Jumat, 16 September 2022

Kewajiban Kerjasama Mengasuh Anak Bagi Suami Istri, Tertulis di Al-Baqarah 233

Sepasang suami istri, sebut saja Sahil dan Hanna, sudah membangun rumah tangga cukup lama dan dikaruniai beberapa anak. Hanna termasuk tipe istri yang penurut, tidak banyak menuntut dan sangat patuh pada suami. Ia mengerjakan semua pekerjaan rumah, mulai mengasuh anak, membersihkan rumah, memasak dan menyiapkan keperluan suami.  Sebaliknya, saat berada di rumah, Sahil hanya istirahat dan tidak mau membantu mengasuh anak, atau mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Alasannya, itu semua adalah tugas istri.  Suatu hari Hanna dipanggil ke sekolah karena  nilai akademis anaknya merosot tajam.di sekolah dia cenderung tertutup. Sedangkan anak satunya lagi itu sangat nakal di sekolah. Alih-alih menghibur dan mencarikan solusi, suaminya justru menyalahkan Hanna, “Kenapa anak-anak jadi seperti itu? Kamu ini ibu mereka, sudah tugasmu mendidik dan memperhatikan anak-anak. Aku sudah sibuk bekerja, jadi sudah capek untuk mengurusi itu.”  Ya, sayang sekali masih banyak yang beranggapan bahwa mengasuh dan mendidik anak adalah tugas istri semata. Anggapan yang mengatakan “Suami mencari nafkah, istri mengasuh anak” seolah menjadi pakem dalam kehidupan sehari-hari. Tugas mendidik anak hanya dibebankan pada istri. Dan sering kali, saat anak-anak berperilaku menyimpang, maka istrilah yang pertama kali disalahkan karena dianggap tidak becus mendidik anak.  Padahal, ayah dan ibu, kedua-duanya memiliki peran penting dalam mendidik anak, dan dalam membentuk generasi yang baik, sehingga dibutuhkan interaksi dan kerjasama yang baik di antara mereka.  Fenomena Father Hunger  Indonesia saat ini disebut sebagai Fatherless Country, banyak anak yang berayah namun serasa yatim karena kurangnya ikatan antara ayah dengan anak. akibatnya terjadi kerusakan psikologis yang diderita anak-anak karena kehilangan sosok ayah.  Padahal, anak yang dekat dengan ayahnya akan menjadi pribadi yang percaya diri dan mudah beradaptasi dengan lingkungan luar. Karena bagi anak-anak, ayah adalah sosok misterius karena jarang pulang. Namun, ketika seorang ayah bisa menjalankan perannya, maka anak akan menyimpulkan bahwa dunia luar aman baginya.  Stimulus pagi hari, anak akan menjadi lebih termotivasi dengan melihat sosok orang yang membangunkannya. Anak akan merasa lebih bahagia saat ayahnya pun ikut peduli untuk membangunkannya dan mengajaknya shalat bersama.  Tentu, banyak efek negatif dari father hunger’ bila hal itu terjadi, di antaranya; kurang dapat beradaptasi dengan lingkungan luar, kurang percaya diri, mudah tersinggung dan susah dalam mengambil keputusan. Bagi anak perempuan yang kurang kasih sayang dan jauh dai sentuhan pendidikan sosok ayah, ketika beranjak dewasa sangat mudah jatuh cinta dan dirayu oleh laki-laki. Akibatnya dengan mudah akan jatuh ke pelukan laki-laki, menyerahkan diri dan kehormatannya.  Dan jika ia telah menikah, dalam menghadapi masalah rumah tangganya, akan mudah give up, menuntut cerai dengan suami, dan dengan mudah menyimpulkan bahwa semua laki-laki itu tidak baik.  Peran Ayah dalam Pendidikan Anak Versi Alquran  Bila kita menilik ayat-ayat yang bercerita tentang para orang tua yang sedang mendidik anak-anaknya, maka kebanyakan bercerita tentang peran para ayah. Dalam Alquran ada tujuh belas dialog tentang anak, empat belas di antaranya tentang ayah dengan anak. Luqman dan anaknya, Nabi Ibrahim as dengan Nabi Ismail as, Nabi Ibrahim as dengan Nabi Ishak as, Nabi Syuaib as dan anaknya, dan lainnya. Hanya dua dialog dalam Alquran yang bercerita tentang dialog ibu dan anak, saudara Nabi Musa as dan Maryam as dengan Nabi Isa as. Hal tersebut dapat kita lihat seperti dalam surah Lukman, surah Maryam, surah al-Qashash, surah al-Baqarah ayat 132, dan surah Yusuf  ayat 67. Ternyata, proses pendidikan dalam keluarga, yang digambarkan melalui Alqur’an dilakukan oleh para ayah. Tidak ada satu ayat pun yang memotret momen pendidikan dari para ibu, kecuali adanya perintah menyusui. Tentu, hal itu tanpa menafikan tugas amar ma’ruf nahi mungkar yang sifatnya umum, baik untuk laki-laki maupun perempuan.  Dalam surah at-Tahrim ayat 6 disebutkan, “Wahai orang-orang yang beriman, selamatkan diri dan keluarga kalian dari api neraka.” Dalam menafsirkan ayat tersebut, Imam Ali as mengatakan, “Didiklah dan ajarilah mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir]  Mengajar, mengarahkan, dan mendidik anak tak ubahnya usaha untuk mendapatkan surga. Dan, mengabaikan pendidikan anak-anak sama artinya dengan menyebabkan mereka masuk neraka. Dalam ayat tersebut pun seorang suami (ayah) yang diperintahkan untuk menjaga keluarganya (anak dan istrinya) dari api neraka dengan mendidik anak dan istrinya.  Surah Thaha ayat 132 juga menugaskan orang tua, dalam hal ini, ayah untuk memerintahkan anggota keluarga menunaikan shalat. Ayat ini menggunakan kata ganti untuk seorang laki-laki (dzamir mufrad mudzakar),  “Perintahkan kepada keluargamu untuk mendirikan solat dan bersabar dalam mengerjakannya.” Ayat ini juga meminta kesabaran  orang tua  karena dalam pendidikan dan pengasuhan mutlak diperlukan kesabaran dan ketelatenan. Sejarah mencatat, setelah ayat ini turun, Rasulullah saw selalu mendatangi rumah Sayyidah Fathimah as dan Imam Ali as lalu bersabda, “Shalatlah.”  Kisah Lukmanul Hakim juga menunjukkan bahwa seorang ayah bertanggung jawab mengajari anaknya tentang akidah, fikih, dan akhlak. Alquran mengabadikan kisahnya agar bisa diteladani oleh para ayah lainnya.  Lukman memberikan contoh kepada para ayah tentang materi-materi yang harus diajarkan kepada anak-anak, namun ia juga mengajarkan metode dan pola didik yang benar.  Dan ingatlah ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika ia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu adalah benar-benar kezaliman yang besar… Wahai anakku! Sungguh jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau langit, atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahalembut, Mahateliti [QS Lukman:13,16]  Ayat tersebut berkaitan dengan akidah dan keyakinan, yaitu tentang keesaan Allah dan larangan menyekutukan-Nya.  Wahai anakku, dirikanlah solat, perintahkan (manusia) kepada yang ma’ruf dan mencegah (mereka) dari yang mungkar, bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.[QS Lukman:17]  Ayat ini menjelaskan tentang pendidikan fikih dan hukum seperti solat dan amar ma’ruh dan nahi munkar.  Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Dan sederhanakanlah dalam berjalan, dan lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruknya suara ialah suara keledai.” [QS Lukman:18, 19]  Ayat-ayat berikut menyinggung tentang pendidikan akhlak dan etika, yaitu larangan bersikap sombong.  Ungkapan ya bunayya yang diucapkan Lukman dalam memanggil putranya saat mengajari dan mendidiknya, telah mengajarkan kepada para ayah tentang pola ajar dan pola didik yang benar. Ungkapan ya bunayya atau ‘wahai anakku sayang’, mengajarkan bahwa dalam mendidik anak kita harus lakukan dengan penuh kasih sayang dan jauh dari kekerasan. Ajarkan dan didik anak-anak tentang kebaikan dengan cara yang baik. Kenalkan anak-anak tentang keindahan Islam dengan cara yang indah. Artinya, tahap pertama pola asuh dan didik anak ialah dengan kelembutan dan kasih sayang. Adapun hukuman dan lainnya itu adalah solusi terakhir, yang itu pun tetap dilakukan dengan cara yang baik dan cantik.  Di samping itu, hak asuh yang diberikan pada ayah saat suami istri bercerai juga mengisyaratkan pentingnya peranan ayah dalam penddikan anak., Bukan hanya dibebankan pada ibu, tapi kewajiban ayah dan ibu. Masih banyak yang menganggap mengasuh anak adalah tugas seorang istri atau ibu semata. Sementara ayah sudah cukup disibukkan dengan aktivitas mencari nafkah. Benarkah demikian?  Bagi umat Islam, bisa mempelajari tasir Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 233. Dalam ayat tersebut terdapat peringatan tentang pentingnya kerja sama suami istri dalam mengasuh anak.  Artinya: Seseorang tidak dibebani kecuali (menurut) kesanggupannya (dan) janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan janganlah (pula) seorang ayah (dibuat menderita) karena anaknya. Demikian juga bagi ahli waris. Jika mereka berdua hendak menyapih atas kerelaan dan musyawarah mereka berdua, maka mereka tidaklah berdosa…” (Q.S. Al-Baqarah (2): 233)  Tidak Dibebankan Pada Satu Pihak  Dr. Fadihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Qiraah Mubadalah (hal. 70) menjelaskan bahwa ayat tersebut menjelaskan mengenai komitmen untuk tidak saling menyakiti dalam mengurus dan mengasuh anak. Dengan tidak membebankan tanggung jawab hanya pada salah satu pihak.  Berkorban dalam mengurus dan membesarkan anak, dalam ayat ini, juga harus memperhatikan kondisi ibu dan ayah tersebut. Dalam ayat ini, seorang ibu atau ayah tidak boleh menjadi cedera karena anak mereka karena hal itu bisa berdampak pada pola mendidik anak. Untuk itu, diperlukan perencanaan, persiapan, kecermatan, kematangan, dan kemampuan yang prima.  Pemufakatan  Urusan ini juga harus melibatkan kerelaan, kebersamaan, dan permufakatan antara kedua orang tua. Kata “ la turadharra”, secara struktur bahasa Arab adalah redaksi kesalingan (mufa’alah) dan kerja sama (musyarakah). Artinya, di antara dua pihak hendaknya “ tidak saling menyakiti”. Bisa jadi antara suami dan istri, bisa juga antara anak dan orang tua.  Frasa taradhin bainahuma dan tasyawurin, secara struktur bahasa juga menggunakan bentuk kesalingan (mufa’alah), yang berarti saling rela dan saling musyawarah antara suami dan istri. Saling Rela  Saling rela artinya satu sama lain hendaknya berupaya membuat pasangannya mengerti, memahami, menerima, dan merelakan. Begitu pun dirinya (kepada pasangannya) juga dituntut bisa mengerti, memahami, menerima, dan merelakan.  Sementara, saling bermusyawarah mengindikasikan masing-masing pihak, antara suami dan istri, bisa berpendapat sekaligus memberi ruang dan kesempatan agar pasangannya juga bisa berpendapat.  Lebih lanjut, Dr. Faqihuddin menjelaskan bahwa ayat tersebut sarat dengan kata dan kalimat yang menegaskan perspektif kesalingan dan kerja sama antara suami dan istri, begitu juga ayah dan ibu.  Suami Bikin Istri yang Sedang Hamil Menangis, Apa Hukumnya dalam Islam?  Dream - Dukungan suami sangat dibutuhkan bagi istri yang tengah mengandung. Perubahan hormon, fisik dan psikologis membuat ibu hamil jadi lebih sensitif dari biasanya. Hal ini kerap tak disadari oleh para suami.  Ibu juga jadi lebih cemas dan butuh dukungan lebih besar dari biasanya. Kehadiran suami sangat penting untuk membuat ibu merasa tenang, bukan sebaliknya. Sayangnya, pada beberapa kondisi, para calon ayah kurang memahami sehingga memicu konflik dan membuat ibu menangis. Dikutip dari BincangSyariah.com, secara umum, syariat Islam menyerukan kepada para suami agar jangan sampai membuat istri menangis. Dalam QS. An-Nisa [4]: 19, Allah SWT berfirman,  Artinya: Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.  Bersabar  Pada ayat di atas jelas dinyatakan bahwa seorang suami harus senantiasa berbuat baik kepada istrinya dalam segala hal menggunakan standar kepatutan. Syariat juga memerintahkan agar seorang suami bersabar ketika melihat atau menyaksikan sesuatu yang tidak disukainya pada diri seorang istri. Allah SWT menegaskan agar suami menegur istri bukan dengan menghardik, namun dengan mauidzah hasanah, yakni petuah yang baik.  Dalam berbagai kondisi sebenarnya seorang suami dilarang membuat istri menangis karena tangisan perempuan biasanya merupakan perwujudan dari ekspresi dari rasa sakit yang ia rasakan. Larangan ini menjadi semakin kuat ketika seorang istri sedang hamil.

Bukan hanya dibebankan pada ibu, tapi kewajiban ayah dan ibu. Masih banyak yang menganggap mengasuh anak adalah tugas seorang istri atau ibu semata. Sementara ayah sudah cukup disibukkan dengan aktivitas mencari nafkah. Benarkah demikian?

Bagi umat Islam, bisa mempelajari tasir Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 233. Dalam ayat tersebut terdapat peringatan tentang pentingnya kerja sama suami istri dalam mengasuh anak.

Artinya: Seseorang tidak dibebani kecuali (menurut) kesanggupannya (dan) janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan janganlah (pula) seorang ayah (dibuat menderita) karena anaknya. Demikian juga bagi ahli waris. Jika mereka berdua hendak menyapih atas kerelaan dan musyawarah mereka berdua, maka mereka tidaklah berdosa…” (Q.S. Al-Baqarah (2): 233)

Tidak Dibebankan Pada Satu Pihak

Dr. Fadihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Qiraah Mubadalah (hal. 70) menjelaskan bahwa ayat tersebut menjelaskan mengenai komitmen untuk tidak saling menyakiti dalam mengurus dan mengasuh anak. Dengan tidak membebankan tanggung jawab hanya pada salah satu pihak.

Berkorban dalam mengurus dan membesarkan anak, dalam ayat ini, juga harus memperhatikan kondisi ibu dan ayah tersebut. Dalam ayat ini, seorang ibu atau ayah tidak boleh menjadi cedera karena anak mereka karena hal itu bisa berdampak pada pola mendidik anak. Untuk itu, diperlukan perencanaan, persiapan, kecermatan, kematangan, dan kemampuan yang prima.

Pemufakatan

Urusan ini juga harus melibatkan kerelaan, kebersamaan, dan permufakatan antara kedua orang tua. Kata “ la turadharra”, secara struktur bahasa Arab adalah redaksi kesalingan (mufa’alah) dan kerja sama (musyarakah). Artinya, di antara dua pihak hendaknya “ tidak saling menyakiti”. Bisa jadi antara suami dan istri, bisa juga antara anak dan orang tua.

Frasa taradhin bainahuma dan tasyawurin, secara struktur bahasa juga menggunakan bentuk kesalingan (mufa’alah), yang berarti saling rela dan saling musyawarah antara suami dan istri. Saling Rela

Saling rela artinya satu sama lain hendaknya berupaya membuat pasangannya mengerti, memahami, menerima, dan merelakan. Begitu pun dirinya (kepada pasangannya) juga dituntut bisa mengerti, memahami, menerima, dan merelakan.

Sementara, saling bermusyawarah mengindikasikan masing-masing pihak, antara suami dan istri, bisa berpendapat sekaligus memberi ruang dan kesempatan agar pasangannya juga bisa berpendapat.

Lebih lanjut, Dr. Faqihuddin menjelaskan bahwa ayat tersebut sarat dengan kata dan kalimat yang menegaskan perspektif kesalingan dan kerja sama antara suami dan istri, begitu juga ayah dan ibu.  Suami Bikin Istri yang Sedang Hamil Menangis, Apa Hukumnya dalam Islam?

Dream - Dukungan suami sangat dibutuhkan bagi istri yang tengah mengandung. Perubahan hormon, fisik dan psikologis membuat ibu hamil jadi lebih sensitif dari biasanya. Hal ini kerap tak disadari oleh para suami.

Ibu juga jadi lebih cemas dan butuh dukungan lebih besar dari biasanya. Kehadiran suami sangat penting untuk membuat ibu merasa tenang, bukan sebaliknya. Sayangnya, pada beberapa kondisi, para calon ayah kurang memahami sehingga memicu konflik dan membuat ibu menangis. Dikutip dari BincangSyariah.com, secara umum, syariat Islam menyerukan kepada para suami agar jangan sampai membuat istri menangis. Dalam QS. An-Nisa [4]: 19, Allah SWT berfirman,

Artinya: Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

Bersabar

Sepasang suami istri, sebut saja Sahil dan Hanna, sudah membangun rumah tangga cukup lama dan dikaruniai beberapa anak. Hanna termasuk tipe istri yang penurut, tidak banyak menuntut dan sangat patuh pada suami. Ia mengerjakan semua pekerjaan rumah, mulai mengasuh anak, membersihkan rumah, memasak dan menyiapkan keperluan suami.  Sebaliknya, saat berada di rumah, Sahil hanya istirahat dan tidak mau membantu mengasuh anak, atau mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Alasannya, itu semua adalah tugas istri.  Suatu hari Hanna dipanggil ke sekolah karena  nilai akademis anaknya merosot tajam.di sekolah dia cenderung tertutup. Sedangkan anak satunya lagi itu sangat nakal di sekolah. Alih-alih menghibur dan mencarikan solusi, suaminya justru menyalahkan Hanna, “Kenapa anak-anak jadi seperti itu? Kamu ini ibu mereka, sudah tugasmu mendidik dan memperhatikan anak-anak. Aku sudah sibuk bekerja, jadi sudah capek untuk mengurusi itu.”  Ya, sayang sekali masih banyak yang beranggapan bahwa mengasuh dan mendidik anak adalah tugas istri semata. Anggapan yang mengatakan “Suami mencari nafkah, istri mengasuh anak” seolah menjadi pakem dalam kehidupan sehari-hari. Tugas mendidik anak hanya dibebankan pada istri. Dan sering kali, saat anak-anak berperilaku menyimpang, maka istrilah yang pertama kali disalahkan karena dianggap tidak becus mendidik anak.  Padahal, ayah dan ibu, kedua-duanya memiliki peran penting dalam mendidik anak, dan dalam membentuk generasi yang baik, sehingga dibutuhkan interaksi dan kerjasama yang baik di antara mereka.  Fenomena Father Hunger  Indonesia saat ini disebut sebagai Fatherless Country, banyak anak yang berayah namun serasa yatim karena kurangnya ikatan antara ayah dengan anak. akibatnya terjadi kerusakan psikologis yang diderita anak-anak karena kehilangan sosok ayah.  Padahal, anak yang dekat dengan ayahnya akan menjadi pribadi yang percaya diri dan mudah beradaptasi dengan lingkungan luar. Karena bagi anak-anak, ayah adalah sosok misterius karena jarang pulang. Namun, ketika seorang ayah bisa menjalankan perannya, maka anak akan menyimpulkan bahwa dunia luar aman baginya.  Stimulus pagi hari, anak akan menjadi lebih termotivasi dengan melihat sosok orang yang membangunkannya. Anak akan merasa lebih bahagia saat ayahnya pun ikut peduli untuk membangunkannya dan mengajaknya shalat bersama.  Tentu, banyak efek negatif dari father hunger’ bila hal itu terjadi, di antaranya; kurang dapat beradaptasi dengan lingkungan luar, kurang percaya diri, mudah tersinggung dan susah dalam mengambil keputusan. Bagi anak perempuan yang kurang kasih sayang dan jauh dai sentuhan pendidikan sosok ayah, ketika beranjak dewasa sangat mudah jatuh cinta dan dirayu oleh laki-laki. Akibatnya dengan mudah akan jatuh ke pelukan laki-laki, menyerahkan diri dan kehormatannya.  Dan jika ia telah menikah, dalam menghadapi masalah rumah tangganya, akan mudah give up, menuntut cerai dengan suami, dan dengan mudah menyimpulkan bahwa semua laki-laki itu tidak baik.  Peran Ayah dalam Pendidikan Anak Versi Alquran  Bila kita menilik ayat-ayat yang bercerita tentang para orang tua yang sedang mendidik anak-anaknya, maka kebanyakan bercerita tentang peran para ayah. Dalam Alquran ada tujuh belas dialog tentang anak, empat belas di antaranya tentang ayah dengan anak. Luqman dan anaknya, Nabi Ibrahim as dengan Nabi Ismail as, Nabi Ibrahim as dengan Nabi Ishak as, Nabi Syuaib as dan anaknya, dan lainnya. Hanya dua dialog dalam Alquran yang bercerita tentang dialog ibu dan anak, saudara Nabi Musa as dan Maryam as dengan Nabi Isa as. Hal tersebut dapat kita lihat seperti dalam surah Lukman, surah Maryam, surah al-Qashash, surah al-Baqarah ayat 132, dan surah Yusuf  ayat 67. Ternyata, proses pendidikan dalam keluarga, yang digambarkan melalui Alqur’an dilakukan oleh para ayah. Tidak ada satu ayat pun yang memotret momen pendidikan dari para ibu, kecuali adanya perintah menyusui. Tentu, hal itu tanpa menafikan tugas amar ma’ruf nahi mungkar yang sifatnya umum, baik untuk laki-laki maupun perempuan.  Dalam surah at-Tahrim ayat 6 disebutkan, “Wahai orang-orang yang beriman, selamatkan diri dan keluarga kalian dari api neraka.” Dalam menafsirkan ayat tersebut, Imam Ali as mengatakan, “Didiklah dan ajarilah mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir]  Mengajar, mengarahkan, dan mendidik anak tak ubahnya usaha untuk mendapatkan surga. Dan, mengabaikan pendidikan anak-anak sama artinya dengan menyebabkan mereka masuk neraka. Dalam ayat tersebut pun seorang suami (ayah) yang diperintahkan untuk menjaga keluarganya (anak dan istrinya) dari api neraka dengan mendidik anak dan istrinya.  Surah Thaha ayat 132 juga menugaskan orang tua, dalam hal ini, ayah untuk memerintahkan anggota keluarga menunaikan shalat. Ayat ini menggunakan kata ganti untuk seorang laki-laki (dzamir mufrad mudzakar),  “Perintahkan kepada keluargamu untuk mendirikan solat dan bersabar dalam mengerjakannya.” Ayat ini juga meminta kesabaran  orang tua  karena dalam pendidikan dan pengasuhan mutlak diperlukan kesabaran dan ketelatenan. Sejarah mencatat, setelah ayat ini turun, Rasulullah saw selalu mendatangi rumah Sayyidah Fathimah as dan Imam Ali as lalu bersabda, “Shalatlah.”  Kisah Lukmanul Hakim juga menunjukkan bahwa seorang ayah bertanggung jawab mengajari anaknya tentang akidah, fikih, dan akhlak. Alquran mengabadikan kisahnya agar bisa diteladani oleh para ayah lainnya.  Lukman memberikan contoh kepada para ayah tentang materi-materi yang harus diajarkan kepada anak-anak, namun ia juga mengajarkan metode dan pola didik yang benar.  Dan ingatlah ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika ia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu adalah benar-benar kezaliman yang besar… Wahai anakku! Sungguh jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau langit, atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahalembut, Mahateliti [QS Lukman:13,16]  Ayat tersebut berkaitan dengan akidah dan keyakinan, yaitu tentang keesaan Allah dan larangan menyekutukan-Nya.  Wahai anakku, dirikanlah solat, perintahkan (manusia) kepada yang ma’ruf dan mencegah (mereka) dari yang mungkar, bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.[QS Lukman:17]  Ayat ini menjelaskan tentang pendidikan fikih dan hukum seperti solat dan amar ma’ruh dan nahi munkar.  Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Dan sederhanakanlah dalam berjalan, dan lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruknya suara ialah suara keledai.” [QS Lukman:18, 19]  Ayat-ayat berikut menyinggung tentang pendidikan akhlak dan etika, yaitu larangan bersikap sombong.  Ungkapan ya bunayya yang diucapkan Lukman dalam memanggil putranya saat mengajari dan mendidiknya, telah mengajarkan kepada para ayah tentang pola ajar dan pola didik yang benar. Ungkapan ya bunayya atau ‘wahai anakku sayang’, mengajarkan bahwa dalam mendidik anak kita harus lakukan dengan penuh kasih sayang dan jauh dari kekerasan. Ajarkan dan didik anak-anak tentang kebaikan dengan cara yang baik. Kenalkan anak-anak tentang keindahan Islam dengan cara yang indah. Artinya, tahap pertama pola asuh dan didik anak ialah dengan kelembutan dan kasih sayang. Adapun hukuman dan lainnya itu adalah solusi terakhir, yang itu pun tetap dilakukan dengan cara yang baik dan cantik.  Di samping itu, hak asuh yang diberikan pada ayah saat suami istri bercerai juga mengisyaratkan pentingnya peranan ayah dalam penddikan anak., Bukan hanya dibebankan pada ibu, tapi kewajiban ayah dan ibu. Masih banyak yang menganggap mengasuh anak adalah tugas seorang istri atau ibu semata. Sementara ayah sudah cukup disibukkan dengan aktivitas mencari nafkah. Benarkah demikian?  Bagi umat Islam, bisa mempelajari tasir Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 233. Dalam ayat tersebut terdapat peringatan tentang pentingnya kerja sama suami istri dalam mengasuh anak.  Artinya: Seseorang tidak dibebani kecuali (menurut) kesanggupannya (dan) janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan janganlah (pula) seorang ayah (dibuat menderita) karena anaknya. Demikian juga bagi ahli waris. Jika mereka berdua hendak menyapih atas kerelaan dan musyawarah mereka berdua, maka mereka tidaklah berdosa…” (Q.S. Al-Baqarah (2): 233)  Tidak Dibebankan Pada Satu Pihak  Dr. Fadihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Qiraah Mubadalah (hal. 70) menjelaskan bahwa ayat tersebut menjelaskan mengenai komitmen untuk tidak saling menyakiti dalam mengurus dan mengasuh anak. Dengan tidak membebankan tanggung jawab hanya pada salah satu pihak.  Berkorban dalam mengurus dan membesarkan anak, dalam ayat ini, juga harus memperhatikan kondisi ibu dan ayah tersebut. Dalam ayat ini, seorang ibu atau ayah tidak boleh menjadi cedera karena anak mereka karena hal itu bisa berdampak pada pola mendidik anak. Untuk itu, diperlukan perencanaan, persiapan, kecermatan, kematangan, dan kemampuan yang prima.  Pemufakatan  Urusan ini juga harus melibatkan kerelaan, kebersamaan, dan permufakatan antara kedua orang tua. Kata “ la turadharra”, secara struktur bahasa Arab adalah redaksi kesalingan (mufa’alah) dan kerja sama (musyarakah). Artinya, di antara dua pihak hendaknya “ tidak saling menyakiti”. Bisa jadi antara suami dan istri, bisa juga antara anak dan orang tua.  Frasa taradhin bainahuma dan tasyawurin, secara struktur bahasa juga menggunakan bentuk kesalingan (mufa’alah), yang berarti saling rela dan saling musyawarah antara suami dan istri. Saling Rela  Saling rela artinya satu sama lain hendaknya berupaya membuat pasangannya mengerti, memahami, menerima, dan merelakan. Begitu pun dirinya (kepada pasangannya) juga dituntut bisa mengerti, memahami, menerima, dan merelakan.  Sementara, saling bermusyawarah mengindikasikan masing-masing pihak, antara suami dan istri, bisa berpendapat sekaligus memberi ruang dan kesempatan agar pasangannya juga bisa berpendapat.  Lebih lanjut, Dr. Faqihuddin menjelaskan bahwa ayat tersebut sarat dengan kata dan kalimat yang menegaskan perspektif kesalingan dan kerja sama antara suami dan istri, begitu juga ayah dan ibu.  Suami Bikin Istri yang Sedang Hamil Menangis, Apa Hukumnya dalam Islam?  Dream - Dukungan suami sangat dibutuhkan bagi istri yang tengah mengandung. Perubahan hormon, fisik dan psikologis membuat ibu hamil jadi lebih sensitif dari biasanya. Hal ini kerap tak disadari oleh para suami.  Ibu juga jadi lebih cemas dan butuh dukungan lebih besar dari biasanya. Kehadiran suami sangat penting untuk membuat ibu merasa tenang, bukan sebaliknya. Sayangnya, pada beberapa kondisi, para calon ayah kurang memahami sehingga memicu konflik dan membuat ibu menangis. Dikutip dari BincangSyariah.com, secara umum, syariat Islam menyerukan kepada para suami agar jangan sampai membuat istri menangis. Dalam QS. An-Nisa [4]: 19, Allah SWT berfirman,  Artinya: Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.  Bersabar  Pada ayat di atas jelas dinyatakan bahwa seorang suami harus senantiasa berbuat baik kepada istrinya dalam segala hal menggunakan standar kepatutan. Syariat juga memerintahkan agar seorang suami bersabar ketika melihat atau menyaksikan sesuatu yang tidak disukainya pada diri seorang istri. Allah SWT menegaskan agar suami menegur istri bukan dengan menghardik, namun dengan mauidzah hasanah, yakni petuah yang baik.  Dalam berbagai kondisi sebenarnya seorang suami dilarang membuat istri menangis karena tangisan perempuan biasanya merupakan perwujudan dari ekspresi dari rasa sakit yang ia rasakan. Larangan ini menjadi semakin kuat ketika seorang istri sedang hamil. Bukan hanya dibebankan pada ibu, tapi kewajiban ayah dan ibu. Masih banyak yang menganggap mengasuh anak adalah tugas seorang istri atau ibu semata. Sementara ayah sudah cukup disibukkan dengan aktivitas mencari nafkah. Benarkah demikian?  Bagi umat Islam, bisa mempelajari tasir Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 233. Dalam ayat tersebut terdapat peringatan tentang pentingnya kerja sama suami istri dalam mengasuh anak.  Artinya: Seseorang tidak dibebani kecuali (menurut) kesanggupannya (dan) janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan janganlah (pula) seorang ayah (dibuat menderita) karena anaknya. Demikian juga bagi ahli waris. Jika mereka berdua hendak menyapih atas kerelaan dan musyawarah mereka berdua, maka mereka tidaklah berdosa…” (Q.S. Al-Baqarah (2): 233)  Tidak Dibebankan Pada Satu Pihak  Dr. Fadihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Qiraah Mubadalah (hal. 70) menjelaskan bahwa ayat tersebut menjelaskan mengenai komitmen untuk tidak saling menyakiti dalam mengurus dan mengasuh anak. Dengan tidak membebankan tanggung jawab hanya pada salah satu pihak.  Berkorban dalam mengurus dan membesarkan anak, dalam ayat ini, juga harus memperhatikan kondisi ibu dan ayah tersebut. Dalam ayat ini, seorang ibu atau ayah tidak boleh menjadi cedera karena anak mereka karena hal itu bisa berdampak pada pola mendidik anak. Untuk itu, diperlukan perencanaan, persiapan, kecermatan, kematangan, dan kemampuan yang prima.  Pemufakatan  Urusan ini juga harus melibatkan kerelaan, kebersamaan, dan permufakatan antara kedua orang tua. Kata “ la turadharra”, secara struktur bahasa Arab adalah redaksi kesalingan (mufa’alah) dan kerja sama (musyarakah). Artinya, di antara dua pihak hendaknya “ tidak saling menyakiti”. Bisa jadi antara suami dan istri, bisa juga antara anak dan orang tua.  Frasa taradhin bainahuma dan tasyawurin, secara struktur bahasa juga menggunakan bentuk kesalingan (mufa’alah), yang berarti saling rela dan saling musyawarah antara suami dan istri. Saling Rela  Saling rela artinya satu sama lain hendaknya berupaya membuat pasangannya mengerti, memahami, menerima, dan merelakan. Begitu pun dirinya (kepada pasangannya) juga dituntut bisa mengerti, memahami, menerima, dan merelakan.  Sementara, saling bermusyawarah mengindikasikan masing-masing pihak, antara suami dan istri, bisa berpendapat sekaligus memberi ruang dan kesempatan agar pasangannya juga bisa berpendapat.  Lebih lanjut, Dr. Faqihuddin menjelaskan bahwa ayat tersebut sarat dengan kata dan kalimat yang menegaskan perspektif kesalingan dan kerja sama antara suami dan istri, begitu juga ayah dan ibu.  Suami Bikin Istri yang Sedang Hamil Menangis, Apa Hukumnya dalam Islam?  Dream - Dukungan suami sangat dibutuhkan bagi istri yang tengah mengandung. Perubahan hormon, fisik dan psikologis membuat ibu hamil jadi lebih sensitif dari biasanya. Hal ini kerap tak disadari oleh para suami.  Ibu juga jadi lebih cemas dan butuh dukungan lebih besar dari biasanya. Kehadiran suami sangat penting untuk membuat ibu merasa tenang, bukan sebaliknya. Sayangnya, pada beberapa kondisi, para calon ayah kurang memahami sehingga memicu konflik dan membuat ibu menangis. Dikutip dari BincangSyariah.com, secara umum, syariat Islam menyerukan kepada para suami agar jangan sampai membuat istri menangis. Dalam QS. An-Nisa [4]: 19, Allah SWT berfirman,  Artinya: Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.  Bersabar      Pada ayat di atas jelas dinyatakan bahwa seorang suami harus senantiasa berbuat baik kepada istrinya dalam segala hal menggunakan standar kepatutan. Syariat juga memerintahkan agar seorang suami bersabar ketika melihat atau menyaksikan sesuatu yang tidak disukainya pada diri seorang istri. Allah SWT menegaskan agar suami menegur istri bukan dengan menghardik, namun dengan mauidzah hasanah, yakni petuah yang baik.  Dalam berbagai kondisi sebenarnya seorang suami dilarang membuat istri menangis karena tangisan perempuan biasanya merupakan perwujudan dari ekspresi dari rasa sakit yang ia rasakan. Larangan ini menjadi semakin kuat ketika seorang istri sedang hamil.

Pada ayat di atas jelas dinyatakan bahwa seorang suami harus senantiasa berbuat baik kepada istrinya dalam segala hal menggunakan standar kepatutan. Syariat juga memerintahkan agar seorang suami bersabar ketika melihat atau menyaksikan sesuatu yang tidak disukainya pada diri seorang istri. Allah SWT menegaskan agar suami menegur istri bukan dengan menghardik, namun dengan mauidzah hasanah, yakni petuah yang baik.

Dalam berbagai kondisi sebenarnya seorang suami dilarang membuat istri menangis karena tangisan perempuan biasanya merupakan perwujudan dari ekspresi dari rasa sakit yang ia rasakan. Larangan ini menjadi semakin kuat ketika seorang istri sedang hamil.


Referensi : Kewajiban Kerjasama Mengasuh Anak Bagi Suami Istri, Tertulis di Al-Baqarah 233