran dan as-Sunnah secara sempurna. Dalam masalah ini, mereka tidak perlu merujuk kepada selain yang terkandung dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka tegar secara totalitas di atas Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dengan ini terwujudlah bagi mereka keselamatan yang sempurna.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan semua urusan agama ini; baik dalam ushul (pokok) maupun furu’nya (cabang-cabang); baik yang batin (amalan yang terkait hati) maupun lahiriyahnya (terkait amalan yang tampak); baik terkit ilmu maupun pengamalannya. Sungguh, prinsip ini adalah dasar dari semua prinsip ilmu dan iman. Semakin kuat seseorang berpegang dengan prinsip ini, maka semakin berhak dan layak untuk berada dalam kebenaran, baik secara keilmuan maupun penerapannya.”[7]
Yang dimaksud dengan prinsip dasar tersebut adalah berpedoman dan berlandaskan secara sempurna pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena dalam al-Quran dan as-Sunnah telah dijelaskan semua urusan agama, baik dalam bidang akidah, ibadah maupun perilaku (suluk).
Di dalam keduanya telah dijelaskan perkara-perkara rinci yang dianggap remeh terkait adab, seperti adab buang hajat, adab bersuci, adab bermuamalah (berinteraksi antar sesama) dan yang lainnya. Jika masalah-masalah rinci yang terlihat ringan ini dijelaskan dalam al-Quran dan as-Sunnah, lalu apakah mungkin masalah terkait akidah ditinggalkan begitu saja tanpa dijelaskan?!
Ini hal yang mustahil, seperti dinyatakan oleh Imam Darul Hijrah, Mâlik rahimahullah , “Mustahil, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan untuk umat ini segala perkara termasuk masalah buang hajat, sedangkan masalah tauhid tidak Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan kepada mereka!”
Jadi, dalam al-Quran dan as-Sunnah terkandung semua kebaikan, terkandung semua petunjuk, kebenaran, baik dalam hal akidah, ibadah, muamalah maupun akhlak. Dan kadar keselamatan dan keistiqamahan yang diraih oleh seseorang tergantung pada kadar komitmennya untuk berpedoman dan berpegang pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Imam Mâlik rahimahullah , “Sunnah adalah bahtera Nabi Nuh. Barangsiapa menaikinya, maka ia selamat. Dan barangsiapa meninggalkannya, pasti ia akan tenggelam.”
3. Mengembalikan Segala Perbedaan dan Perselisihan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah
Di antara sebab kokohnya akidah dalam diri para pemegangnya adalah bila terjadi perselisihan atau perbedaan atau semacamnya, mereka tidak murujuk pada apapun, selain pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka yakin seyakin-yakinnya, bahwa perselisihan, perbedaan atau yang semacamnya, tidak akan bisa dipecahkan dan ditunntaskan problemnya kecuali dengan bersandarkan pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana yang Allâh firmankan:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An-Nisa’/4:59]
Dan tidak diragukan lagi bahwa orang yang senantiasa berpegang atau bersandar pada kitabullah dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua permasalahan yang diperselisihkan diantara manusia, maka kekokohan dan keselamatan akan selalu menyertainya, tidak terombang-ambing. Dan sebagaimana sudah diketahui bersama, bahwa setiap perselisihan atau perbedaan yang terjadi diantara manusia, sering tidak ada solusi dan pemecahannya kecuali dengan bersandar pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena pendapat dan akal manusia berbeda-beda, sebagaimana cara pandang mereka juga sering berlawanan. Maka tidak ada cara untuk menyelesaikan perselisihan dan keluar dari pertentangan, kecuali bila semua pihak secara tulus dan rela kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini adalah salah satu sebab utama di antara sebab-sebab tegarnya ahlul haq di atas kebenaran.
4. Fitrah Mereka Terjaga
Fitrah adalah nikmat dan anugerah dari Allâh Azza wa Jalla kepada para hamba-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah berkenan memberi anugerah kepada mereka dengan menciptakan mereka semuanya di atas fitrah, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Maka dua orangtuanyalah yang membuatnya menjadi yahudi, nasrani atau majusi. [HR. Al-Bukhâri, no. 1385]
Allâh Azza wa Jalla menciptakan mereka di atas fitrah. Dan fitrah Ahlussunnah akan terus bersih, tidak berubah. Allâh Azza wa Jalla menjaga fitrah mereka sehingga tidak berubah, tidak berganti atau menyimpang. Sedangkan manusia lainnya, fitrah mereka telah terkontaminasi, telah terjamah oleh penyimpangan, dengan kadar yang bervariasi, ada yang sedikit ada pula yang banyak.
Dalam hadits qudsi Allâh Azza wa Jalla berfirman:
خَلَقْتُ عِبَادِى حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ
Aku telah menciptakan para hamba-Ku dalam keadaan lurus semuanya (dalam keadaan muslim; atau siap menerima hidayah-Nya). Dan sesungguhnya syaitan pun mendatangi mereka hingga syaitan pun menggodanya dan memalingkannya dari agama mereka. [HR. Muslim, no. 2365]
Dan dalam al-Quran, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. [Az-Zukhruf /43:37]
Jadi, syaitan dan bala tentaranya memalingkan dan membelokkan manusia dari fitrah mereka.
Karena itulah, di antara sebab kokohnya akidah ini adalah berusaha sungguh-sungguh menjaga fitrah diri. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
(Tetaplah atas) fitrah Allâh yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allâh. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Ar-Rûm/30:30]
Perlu diketahui, bahwa keselamatan fitrah seseorang itu terkait erat dengan selamatnya nara sumber (rujukannya). Bila pemilik fitrah yang bersih ini bersandar dan berlandaskan pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka fitrahnya pun tidak berubah. Namun bila ia menyerahkan fitrahnya pada hawa nafsu yang membinasakan, syubhat yang merusak, dan pendapat-pendapat yang menyeleweng serta merekayasa fitrah hingga jauh dari asalnya, maka fitrahnya pun akan melenceng.
5. Akal Mereka Lurus
Ahlussunnah wal Jamaah adalah orang yang paling bagus akalnya; Pendapat, pikiran, dan manhajnya paling selamat. Mereka mempunyai akal yang unggul nan cemerlang. Mereka tidak melebih-lebihkan, tidak pula menyepelekan akal manusia, tidak seperti pengikut hawa nafsu dan bid’ah.
Di kalangan Ahlussunnah, tidak ada unsur berlebihan (ekstrim) dalam memposisikan akal mereka seperti yang tampak jelas di kalangan ahli kalam dan falsafah serta orang-orang yang setipe dengan manhaj mereka. Yaitu mereka yang menyingkirkan Kitabullah dan Sunnah, lalu secara totalitas menjadikan akal, pikiran, dan pendapatnya sebagai sandaran. Apa yang ia pandang benar menurut akalnya, maka ia akan berpegangan padanya. Adapun kalau ia pandang bertentangan dengan akalnya, iapun akan meninggalkannya, meskipun yang mengatakannya adalah Allâh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebab yang dijadikan sebagai landasan dan pegangan menurutnya adalah apa yang disimpulkan oleh akal dan pendapat mereka.
Padahal sebagaimana telah diketahui, bahwa akal manusia itu tidak sama. Oleh sebab itu, ketika banyak orang berpedoman pada akal, maka itu menjadi sebab maraknya berbagai penyimpangan, karena akal manusia berbeda-beda. Sebagian salaf mengatakan, “Seandainya hawa nafsu itu hanya satu, maka pasti disebut al-haq (kebenaran), akan tetapi hawa nafsu itu bermacam-macam dan beragam.” Demikian pula, kita bisa mengatakan, “Seandainya akal itu satu, maka pasti ia disebut al-haq (kebenaran), akan tetapi akal itu beragam dan bermacam-macam.”
Pengikut hawa nafsu ini lebih mengedepankan akal mereka daripada wahyu yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka menjadikan akal sebagai pedoman dan landasan. Akal menjadi pegangan mereka. Dulu, salah seorang salaf pernah membuat sebagian kalangan mereka tidak berkutik, ketika dikatakan kepada mereka bahwa konsekuensi dari pendapat mereka (yang menetapkan bahwa akal mereka merupakan landasan-red) adalah mereka harus mengatakan: “Aku bersaksi bahwa akalku adalah utusan Allâh”; sebagai ganti dari ucapan: “aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allâh”. Karena yang dijadikan sebagai pegangan dan landasan olehnya adalah akalnya.
Ini salah satu sisi penyimpangan dalam akal yaitu berlebih-lebihan terhadap akal, dan mengangkat status akal melebihi kedudukannya yang semestinya. Di samping itu, ada juga penyimpangan dalam masalah akal yaitu menyepelekan dan menjauhkan peran akal. Ini banyak didapati pada kalangan ahli tasawwuf yang sesat dan tak berilmu; di mana mereka menyingkirkan akal mereka, kemudian atas nama tasawwuf, mereka masuk pada hal-hal yang mereka sebut sebagai jadzb, syathahat[8] atau junun dan semacamnya. Sehingga mereka terjatuh dalam berbagai macam penyimpangan yang begitu buruk, yang tidak bisa diterima akal sehat. Mereka bisa terperosok kedalam hal-hal tersebut karena mereka telah menyingkirkan fungsi akal secara total.
Sedangkan ahlussunnah -semoga Allâh merahmati mereka-merupakan kalangan yang berada di pertengahan. Mereka tidak melampaui batasan akal, namun juga tidak menyingkirkan dan membatalkan peran akal. Mereka menempatkan akal pada batasan dan koridor yang telah ditentukan.
Sebagaimana pendengaran manusia mempunyai batas kemampuanan yang tidak mungkin dilampaui, begitu pula dengan pandangan dan indra lainnya, termasuk akal. Akal punya batasan tertentu. Barangsiapa berusaha untuk memaksa akalnya memasuki area di luar batas kemampuannya, maka ia akan tersesat.
Karena itulah, akal para pengikut Ahlussunnah wal Jamaah tetap sehat dan selamat dari penyimpangan. Karena mereka memberdayagunakan akal mereka pada batasannya yang telah ditentukan, dan tidak mengabaikannya.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. [Ali Imran /3: 190]
Mereka adalah orang-orang yang mempunyai pikiran yang lurus dan akal yang unggul. Mereka menempatkan akal mereka pada batasan dan bidang yang semestinya, tanpa ada unsur pengultusan akal ataupun pengabaian akal, tidak berlebih-lebihan namun juga tidak menyepelekan, tanpa menambah-nambahkan ataupun mengurangi. Ini adalah perkara agung yang merupakan salah satu sebab ahlussunnah tegar di atas kebenaran.
6. Jiwa Ahlussunnah Merasa Sangat Tenteram Dengannya
Semua orang ahlussunnah merasa hatinya tenang, jiwanya tentram bahkan merasa bahagia dengan akidah yang haq yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada mereka. Rasa tenang, tenteram dan bahagia yang dirasakan oleh Ahlussunnah tersebut tidak dirasakan oleh para pengikut hawa nafsu dan mustahil mereka bisa merasakannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allâh. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allâh-lah hati menjadi tenteram. [Ar-Ra’du/13:28]
Tentang perasaan yang dirasakan oleh ahlussunnah terkait akidah haq yang mereka ambil dari al-Qur’an, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitab as-Shawa’iqul Mursalah, “Ketenangan dan kemantapan hati pada sesuatu tidak mungkin terwujud kecuali dengan dilandasi keyakinan (hati terhadap sesuatu itu-red), bahkan itulah (hakikat) keyakinan itu sendiri. Oleh karena itu, engkau dapati hati para Ahlussunnah sangat mantap dan tenang dengan keimanan mereka kepada Allâh, (beriman kepada) Nama-nama-Nya, Sifat-sifat-nya dan perbuatan-Nya juga (beriman kepada) para Malaikat-Nya, dan hari akhir. Mereka tidak ragu dan tidak berselisih dalam masalah itu.”[9]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun Ahlussunnah dan (Ahlul) Hadits, maka tidak didapati dari salah seorang Ulama mereka atau orang awam yang shaleh diantara mereka yang keluar dari akidahnya atau menarik kembali pendapatnya. Mereka adalah kelompok manusia yang paling sabar, meski ditimpa berbagai macam cobaan dan fitnah. Demikianlah kondisi para Nabi dan para pengikut mereka yang terdahulu.”[10]
Abdulhaq al-Isybiili rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah! Bahwa su’ul khatimah (akhir yang buruk) dari akidah ini–semoga Allâh Azza wa Jalla melindungi kita darinya- tidak akan terjadi pada seseorang yang zhahir dan hatinya istiqamah. Ini tidak pernah terdengar, alhamdulillah. Su’ul khatimah hanya terjadi pada orang rusak akidahnya, terus-menerus melakukan dosa besar atau nekat melakukan dosa-dosa besar.”[11]
Inilah diantara faktor yang menyebabkan para pengikut al-haq itu kokoh pendiriannya, jiwa dan hati mereka sangat tenang, tentram dan sangat nyaman.
Jika memang demikian keadaan hati mereka, lantas untuk apa lagi mereka harus beralih dan mencari akidah yang lain ?!!
7. Berpegang Teguh dengan Pemahaman Para as-Salafus Shalih Yaitu Para Sahabat dan Pengikut mereka
Disamping faktor-faktor yang telah disebutkan didepan, ada juga faktor lain yaitu mereka mencukupkan diri dengan pemahaman para Sahabat dan para pengikut mereka dalam memahami nash-nash dan kandungannya. Karena pemahaman manusia bisa jadi salah dan keliru, namun barangsiapa yang menggali agama dari sumber aslinya yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jiwa yang bersih, akal yang sehat dan benar-benar jujur, maka dia benar-benar berhak untuk meraih ilmu, keselamatan dan hikmah. (Mereka itulah para Sahabat-red.) Oleh karena itu, Ahlussunnah selalu berpegang teguh pada pemahaman para Sahabat dalam memahami dalil dan nash.
Imam Sijzi rahimahullah dalam kitab ar-Radd ‘ala Man Ankara al-Harf was Shaut, ketika menjelaskan sifat Ahlussunnah mengatakan, “Mereka adalah kelompok yang konsisten di atas akidah yang dinukil oleh para as-salafus shaleh dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dari para Sahabat Radhiyallahu anhum dalam hal-hal yang tidak ada nash yang jelas dari al-Qur’an dan Hadits, karena mereka adalah para imam panutan. Kita diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka.”[12]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Kamu tidak bisa meraih derajat imam dalam ilmu dan agama seperti (derajat imam yang telah diraih oleh-red) imam Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, juga seperti al-Fudhail, Abu Sulaiman, Ma’ruf al-Kurkhiy, kecuali disebab mereka telah berterus terang bahwa ilmu terbaik mereka adalah ilmu karena mengikuti ilmu para Sahabat dan sebaik-baik amalan mereka adalah amalan yang mengikuti amalan para Sahabat. Mareka juga memandang bahwa para Sahabat g itu mengungguli dalam semua keutamaan.”[13]
Al-Ajurri juga dalam kitab asy-Syari’ah mengatakan, “Tanda yang menunjukkan bahwa seorang itu dikehendaki baik oleh Allâh Azza wa Jalla adalah dia menempuh jalan ini (yaitu berpegang teguh dengan-red) al-Qur’an dan Sunnah serta sunnah para Sahabat g dan a orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, serta mengikuti jejak para Ulama kaum Muslimin di setiap negeri seperti al-Auza’i, Sufyan Tsauri, Malik bin Anas, Syafi’i, Ahmad bin Hambal, al-Qasim bin Sallam, dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka. Juga menjauhi semua pendapat yang dipegangi oleh para Ulama ini”[14]
Ibnu Qutaibah juga berkata, “Seandainya kita ingin pindah dari pendapat ahli hadits (Ahlussunnah) dan membencinya menuju pendapat ahli kalam, maka pasti kita pindah dari persatuan menuju perpecahan, dari kehidupan yang teratur menuju kehidupan yang terbengkalai dan dari suasana damai menuju suasana yang beringas.”[15]
Ini semua menunjukkan bahwa kekokohan itu tidak mungkin diraih kecuali dengan bersandar pada pemahaman salaf shalih secara totalitas. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [An-Nisâ’/4:115]
8. Sikap Tengah-Tengah Tidak Berlebihan Dan Tidak Meremehkan
Ahlussunnah bersikap tengah-tengah tidak berlebih-lebihan dan tidak meremehkan, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. [Al-Baqarah/2:143]
Sikap tengah-tengah mereka maksudnya mereka senantiasa berpegang teguh dan istiqamah di atas al-haq serta menjauhi jalan-jalan menyimpang, baik yang cenderung kepada sikap berlebih-lebihan atau yang cenderung kepada sikap meremehkan. Mereka tetap tegar di jalan itu dengan sebab pertolongan dari Allâh Azza wa Jalla buat mereka. Inilah diantara faktor penting kekokohan akidah mereka.
Tawassuth (sikap tengah-tengah) itu tidak akan mungkin terwujud kecuali dengan berpegang teguh dengan al-haq, tidak menambah juga tidak mengurangi. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
القَصْدَ الْقَصْدَ تَبْلُغُوْا
Hendaklah kalian bersikap yang sedang-sedang, niscaya kalian bisa mencapai (maksud kalian). [HR. Al-Bukhari, no.6463]
(Maksudnya sikap terbaik bagi seseorang yang hendak melakukan perbuatan taat adalah sikap sedang-sedang dan bertahap agar bisa terus-menerus melakukan perbuatan tersebut, tanpa putus, tidak terlalu memaksa diri sampai akhirnya tidak mampu dan berhenti dari perbuatan taat tersebut-red[16])
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Agama Allâh itu antara sikap berlebih-lebihan dan sikap meremehkan. Dan sebaik-baik manusia adalah yang bersikap tengah, lepas dari sikap orang-orang yang meremehkan (urusan agama-red), namun tidak sampai pada sikap berlebih-lebihan. Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan umat ini umat yang tengaj-tengah yaitu umat terbaik yang adil, karena berada diantara