Durhaka kepada kedua orang tua (‘uququl walidain) artinya ialah tidak menaatinya, memutuskan hubungan dengan keduanya, dan tidak berbuat baik kepada keduanya (Lisanul ‘Arab, karya Ibnul- Manzhur).
Meskipun disebut walidain (kedua orang tua), tetapi durhaka kepada salah seorang di antaranya (ayah atau ibu) tetap tergolong pada anak durhaka. Dalam hadis, ditemukan beberapa penjelasan tentang bentuk-bentuk ‘uququl walidain, di antaranya:
Pertama, mengucapkan perkataan atau melakukan perbuatan yang menyebabkan orang tua bersedih hati, apalagi sampai menangis.
بكاء الوالدين من العقوق
Abdullah bin Umar berkata, “Membuat tangisnya kedua orang tua adalah termasuk durhaka kepadanya “(HR Bukhari).
Tangisan orang tua itu disebabkan tersinggung atau sakitnya hati mereka terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh anaknya. Berbeda halnya ketika mereka meneteskan air mata karena terharu atau bangga, tentu tidak termasuk bentuk kedurhakaan.
Kedua, melaknat kedua orang tua. Rasul SAW bersabda: ولعَن اللهُ مَنْ لعَن والديهِ “… Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.”
Seorang anak yang berani mengeluarkan kata-kata cacian atau mendoakan kejelekan kepada kedua orang tuanya maka Allah akan melaknatnya. Laknat Allah akan membuat hidupnya jauh dari petunjuk-Nya sehingga ia diliputi oleh kegelapan dan kesusahan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Ketiga, mencela orang tua, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sabdanya:
إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ: «يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أَمَّهُ
“Termasuk dosa besar, (yaitu) seseorang mencela dua orang tuanya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah orang yang mencela dua orang tuanya?” Beliau SAW menjawab, “Ya, seseorang mencela bapak orang lain, lalu orang lain itu mencela bapaknya. Seseorang mencela ibu orang lain, lalu orang lain itu mencela ibunya.” (HR al-Bukhari-Muslim).
Keempat, melakukan perbuatan buruk yang membuat orang tuanya marah. Nabi SAW bersabda:
مَن أصْبحَ مُطيعًا لله في والِدَيه أصْبحَ له بابانِ مَفتوحانِ مِن الجنَّة، وإنْ أمسى فمِثْل ذلك، ومَن أصْبحَ عاصيًا لله في والِدَيه أصْبحَ له بابانِ مَفتوحانِ إلى النَّار، وإنْ أمْسى فمِثْل ذلك، وإنْ كان واحدًا فواحدٌ، قال رجل: وإنْ ظَلَماه؟ قال: وإنْ ظَلَماه، وإنْ ظَلَماه، وإنْ ظَلَماه
“… Dan, barangsiapa pagi-pagi membuat marah kedua orang tuanya maka baginya dua pintu yang terbuka menuju neraka, dan jika ia sore-sore berbuat demikian maka baginya seperti itu dan kalau orang tua seorang maka ia mendapatkan satu pintu meskipun keduanya menganiaya, meskipun keduanya menganiaya, meskipun keduanya menganiaya.” (HR Baihaqi).
Hadits ini menjelaskan bahwa seorang anak tidak boleh melakukan hal-hal buruk yang mengundang kemarahan orang tuanya. Setiap orang tua yang baik tentu akan marah jika anaknya melakukan perbuatan buruk, apalagi buruk dalam pandangan agama, seperti berbuat zina, meminum minuman keras, berjudi, dan sebagainya.
Kelima, lebih mementingkan istri daripada orang tua. Jika seorang anak lebih mementingkan istrinya dari pada orang tua, lalu orang tua tersinggung dengan perlakuan itu, maka ia termasuk anak durhaka.
Hal ini dapat dilihat dari kisah Alqamah. Menjelang wafat, ia mengalami kesulitan mengucapkan syahadat saat sakaratul maut, padahal Alqamah adalah ahli ibadah. Ternyata ibunya tidak ridha kepada Alqamah karena ia pernah lebih mementingkan istri daripada ibunya. Karena tidak dimaafkan, Rasul memerintahkan Bilal untuk membakar Alqamah maka hati si ibu pun iba dan tak rela anaknya dibakar di hadapannya. Sang ibu pun ridha dan memaafkan Alqamah lalu Alqamah.
Hampir sebagian besar orang pasti ingin membalas kezaliman tersebut, akan tetapi balasan zalim kepada orang yang zalim bukanlah hal yang baik. Islam telah mengajarkan dan memberikan informasi bagaimana cara membalas orang yang menzalimi kita. Salah satunya adalah dengan memanjatkan doa.
Mengingat pentingnya doa tersebut, berikut ini Merdeka.com merangkum pembahasan tentang doa untuk membalas orang yang menzalimi kita sesuai dengan syariat Islam. Dalil tentang Kezaliman. Sebelum membahas tentang doa untuk membalas orang yang menzalimi kita, maka berikut ini adalah bahasan tentang dalil di dalam Islam yang membahas tentang kezaliman.
Secara bahasa, zalim berarti celaka, sedangkan secara istilah, zalim memiliki arti sebagai sebuah perbuatan yang mencelakakan orang lain dengan menggunakan cara-cara yang tidak sesuai dengan syariat agama Islam. Rasulullah pernah mengajarkan kepada kita untuk takut kepada orang yang zalim. Hal tersebut karena doa orang yang terzalimi merupakan doa yang mustajab. Hal tersebut sesuai dengan hadits Rasulullah.
Artinya: “takutlah dan waspadalah terhadap doa orang yang terzalimi karena tidak ada antara ia dan Allah penghalang (mustajab)” (HR al Bukhari)
Selain itu, hadits lain juga mengatakan bahwa, Rasulullah bersabda “‘Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim dan yang terzalimi!’ Seorang sahabat bertanya: Saya membantunya jika ia terzalimi, tapi jika ia zalim, bagaimana menolongnya?.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Engkau menghalanginya atau mencegahnya dari berbuat zalim, sungguh itulah cara menolongnya” (HR al Bukhari dan Muslim)
Ada beberapa doa yang bisa diamalkan oleh orang yang merasa terzalimi. Ketimbang harus membalas dengan zalim juga, lebih baik Anda membalasnya dengan memanjatkan doa kepada Allah, berikut ini adalah beberapa doa yang dianjurkan untuk dibaca.
1. Doa Pengampunan
Doa pertama adalah doa meminta ampunan bagi orang yang berbuat zalim kepada kita. Berikut ini adalah bacaan dan artinya.
Allahumma’fu ‘amman dhalamani allahumma’fu ‘amman dhalamani allahumma’fu ‘amman dhalamani.
Artinya: “Ya Allah, ampunilah orang yang telah berbuat zalim padaku. Ya Allah, ampunilah orang yang telah berbuat zalim padaku. Ya Allah, ampunilah orang yang telah berbuat zalim padaku.”.
2. Doa Meminta Kesabaran
Doa untuk membalas orang yang menzalimi kita yang kedua adalah doa meminta kesabaran. Berikut ini adalah bacaan dan artinya.
Rabbanaa afrigh ‘alainaa shabran wa tsabbit aqdamana wanshurnaa ‘alal qaumil kaafiriin.
Artinya: "Wahai Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran atas diri kami, dan teguhkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir."
3. Doa Memohon Pertolongan
Doa untuk membalas orang yang menzalimi kita yang ketiga adalah doa untuk memohon pertolongan. Berikut ini adalah bacaan dan artinya.
Hasbiyallahu lidiini, hasbiyallahu lidunyaa, hasbiyallahu liman ahammanii, hasbiyallaahu liman baghaa 'alayya, hasbiyallahu liman kaada nii bisuu-in walaa haula walaa quwwata illaa billah.
Artinya: "Cukuplah Allah (penolong) bagi agamaku, cukuplah Allah (penolong) bagi duniaku, cukuplah Allah (penolong) ku terhadap sesuatu yang menyusahkanku, cukuplah Allah (penolong)ku terhadap orang yang menganiayaku. Cukuplah Allah (penolong)ku terhadap orang yang ingin berbuat jahat kepadaku, tak ada daya dan kekuatan selain dengan pertolongan Allah,".
4. Doa Memohon Ketenangan
Doa untuk membalas orang yang menzalimi kita selanjutnya adalah doa untuk memohon ketenangan. Berikut ini adalah bacaan dan artinya.
Allahumma inni as aluka nafsan bika muthmainnatan tukminu biliqaaika wa tardha bi qadhaika wa taqna’u bi ‘athaika.
Artinya: “Ya Allah aku memohon kepada-Mu jiwa yang merasa tenang kepada-Mu yang yakin akan bertemu dengan-Mu, yang ridho dengan ketetapan-Mu, dan yang merasa cukup dengan pemberian-Mu.”
5. Doa Meminta Perlindungan
Selanjutnya, doa untuk membalas orang yang menzalimi kita adalah dengan berdoa meminta perlindungan kepada Allah. Berikut ini adalah bacaan dan artinya.
Allahumma innii a'uudzu bika min jahdil balaa i wa darkisy syaqaai wa suuil qadlaai wa syamaatatil a'daai
Artinya : "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari pada payah kemalangan, dan jurang kecelakaan dan nasib yang malang, dan ejekan musuh".
6. Doa Meminta Ganti yang Lebih Baik
Selanjutnya, Anda juga bisa meminta ganti yang lebih baik kepada Allah dengan membaca doa sebagai berikut. Doa ini sangat pendek dan mudah untuk dihafal dan diamalkan sehari-hari.
Allahumma ajurni fi mushibati wa akhlifi khaira minha
Artinya: “Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibahku ini dan berilah ganti yang lebih baik daripadanya.”
Istilah buah hati sudah familiar di telinga orang Indonesia dan identik sebagai pengganti kata anak. Hanya, wajar juga kalau ada yang belum tahu arti sebenarnya sebab jarang dipakai di percakapan sehari-hari, cuma di situasi tertentu saja.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, buah berarti bagian tumbuhan yang berasal dari bunga atau putik. Selain itu, buah juga bisa berarti “kata penggolong”, “pokok atau bahan”, hingga “hasil”.
Buah yang juga berarti hasil, jika digabungkan dengan hati alias perasaan batin, maka didapatkan makna “hasil dari perasaan”. Karennya, ungkapan itu cocok diberikan ke anak yang notabene hasil kasih sayang kedua orang tua.Ada juga, lho, ungkapan alternatif untuk anak tersayang. Selain buah hati, bisa juga menyebut anak sebagai buah cinta atau jantung hati karena memiliki muatan makna yang masih sama.
Ibnu taimiyyah berkata: “Mungkin saja pelaku hal-hal yang diharamkan, berupa perbuatan syirik, minum khamer, berjudi, berzina, dan berlaku lalim, mendapatkan beberapa keuntungan dan tujuan. Akan tetapi tatkala kerugian dan kerusakannya lebih banyak dibanding keuntungannya, maka Allah dan Rasul-Nyapun melarangnya. Sebaliknya, banyak dari perintah agama, seperti amal ibadah, jihad, dan menginfakkan harta, kadang kala mengandung kerugian. Akan tetapi karena keuntungannya lebih besar dibanding kerugiannya, maka Allah-pun memerintahkannya.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 1/265, 16/165, & 24/278)
Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petuah kepada umatnya dengan bersabda:
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ. متفق عليه
“(pintu-pintu) Surga itu diselimuti oleh hal-hal yang menyusahkan dan (pintu-pintu) neraka diselimuti oleh segala yang menyenangkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Imam An Nawawi menjelaskan maksud hadits ini dengan berkata: “Tidaklah surga dapat digapai melainkah setelah anda menerjang tabir kesusahan yang menyelimutinya. Sebagaimana neraka tidak akan menjadi nasib anda melainkan setelah anda menerjang tabir syahwat/kesenangan yang menyelimutinya. Demikianlah surga dan neraka ditutupi oleh dua hal tersebut. Maka barang siapa telah menyingkap tabir penutup, niscaya ia akan masuk ke dalam apa yang ada dibelakangnya. Menyingkap tabir penutup surga dengan menerjang kesusahan, dan menyingkap tabir penutup neraka dengan menuruti syahwat.” (Syarah Shahih Muslim oleh Imam An Nawawi 17/165)
Sebagai seorang muslim yang mendapat karunia akal sehat, tentu anda akan memilih surga dengan sedikit menahan rasa sakit dan derita yang senantiasa menyelimuti jalan-jalan surga. Sebagaimana sudah spatutnya bagi anda untuk tidak tergiur dengan secuil kesenangan fana yang menyelimuti jalan-jalan neraka.
Sobat! Dahulu nenek moyang kita berpetuah melalui puisi berikut:
Demikianlah kira-kira petuah nenek moyang kita yang menggambarkan makna hadits di atas.
Selanjutnya terserah anda, apakah anda tergiur sehingga bersenang-senang dahulu lalu selanjutnya bersakit-sakit selamanya, ataukah anda berpikir rasional, sehingga bersakit-sakit dahulu untuk bersenang-senang kemudian dan untuk selama-lamanya? Silahkan tentukan pilihan anda.
Berikut beberapa dampak negatif dari harta haram:
1. Sumber Kemurkaan Allah di Dunia dan Akhirat
Saudaraku! Allah Ta’ala telah melapangkan jalan di depan anda, berbagai pintu rizki halal dibuka selebar-lebarnya untuk anda. Akan tetapi bila anda tetap juga mencari jalan yang berliku dan sempit, maka sudah sepantasnya Allah akan menimpakan kemurkaanya kepada anda di dunia dan akhirat:
كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَلَا تَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِي وَمَن يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِي فَقَدْ هَوَى
“Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia.” (Qs. Thaha: 81)
Pada ayat ini Allah Ta’ala dengan tegas memerintahkan Bani Israil untuk memakan rizki yang baik lagi halal. Sebagaimana Allah melarang mereka dari berbuat melampaui batas dalam urusan rizki, yaitu dengan mencarinya dari jalan-jalan yang haram, dan membelanjakannya dijalan yang haram. Bila mereka melakukan hal itu, maka Allah telah mengancam mereka dengan kemurkaan.
Ibnu Jarir menjelaskan maksud dari kebinasaan yang dimaksud pada ayat ini dengan berkata: “Barang siapa yang telah mendapat ketentuan untuk ditimpa kemurkaan-Ku, maka ia sungguh telah terjerumus dan pasti akan sengsara.” (Tafsir Ibnu Jarir 18/347)
Saudaraku! Coba anda bertanya kepada diri sendiri: Untuk apakah aku bekerja dan mencari harta? Saya yakin jawabannya ialah agar dapat hidup enak dan bahagia. Akan tetapi apa pendapat anda bila ternyata pekerjaan dan penghasilan anda malah menyebabkan anda sengsara? Akankah anda meneruskan pekerjaan dan penghasilan anda itu? Dan apakah perasaan anda bila ternyata harta yag berhasil anda kumpulkan tidak mendatang kebahagian bagi anda malah menyebabkan anda menderita dan sengsara? Renungkan baik-baik saudaraku!
2. Harta Haram Adalah Bara Neraka
Sebagai dampak langsung dari rizki haram ialah akan harta tersebut akan mejadi bara api neraka. Ketahuilah saudaraku, bahwa harta benda anda bila anda peroleh dari jalan yang tidak halal, atau anda tidak menunaikan kewajiban anda padanya, sehingga harta anda menjadi haram, maka harta tersebut akan menjadi alat untuk menyiksa diri anda kelak di hari kiamat.
Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar suara dua orang yang bersengketa di depan rumahnya. Maka beliaupun segera keluar guna mengadili persengketaan mereka berdua. Beliau bersabda kepada mereka:
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ ، وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَىَّ ، وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِى نَحْوَ مَا أَسْمَعُ ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْهُ ، فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ. متفق عليه
“Sesungguhnya aku adalah manusia biasa, sedangkan kalian berdua membawa persengketaan kalian kepadaku. Mungkin saja salah seorang dari kalian lebih lihai dalam membawakan alasannya dibanding lawannya, sehingga akupun memutuskan berdasarkan apa yang aku dengar dari kalian. Maka barang siapa yang sebagian hak saudaranya aku putuskan untuknya, maka hendaknya ia tidak mengambil hak itu; karena sesungguhnya aku telah memotongkan untuknya sebongkah bara api neraka.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan bahwa hak saudara anda yang anda rampas melalui jalur hukum, digambarkan sebagai bongkahan bara api neraka. Coba anda bayangkan, anda anda duduk di hadapan seorang hakim, lalu ia pada saat pembacaan amar putusan, ia memberi anda sebongkah bara api. Mungkinkah anda dengan senang hati dan kedua tangan anda menyambut bara api itu lalu menyimpannya dalam saku atau di dalam rumah anda?
Ibnu Hajar Al Asqalaani menjelaskan bahwa perumpamaan bongkahan bara api ini menggambarkan kepada anda betapa pedihnya siksa yang akan menimpa anda. (Fathul Bari 13/173)
Pada hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bentuk lain dari siksa yang menimpa perampas hak saudaranya:
مَنِ اقْتَطَعَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا طَوَّقَهُ اللَّهُ إِيَّاهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ. رواه مسلم
“Barang siapa yang mengambil sejengkal tanah dengan cara-cara zhalim (tidak dibenarkan), niscaya kelak pada hari kiamat Allah akan mengalungkan kepadanya tanah itu dari tujuh lapis bumi.” (Riwayat Muslim)
Demikianlah, bila akibatnya bila anda merampas hak-hak saudara anda.
Adapun bila harta haram yang anda miliki adalah karena anda tidak menunaikan kewajiban anda padanya, zaitu zakat, maka simaklah siksa yang telah menanti anda:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ {34} يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَـذَا مَا كَنَزْتُمْ لأَنفُسِكُمْ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu di dalam neraka Jahannam, lalu dahi mereka, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya, (lalu dikatakan) kepada mereka: Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan.” (Qs. At Taubah: 34-35)
Ibnu Katsir berkata: “Barang siapa yang mencintai sesuatu dan lebih mendahulukannya dibanding ketaatan kepada Allah, niscaya ia akan disiksa dengannya. Karena orang-orang yang disebutkan pada ayat ini semasa hidupnya di dunia lebih mencintai harta bendanya dibanding keridhaan Allah, di akhirat mereka disiksa dengan hartanya. Sebagaimana halnya Abu Lahab -semoga laknat Allah selalu menimpanya-, dengan dibantu oleh istri tercintanya berusaha sekuat tenaga untuk memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka kelak di hari kiamat, istri tercintanya berbalik turut menyiksa dirinya:
فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ
“Yang di lehernya ada tali dari sabut.” (Qs. Al Lahab: 5). Maksudnya, kelak di neraka istri Abu Lahab itu terus menerus mengumpulkan kayu bakar lalu mencampakkannya kepada suaminya yaitu Abu Lahab. Dengan demikian siksa neraka terasa semakin pedih baginya, karena orang yang paling ia cintai di dunia turut menyiksa dirinya.
Demikian pula halnya dengan harta benda. Harta benda yang begitu disayang oleh para pemiliknya, sehingga mereka enggan menunaikan zakat, maka kelak di hari kiamat, harta itu menjadi alat penyiksa yang paling menyakitkan. Harta benda itu akan dipanaskan lalu para pemiliknya akan dipanggang dengannya. Betapa panasnya api yang ia rasakan kala itu. Dahi, pinggang dan punggungnya akan dipanggang dengannya.” (Tafsir Ibnu Katsir 4/141)
Sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengisahkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً ، فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ، لَهُ زَبِيبَتَانِ، يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ – يَعْنِى شِدْقَيْهِ – ثُمَّ يَقُولُ أَنَا مَالُكَ ، أَنَا كَنْزُكَ. ثُمَّ تَلاَ ولاَ يَحْسِبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ . إلى آخر الآية متفق عليه
“Barang siapa yang telah Allah beri harta kekayaan, lalu ia tidak menunaikan zakatnya, niscaya kelak pada hari kiamat harta kekayaannya akan diwujudkan dalam bentuk ular berkepala botak, di atas kedua matanya terdapat dua titik hitam. Kelak pada hari kiamat, ular itu akan melilit lehernya, lalu dengan rahangnya ular itu menggigit tangannya, Selanjutnya ular itu berkata kepadanya: ‘Aku adalah harta kekayaanmu, aku adalah harta timbunanmu,’ selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Ta’ala:
وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Ali Imran: 180). (Muttafaqun ‘alaih)
Ibnu Hajar Al Asqalaani berkata: “Hikmah dikembalikannya seluruh harta yang pernah ia miliki, padahal hak Allah (zakat) yang wajib ditunaikan hanyalah sebagiannya saja, adalah karena zakat yang harus ditunaikan menyatu dengan seluruh harta dan tidak dapat dibedakan. Ditambah lagi karena harta yang tidak dikeluarkan zakatnya adalah harta yang tidak suci.” (Fathul Bari 3/305)
Saudaraku! ketahuilah bahwa surga adalah tempat segala kebaikan, dan tidak ada kejelekan sedikitpun di dalamnya. Karenanya hendaknya anda senantiasa waspada agar tidak ada sedikitpun dari tubuh anda atau keluarga anda yang tumbuh dari harta haram. Relakah anda bila sebagian dari tubuh anda yang tidak layak masuk surga dan harus masuk neraka?
كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ. رواه الحاكم والبيهقي وصححه الألباني
“Setiap jasad yang tumbuh dari harta haram, maka nerakalah yang lebih tepat menjadi tempatnya.” (Riwayat Al Hakim, Al Baihaqi dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)
3. Harta Haram Biang Petaka di Dunia
Saudaraku! Andai anda memiliki suatu alat elektronik atau kendaraan produk perusahaan A, akankah anda merawat dan mereparasinya dengan cara-cara yang diajarkan oleh perusahaan B?
Coba anda bayangkan, apa yang terjadi bila anda merawat dan mereparasi kendaraan Mercedes Benz anda dengan cara-cara yang dilakukan dan diajarkan oleh kusir pedati atau andong?
Apa penilaian anda terhadap orang yang ingin menjalankan kendaraannya akan ia mengganti bensin dengan seikat rumput atau sepiring nasi, mungkinkah kendaraannya dapat berjalan?
Demikianlah kira-kira gambaran orang yang hendak memakmurkan dunia, menjaga kelestarian ekosistem alam, dan mencegah petaka menimpa dunia dengan cara-cara yang menyelisihi syari’at Allah.
Anda pasti beriman bahwa alam semesta beserta isinya adalah ciptaan Allah, tentu andapun beriman bahwa satu-satunya cara yang tepat untuk memakmurkan dan menjaga kelestariannya ialah dengan mengindahkan syari’at Allah.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang beramal sholeh, baik lelaki maupun perempuan sedangkan ia beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. An Nahl: 97)
Saudaraku! Ketahuilah, banyak dari cara-cara yang kita tempuh dalam mengembangkan dan mengelola harta karunia Allah nyata-nyata melanggar syari’at-Nya. Tidak heran bila kemurkaan Allah Ta’ala sering menghampiri kehidupan kita dan berbagai bencana silih berganti mewarnai hari-hari kita.
Bila dahulu negri kita terkenal dengan negri yang makmur, subur dan aman sentosa, akan tetapi sekarang senantiasa dirundung bencana dan musibah. Bila musin hujan, banjir bandang menghancurkan kehidupan banyak saudara kita, bila kemarau tiba kekeringanpun melanda. Gunung meletus, tanah longsor, bumi memuntahkan isi perutnya, dan harga kebutuhan pokok terus berlari menjauhi kita.
Anda ingin tahu apa sebabnya? Simaklah jawabannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلاَّ أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَؤُنَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ، وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلاَّ مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ وَلَوْلاَ الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا. رواه ابن ماجة والحاكم والبيهقي وحسنه الألباني
“Tidaklah mereka berbuat curang dalam hal takaran dan timbangan melainkan mereka akan ditimpa paceklik, biaya hidup mahal, dan perilaku jahat para penguasa. Dan tidaklah mereka enggan untuk membayar zakat harta mereka, melainkan mereka akan dihalangi dari mendapatkan air hujan dari langit, andailah bukan karena binatang ternak, niscaya mereka tidak akan diberi hujan.” (Riwayat Ibnu Majah, Al Hakim, Al Baihaqi dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albani)
Saudaraku! Apa yang menimpa perekonomian dunia sekarang ini cukuplah menjadi pelajaran bagi anda. Masyarakat dunia sekarang ini begitu ambisi untuk mendapatkan kekayan dengan cara membudi-dayakan riba. Tidak heran bila pada zaman sekarang, anda merasa kesulitan untuk menghindari jaring-jaring riba. Akan tetapi apakah masyarakat dunia sekarang ini dapat menikmati kekayaan mereka yang diperoleh dari praktek-praktek riba?
Berapa banyak konglomerat yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri? Berapa banyak orang kaya yang ditimpa penyakit komplikasi? Berapa banyak orang kaya yang didera masalah di pengadilan? Berapa banyak orang kaya yang tidak berani menikmati kekayaannya, karena takut akan berbagai penyakit dan resiko dari perbuatannya.
Tidak heran bila untuk makan di restoran saja mereka merasa tidak aman, takut kolesterol, gula dan lainnya. Sehingga bila anda perhatikan hidupnya, di rumah ia hanya bisa menikmati pakaian kolor, di ranjang yang mewah ia tidak bisa merasakan indahnya tidur nyenyak, di luar ia takut perampok, dan ketika duduk di meja makan, ia hanya bisa menikmati beberapa gram nasi putih, beberapa lembar sayur-mayur, dan ketika minum ia hanya berani minum air putih, ditambah lagi setelah makan ia harus minum segenggam obat-obatan. Menurut anda, nikmatkah kehidupan semacam ini?
Inilah sebagian dari wujud nyata dari ancaman Allah Ta’ala terhadap para pemakan riba:
يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Qs. Al Baqarah: 276)
(إِنَّ الرِّبَا وَإِنْ كَثُرَ، عَاقِبَتُهُ تَصِيْرُ إِلَى قَلَّ) رواه أحمد الطبراني والحاكم وحسنه الحافظ ابن حجر والألباني
“Sesungguhnya (harta) riba, walaupun banyak jumlahnya, pada akhirnya akan menjadi sedikit.” (Riwayat Imam Ahmad, At Thabrany, Al Hakim dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Ibnu Hajar dan Al Albany)
4. Harta Haram Adalah Jaring-jaring Setan
Bila menempuh jalan-jalan halal dan memakan harta halal adalah syari’at Allah, maka kebalikannya, yaitu menempuh jalan-jalan haram dan memakan harta haram adalah ajaran setan.
Setan berusaha merekrut anda untuk menjadi pengikutnya. Ia berusaha mengekang akal sehat dan iman anda tetesan air liur anda yang mengalir karena tergiur oleh manisnya harta kekayaan dan nikmatnya syahwat dunia.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu.” (Qs. Al Baqarah: 178)
Renungkanlah ayat di atas dengan baik, betapa Allah menjadikan sikap mencukupkan diri dengan makanan halal nan baik sebagai lawan dari langkah-langkah setan.
Saudaraku, tahukah anda apa akibatnya bila anda telah mulai mengikuti langkah-langkah setan? Temukan jawabannya pada firman Allah Ta’ala berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar.Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. An Nur: 21)
Allah Ta’ala menjelaskan bahwa orang yang telah terperangkap oleh jaring-jaring setan sehingga mengikuti jejaknya, maka sesungguhnya setan hanyalah akan menuntunnya kepada perbuatan keji dan mungkar. Bila telah demikian keadaannya, maka ia akan tercebur dalam kubangan perbuatan maksiat dan dosa.
Saudaraku! Coba anda kembali mengoreksi diri anda, mungkin selama ini anda ringan tangan untuk berbuat maksiat dan berat hati bila hendak beramal sholeh, padahal anda telah banyak mendengar nasehat,membaca ayat dan hadits, serta menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah. Walau demikian, ternyata semua itu tak juga dapat mensucikan jiwa dan amalan anda.
Mungkin saja jawaban dari keadaan yang anda hadapi ini adalah pada permasalahan ini. Mungkin saja ada dari sebagian harta kekayaan anda yang harus dibersihkan, sehingga hati andapun dapat disucikan, amalan dan ucapan andapun diridhai Allah.
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Ucapan dan amalan tidak baik adalah pasangan bagi laki-laki tidak baik, dan laki-laki tidak baik adalah pasangan bagi ucapan dan amalan tidak baik (pula). Sedangkan ucapan dan amalan baik adalah pasangan bagi laki-laki baik dan laki-laki baik adalah pasangan bagi ucapan dan amalan baik (pula).” (Qs. An Nur: 26)
Kebanyakan ulama’ ahli tafsir menjelaskan bahwa amalan dan ucapan buruk adalah kebiasaan dari orang-orang yang buruk pula. Sebaliknyapun demikian, amalan dan ucapan baik adalah kebiasaan dari orang-orang baik pula. (Baca Tafsir Ibnu Jarir At Thabari19/142, Tafsir Al Qurthubi 21/211 & Tafsir Ibnu Katsir 6/34)
Saudaraku! Mungkin saja selama ini anda merasa kesusahan dalam mendidik istri dan putra-putra anda? Bila benar, maka mungkin saja sumber permasalahannya adalah nafkah yang selama ini anda berikan kepada mereka. Karenanya alangkah baiknya bila anda kembali mengoreksi asal-usul nafkah yang anda berikan kepada mereka.
5. Harta Haram Penghalang Terkabulnya Doa
Saudaraku, saya yakin anda banyak memanjatkan doa kepada Allah Ta’ala, akan tetapi, coba anda kembali mengamati doa-doa anda, berapakah perbandingan antara doa yang telah dikabulkan dari yang belum? Bila anda merasa pernah berdoa memohon sesuatu kepada Allah akan tetapi anda merasa bahwa doa anda tidak dikabulkan, maka ada baiknya bila anda mencari tahu peyebab tidak terkabulkannya doa anda.
Ketahuilah saudaraku, bahwa diantara hal yang dapat menghalangi terkabulnya doa anda adalah karena anda pernah makan, minum atau mengenakan harta haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ :يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ. وَقَالَ :يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ. ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ. رواه مسلم
“Wahai umat manusia! Sesungguhnya Allah itu baik, sehingga tidaklah akan menerima kecuali yang baik pula. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum mukminin dengan perintah yang telah Ia tujukan kepada para rasul. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan: (Qs. Al Mukminun: 51). Dan Allah juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki-rizki baik yang telah Kami karuniakan kepadamu.” Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seorang lelaki yang bersafar jauh, hingga penampilannya menjadi kusut dan lalu ia menengadahkan kedua tangannya ke langit sambil berkata: ‘Ya Rab, Ya Rab,’ sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dahulu ia diberi makan dari makanan yang haram, maka mana mungkin permohonannya dikabulkan.” (Riwayat Muslim)
Pada lelaki yang dikisahkan berdoa dalam hadits ini terdapat berbagai hal yang dapat mendukung terkabulkannya doa:
- Sedang dalam perjalanan.
- Mengangkat tangan ke langit.
- Bertawassul dengan menyebut salah satu nama Allah Ta’ala.
- Sedang dalam keadaan susah.
Walau demikian halnya, akan tetapi doanya tidak dikabulkan, dan sebabnya ialah rizki haram yang ia makan, minum, kenakan dan yang pernah disuapkan kepadanya semasa ia kanak-kanak.
Saudaraku, anda pasti mengimpikan untuk memiliki anak sholeh yang senantiasa berdoa untuk anda. Dengan demikian walaupun anda telah mati, pahala amal sholeh tetap mengalir kepada anda.
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. رواه مسلم
“Bila anak Adam telah meninggal dunia, niscaya pahala amalannya akan terputus, kecuali dari tiga jenis amalan: shodaqah jariyah, ilmu yang berguna, atau anak shaleh yang senantiasa mendoakannya.” (Riwayat Muslim)
Akan tetapi, apa perasaan anda, andai anda mengetahui bahwa doa anak anda tidak akan pernah dikabulkan Allah? Betapa hancurnya hati anda di saat mengetahui bahwa doa-doa anak keturunan anda tidak mungkin dikabulkan Allah?
Bila anda tidak mengharapkan keadaan itu menimpa anda dan keturunan anda, maka bersikap hati-hatilah dalam urusan harta benda dan nafkah keluarga anda. Jangan sampai ada sesuap nasipun yang masuk ke dalam perut mereka yang berasalkan dari hasil haram.
6. Harta Haram Adalah Biang Kebangkrutan di Hari Kiamat
Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui sahabatnya lalu bertanya kepada mereka: “Tahukah kalian, siapakah sebenarnya orang yang pailit?” Spontan para sahabat menjawab: “Menurut kami orang yang pailit adalah orang yang tidak lagi memiliki uang atau barang.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawaban sahabatnya ini dengan bersabda:
إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ . رواه مسلم
“Sesungguhnya orang yang benar-benar pailit dari umatku ialah orang yang kelak pada hari kiamat datang dengan membawa pahala sholat, puasa dan zakat. Akan tetapi ia datang dalam keadaan telah mencaci ini, menuduh ini, memakan harta ini, menumpahkan darah ini. Sehingga ini diberi tebusan dari pahala amal baiknya, dan inipun diberi tebusan dari pahala amal baiknya. Selanjutnya bila pahala kebaikannya telah sirna padahal tanggungan dosanya belum lunas tertebus, maka diambilkan dari dosa kejelekan mereka, lalu dicampakkan kepadanya, dan akhirnya ia diceburkan ke dalam neraka.” (Riwayat Muslim)
Pada riwayat lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا ، فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ ، فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ. رواه البخاري
“Barang siapa yang pernah melakukan kezhaliman terhadap saudaranya, hendaknya segera ia meminta saudaranya agar memaafkannya sekarang juga, karena kelak (di hari kiamat) tidak ada lagi uang dinar atau dirham (harta benda), dan sebelum sebagian dari pahala kebaikannya diambil guna menebus apa yang pernah ia lakukan terhadap saudaranya. Dan bila ia telah tidak lagi memiliki pahala kebaikan, maka akan diambilkan dari dosa-dosa saudaranya lalu dicampakkan kepadanya.” (Riwayat Bukhari)
Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengisahkan:
يؤخذ بيد العبد أو الأمة فينصب على رؤوس الأولين والآخرين ثم ينادي مناد هذا فلان بن فلان فمن كان له حق ليأت إلى حقه، فتفرح المرأة أن يدور لها الحق على ابنها وأخيها أو على أبيها أو على زوجها ثم قرأ ابن مسعود: فَلاَ أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَتَسَاءلُونَ. المؤمنون 101 . فيقول الرب تعالى للعبد: ائت هؤلاء حقوقهم، فيقول: يا رب فنيت الدنيا فمن أين أوتيهم، فيقول للملائكة: خذوا من أعماله الصالحة فأعطوا لكل إنسان بقدر طلبته، فإن كان ولياً لله فضلت من حسناته مثقال حبة من خردل من خير ضاعفها حتى يدخله بها الجنة، ثم يقرأ: إِنَّ اللّهَ لاَ يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِن تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِن لَّدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا النساء 40 . وإن كان عبداً شقياً، قالت الملائكة، يا رب فنيت حسناته وبقي طالبون، فيقول للملائكة: خذوا من أعمالهم السيئة فأضيفوا إلى سيئاته وصكوا له صكاً إلى النار .
“Kelak pada hari kiamat, setiap hamba akan dihadapkan kepada seluruh makhluk, lalu seorang penyeru berkata: ‘Ini adalah fulan bin fulan, maka barang siapa yang memiliki hak atasnya, hendaknya segera datang.’ Pada saat itu seorang wanita merasa girang bila menyadari bahwa ia memiliki hak atas anaknya, atau saudaranya, atau ayahnya atau suaminya. Selanjutnya Abdullah bin Mas’ud berdalil dengan menyebutkan firman Allah Ta’ala:
فَلاَ أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَتَسَاءلُونَ
“Maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertegur sapa.” (Qs. Al Mukminun: 101). Selanjutnya Allah berfirman kepada hamba itu: ‘Tunaikan hak-hak mereka!’ Hamba itupun menjawab: ‘Wahai Tuhanku, kehidupan dunia telah sirna, darimanakah aku dapat menunaikan hak-hak mereka?’ Maka Allah berfirman kepada para Malaikat: ‘Ambillah dari pahala amalan shalehnya, lalu berikan kepada setiap penuntut haknya sebesar tuntutannya.’ Bila ia adalah seorang wali Allah (banyak beramal shaleh) maka akan tersisa sedikit -sebesar biji sawi- dari pahala amal kebaikannya. Dan pahala yang tersisa itu akan Allah liupat gandakan hingga ia dengan pahala itu dimasukkan ke dalam surga. Lalu Abdullah bin Mas’ud berdalil dengan membaca firman Allah Ta’ala:
إِنَّ اللّهَ لاَ يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِن تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِن لَّدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا .
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarah, dan jika ada kebajikan sebesar zarah, niscaya Allah akan melipat gandakan dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (Qs. An Nisa’: 40). Adapun bila ia adalah seorang hamba yang sengsara (jelek amalannya) maka Malaikat akan berkata: ‘Ya Allah! Pahala amal shalehnya telah sirna, sedangkan orang-orang yang menuntut haknya masih tersisa?’ Maka Allah-pun berfirman kepada pra Malaikat: ‘Ambillah dari dosa amal buruk mereka, lalu tambahkanlah kepada dosa amal buruknya, dan segera campakkanlah ia ke dalam neraka.'” (Riwayat Ibnu Jarir At Thabari 8/363, Al Ahwal oleh Ibnu Abid Dunya 250, dan Hilyatul Auliya’ oleh Abu Nu’aim Al Ashfahaani 4/202)
Saudaraku! Relakah anda bila semua jerih payah anda beribadah kepada Allah Ta’ala, sholat, zakat, puasa haji dan lainnya akan sirna begitu saja karena dijadikan tebusan atas harta orang lain yang anda ambil dengan cara yang tidak benar? Senangkah anda bila anda yang bersusah payah beramal, sedangkan orang lain yang menikmati pahalanya?
Sekali lagi renungkan! Sudikah anda bila orang lain yang berzina, mencuri, merampas harta orang lain, dan berbuat maksiat lainnya, akan tetapi pada akhirnya anda yang menanggung dosanya?
Penutup
Sebagai penutup pertemuan kita kali ini, alangkah baiknya bila anda mengetahui jenis-jenis harta haram. Dengan mengetahui macam-macam harta haram, anda dapat menentukan sikap dengan baik dan benar.
Para ulama’ telah membagi harta haram menjadi dua bagian:
A. Harta haram karena barangnya.
Contoh nyata dari barang haram jenis ini ialah babi, khamer, kucing, anjing, bangkai binatang buas yang bertaring, burung yang berkuku tajam nan kuat, dan lainnya.
Bila harta haram yang anda miliki adalah jenis ini, maka agar anda terbebas dari dosanya dan taubat anda sempurna ialah dengan cara memusnahkannya atau membuangnya. Tidak dibenarkan bagi anda untuk menjualnya, walaupun dahulu untuk memperolehnya anda membelinya dengan harga mahal. Karena bila suatu barang telah diharamkan, maka haram pula hasil penjualannya:
إنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئاً حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah bila telah mengharamkan sesuatu, pasti Ia mengharamkan pula hasil penjualannya.” (Riwayat Imam Ahmad, Al Bukhary dalam kitab At Tarikh Al Kabir, Abu Dawud, Ibnu Hibban, At Thabrany, dan Al Baihaqy dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu. Hadits ini dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Ibnu Hibban dan Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zadul Ma’ad 5/746)
Dan tentang Khamer, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا
“Sesungguhnya Dzat Yang telah mengharamkan untuk meminumnya –yaitu khamer- telah mengharamkan pula penjualannya.” (Riwayat Muslim)
Pada suatu hari Abu Thalhah bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang harta warisan anak yatim yang berupa khamer, beliau menjawab:
أَهْرِقْهَا. قَالَ: أَفَلاَ أَجْعَلُهَا خَلاًّ؟ قَالَ: لاَ. رواه أبو داود والترمذي وحسنه الألباني
“Tumpahkanlah (buanglah)” Abu Thalhah kembali bertanya: ‘Apa tidak lebih baik bila saya membuatnya menjadi cuka?’ Beliau menjawab: ‘Tidak.'” (Riwayat Abu Daawud, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albany)
Saudaraku! bila demikian petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyikapi khamer warisan anak yatim, maka selain mereka tentu lebih layak lagi untuk melakukan sikap yang sama.
Dapat disimpulkan, bahwa berhadapan dengan harta haram jenis pertama ini tidak ada cara bagi anda untuk terbebas dari dosanya selain dengan membuang atau memusnahkannya.
B. Harta haram karena cara memperolehnya.
Bila anda mengambil harta atau hak milik saudara anda tanpa izin darinya alias dengan cara-cara yang tidak dibenarkan, maka harta dan hak itupun haram untuk anda gunakan. Misalnya dari harta haram jenis ini ialah harta hasil riba, atau harta hasil curian, penipuan, dan yang serupa
Dan untuk melepaskan diri dari dosa harta haram ini, anda memiliki dua pilihan solusi:
Solusi Pertama: Mengembalikan kepada pemiliknya.
Simaklah firman Allah Ta’ala tentang solusi melepaskan diri dari riba yang terlanjur anda sepakati dengan saudara anda:
وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Qs. Al Baqarah: 280)
Dan tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di padang Arafah, beliau bersabda:
وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ. رواه مسلم
“Riba jahiliyyah dihapuskan, dan riba pertama yang aku hapuskan ialah riba kami (kabilah kami), yaitu riba Abbas bin Abdul Mutthalib, sesungguhnya ribanya dihapuskan semua.” (Riwayat Imam Muslim)
Dan pada harta saudara anda yang anda ambil tanpa seizinnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَأْخُذْ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيهِ، وفي رواية: مَتَاعَ أَخِيهِ لاَعِبًا أَوْ جَادًّا فَمَنْ أَخَذَ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا إِلَيْهِ. رواه أبو داوج والترمذي وحسنه الألباني
“Janganlah salah seorang darimu mengambil tongkat saudaranya, -pada riwayat lain: barang saudaranya- baik karena bermain-main atau sungguh-sungguh. Dan barang siapa yang terlanjur mengambil tongkat saudaranya, hendaknya ia segera mengembalikan tongkat itu kepadanya.” (Riwayat Abu Dawud, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albani)
Bila barang yang anda ambil terlanjur rusak atau berubah wujud, sedangkan tidak didapatkan gantinya, maka anda dapat menebus harganya.
Solusi Kedua: Meminta maaf kepada pemiliknya.
Bila solusi pertama karena suatu hal tidak dapat anda lakukan , maka anda memiliki soslusi kedua, yaitu meminta maaf kepada pemiliknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا ، فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ ، فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ. رواه البخاري
“Barang siapa yang pernah melakukan kezhaliman terhadap saudaranya, hendaknya segera ia meminta saudaranya agar memaafkannya sekarang juga, karena kelak (di hari kiamat) tidak ada lagi uang dinar atau dirham (harta benda), dan sebelum sebagian dari pahala kebaikannya diambil guna menebus apa yang pernah ia lakukan terhadap saudaranya. Dan bila ia telah tidak lagi memiliki pahala kebaikan, maka akan diambilkan dari dosa-dosa saudaranya lalu dicampakkan kepadanya.” (Riwayat Bukhari)
Demikianlah dua solusi yang dapat anda tempuh guna melepaskan diri dari dosa harta haram.
Semoga apa yang telah dipaparkan di atas berguna bagi kita, bila anda mendapatkan kebenaran maka itu datangnya dari Allah Ta’ala, dan bila terdapat kesalahan atau kekurangan, maka itu datangnya dari kejahilan diri saya dan bisikan setan. Wallahu a’alam bisshawab.
اللَّهُمَّ اكْفِنِا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rizqi-Mu yang halal dari memakan harta yang Engkau haramkan, dan cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu dari mengharapkan uluran tangan selain-Mu.”
Assalamualaikum Ustadz,
Saat ini saya khawatir telah memakan uang haram, baik langsung maupun tidak langsung, padahal saya telah berusaha untuk menghindarinya, namun saya takut tanpa saya sadari telah memakannya.
Saya pernah mendengar dalam suatu Khotbah Jum’at, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa siapa yang memakan barang haram tidak akan diterima ibadahnya selama 40 tahun, tentu saya sangat takut dan pesimis sehingga berfikir akan sia-sia saja untuk memperbanyak ibadah, sementara ini Alhamdulillah saya tetap rajin beribadah meskipun masih khawatir tidak akan diterima (saya takut nanti akan berfikir percuma ibadah kalau tidak diterima).
Pertanyaan saya, Apakah yang harus saya lakukan agar Allah mengampuni saya dari memakan uang haram yang mengakibatkan ibadah saya tidak diterima selama itu ?
Waalaikumussalam Wr Wb
Terdapat hadits yang berbunyi,”Barangsiapa yang memakan sesuap saja dari yang haram maka tidaklah diterima shalatnya sebanyak 40 malam dan tidaklah diterima doanya selama 40 pagi dan setiap daging yang tumbuh dari (sesuatu) yang haram maka api neraka menjadi lebih utama baginya. Sesungguhnya sesuap dari yang haram akan menumbuhkan daging.” (HR. ad Dailami dari Ibnu Masud)
Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits tersebut munkar, tidak dikenal kecuali dari riwayat al Fadhl bin Abdullah. Sementara Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa hadits tersebut maudhu’ (palsu)
Adapun tentang bertaubat dari memakan barang yang diharamkan Allah maka sesungguhnya pintu taubat senantiasa terbuka selama nyawa belum sampai di tenggorokan atau matahari belum terbit dari barat. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawanya belum sampai ke tenggorokan.”
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Musa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: ” Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan senantiasa membuka lebar-lebar tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa pada siang hari dan Allah senantiasa akan membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orng yang berbuat dosa pada malam hari, dan yang demikian terus berlaku hingga matahari terbit dari barat.”
Cukuplah bagi anda melakukan taubat nashuha terhadap perbuatan memakan barang yang diharamkan tersebut dengan memenuhi syarat-syaratnya :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang pernah berbuat aniaya (zhalim) terhadap kehormatan saudaranya atau sesuatu apapun hendaklah dia meminta kehalalannya (maaf) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang ketika itu tidak bermanfaat dinar dan dirham. Jika dia tidak lakukan, maka (nanti pada hari qiyamat) bila dia memiliki amal shalih akan diambil darinya sebanyak kezholimannya. Apabila dia tidak memiliki kebaikan lagi maka keburukan saudaranya yang dizholiminya itu akan diambil lalu ditimpakan kepadanya”
Dan mudah-mudahan dengan taubat yang sungguh-sungguh Allah akan menggantikan keburukan tersebut dengan kebaikan :
إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Artinya : “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqan : 70)
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nuur : 31)
Cinta dan tamak harta merupakan sifat, tabiat dan watak manusia, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan [al-Fajr/89:20]
Usaha yang baik dan halal merupakan hal yang terpuji dalam agama Islam, karena Allâh Azza wa Jalla memerintahkan manusia agar berkerja dan berusaha keras, sebagaimana firman-Nya :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya.Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. [al-Mulk/67:15]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Amr bin al-’Âs,‘Wahai Amr, Nikmat harta yang baik adalah yang dimiliki laki-laki yang shalih’(diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya)
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَا أكَلَ أَحَدٌ طَعَاماً قَطُّ خَيْراً مِنْ أنْ يَأكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِه ، وَإنَّ نَبيَّ الله دَاوُدَ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَأكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
‘Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik daripada memakan hasil jerih payahnya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud Alaihissallam makan dari hasil jerih payahnya sendiri’. [HR. al-Bukhâri]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
لأَنْ يَأخُذَ أحَدُكُمْ أحبُلَهُ ثُمَّ يَأتِيَ الجَبَلَ ، فَيَأْتِيَ بحُزمَةٍ مِنْ حَطَب عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا ، فَيكُفّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَسْألَ النَّاسَ ، أعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ
Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allâh mencukupkan kebutuhan hidupnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi ataupun tidak’[HR. al-Bukhâri]
Allâh Azza wa Jalla menjadikan rasa suka dan cinta terhadap harta sebagai cobaan dan ujian. Karena, Allâh Azza wa Jalla , Dzat yang Mahaagung yang telah menetapkan ketuhanan dan keesaan-Nya dalam ayat-ayat al-Qur’ân kemudian juga mengingatkan bahwa Dialah satu-satunya yang mengatur hukum halal dan haram, satu-satunya Pencipta dan Pemberi rezeki, yang berhak mengatur kehidupan dunia ini. Jadi hak untuk menetapan hukum halal dan haram hanyalah milik-Nya semata.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. [al-Baqarah/2:168]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allâh telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allâh yang kamu beriman kepada-Nya.[al-Mâidah/5:88]
Halalan thayyiban dalam ayat di atas sesuatu yang dihalakan bagi kalian dan bukan diperoleh dengan cara yang diharamkan, seperti merampas, merampok, mencuri, riba, risywah atau sogokan, korupsi, penipuan dan berbagai macam mu’âmalah haram lain.
Thayyiban maksudnya tidak al-khabîts, yakni tidak kotor atau najis, seperti bangkai, daging babi atau anjing, minuman keras dan yang sejenisnya.
Orang-orang yang memiliki harta halal dan mata pencaharian yang halal adalah orang-orang yang paling selamat agamanya, paling tenang hati dan pikirannya, paling lapang dadanya, paling sukses kehidupannya. Kehormatan dan harga diri mereka bersih dan terjaga, rezeki mereka penuh berkah dan citra mereka dimasyarakat selalu indah.
Mencari harta halal dengan cara yang halal adalah sifat mulia yang telah dicerminkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Mereka, para assalafus shâlih juga selalu saling mengingatkan untuk berhati-hati dalam masalah makanan, minuman dan mata pencaharian.
Dari Abi Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أكَلَ طَيِّبًا ، وعَمِلَ فِي سُنَّةٍ ، وَأَمِنَ الناسُ بَوَائِقَهُ ، دَخَلَ الْجَنَّةَ
Barangsiapa mengkonsumsi sesuatu yang baik, melaksanakan sunnah dan masyarakat sekitarnya tidak terganggu dengan keburukannya, maka dia masuk surga’. [HR. Tirmidzi]
Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ، فَلاَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِى طُعْمة
Ada empat hal, bila keempatnya ada pada dirimu, maka segala urusan dunia yang luput darimu tidak akan membahayakanmu : menjaga amanah, berkata benar, akhlak baik dan menjaga urusan makanan’.
SIKAP ORANG-ORANG SHALIH
Banyak sekali potret orang-orang shalih terdahulu sebagai bukti kehati-hatian dan kewaspadaan mereka dalam masalah ini. Diantaranya :
1. Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu . Suatu ketika hamba sahayanya membawa sesuatu makanan dan Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu memakannya. Lalu hamba sahaya itu berkata, “Wahai tuanku, tahukah Anda dari mana makanan ini?” Abu Bakar Radhiyallahu anhu menjawab, ‘Dari mana engkau dapat makanan ini?’ Budak itu menjawab, “Dahulu saya pernah berlagak seperti orang pintar (dukun), padahal saya tidak pandai ilmu perdukunan. Saya hanya menipunya. Lalu (di kemudian hari) dia menjumpaiku dan memberikan upah kepadaku. Makanan yang tadi Anda makan adalah bagian pemberian tersebut.” Mendengar hal itu Abu Bakar Radhiyallahu anhu langsung memasukkan jari-jarinya ke mulutnya sampai ia memuntahkan semua makanan yang baru beliau makan.
2. Suatu ketika Umar Radhiyallahu anhu diberi minum susu dan beliau Radhiyallahu anhu begitu senang. Kemudian beliau Radhiyallahu anhu bertanya kepada orang yang memberinya minum, “Dari manakah engkau mendapatkan susu ini?” Orang itu menjawab, ‘Aku berjalan melewati seekor unta sedekah, sementara mereka sedang berada dekat dengan sumber air. Lalu aku mengambil air susunya.’ Mendengar cerita orang itu, seketika itu pula Umar Radhiyallahu anhu memasukkan jari ke mulutnya agar ia memuntahkan susu yang baru diminumnya.
3. Kisah seorang wanita shalihah yang menasehati suami tercintanya dengan ucapannya, “Wahai suamiku! Bertakwalah engkau kepada Allâh saat mencari rezeki untuk kami! Karena sesungguhnya kami mampu menahan lapar dan dahaga, akan tetepi kami tak akan mampu menahan panas api neraka.”
Begitulah sikap wara’ orang-orang shalih, dalam rangka menjaga agama mereka, merealisasikan ketakwaan mereka serta menjauhkan diri-diri mereka dari perkara-perkara syubhat (yang tidak jelas).
Lalu bagaimanakah nasib mereka yang dengan sengaja mencari yang haram untuk mengisi perutnya sendiri dan memenuhi kebutuhan keluarganya?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman, yang saat itu seseorang tidak peduli lagi dari mana dia mendapatkan harta, apakah dari jalan halal ataukah yang haram’. [HR. al-Bukhâri]
Rakus dan tamak terhadap dunia, mengekor kepada syahwat dan tamak akan rezeki serta melupakan hari perhitungan menjadikan manusia terbuai untuk memburu angan-angan gemerlap dan kelezatan dunia tanpa memperhatikan sumber penghasilan dan usahanya.
Dari Khudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berkata, “Kemarilah kalian semua!’ Kemudian para shahabat beliau menghampirinya dan duduk menghadapnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,‘Ini ada utusan Allâh malaikat Jibril. Ia membisikkan ke dalam benakku bahwa satu jiwa tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya sekalipun rezekinya terlambat datang kepadanya. Karena itu, hendaklah kamu bertakwa kepada Allâh dan lakukanlah usaha dengan cara yang baik! Janganlah kedatangan rezeki yang terlambat menyeretmu untuk bermaksiat kepada Allâh Azza wa Jalla , karena apa yang ada di sisi Allâh hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya.” [HR. Bazzâr dalam Musnadnya dengan sanad yang shahih]
Kalimat أجملوا في الطلب (lakukanlah usaha dengan cara yang baik!) dalam hadits di atas maksudnya adalah usaha mencari rezeki agar memperoleh pendapatan dunia.
PENGARUH MAKANAN HARAM
Adakalanya seorang Muslim bersungguh-sungguh dalam melakukan amal shalih akan tetapi ia memandang remeh dan kurang peduli dengan masalah mengkonsumsi harta yang haram, padahal akibatnya sangat fatal. Orang seperti ini akan rugi di dunia dan di akhirat. Amal ibadahnya tertolak, doanya tidak akan diijabahi (tidak dikabulkan oleh Allâh Azza wa Jalla) dan harta serta usahanya tidak akan diberkahi.
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla baik dan Dia tidak akan menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allâh telah memerintahkan kepada orang-orang Mukmin dengan apa yang telah diperintahkan kepada para Rasul. sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Wahai sekalian para Rasul, makanlah yang baik-baik dan beramal shalihlah, sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan [al-Mukminûn/23:51]
Allâh juga berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik dari rezeki yang Kami berikan kepada kalian”[al-Baqarah/2:172].
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan perihal seorang lelaki yang sedang melakukan safar (perjalanan jauh), yang berambut kusut, kusam dan berdebu, yang menadahkan tangan ke langit lalu berdoa: Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!… Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dia dikenyangkan dengan makanan yang haram, maka bagaimana bisa doa dikabulkan? [HR. Muslim]
Oleh sebab itu, sedekah dari harta yang haram akan tertolak dan tidak diterima. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةً بِغَيْرِ طَهُورٍ ، وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ
Allâh tidak akan menerima shalat seseorang tanpa berwudlu (bersuci), dan tidak akan menerima sedekah dengan harta ghulul (curian/korupsi) [HR. Muslim]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَدَّيْتَ زَكَاةَ مَالِكَ فَقَدْ قَضَيْتَ مَا عَلَيْكَ، وَمَنْ جَمَعَ مَالًا حَرَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ مِنْهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهِ أَجْرٌ وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ
‘Jika engkau telah menunaikan zakat hartamu maka engkau telah melaksanakan kewajiban dan barang siapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya’. [HR. Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân dalam Shahihnya]
Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ
Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram. [HR. Ibn Hibban dalam Shahîhnya]
Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdabda :
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحتٍ إلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَولَى بِهِ
Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali neraka lebih utama atasnya. [HR. Tirmidzi]
Kata السحت dalam hadits di atas maksudnya adalah semua yang haram dalam segala bentuk dan macamnya, seperti hasil riba, hasil sogokan, mengambil harta anak yatim dan hasil dari berbagai bisnis yang diharamkan syari’at.
Hendaklah setiap individu Muslim selalu ingat, bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menanyakan di hari Kiamat tentang harta masing-masing orang, dari mana ia memperolehnya dan kemana ia infakkan? Sebuah pertanyaan untuk sebuah penegasan dan penghitungan, yang kemudian diiringi balasan dah hukuman yang adil.
Baca Juga Menghilangkan Uang Ribawi Disyaratkan Mengambilnya dari Uang di Bank?
Maka barangsiapa melatih dirinya agar memiliki sifat takwa, wara’ (menahan dari yang haram), ‘iffah (menjaga kehormatan), qanâ’ah (merasa cukup dengan yang ada dan halal) serta menjadi orang senantiasa melakukan introspeksi diri, maka sifat itu akan menjadi tabiat dan karakternya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا
Katakanlah! “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” [an-Nisâ’/4:7]
Dari Khaulah al-Anshâriyah Radhiyallahu anha bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ رِجَالًا يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمْ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya ada sebagian orang yang mengambil harta milik Allâh bukan dengan cara yang haq, sehingga mereka akan mendapatkan neraka pada hari Kiamat’ [HR. al-Bukhâri]
GHULUL, DOSA BESAR YANG DIREMEHKAN
Diantara dosa besar yang dianggap sepele oleh sebagian besar masyarakat adalah al-ghulûl. al-Ghulûl maksudnya mengambil sesuatu yang bukan miliknya dari harta bersama, atau memanfaatkan barang-barang inventaris kantor untuk kepentingan pribadi atau keluarganya bukan untuk kepentingan umum. Prilaku seperti ini termasuk perbuatan zhalim yang berat bisa menyeret masyarakat pada kerusakan, terutama pelakunya. Pelaku tindak kezhaliman ini terancam hukuman yang keras di dunia dan juga di akhirat, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’ân. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu” [ali Imrân/3:161]
Dari Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mempekerjakan seseorang dari kabilah al-Azdi yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Setelah bekerja ia datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Ini untuk Anda dan yang ini untukku, aku diberi hadiahkan. Mendengar ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar seraya bersabda :‘Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, ‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku!’ Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan melihat, apakah ia diberi hadiah ataukah tidak? Demi Allâh Azza wa Jalla , tidaklah seseorang datang dengan mengambil sesuatu dari yang tidak benar melainkan ia akan datang dengannya pada hari Kiamat, lalu dia akan memikulnya di lehernya. (Jika yang ia ambil adalah) unta, maka akan keluar suara unta. Jika sapi, maka akan keluar suara sapi; Jika kambing, maka akan keluar suara kambing.
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami bisa melihat putih kedua ketiak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, ‘Wahai Allâh! Aku telah menyampaikannya?’[HR. al-Bukhâri dan Muslim]
Dari Buraidah Radhiyallahu anhu , dia mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam barsabda, “Barangsiapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah), maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulûl (pengkhianatan, korupsi atau penipuan)’. [HR. Abu Daud]
Permasalahannya, bukan pada banyak atau sedikitnya barang yang diambil, akan tetapi ini merupakan asas atau sendi, juga merupakan aturan agama yang mereka anut, serta akhlak yang menghiasi diri mereka serta amanah yang wajib mereka tunaikan. Jika virus ghulûl (korupsi) dibiarkan, maka dia akan membesar. Orang yang sudah terbiasa mengambil suatu yang kecil, suatu ketika dia akan berani mengambil sesuatu yang lebih besar.
Jika ghulûl (mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya) sudah menjadi hal jamak atau lumrah pada sebuah masyarakat, dimana si pelaku tanpa rasa sungkan dan malu mengambil harta yang bukan haknya, itu artinya akhlak yang hina ini telah tersebar di kalangan mereka. Padahal setiap akhlak tercela itu menyeret pelakunya pada prilaku yang lebih buruk sehingga terjebak dalam sebuah rangkaian perbuatan maksiat yang terus-menerus merusak hati dan menghancurkan moral serta membangkitkan egois. Semua ini akan menyeret seseorang untuk berbuat zhalim, menyulut rasa dengki dan mengakibatkan perpecahan.
Kerusakan pada managemen kantor dan keuangan bisa juga memberikan dampak negatif pada masyarakat, keterpurukan akhlak, kemiskinan serta kerusakan agama mereka, juga membuka peluang untuk berbuat korup dan merebaknya budaya sogok. Sehingga sering terdengar, banyak orang yang tidak bisa mendapatkan hak kecuali dengan sogok.
Kalau amanah sudah ditinggalkan maka banyak hak yang terabaikan, keadilan akan melemah, kezhaliman merajalela, rasa aman hilang dan masyarakat dilanda ketakutan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam harits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’. Dan Ibn Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Yang pertama kali hilang dari agamamu adalah amanah.”
Kita diperintahkan untuk memakan yang halal dan menjauhi yang haram sebagaimana dalam doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi, no. 3563; Ahmad, 1:153; dan Al-Hakim, 1:538. Hadits ini dinilai hasan menurut At-Tirmidzi. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy menyetujui hasannya hadits ini sebagaimana dalam Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2:509-510).
Dan ingat rezeki yang halal walau sedikit itu pasti lebih berkah. Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin Taimiyyah Al-Harrani (661-728 H) rahimahullah pernah berkata,
وَالْقَلِيلُ مِنْ الْحَلَالِ يُبَارَكُ فِيهِ وَالْحَرَامُ الْكَثِيرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ اللَّهُ تَعَالَى
“Sedikit dari yang halal itu lebih bawa berkah di dalamnya. Sedangkan yang haram yang jumlahnya banyak hanya cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646)
Dalam mencari rezeki, kebanyakan kita mencarinya asalkan dapat, namun tidak peduli halal dan haramnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari sudah mengatakan,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Akhirnya ada yang jadi budak dunia. Pokoknya dunia diperoleh tanpa pernah peduli aturan. Inilah mereka yang disebut dalam hadits,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Celakalah wahai budak dinar, dirham, qothifah (pakaian yang memiliki beludru), khomishoh (pakaian berwarna hitam dan ada bintik-bintik merah). Jika ia diberi, maka ia rida. Jika ia tidak diberi, maka ia tidak rida.” (HR. Bukhari, no. 2886, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Lantas Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
وَهَذَا هُوَ عَبْدُ هَذِهِ الْأُمُورِ فَلَوْ طَلَبَهَا مِنْ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ إذَا أَعْطَاهُ إيَّاهَا رَضِيَ ؛ وَإِذَا مَنَعَهُ إيَّاهَا سَخِطَ وَإِنَّمَا عَبْدُ اللَّهِ مَنْ يُرْضِيهِ مَا يُرْضِي اللَّهَ ؛ وَيُسْخِطُهُ مَا يُسْخِطُ اللَّهَ ؛ وَيُحِبُّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَيُبْغِضُ مَا أَبْغَضَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
“Inilah yang namanya budak harta-harta tadi. Jika ia memintanya dari Allah dan Allah memberinya, ia pun rida. Namun ketika Allah tidak memberinya, ia pun murka. ‘Abdullah (hamba Allah) adalah orang yang rida terhadap apa yang Allah ridai, dan ia murka terhadap apa yang Allah murkai, cinta terhadap apa yang Allah dan Rasul-nya cintai serta benci terhadap apa yang Allah dan Rasul-Nya benci.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:190)
Ada pula yang masih peka hatinya namun kurang mendalami halal dan haram. Yang kedua ini disuruh untuk belajar muamalah terkait hal halal dan haram.
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,
مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ
“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan,
لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا
“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.” (Lihat Mughni Al-Muhtaj, 6:310)
Kalau halal-haram tidak diperhatikan, dampak jeleknya begitu luar biasa. Kali ini kita akan lihat apa saja dampak dari harta haram.
Pertama: Memakan harta haram berarti mendurhakai Allah dan mengikuti langkah setan.
Dalam surah Al-Baqarah disebutkan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Badai’ Al-Fawaid (3:381-385), ada beberapa langkah setan dalam menyesatkan manusia, jika langkah pertama tidak bisa, maka akan beralih pada langkah selanjutnya dan seterusnya:
Langkah pertama: Diajak pada kekafiran, kesyirikan, serta memusuhi Allah dan Rasul-Nya.
Langkah kedua: Diajak pada amalan yang tidak ada tuntunan (bidah).
Langkah ketiga: Diajak pada dosa besar (al-kabair).
Langkah keempat: Diajak dalam dosa kecil (ash-shaghair).
Langkah kelima: Disibukkan dengan perkara mubah (yang sifatnya boleh, tidak ada pahala dan tidak ada sanksi di dalamnya) hingga berlebihan.
Langkah keenam: Disibukkan dalam amalan yang kurang afdal, padahal ada amalan yang lebih afdal.
Kedua: Akan membuat kurang semangat dalam beramal saleh
Dalam ayat disebutkan,
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thayyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51). Yang dimaksud dengan makan yang thayyib di sini adalah makan yang halal sebagaimana disebutkan oleh Sa’id bin Jubair dan Adh-Dhahak. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 5:462.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush sholaatu was salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal saleh. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah yang menyemangati melakukan amal saleh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:462).
Ketiga: Memakan harta haram adalah kebiasaan buruk orang Yahudi.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah: 62-63)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa rabbaniyyun adalah para ulama yang menjadi pelayan melayani rakyatnya. Sedangkan ahbar hanyalah sebagai ulama. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:429.
Ayat berikut membicarakan kebiasaan Yahudi yang memakan riba,
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرً, وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 160-161)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah telah melarang riba pada kaum Yahudi, namun mereka menerjangnya dan mereka memakan riba tersebut. Mereka pun melakukan pengelabuan untuk bisa menerjang riba. Itulah yang dilakukan mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:273).
Siapa yang mengambil riba bahkan melakukan tipu daya dan akal-akalan supaya riba itu menjadi halal, berarti ia telah mengikuti jejak kaum Yahudi. Dan inilah yang sudah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?” (HR. Bukhari, no. 7319)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim, no. 2669).
Ibnu Taimiyah menjelaskan, tidak diragukan lagi bahwa umat Islam ada yang kelak akan mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara. Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 27: 286.
Keempat: Badan yang tumbuh dari harta yang haram akan berhak disentuh api neraka.
Yang pernah dinasihati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Ka’ab,
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Kelima: Doa sulit dikabulkan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا} وَقَالَ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌوَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَه
‘Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (thayyib), tidak menerima kecuali yang baik (thayyib). Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.” (HR. Muslim, no. 1015)
Empat sebab terkabulnya doa sudah ada pada orang ini yaitu:
- Keadaan dalam perjalanan jauh (safar).
- Meminta dalam keadaan sangat butuh (genting).
- Menengadahkan tangan ke langit.
- Memanggil Allah dengan panggilan “Yaa Rabbii” (wahai Rabb-ku) atau memuji Allah dengan menyebut nama dan sifat-Nya, misalnya: “Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam” (wahai Rabb yang memiliki keagungan dan kemuliaan), “Yaa Mujiibas Saa’iliin” (wahai Rabb yang Mengabulkan doa orang yang meminta kepada-Mu), dan lain-lain.
Namun dikarenakan harta haram membuat doanya sulit terkabul.
Keenam: Harta haram membuat kaum muslimin jadi mundur dan hina
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah (salah satu transaksi riba), mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud, no. 3462. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9:242).
Ketujuh: Karena harta haram banyak musibah dan bencana terjadi
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al-Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Imam Adz-Dzahabi mengatakan, hadits ini shahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighairi sebagaimana disebut dalam Shahih At-Targhib wa Tarhib, no. 1859).
Sabar Dalam Menghadapi Kesulitan Hidup
Tanda Allah Swt sayang pada hambanya tidak selalu memberikan hal – hal yang menyenangkan dari sisi dunia. Melainkan Allah memberikan apapun yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan. Meskipun anda sedang diberikan cobaan, hindari suudzon terhadap Allah. Karena semua yang diberikan Allah kepada anda adalah terbaik bagi anda.
Pada artikel kali ini saya akan membahas mengenai tanda Allah sayang pada hambanya yang akan diulas lebih dalam lagi, yuk kita simak bersama – sama penjelasan di bawah ini :
1. Memberikan Cobaan, Ujian dan Musibah Kepada Anda
Cobaan yang diberikan Allah kepada anda merupakan salah satu cara yang ditunjukkannya sebagai bentuk kasih sayang agar kita bisa bersabar menghadapi musibah dalam islam. Karena jika anda lulus, maka Allah akan memberikan bonus dengan meningkatkan derajat anda dihadapan – Nya.
Jangan berpikir bahwa hamba yang diberikan cobaan terus menerus artinya Allah membencinya. Justru hamba yang diberikan kesenangan dan harta melimpah secara tidak langsung juga diuji. Padahal ujian yang lebih sulit sebenarnya adalah menjaga titipannya seperti halnya harta. Hal ini dijelaskan dalam firman – Nya surat Al Anbiya ayat 35, penjelasannya sebagai berikut :
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (al – Anbiya’ : 35)
2. Terjaga Dari Kehidupan Di Dunia
Allah akan senantiasa menjaga hamba – hamba – Nya yang beriman dan bertakwa di dunia. Tidak akan membiarkan terjerumus dalam kemaksiatan. Dan selalu menjaga hamba tersebut dengan ketentraman dan juga ketenangan hati.
” Sesungguhnya Allah akan menjaga hambaNya yang beriman –dan Dia mencintaiNya- seperti kalian menjaga makanan dan minuman orang sakit (diantara) kalian, karena kalian takut pada(kematian)nya.” (HR. Al Hakim, Ibnu Abi ’Ashim dan Al Baihaqi)
3. Dengan Adanya Keshalihan
Orang yang shalih merupakan salah satu hamba yang disayangi oleh Allah Swt. Keshalihan merupakan anugerah yang tiada bandingannya. Jangan lupa bahwa keshalihan adalah salah satu nikmat dan tanda kasih sayang dalam islam yang diberikan Allah Swt kepada kita.
” Allah memberikan dunia pada yang Dia cintai dan yang Dia benci . Tetapi Dia tidak memberikan (kesadaran ber) agama, kecuali kepada yang Dia Cintai. Maka barang siapa diberikan (kesadaran ber) agama oleh Allah, berarti ia dicintai oleh – Nya.” ( HR. Imam Ahmad, Al Hakim dan Al Baihaqi)
4. Memahami Agama
Kemudahan dalam hal pemahaman mengenai agama akan diberikan oleh Allah secara bertahap sedikit demi sedikit. Hamba – Nya akan dituntun menuju ke jalan yang benar dengan berbagai petunjuk tertentu. Sehingga proses pembelajaran bisa diikuti dengan baik.
5. Adanya Kelembutan
Kelembutan yang ada di dalam hati dan setiap tindakan dari dalam diri anda merupakan salah satu anugerah dan kasih sayang yang diberikan Allah Swt kepada hamba – Nya. Rasanya apabila melakukan tindakan – tindakan kasar sangat sulit. Hal ini disebabkan karena adanya kelembutan.
”Jika Allah menginginkan kebaikan penghuni satu rumah, maka Dia masukkan kelembutan.” (HR. Imam Ahmad, Al Hakim dan At Tarmidzi)
6. Mudah Melaksanakan Perintah – Nya (Ketaatan)
Kemudian apabila hati merasa tentram dan terdorong secara terus menerus untuk menjaga ibadah atau pun melaksanakan perintahnya baik itu ibadah wajib atau sunah, bisa dikatakan sebagai salah satu tanda kasih sayang yang Allah Swt berikan.
7. Sulit Untuk Melakukan Kemaksiatan
Diantara banyak tanda kasih sayang Allah pada hamba – Nya yakni akan merasa kesulitan pada saat akan melakukan hal – hal yang berhubungan dengan maksiat. Ia tidak mungkin bisa melakukannya dengan mudah karena Allah selalu menjaganya.
8. Husnul Khatimah
Kasih sayang yang nyata adanya adalah Allah Swt menutup usia hambanya dengan amal shalih. Hal ini merupakan momen yang sangat penting, banyak diantara hamba – Nya yang menghabiskan usianya dalam hal menjalani ketaatan, namun meninggal duni dalam kondisi melakukan maksiat kepada Allah. Hal ini bisa anda lihat dari percakapan Abu Bakar dengan Rasulullah :
Abu Bakar berkata : ” Jika satu kakiku di dalam surga, dan kaki yang lain diluar surga, maka aku belum aman”
Jika kita melakukan hal – hal yang menjurus ke perbuatan maksiat, takutlah pada kematian, dan hati-hatilah apabila kita mati dalam keadaan melakukan maksiat.
Rasul Bersabda: ” Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan memaniskannya”
Sahabat bertanya : ” Apa itu memaniskannya ya Rasulullah? ”
Ia berkata : ” Dia akan memberi ia petunjuk untuk melakukan kebaikan saat menjelang ajalnya, sehingga tetangga akan meridhainya-atau ia berkata- orang sekelilingnya.” (HR. Al Hakim)
9. Diberikan Kesabaran
Kesabaran memang cara menahan amarah dalam islam yang sudah diberikan Allah kepada hamba – Nya yang beriman dan bertakwa.
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).“ (QS. Ar Ra’d : 2)
10. Didatangkan Orang – Orang Baik Di Sekeliling Anda
Tanpa kita sadari Allah Swt telah menuntun dan menyiapkan kasih sayangnya kepada kita dengan dihadirkannya orang – orang baik yang ada di sekeliling kita. Secara tidak langsung anda akan ikut ke dalam arus perbuatan – perbuatan yang benar karena pengaruh dari lingkungan yang baik.
11. Diberikan Rejeki Cukup
Allah pasti memberikan rejeki yang cukup kepada setiap hamba – Nya melalui salah satunya amalan memperlancar rezeki yang memang dianjurkan dalam islam.
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak cucu Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk-mahluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra’: 70).
12. Mengangkat Derajat Orang Beriman
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah. Niscaya Allah Swt. akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, berdirilah kamu, maka berdirilah. Niscaya Allah Swt. akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Swt. Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadalah: 11)
13. Selalu Membuka Pintu Taubat
Pintu taubat selalu Allah berikan kepada setiap hamba – Nya yang bersungguh – sungguh. Kesempatan kedua selalu ada karena itulah tanda kasih sayang Allah Swt.
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 110).
14. Selalu Memberikan Pengampunan
Anda bisa memanjatkan doa pengampunan dosa kepada Allah dengan hati yang bersungguh – sungguh, niscaya Allah Swt akan segera memberikan pengampunan sesuai dengan kadarnya.
“Katakanlah hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az Zumar: 53-54).
15. Tidak Menyegerakan Adzab
Anda bisa lihat orang – orang yang ada di sekeliling anda, apakah mereka akan langsung mendapatkan hukuman dari Allah Swt, setelah melakukan maksiat atau perbuatan buruk yang menyakiti hati orang lain. Jawabannya pasti tidak. Hal ini dikarenakan Allah memberikan kesempatan kepada hamba – Nya untuk memperbaiki diri.
“Jika Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan- Nya di muka bumi sesuatu pun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya.” (QS. An-Nahl:61)
16. Membalas Semua Amal Kebaikan Dengan Pahala yang Tidak Ada Batasnya
“Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. Al – An’am : 160)
17. Mengabulkan Do’a Hamba – Nya
Allah Swt selalu mengabulkan do’a – do’a dari semua hamba – Nya. Hanya membutuhkan waktu saja, jadi anda wajib bersabar dan menunggu. Karena Allah tau waktu yang tepat untuk mengabulkan setiap do’a. Alasannya adalah Allah akan memberikan yang anda butuhkan bukan yang anda inginkan. Hal tersebut sudah pasti baik untuk anda.
Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Gafir : 60).
عَلاَمَةُ اِعْرَاضِ اللهِ تَعَالَى عَنِ الْعَبْدِ، اشْتِغَالُهُ بِمَا لاَ يَعْنِيهِ، وَ اَنﱠ امْرَأً ذَهَبَتْ سَاعَةٌ مَنْ عُمُرِهِ، في غَيرِ مَا خُلِقَ لَهُ مِنَ الْعِبَادَةِ، لَجَدِيرٌ اَنْ تَطُولَ عَلَيْهِ حَسْرَتُهُ
Artinya: "Pertanda bahwa Allah ta'ala sedang berpaling dari hamba adalah disibukkannya hamba tersebut dengan hal-hal yang tak berfaedah. Dan satu saat saja yang seseorang menghabiskannya tanpa ibadah, maka sudah pantas ia menerima kerugian berkepanjangan.”
Melalui penjelasan di atas jelas bahwa ketika Allah sedang murka kepada hamba-Nya adalah seorang hamba disibukkan melaksanakan hal-hal yang tidak bermanfaat. Sesuatu yang tidak bermanfaat adalah sesuatu yang tidak bisa memberi dampak baik bagi diri seseorang dan juga bagi orang lain. Terutama dalam masalah ibadah dan pengabdian kepada Allah.
Sesuatu yang tidak bermanfaat adalah sesuatu yang tidak bisa memberi dampak baik bagi diri seseorang dan juga bagi orang lain. Terutama dalam masalah ibadah dan pengabdian kepada Allah.lakukan amalan-amalan yang terbaik agar Allah tidak murka kepada kita. Yaitu dengan melakukan hal-hal kebaikan.
وَاللّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُواْ مَيْلاً عَظِيماً
“Allah menginginkan untuk menerima tobat kalian, sedangkan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya ingin agar kalian menyimpang dengan sejauh-jauhnya."
Sesungguhnya pintu tobat masih terbuka lebar bagi kita, maka marilah kita bertobat kepada Allah taa'la dengan sebenar-benarnya tobat.
Ramadhan adalah bulan tobat dan ampunan dosa. Jadi sudah seharusnya kita memanfaatkan Ramadhan untuk menghapus semua dosa dengan bertobat. Sehingga ketika Ramadhan usai, kita akan seperti bayi yang baru lahir, di mana semua dosa sudah diampuni.
Lantas bagaimanakah cara dan syarat syarat dalam bertaubat?
Imam nawawi menjelaskan, jika kemaksiatan terjadi antara seorang hamba dan Allah Ta'ala, artinya tidak ada hubungannya dengan hak orang lain. Maka, untuk bertaubat kepada Allah harus memenuhi tiga syarat.
Menyesalinya. Kita merasa menyesal dan bersalah karena telah melakukan dosa-dosa, karena dengan adanya rasa menyesal dan bersalah maka kita tergerak untuk berubah.
Segera berhenti dari maksiat maksiat yang telah kita lakukan dengan semaksimal mungkin. Seperti contohnya kita pernah terjerumus dalam perkara riba, maka cara kita berhenti dari perbuatan tersebut adalah dengan cara kita berusaha menjauhi segala sesuatu yg mengarah kepada perbuatan riba tersebut.
Berniat tidak mengulangi perbuatan tersebut selama lamanya.
Kemudian, jika dosa yang kita perbuat itu berkaitan dengan hak seseorang maka syarat tobatnya ada empat yakni tiga syarat yang disebutkan di atas ditambah yang keempat adalah harus mengembalikan hak orang yg kita zalimi.
Contohnya jika kita pernah mengambil harta anak yatim dengan zalim, maka wajib hukumnya bagi kita mengembalikan hak tersebut kepada mereka, Jika syarat yang keempat ini tidak dilaksanakan maka tidak diterima tobatnya dan kelak dia akan dituntut oleh orang orang yang dia zalimi dengan cara mengambil pahala yang dimiliki orang tersebut.
Jika pahalanya habis, maka dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut akan dibebankan kepadanya. Nauzubilallah min dzalik, sungguh meruginya orang-orang yang mengambil hak orang lain secara zalim, Kita berlindung kepada Allah dari perbuatan tersebut.
Itulah syarat-syarat taubat yang harus kita penuhi agar kita meraih ampunan dari Allah Ta'ala. Maka kita harus berusaha, karena kita manusia, tak lepas dari dosa. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ
“Setiap anak manusia pasti pernah dan pasti banyak dosanya.”
Tapi siapa orang yang paling baik dari orang yang berbuat dosa itu? Kata Rasulullah:
وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang segera bertobat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Tirmidzi)
Rosulullah bersabda:
رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ
"Celakalah orang yang memasuki bulan ramadhan, kemudian ketika dia keluar darinya dia tidak mendapatkan ampunan dari Allah atas dosa-dosanya. "
Semoga pada bulan yang suci ini kita bisa meraih ampunan dari Allah Ta'ala dan semoga Allah ta'ala menerima segala bentuk amal saleh kita di bulan ini.
Kesibukan dunia memang sering membuat seseorang mengalami hal seperti itu. Nabi SAW sesungguhnya telah memberikan resep mujarab agar situasi semacam itu tidak berkembang ke hal-hal negatif yang tak diinginkan, yakni dengan mengerjakan shalat.
Nabi SAW, selain sebagai rasul, beliau juga adalah manusia biasa seperti halnya yang lain. Beliau juga melakukan aktivitas keduniaan, seperti berdagang atau berusaha mencari nafkah untuk dirinya dan keluarganya.
Sebagaimana manusia lainnya, ketika intensitas aktivitas keduniaan beliau makin meningkat, beliau juga kerap merasa lelah dan ingin beristirahat menenangkan pikiran dan jiwanya agar tetap terkontrol dan kondusif. Dalam hadis disebutkan, jika Nabi SAW tertimpa suatu masalah yang berat maka beliau segera mengerjakan shalat (HR Abu Dawud).
Nabi SAW disebutkan juga kerap kali menyuruh sahabatnya, Bilal bin Rabah, untuk mengumandangkan azan shalat ketika beliau merasa telah terlalu tersibukkan dengan urusan duniawi sehingga membuat beliau letih, "Wahai Bilal, berdirilah, lantunkan azan dan istirahatkanlah kita dengan shalat." (HR Abu Dawud).
Dalam hadis lain, Nabi SAW mengatakan, "Sesungguhnya shalat dijadikan untukku sebagai penenang hati." (HR an-Nasa'i). Shalat dapat menenangkan hati, pikiran, dan jiwa yang gundah juga fisik yang letih akibat tenaga terlalu banyak diforsir. Sebab, dalam shalat, seseorang sejatinya tengah menghadap Allah SWT, meninggalkan sejenak kesibukan duniawi untuk memberikan kesempatan bagi rohani atau jiwanya untuk berkomunikasi dengan-Nya.
Shalat adalah ibadah yang berisi zikir (mengingat Allah) dan doa kepada Allah SWT. Shalat secara bahasa artinya doa. Dalam Alquran, zikir disebutkan dapat membuat hati menjadi tenang, "Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS ar-Ra'd [13]: 28).
Dalam hadis, Nabi SAW mengatakan, "Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu dari rumah-rumah Allah (masjid) yang di situ mereka membaca Kitabullah (Alquran) dan saling mengajarkannya di antara mereka, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka kepada siapa saja yang ada di sisi-Nya." (HR Muslim).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab Asrar ash-Shalah mengatakan, dalam shalat, hati dan raga seorang hamba bersama-sama menghadap Allah. Seluruh bagian tubuhnya bergerak menunjukkan kerendahan diri sebagai hamba, sementara hatinya terhubung kepada-Nya. Karena itu, semua bagian tubuh dan hati hamba yang shalat akan mendapatkan bagian kebaikan dari Allah.
Hanya saja, hati hamba yang shalat akan mendapatkan imbalan yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih besar dibandingkan yang didapatkan bagian tubuhnya. Sebab, ia menghadap kepada Tuhannya, senang dan bahagia berada dekat dengan-Nya. Ia juga menikmati rindu dan cinta kepada-Nya. Ia merasakan kenikmatan penuh saat berdiri di hadapan-Nya.
Ketika seseorang tenggelam dalam shalatnya, sibuk mengingat Allah, dan berdoa penuh harap, hati pun menjadi tenteram, dada menjadi lapang, pikiran menjadi tenang, fisik pun segar kembali. Selesai shalat, ia pun bisa kembali beraktivitas keduniaan dengan baik.
Segala problem dan kesulitan yang sebelumnya membebani pun menjadi terasa ringan. Ini terjadi tentunya jika shalat dikerjakan dengan benar, sesuai petunjuk Nabi SAW dan khusyuk, menyerahkan jiwa dan raga sepenuhnya kepada Allah dengan merendahkan diri dan ikhlas di hadapan-Nya.
Allah berikan kesadaran beragama
"Allah memberikan dunia pada yang Dia cintai dan yang Dia benci . Tetapi Dia tidak memberikan (kesadaran ber) agama, kecuali kepada yang Dia Cintai. Maka barang siapa diberikan (kesadaran ber) agama oleh Allah, berarti ia dicintai olehNya” ( HR. Imam Ahmad, Al Hakim dan Al Baihaqi)
Allah berikan kelembutan pada hati kita
Dia akan menjadikan hambaNya sosok yang tenang, pribadi yang tidak emosional dan mudah bergejolak hanya karena hal-hal sepele.
” Jika Allah menginginkan kebaikan penghuni satu rumah, maka Dia masukkan kelembutan” (HR. Imam Ahmad, Al Hakim dan At Tarmidzi)
Ketika kita melakukan kejahatab, langsung Allah segerakan balasannya
“Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (HR. Tirmidzi no. 2396, hasan shahih kata Syaikh Al Albani).
Allah berikan ujian
Hadits Anas bin Malik, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang ridho, maka ia yang akan meraih ridho Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah no. 4031, hasan kata Syaikh Al Albani).
Ujian ini bisa kekurangan harta, ketakutan, kelaparan, ataupun penyakit.
Menjelang akhir hidupnya melakukan kebaikan
Rasul Bersabda: ” Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan memaniskannya”
Sahabat bertanya : ” Apa itu memaniskannya ya Rasulullah? ”
Ia berkata : ” Dia akan memberi ia petunjuk untuk melakukan kebaikan saat menjelang ajalnya, sehingga tetangga akan meridhainya-atau ia berkata- orang sekelilingnya” (HR. Al Hakim).
Referensi : Ciri Allah Mencintai HambaNya
Ya Tuhan kami, sesungguhnya orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh, Engkau telah menghinakannya, dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang yang zalim. (QS Ali Imran: 192)
Dalam penjelasan Tafsir Ringkas Kementerian Agama, ayat ini menjelaskan, mereka berdoa kepada Allah Sang Pencipta yang menghidupkan dan mematikan.
Ya Tuhan kami, sesungguhnya orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka karena menyekutukan-Mu dan akibat keangkuhannya, maka sungguh Engkau telah menghinakannya dengan menimpakan azab yang pedih. Maka tidak ada seorang penolong pun yang dapat memberikan pertolongan bagi orang yang zalim. Karena orang-orang zalim pantas mendapatkan murka dan siksaan dari Allah.
Dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama, ayat ini mengandung arti mereka berdoa, Ya Allah, Ya Tuhan kami, kami mohon dengan penuh khusyuk dan rendah hati, agar kami benar-benar dijauhkan dari api neraka, api yang akan membakar hangus orang-orang yang angkuh dan sombong di dunia ini, yang tidak mau menerima yang hak dan benar yang datang dari Engkau pencipta seluruh alam.
Kami tahu orang-orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka, adalah orang-orang yang sungguh-sungguh telah Engkau hinakan karena kezaliman dan kekafiran yang telah mereka lakukan di dunia ini.
Mereka terus-menerus merasakan siksa neraka itu, karena tidak ada penolong bagi orang-orang yang zalim dan kafir. Tidak ada seorang pun dapat jadi penolong mereka dan dapat mengeluarkan mereka dari kepedihan siksa yang dialaminya.
Zalim merupakan perbuatan yang dilarang agama. Allah SWT menunda siksaan mereka dan ajal mereka, agar mereka kian bertambah zalim dan melampaui batas.
"Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan." (QS Ali Imran 178).
Hal itu mungkin ditangguhkan juga untuk memberi kesempatan kepada orang-orang zalim agar bertaubat dan kembali ke jalan Allah, yang memiliki sifat Al-Halim (Yang Mahalembut).
Atau karena orang yang terzalimi sebelumnya telah berbuat zalim kepada yang lain pada masa hidupnya, lalu kezaliman yang menimpa dirinya merupakan hukuman atas kezaliman dia sendiri pada masa lalu.
Allah SWT sungguh telah mengancam orang-orang zalim dengan mendahulukan hukuman mereka di dunia sebelum kembali ke akhirat, karena hinanya kezaliman, dan banyaknya efek buruk bagi masyarakat, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.
“Tidak ada sesuatu yang aku patuhi kepada Allah di dalamnya (amalan itu) lebih cepat mendapat ganjaran lebih dari menyambung tali silaturahim, dan tidak ada sesuatu yang lebih cepat hukumannya dari berbuat zalim dan memutus tali silaturahim.” (HR Baihaqy).
Oleh karena itu, balasan bagi orang zalim di dunia ini mungkin muncul pada kesimpulannya, yaitu akhir hidupnya akan sangat menyakitkan. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah akan menangguhkan siksaan bagi orang yang berbuat zalim. Apabila Allah telah menghukumnya, maka Dia tidak akan pernah melepaskannya."
Kemudian Rasulullah membaca ayat yang berbunyi: 'Begitulah adzab Tuhanmu, apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya adzab-Nya itu sangat pedih dan keras.' (Qs Hud ayat 102).
Sebagaimana Allah menghinakan pelaku zalim saat di dunia, yang merasakan kepahitan hidup dan kehinaannya, Allah juga akan menyiksanya pada hari kiamat. Di antara hukuman duniawi pelaku kezaliman ialah diharamkannya dia dari keberkahan dan dihilangkannya nikmat.
Allah SWT berfirman dalam surat Al Qalam yang menceritakan tentang para pemilik kebun, dan mereka pelit, mereka bertekad untuk tidak memberikan hak yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Allah berfirman:
"Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil) nya di pagi hari dan mereka tidak mengucapkan, "Insya Allah, " lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita, lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari, "Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.” Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan, "Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin), padahal mereka mampu (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata, "Sesungguhnya kita benar-benar orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)." (QS Al Qalam ayat 17-27).
Dikutip dari Okezone.com, perbuatan zalim adalah sifat yang melampaui batas kemanusiaan, melanggar ketentuan, dan menentang atau menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Perbuatan zalim merupakan perbuatan yang sangat tidak disukai oleh Allah SWT bahkan Allah melaknat perbuatan tersebut. Tidak hanya Allah yang tidak menyukainya. Malaikat dan sesama manusiapun sangat tidak suka dengan orang yang berbuat zalim.
Allah SWT tidak suka terhadap perbuatan zalim, seperti firmannya: “Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim”. (QS Ali Imran: 57).
Ada banyak bentuk perbuatan zalim yang dibenci oleh Allah SWT. Seperti yang dikatakan oleh seorang ustaz pada saat khutbah Jumat (21/6/2019).
"Perbuatan zalim memang mempunyai banyak bentuknya dari perbuatan zalim kepada Allah, perbuatan zalim kepada orang lain, perbuatan zalim pada diri sendiri, dan zalim kepada binatang. Allah akan memberi hukuman kepada mereka yang berbuat zalim di akhirat nanti. Bahkan mereka yang berbuat zalim akan tidur beralaskan api neraka dan diselimuti api neraka," ujar ustaz tersebut.
“Mereka mempunyai tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka) . Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al A’raaf: 41).
Karena kebencian Allah kepada orang-orang zalim, orang yang berbuat zalim tidak akan pernah mendapatkan tempat terbaik di akhirat kelak. seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat Al An'am ayat 135: “Kalian akan tahu siapa yang akan mendapat tempat terbaik di akhirat dan sesungguhnya orang-orang zalim itu tidak akan beruntung.”
Perbuatan zalim memiliki banyak dampak salah satunya merugikan orang lain. Bahkan orang yang dizalimi dosa-dosanya akan berpindah ke orang yang berbuat zalim.
Dalam Badaa-i’ Al-Fawaid (2:816), Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
إِمْسَاكُ فُضُوْلِ النَّظَرِ وَالكَلاَمِ وَالطَّعَامِ وَمُخَالَطَةِ النَّاسِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ إِنَّمَا يَتَسَلَّطُ عَلَى اِبْنِ آدَمَوَيَنَالُ مِنْهُ غَرَضَهُ مِنْ هَذِهِ الأَبْوَابِ الأَرْبَعَةِ فَإِنَّ فُضُوْلَ النَّظَرِ يَدْعُو إِلَى الإِسْتِحْسَانِ وَوُقُوْعِ صُوْرَةِالمَنْظُوْرِ إِلَيْهِ فِي القَلْبِ وَالإِشْتِغَالِ بِهِ وَالفِكْرَةِ فِي الظَفْرِ بِهِ
“Hendaknya menahan diri dari pandangan yang tak bisa terjaga, banyak bicara, banyak makan, dan banyak bergaul. Hal-hal ini merupakan empat pintu setan dalam menguasai manusia dan jalan setan mencapai tujuannya. Enggan menundukkan pandangan akan mengantarkan pada menganggap baik (istihsan), yang dilihat akan menancap dalam hati, pikiran pun akan sibuk membayangkannya, hingga berpikiran agar tercapai tujuan.”
Empat hal ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam poin kesepuluh setelah menyebutkan sembilan kaidah bermanfaat untuk melindungi hamba dari setan dan menyelamatkan dari gangguannya. Lihat Badaa-i’ Al-Fawaid, 2:809-816.
Pertama: Banyak memandang
Contohnya adalah memandang lawan jenis.
Dalam surah An-Nuur sendiri diperintahkan untuk menundukkan pandangan,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُم
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nuur: 30)
Wanita juga diperintahkan untuk menundukkan pandangan,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.” (QS. An-Nuur: 31)
Dalam hadits disebutkan,
فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ
“Zina kedua mata adalah dengan melihat.” (HR. Muslim, no. 6925)
Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai pandangan yang tidak di sengaja. Maka beliau memerintahkanku supaya memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159)
Kedua: Banyak bicara
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ،
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkatalah yang baik, ataukah diam.” (HR. Bukhari, no. 6018, 6019, 6136, 6475 dan Muslim, no. 47)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ قاَلَ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“Semoga ibumu kehilanganmu! (Kalimat ini maksudnya adalah untuk memperhatikan ucapan selanjutnya). Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah atau di atas hidung mereka melainkan dengan sebab lisan mereka.’” (HR. Tirmidzi, no. 2616 dan Ibnu Majah, no. 3973. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan hadits ini hasan).
Ketiga: Banyak makan
Dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
“Tidak ada tempat yang lebih jelek daripada memenuhi perut keturunan Adam. Cukup keturunan Adam mengonsumsi yang dapat menegakkan tulangnya. Kalau memang menjadi suatu keharusan untuk diisi, maka sepertiga untuk makannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Ahmad, 4:132; Tirmidzi, no. 2380; Ibnu Majah, no. 3349. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa perawi hadits ini tsiqqah, terpercaya).
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Manfaat dari sedikit makan bagi baiknya hati adalah hati akan semakin lembut, pemahaman semakin mantap, jiwa semakin tenang, hawa nafsu jelek tertahan, dan marah semakin terkendali. Hal ini berbeda dengan kondisi seseorang yang banyak makan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:469)
Keempat: Banyak bergaul
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian.” (HR. Abu Daud, no. 4833; Tirmidzi, no. 2378; dan Ahmad, 2:344. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih)
Adapun bergaul ada beberapa bentuk menurut Ibnul Qayyim dalam Badaai’ Al-Fawaid: Bergaul seperti orang yang membutuhkan makanan, terus dibutuhkan setiap waktu, contohnya adalah bergaul dengan para ulama.
- Bergaul seperti orang yang membutuhkan obat, dibutuhkan ketika sakit saja, contohnya adalah bentuk muamalat, kerja sama, berdiskusi, atau berobat saat sakit.
- Bergaul yang malah mendapatkan penyakit, misalnya ada penyakit yang tidak dapat diobati, ada yang kena penyakit bentuk lapar, ada yang kena penyakit panas sehingga tak bisa berbicara.
- Bergaul yang malah mendapatkan racun, contohnya adalah bergaul dengan ahli bid’ah dan orang sesat, serta orang yang menyesatkan yang lain dari jalan Allah yang menjadikan sunnah itu bid’ah atau bid’ah itu menjadi sunnah, menjadikan perbuatan baik sebagai kemungkaran dan sebaliknya.
Ibnul Qayyim menjelaskan dalam Badaa-i’ Al-Fawaid (2:824-825), “Siapa yang tersadarkan dengan menjaga diri dari empat hal yang merusak yaitu tidak menjaga pandangan, banyak bicara, banyak makan, dan banyak bergaul, padahal empat hal ini adalah yang merusak alam, lalu ia menempuh sembilan langkah untuk menjaga diri dari godaan setan tersebut, maka ia berarti telah mendapatkan taufik, mencegah dirinya dari pintu Jahannam, dan membuka pintu rahmat.”
Semoga Allah menyelamatkan kita dari gangguan setan.
Referensi :
- At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah.
- Badaa-i’ Al-Fawaid. Cetakan ketiga, Tahun 1433 H. Al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Dar ‘Alam Al-Fawaid.
Hanya manusia yang masih mampu bertahan hidup karena optimasi akalnya. Berbagai cara ditempuh, demi usia hidup yang lebih panjang. Maka kedatangan mereka kala itu, menuntut Nabi Musa ‘Alaihis salam untuk mendoakan, agar Allah Ta’ala berkenan menurunkan karunia rahmat-Nya berupa hujan yang tercurah.
Karena kondisi paceklik yang semakin menjadi, Nabi Musa ‘Alaihis salam pun mengumpulkan rakyatnya. Beliau berkomunikasi kepada Allah Ta’ala, berdoa agar diturunkan hujan. Dia langsung memberikan jawaban kepada Nabi Musa ‘Alaihis salam. Meski ada 70 ribu orang yang hadir, Allah Ta’ala menangguhkan doa tersebut, lantaran satu orang. Allah Ta’ala mengatakan kepada Nabi-Nya, satu orang tersebut telah melakukan dosa dan maksiat yang nyata selama 40 tahun. Allah Ta’ala menyebutkan, jika dia bertaubat, maka hujan akan segera diturunkan. Dia pun memerintahkan kepada salah satu Rasul Ulul ‘Azmi itu untuk menyampaikan kepada jamaah, agar orang yang berdosa segera keluar dari barisan.
Mendengar seruan dari Nabi Musa, laki-laki pendosa ini langsung bertaubat. Dia menyesali semua perbuatan dosa yang dilakukan, kemudian berniat kuat untuk tidak mengulanginya lagi, selama-lamanya.
Laki-laki ini berdiri, lalu keluar dari barisan. Anehnya, tidak ada satu orang pun di antara 70 ribu jamaah yang melihat orang ini. Bahkan, Nabi Musa juga tidak melihat. Beliau berkata kepada Allah Ta’ala, dia telah menyampaikan, tapi pendosa tersebut tidak kunjung keluar dari barisan untuk mengakui kekeliruannya.
Anehnya, tak lama setelah itu, hujan turun dengan sangat lebat. Saat orang-orang tengah sibuk bersukacita itu, Nabi Musa kembali berkata kepada Allah Ta’ala, “Tuhanku, mengapa Engkau memberikan hujan kepada kami? Bukankah tidak ada seorang pun di antara kami yang keluar untuk mengakui dosanya?”
Allah Ta’ala memberitahu, orang tersebut telah bertaubat, dan Dia Menerima taubatnya karena kesungguhannya. Saat Nabi Musa memohon agar diberi tahu siapa orang tersebut, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai Musa, dulu ketika ia durhaka kepada-Ku, Aku tidak pernah membuka aibnya. Apakah sekarang, Aku akan membuka aibnya ketika dia telah taat kepada-Ku? Wahai Musa, sesungguhnya Aku sangat membenci kepada orang yang suka mengadu. Apakah sekarang Aku harus menjadi pengadu?”
Kisah ini masyhur. Terdapat di dalam banyak kitab dan catatan. Termaktub juga di dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim susunan Imam Ibnu Katsir Rahimahullah. Betapa Allah Ta’ala Maha Pengampun atas dosa-dosa kita yang tak terbilang. Rabbanaghfirlanaa.
Pertama, penyebab datangnya kebencian di muka bumi itu ialah karena perbuatan buruk atau pelanggaran yang dilakukan seorang hamba, hingga perbuatan tersebut menjadi gunjingan banyak orang atau orang lain merasakan dampaknya.
Hal ini didasarkan pada hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari jalur Abu Hurairah RA. Nabi SAW bersabda:
"Apabila Allah SWT mencintai seorang hamba-Nya, Dia memanggil Jibril bahwa sesungguhnya Allah SWT mencintai si Fulan, maka cintailah dia.
Maka jibril mencintai hamba itu lalu Jibril berseru kepada penduduk langit, sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah dia. Maka seluruh penduduk langit mencintai hamba itu, kemudian orang itu pun dijadikan bisa diterima oleh penduduk bumi." Seorang Muslim bisa terjebak pada empat keadaan berikut ini yang membuatnya tidak sadar bahwa itu sebetulnya adalah wujud kemurkaan Allah SWT pada dirinya. Apa saja empat hal itu? Berikut ini adalah empat bentuk kemurkaan Allah SWT.
Pertama, penyebab datangnya kebencian di muka bumi itu ialah karena perbuatan buruk atau pelanggaran yang dilakukan seorang hamba, hingga perbuatan tersebut menjadi gunjingan banyak orang atau orang lain merasakan dampaknya.
Dan jika Dia membenci seorang hamba, dia memanggil Jibril, dan berkata bahwa Allah SWT membenci hamba tersebut, jadi aku membencinya. Maka Jibril membencinya lalu berseru kepada penduduk langit, bahwa Allah SWT membenci hamba itu. Maka mereka membencinya. Kemudian hamba tersebut dibenci penduduk bumi.”
Kedua, wujud kemurkaan Allah SWT pada seorang hamba, yaitu hamba tersebut cenderung terus berada dalam cintanya kepada sesuatu yang dibenci Allah SWT, sama seperti saat dia membenci apa yang dicintai Allah SWT.
Ketiga, hamba tersebut selalu berada dalam kesesatan, ketidaktaatan dan dosa, dan bergerak di antara dosa dan dosa. Hamba ini tidak bertobat dari semua hal buruk itu dan mati untuknya.
Keempat, tanda Allah SWT murka pada seorang hamba, yaitu hamba tersebut lalai dalam melaksanakan sholat wajib, tidak menjaganya atau melaksanakannya. Ini bentuk kelalaian dalam melaksanakan sholat lima waktu. Hak-hak Allah SWT dan hamba-hamba-Nya pun lenyap, sehingga menjadi tidak peduli terhadap nasib di dunia dan akhirat.
Dengan perkataan lain, penuhilah kebutuhan hidup di dunia ini sewajarnya. Sebab, segala yang ada di kolong langit pasti memiliki batas. Bagi manusia, limit yang tidak mungkin disangkal lagi adalah usia.
Kalau jatah umur sudah sampai ajal, tidak berguna lagi apa pun pernak-pernik duniawi. Nabi Muhammad SAW memberikan nasihat dan keteladanan tentang cara hidup yang ideal.
Berikut ini beberapa petuah di antaranya:
Pertama, menjadi musafir. Pengembara adalah mereka yang bepergian meninggalkan kampung halamannya. Rasulullah SAW mengajarkan, seorang Muslim hendaknya memahami kehidupan di dunia ini layak nya musafir.
مَا لِيْ وَلِلدُّنْيَا؟ مَا أَنَا وَالدُّنْيَا؟! إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Aku tidak memiliki kecenderungan (kecintaan) terhadap dunia. Keberadaanku di dalam dunia seperti seorang musafir yang berteduh di bawah pohon, kemudian pergi dan mening galkan pohon tersebut.” (HR Tirmidzi).
Perjalanan yang ditempuh akan sampai pada titik kembali. Dalam Alquran, Allah SWT menyatakan bahwa Dialah tempat kembali segala urusan. Maka, sepantasnya jatah usia seorang Mukmin di dunia dihabiskan untuk terus mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Sebab, saat diadili kelak di Hari Akhir, harapannya adalah berjumpa dengan kasih sayang dan ridha-Nya, bukan murka-Nya.
Kedua, ingat maut. Imam Syafii berkata dalam sebuah syairnya, “Cukuplah kematian sebagai nasihat.” Menurut ajaran Islam, kematian bukanlah akhir. Ia justru menjadi awal perjalanan insan menuju kampung akhirat.
Tiap orang nanti hanya akan ditemani catatan amal perbuatannya. Yang tersisa hanyalah sesal dan sedih bagi mereka yang fasik, apalagi kafir. Diandaikannya bahwa raga dapat kembali utuh dan hidup, sehingga bisa berbuat taat kepada Allah SWT.
حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا ۖ وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, 'Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal saleh terhadap apa yang telah aku tinggalkan'. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding hingga hari mereka dibangkitkan (QS al-Muminun ayat 96-97).
Ketiga, berbekal takwa. Warna-warni dunia kerap membuat orang lupa akan hakikat kehidupan. Padahal, dunia ini tidak lebih dari permainan belaka.
إِنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۚ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا يُؤْتِكُمْ أُجُورَكُمْ وَلَا يَسْأَلْكُمْ أَمْوَالَكُمْ
“Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta hartamu.” (QS Muhammad ayat 36).
Karena itu, Rasul SAW selalu mengingatkan umatnya agar pandai dalam menyikapi hidup. Dunia sejatinya adalah ladang amal, tempat menuai bekal sebanyak-banyak dan sebaik-baiknya. Bekal terbaik hanyalah iman dan takwa kepada Allah SWT.
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ “Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya se baik-baik bekal adalah takwa.” (QS Al Baqarah ayat 197).
Jadi, semakin Allah cinta pada seseorang, maka ujian yang diberikan padanya bisa semakin berat. Karena ujian tersebut akan semakin menaikkan derajat dan kemuliaannya di hadapan Allah, dan ini sekaligus menjadi takdir Allah yang diberikan kepada hambanya. Suatu contoh orang yang paling dicintai Allah adalah para Nabi dan Rasul. Mereka adalah orang yang paling berat menerima ujian semasa hidupnya. Ujian mereka sangat berat melebihi ujian yang diberikan kepada manusia lainnya. Contohnya Nabi Ayub AS. Allah SWT mengujinya dengan kemiskinan dan penyakit yang sangat berat selama berpuluh-puluh tahun, tapi ia tetap sabar.
Setelah para Nabi dan Rasul, orang yang ujiannya sangat berat adalah para shalihin dan para ulama. Demikianlah secara berurutan, hingga Allah SWT menimpakan ujian yang ringan kepada orang-orang awam, termasuk kita di dalamnya. Yang pasti, ketika setelah seseorang mengikrarkan diri beriman, maka Allah akan menyiapkan ujian baginya.
Dalam Alquran tertulis janji Allah, ''Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan (saja) mengatakan: Kami telah beriman, lantas tidak diuji lagi? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta'' (QS Al Ankabut: 2-3).
Suatu ketika seorang laki-laki bertemu dengan seorang wanita yang disangkanya pelacur. Dengan usil, lelaki itu menggoda si wanita sampai-sampai tangannya menyentuh tubuhnya. Atas perlakuan itu, si wanita-pun marah. Lantaran terkejut, lelaki itu menoleh ke belakang, hingga mukanya terbentur tembok dan ia pun terluka. Pasca kejadian, lelaki usil itu pergi menemui Rasulullah dan menceritakan pengalaman yang baru saja dialaminya. Rasulullah SAW berkomentar, ''Engkau seorang yang masih dikehendaki oleh Allah menjadi baik''. Setelah itu, Rasul mengucapkan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mughaffal.
SADARILAH bahwa masing-masing kita akan ada ujiannya, ujian juga merupakan takdir Allah yang wajib diterima minimal dengan kesabaran. Dan ini tentunya harus mengucapkan Alhamdulillah jika mampu diterima dengan ridha bahkan rasa syukur. Tidak ada manusia yang tidak pernah tidak mendapat ujian dengan mengalami kesusahan dan kesedihan. Setiap ujian pasti Allah timpakan sesuai dengan kadar kemampuan hamba-Nya, dan ini berarti justru wujud cintanya Allah Kepada kita.
“Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (HR. Tirmidzi, shahih).
Mari renungkan hadist ini. Apakah kita tidak ingin Allah menghendaki kebaikan kepada kita? Allah segerakan hukuman kita di dunia agar Allah tidak menghukum kita lagi diakhirat. Tentunya hukuman di akhirat jauh lebih dahsyat dan berlipat-lipat ganda. Maka tentu orang yang berakal dan beriman kepada hari akhirat, akan lebih memilih hukuman disegerakan di dunia daripada ditunda di hari kiamat kelak.
Apakah kita ridha atau murka dengan takdir Allah, Kemudian apabila kita murka dan tidak terima, apakah bisa merubah takdir dan keadaan kita saat ini. Untuk itu mari kita ridha dan bahagia dengan takdir Allah. Kita harus berprasangka baik kepada Allah karena Allah sesuai prasangka hamba-Nya. Apabila kita murka dan tidak ridha, berarti itulah kenyataannya bahwa musibah ini turun sebagai adzab bagi kita.
Apabila kita ridha dan berusaha memperbaiki diri, semoga ini adalah ujian yang mengangkat derajat kita. Sebagaimana kata Allah, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila aditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa Lillahi wa innaa ilaihi raji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al-Baqarah: 155-157).
Hidup di masyarakat yang heterogen seperti di negeri ini tentunya memiliki dinamika yang berbeda dengan hidup di masyarakat yang homogen. Perbedaan budaya, ideologi, dan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum agamanya tampak dengan nyata. Kondisi semacam ini tentunya menuntut kita bersikap bijak. Dengan demikian kita dapat mewujudkan kepentingan kita tanpa harus bergesekan atau berbenturan dengan aturan, peraturan, norma masyarakat apalagi hukum syariat. Terlebih dalam banyak kesempatan Anda tidak memiliki wewenang dan bahkan keberanian untuk sekedar menunjukkan sikap apalagi melakukan satu perubahan.
Coba Anda bayangkan, ketika Anda belanja di supermarket, Anda menyaksikan khamar, daging babi, dan berbagai barang haram lainnya diperjualbelikan. Atau mungkin pula ketika sebagai penjual, Anda mengetahui dengan yakin bahwa mata pencaharian calon pembeli anda menyimpang alias haram secara syariat. Kondisi semacam ini tentuk mengusik ketenangan batin Anda, sehingga Anda meragukan status halal keuntungan yang Anda peroleh dari bertransaksi dengan mereka.
Alasan Suatu Harta Diharamkan?
Secara hukum syariat, suatu harta dapat dinyatakan haram karena dua alasan:
Haram karena alasan yang melekat pada harta itu (zatnya), semisal khamar, daging babi, dan yang semisal.
Haram karena adanya kesalahan dalam metode mendapatkannya, semisal harta yang diperoleh dengan cara merampas, menipu, akad riba, dan yang serupa.
Harta haram karena alasan yang melekat padanya, semisal bangkai, babi, khamar dan yang semisal. Allah Ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. [al-Ma’idah/5 :3]
Status haram harta jenis ini berlaku bagi semua orang. Tidak ada bedanya antara yang mendapatkannya dengan cara mencuri, menipu, atau dengan cara membeli, warisan atau hibah atau akad serupa lainnya.
Sahabat Anas ibn Malik Radhiyallahu anhu mengisahkan bahwa sahabat Abu Talhah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal beberapa anak yatim yang menerima warisan berupa khamar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi pertanyaan Abu Talhah ini dengan bersabda: “Tumpahkanlah.” Mendengar jawaban itu, sahabat Abu Talhah berkata, “Tidaklah lebih baik bila khamar itu aku proses agar menjadi cuka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak.”[1]
Karena keharaman harta ini bersifat permanen dan berlaku atas semua orang maka haram untuk diperjualbelikan.
Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengisahkan, “Suatu hari datang seorang lelaki membawa hadiah berupa sekantong minuman khamar untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka menanggapi hadiah ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah engkau bahwa Allah telah mengharamkan minuman khamar?’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak’, dan selanjutnya ia berbisik kepada seseorang. Melihat tamunya berbisik-bisik, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau bisikan kepadanya?’ Lelaki itu menjawab, ‘Saya memintanya untuk menjualkan khamar tersebut.’ Menanggapi pengakuan tamunya ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْ بَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا
“Sejatinya Allah yang mengaharamkan minum khamar juga mengharamkan penjualannya.’”[2]
Keharaman memperjualbelikan harta jenis ini berlaku baik diperjualbelikan secara langsung atau hasil olahannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُو مَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ
“Semoga Allah membinasakan kaum Yahudi, sejatinya tatkala Allah Azza wa Jalla mengharamkan lemak hewan ternak atas mereka, maka mereka melelehkannya hingga menjadi minyak, lalu mereka menjualnya dan menikmati hasil penjualannya”[3]
Pembaca yang budiman, keharaman harta jenis ini tidak berubah walaupun di kemudian hari Anda mendapatkan adanya sebagian manfaat atau nilai ekonomis padanya. Karena itu, tidak sepantasnya Anda terkejut apalagi goyah keimanan Anda gara-gara mendengar atau membaca keterangan tentang daging babi yang memiliki manfaat dan nilai ekonomis tinggi.
Percayalah bahwa walaupun daging babi memiliki nilai ekonomis tinggi, namun tetap saja mudarat dampak buruknya berlipat ganda dari manfaatnya. Demikianlah faktanya, setiap yang diharamkan pastilah mudaratnya lebih besar dibanding manfaatnya, karena itu dalam al-Quran al-Karim benda-benda haram disebut dengan al-khabais (benda-benda kotor).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. [al-A’raf/7: 157]
Berdasarkan ayat ini, sebagian ulama dengan tegas menyatakan. “Segala yang Allah Ta’ala halalkan pastilah baik, bermanfaat bagi kesehatan badan dan keutuhan agama umat manusia. Sebaliknya, segala yang Allah Ta’ala haramkan pastilah buruk, dan merusak kesehatan badan dan keutuhan agama umat manusia.[4]
Adapun harta yang diharamkan karena tata cara memperolehnya terlarang, maka keharamannya hanya berlaku atas sebagian orang saja, yaitu atas orang yang mendapatkannya dengan cara haram. Hasil curian haram atas pencuriannya, namun halal bagi pemiliknya. Harta hasil korupsi, maka haram atas koruptornya, sedangkan bagi rakyat maka harta itu halal hukumnya. Dengan demikian, keharaman harta jenis ini hanya berlaku dari satu arah. Sebagimana yang dapat kita pahami dari hukum riba yang ditegaskan pada ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ﴿٢٧٨﴾ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba ( yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah /2: 278-279]
Cermatilah bagaimana pada ayat dia atas dengan jelas Allah Ta’ala memerintahkan agar para Rentenir membatalkan bunga/riba yang telah mereka sepakati dan hanya memungut pokok utangnya saja. Dengan cara ini mereka dapat terbebas dari perbuatan menzalimi atau merugikan orang lain dan juga tidak dizalimi atau dirugikan.
Kesimpulannya, orang yang mendapatkan harta ini dengan cara halal maka halal pula harta tersebut baginya. Sebagai contoh sederhana, seorang pencuri haram untuk menikmati hasil curiannya. Namun, tidak diragukan bahwa harta hasil curian itu halal bagi pemiliknya yang sah. Bahkan andai pemiliknya yang sah memaafkan pencuri tersebut maka harta curian itu yang sebelumnya haram atasnya, sekejap berubah menjadi halal.
Dikisahkan bahwa suatu hari Sahabat Safwan ibn Umayyah Radhiyallahu anhu tidur di masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbantalkan bajunya. Di saat terlelap dalam tidurnya, bajunya dicuri oleh seseorang. Namun, pencuri bajunya itu berhasil ditangkap dan segera dihadapkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka segera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar pencuri itu dipotong tangannya. Mengetahui pencuri bajunya akan segera dipotong tangannya, Sahabat Safwan Radhiyallahu anhu merasa iba, sehingga ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah tangannya akan engkau potong karena ia mencuri bajuku? Ketahuilah bahwa aku telah menghalalkan bajuku untuknya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi ucapan Sahabat Safwan Radhiyallahu anhu dengan bersabda:
فَهَلاَّ كَانَ هَذَا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ
“Mengapa tidak engkau maafkan sebelum engkau melaporkannya kepadaku?”[5]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, “Dengan penjelasan ini maka jelaslah bahwa orang yang bekerja dengan cara halal, atau menyewakan kendaraan, properti, atau lainnya lalu ia mendapatkan upah, maka upah itu halal dan tidak haram. Baginya, sama saja mengetahui bahwa penyewanya mendapatkan uangnya dengan cara halal atau ia tidak mengetahuinya. Namun, bila ia mengetahui bahwa pembelinya mendapatkannya dengan cara merampas, atau mencuri, atau melalui cara yang tidak halal baginya, maka pada kondisi semacam ini ia terlarang untuk menerimanya sebagai upah atau harga barang dagangannya.”[6]
Penjelasan al-Imam Ibnu Taimiyyah ini selaras dengan praktik Amirul Mukminin ‘Umar Ibnu al-Khattab Radhiyallahu anhu. Suwaid ibn Gafalah mengisahkan bahwa pada suatu hari Sahabat Bilal Radhiyallahu anhu mengadukan kepada Amirul Mukminin perihal beberapa pegawainya yang memungut upeti dalam bentuk minuman khamar dan hewan babi. Mendapat laporan ini, segera Amirul Mukminin ‘Umar Ibnu al-Khattab Radhiyallahu anhu mengeluarkan perintah:
لاَ تَأْ خُذُوْا مِنْهُمْ، وَلَكِنْ وَلَوهم بَيْعَهَا، وَخُذُوْا أَنْتُمْ مِنَ الثَّمَنِ
“Janganlah kalian menerima upeti dalam bentuk khamar dan babi, namun biarkan mereka (orang Yahudi dan Nasrani yang tinggal di negeri Islam) memperjual belikannya kepada sesama mereka. Dan bila telah terjual, maka kalian boleh menerima uang hasil penjualannya.”[7]
Al-Imam Abu ‘Ubaid rahimahullah mengomentari riwayat ini dengan berkata, “Riwayat ini menjelaskan bahwa kala itu petugas khilafah menerima upeti dan pajak tanah dari orang-orang kafir yang tinggal di negeri Islam dalam bentuk khamar dan babi. Dan selanjutnya petugas yang notabene beragamakan Islam itu menjual khamar dan babi tersebut. Praktik semacam inilah yang diingkari oleh Sahabat Bilal Radhiyallahu anhu dan selanjutnya dilarang oleh Khalifah ‘Umar Radhiyallahu anhu. Sebagai solusinya, beliau mengizinkan para petugasnya untuk memungut upeti dan pajak tanah dari hasil penjualan khamar dan babi tersebut, selama yang menjualnya ialah orang-orang kafir tersebut. Alasan beliau membuat keputusan semacam ini karena secara hukum khamar dan babi dianggap sebagai harta kekayaan orang-orang kafir, namun tidak boleh dijadikan sebagai bagian dari harta kekayaan umat Islam.”
Penjelasan ini tentang perubahan status hukum suatu harta seperti ini oleh sebagian ulama ahli fikih dituangkan dalam satu kaidah yang berbunyi:
تَبَدُّلُ سَبَبِ الْمِلْكِ قَائِمٌ مَقَامَ تَبَدُّلِ الذَّاتِ
“Pergantian jalur kepemilikan suatu benda, dianggap sebagai pergantian fisik benda tersebut.”[8]
Inilah kedua alasan diharamkannya suatu harta atas umat Islam, yang masing-masing alasan ini memiliki perincian yang beraneka ragam sebagaimana dijelaskan di atas.
Cara Bertaubat Dari Kedua Jenis Harta Haram
Adapun cara bertaubat dari dosa memiliki atau mendapatkan kedua jenis harta haram tersebut di atas maka dengan cara:
Menyesal, karena telah memakan atau menggunakan barang yang haram untuk dimakan atau digunakan.
Bertekad untuk tidak mengulanginya.
Memohon ampun kepada Allah atas dosa memakan atau menggunakan harta yang haram untuk digunakan.
Bila harta haram tersebut diharamkan karena alasan cara mendapatkannya yang terlarang, maka wajib untuk mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau meminta untuk dimaafkan. Baik pemiliknya adalah perorangan atau instansi pemerintah atau perusahaan atau lainnya. Allah Azza wa Jalla menjelaskan tentang tata cara bertaubat dari harta riba:
وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah/2: 279]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَأْ خُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَعِبًاجَادًّا وَإِذَا أَخَذَأَحَدُكُمْ عَصَاأَخِيهِ فَلْيَرْدُدْهَا عَلَيْهِ
“Janganlah engkau mengambil barang milik temanmu, baik hanya sekedar bermain-main atau sungguh-sungguh. Dan bila engkau mengambil barang milik saudaramu, maka segera kembalikanlah kepadanya.”[9]
Pada hadits lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأِحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْشَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa pernah melakukan tindak kezaliman kepada seseorang, baik dalam urusan harga dirinya, atau hal lainnya, maka segeralah ia meminta untuk dimaafkan, sebelum tiba hari yang tiada lagi dinar atau dirham. Bila hari itu telah tiba maka akan diambilkan dari pahala amal salehnya dan diberikan kepada orang yang ia zalimi sebesar tindak kezalimannya. Dan bila ia tidak memiliki pahala kebaikan, maka akan diambilkan dari dosa-dosa orang yang ia zalimi dan akan dipikulkan kepadanya.[10]
Namun, bila Anda tidak dapat mengembalikannya kepada pemiliknya karena suatu alasan yang dibenarkan secara syariat, maka sedekahkanlah harta tersebut atas nama pemiliknya. Dengan cara ini, berarti Anda menyiapkan diri dengan menabungkan pahala sebesar hartanya yang Anda ambil. Dengan demikian, bila kelak ia menuntut haknya di hari Kiamat, maka Anda telah menyiapkan pahala sedekah sebesar hartanya yang Anda ambil dengan cara-cara yang tidak benar, sebagaimana ditegaskan pada hadits di atas.
Demikian paparan singkat dan sederhana tentang tata cara bertaubat dari memiliki atau menggunakan harta haram. Semoga paparan singkat dan sederhana ini bermanfaat bagi Anda.
Hal itu mungkin ditangguhkan juga untuk memberi kesempatan kepada orang-orang zalim agar bertaubat dan kembali ke jalan Allah, yang memiliki sifat Al-Halim (Yang Mahalembut).
Atau karena orang yang terzalimi sebelumnya telah berbuat zalim kepada yang lain pada masa hidupnya, lalu kezaliman yang menimpa dirinya merupakan hukuman atas kezaliman dia sendiri pada masa lalu.
Allah SWT sungguh telah mengancam orang-orang zalim dengan mendahulukan hukuman mereka di dunia sebelum kembali ke akhirat, karena hinanya kezaliman, dan banyaknya efek buruk bagi masyarakat, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.
لَيْسَ شَيْءٌ أُطِيعُ اللهَ فِيهِ أَعْجَلَ ثَوَابًا مِنْ صِلَةِ الرَّحِمِ، وَلَيْسَ شَيْءٌ أَعْجَلَ عِقَابًا مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada sesuatu yang aku patuhi kepada Allah di dalamnya (amalan itu) lebih cepat mendapat ganjaran lebih dari menyambung tali silaturahim, dan tidak ada sesuatu yang lebih cepat hukumannya dari berbuat zalim dan memutus tali silaturahim.” (HR Baihaqy).
Oleh karena itu, balasan bagi orang zalim di dunia ini mungkin muncul pada kesimpulannya, yaitu akhir hidupnya akan sangat menyakitkan. Rasulullah SAW bersabda:
إن اللهَ ليُملي للظالمِ، حتّى إذا أخذه لم يفلتْهُ، قال: ثمّ قرأ: وَكَذَٰلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَىٰ وَهِيَ ظَالِمَةٌ ۚ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ
"Sesungguhnya Allah akan menangguhkan siksaan bagi orang yang berbuat zalim. Apabila Allah telah menghukumnya, maka Dia tidak akan pernah melepaskannya." Kemudian Rasulullah membaca ayat yang berbunyi: 'Begitulah adzab Tuhanmu, apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya adzab-Nya itu sangat pedih dan keras.' (Qs Hud ayat 102).
Sebagaimana Allah menghinakan pelaku zalim saat di dunia, yang merasakan kepahitan hidup dan kehinaannya, Allah juga akan menyiksanya pada hari kiamat. Di antara hukuman duniawi pelaku kezaliman ialah diharamkannya dia dari keberkahan dan dihilangkannya nikmat.
Allah SWT berfirman dalam surat Al Qalam yang menceritakan tentang para pemilik kebun, dan mereka pelit, mereka bertekad untuk tidak memberikan hak yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Allah berfirman:
إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ*وَلَا يَسْتَثْنُونَ*فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِّن رَّبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ*فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ*فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ*أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِن كُنتُمْ صَارِمِينَ*فَانطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ*أَن لَّا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُم مِّسْكِينٌ*وَغَدَوْا عَلَى حَرْدٍ قَادِرِينَ*فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ*بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ
"Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil) nya di pagi hari dan mereka tidak mengucapkan, "Insya Allah, " lalu kebun itu diliputi malapelaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita, lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari, "Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.”
Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan, "Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin), padahal mereka mampu (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata, "Sesungguhnya kita benar-benar orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)." (QS Al Qalam ayat 17-27).
Ancaman Allah SWT
Meski perbuatan zalim sudah ada ancaman hukumannya baik di dunia maupun di akhirat, tetap saja perbuatan itu digemari. Padahal pelakunya orang berpendidikan, orang yang tahu hukum manusia dan hukum Allah SWT, dan orang yang beragama.
Allah SWT sungguh telah mengancam orang-orang zalim dengan mendahulukan hukuman mereka di dunia sebelum kembali ke akhirat, karena hinanya kezaliman, dan banyaknya efek buruk bagi masyarakat.
Sebab, zalim merupakan perbuatan yang dilarang agama. Maka, Allah SWT menunda siksaan mereka dan ajal mereka, agar mereka segera bertaubat atau mereka kian bertambah zalim dan melampaui batas?
Dalam QS Ali Imran 178, Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka azab yang menghinakan.
Itulah firmanNya, bahwa Allah SWT menangguhkan orang-orang zalim tetap berada di dunia untuk memberi kesempatan kepada orang-orang zalim agar bertaubat dan kembali ke jalan Allah.
Kisah nyata
Terkait Zalim ini, ada kisah nyata yang mirip sesuai janji Allah SWT untuk seseorang. Mungkin ini kisah hanya sekadar mirip. Tetapi, bila dilihat kasusnya, mungkin benar sebagai hukuman orang zalim di dunia. Selama hidupnya, saat seharusnya amanah, tetapi malah bersikap sebaliknya, hukuman atau balasan dari Allah itu justru sudah ditunjukkan saat masih hidup di dunia dengan sakit menahun yang hanya tergeletak di tempat tidur.
Banyak kisah-kisah nyata lainnya tentang orang-orang yang tak amanah ini. Ada yang selama hidupnya terus nampak tak terjadi apa-apa. Tetapi ada, yang masih hidup di dunia saja sudah dihukum. Seperti contoh yang saya sebut.
Inilah balasan langsung dari Allah atas sikap sebelumnya yang bisa disebut bengis, tidak menaruh belas kasihan, tidak adil, kejam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sikap itu adalah zalim.
Yah, sikap zalim bisa dilakukan oleh perseorangan, kelompok, hingga golongan. Bila yang melakukan adalah perseorangan, contohnya adalah yang sakit menahun itu.
Kini, di depan mata, orang-orang juga telah dan terus menjadi saksi, ada yang kukuh bersikap menzalimi, yaitu menindas, menganiaya, dan berbuat sewenang-wenang.
Padahal, orang-orang yang sayang kepada mereka, sudah mengingatkan agar menghentikan sikap zalim dan menzalimi melalui berbagai cara. Namun, nampaknya mereka sudah buta mata, buta telinga dan buta hati. Tak ada pengingatan yang digubris. Luar biasa, seolah dunia ini milik mereka.
Mereka tetap asik-masyuk dengan tingkah polah kezaliman, yaitu bengis, kejam, tidak adil, dan merampas hak orang lain.
Orang waras jangan mengalah
Melihat fenomena kezaliman ini, banyak orang yang bilang, sing waras ngalah, orang yang waras mengalah sebab kita sedang melawan orang gila, orang zalim.
Lha, kalau yang waras ngalah, maka kezaliman akan terus bergulir, dong? Kasihan orang-orang yang ada urusan dengan orang gila yang zalim. Sampai kapan orang-orang ini akan dizalimi?
Bila yang waras ngalah, maka balasan kepada orang gila yang zalim, juga akan seperti seseorang yang zalim, balasannya masih di dunia nyata, belum di duniaNya.
Untuk itu, bagi orang yang waras, janganlah pernah mengalah kepada orang yang zalim dan menzalimi kita. Meski kita telah disakiti oleh mereka, mari terus kita balas perbuatan mereka dengan perbuatan baik.
Sadarkan mereka dengan berbagai cara dan upaya, karena perbuatan zalim itu sangat hina dan mendampak buruk kepada siapa saja yang dizalimi. Jadi, kezaliman harus dilawan. Dengan terus kita bantu untuk mengingatkan, mungkin, mata, telinga, dan hati yang selama ini terkunci, akan terbuka dan membikin mereka sadar bahwa mereka telah berbuat zalim.
Namun, sebagai manusia biasa, kemampuan kita hanya sebatas mengingatkan dan tidak mengalah, tidak kalah oleh kezaliman. Bila ternyata pengingatan dan sikap tidak mengalah kita tetap tidak digubris oleh orang yang zalim, ada Allah SWT yang akan mengadilinya.
اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi, no. 3563; Ahmad, 1:153; dan Al-Hakim, 1:538. Hadits ini dinilai hasan menurut At-Tirmidzi. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy menyetujui hasannya hadits ini sebagaimana dalam Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2:509-510).
Dan ingat rezeki yang halal walau sedikit itu pasti lebih berkah. Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin Taimiyyah Al-Harrani (661-728 H) rahimahullah pernah berkata,
وَالْقَلِيلُ مِنْ الْحَلَالِ يُبَارَكُ فِيهِ وَالْحَرَامُ الْكَثِيرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ اللَّهُ تَعَالَى
“Sedikit dari yang halal itu lebih bawa berkah di dalamnya. Sedangkan yang haram yang jumlahnya banyak hanya cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646)
Dalam mencari rezeki, kebanyakan kita mencarinya asalkan dapat, namun tidak peduli halal dan haramnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari sudah mengatakan,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Akhirnya ada yang jadi budak dunia. Pokoknya dunia diperoleh tanpa pernah peduli aturan. Inilah mereka yang disebut dalam hadits,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Celakalah wahai budak dinar, dirham, qothifah (pakaian yang memiliki beludru), khomishoh (pakaian berwarna hitam dan ada bintik-bintik merah). Jika ia diberi, maka ia rida. Jika ia tidak diberi, maka ia tidak rida.” (HR. Bukhari, no. 2886, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Lantas Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
وَهَذَا هُوَ عَبْدُ هَذِهِ الْأُمُورِ فَلَوْ طَلَبَهَا مِنْ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ إذَا أَعْطَاهُ إيَّاهَا رَضِيَ ؛ وَإِذَا مَنَعَهُ إيَّاهَا سَخِطَ وَإِنَّمَا عَبْدُ اللَّهِ مَنْ يُرْضِيهِ مَا يُرْضِي اللَّهَ ؛ وَيُسْخِطُهُ مَا يُسْخِطُ اللَّهَ ؛ وَيُحِبُّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَيُبْغِضُ مَا أَبْغَضَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
“Inilah yang namanya budak harta-harta tadi. Jika ia memintanya dari Allah dan Allah memberinya, ia pun rida. Namun ketika Allah tidak memberinya, ia pun murka. ‘Abdullah (hamba Allah) adalah orang yang rida terhadap apa yang Allah ridai, dan ia murka terhadap apa yang Allah murkai, cinta terhadap apa yang Allah dan Rasul-nya cintai serta benci terhadap apa yang Allah dan Rasul-Nya benci.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:190)
Ada pula yang masih peka hatinya namun kurang mendalami halal dan haram. Yang kedua ini disuruh untuk belajar muamalah terkait hal halal dan haram.
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,
مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ
“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan,
لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا
“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.” (Lihat Mughni Al-Muhtaj, 6:310)
Kalau halal-haram tidak diperhatikan, dampak jeleknya begitu luar biasa. Kali ini kita akan lihat apa saja dampak dari harta haram.
Pertama: Memakan harta haram berarti mendurhakai Allah dan mengikuti langkah setan.
Dalam surah Al-Baqarah disebutkan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Badai’ Al-Fawaid (3:381-385), ada beberapa langkah setan dalam menyesatkan manusia, jika langkah pertama tidak bisa, maka akan beralih pada langkah selanjutnya dan seterusnya:
- Langkah pertama: Diajak pada kekafiran, kesyirikan, serta memusuhi Allah dan Rasul-Nya.
- Langkah kedua: Diajak pada amalan yang tidak ada tuntunan (bidah).
- Langkah ketiga: Diajak pada dosa besar (al-kabair).
- Langkah keempat: Diajak dalam dosa kecil (ash-shaghair).
- Langkah kelima: Disibukkan dengan perkara mubah (yang sifatnya boleh, tidak ada pahala dan tidak ada sanksi di dalamnya) hingga berlebihan.
- Langkah keenam: Disibukkan dalam amalan yang kurang afdal, padahal ada amalan yang lebih afdal.
Kedua: Akan membuat kurang semangat dalam beramal saleh
Dalam ayat disebutkan,
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thayyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51). Yang dimaksud dengan makan yang thayyib di sini adalah makan yang halal sebagaimana disebutkan oleh Sa’id bin Jubair dan Adh-Dhahak. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 5:462.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush sholaatu was salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal saleh. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah yang menyemangati melakukan amal saleh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:462).
Ketiga: Memakan harta haram adalah kebiasaan buruk orang Yahudi.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah: 62-63)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa rabbaniyyun adalah para ulama yang menjadi pelayan melayani rakyatnya. Sedangkan ahbar hanyalah sebagai ulama. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:429.
Ayat berikut membicarakan kebiasaan Yahudi yang memakan riba,
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرً, وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 160-161)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah telah melarang riba pada kaum Yahudi, namun mereka menerjangnya dan mereka memakan riba tersebut. Mereka pun melakukan pengelabuan untuk bisa menerjang riba. Itulah yang dilakukan mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:273).
Siapa yang mengambil riba bahkan melakukan tipu daya dan akal-akalan supaya riba itu menjadi halal, berarti ia telah mengikuti jejak kaum Yahudi. Dan inilah yang sudah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?” (HR. Bukhari, no. 7319)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim, no. 2669).
Ibnu Taimiyah menjelaskan, tidak diragukan lagi bahwa umat Islam ada yang kelak akan mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara. Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 27: 286.
Keempat: Badan yang tumbuh dari harta yang haram akan berhak disentuh api neraka.
Yang pernah dinasihati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Ka’ab,
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Kelima: Doa sulit dikabulkan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا} وَقَالَ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌوَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَه
‘Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (thayyib), tidak menerima kecuali yang baik (thayyib). Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.” (HR. Muslim, no. 1015)
Empat sebab terkabulnya doa sudah ada pada orang ini yaitu:
Keadaan dalam perjalanan jauh (safar).
Meminta dalam keadaan sangat butuh (genting).
Menengadahkan tangan ke langit.
Memanggil Allah dengan panggilan “Yaa Rabbii” (wahai Rabb-ku) atau memuji Allah dengan menyebut nama dan sifat-Nya, misalnya: “Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam” (wahai Rabb yang memiliki keagungan dan kemuliaan), “Yaa Mujiibas Saa’iliin” (wahai Rabb yang Mengabulkan doa orang yang meminta kepada-Mu), dan lain-lain.
Namun dikarenakan harta haram membuat doanya sulit terkabul.
Keenam: Harta haram membuat kaum muslimin jadi mundur dan hina
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah (salah satu transaksi riba), mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud, no. 3462. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9:242).
Ketujuh: Karena harta haram banyak musibah dan bencana terjadi
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al-Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Imam Adz-Dzahabi mengatakan, hadits ini shahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighairi sebagaimana disebut dalam Shahih At-Targhib wa Tarhib, no. 1859).
Mengenal calon pasangan sangat penting pada tahap pertama. Cara terbaik untuk saling mengenal adalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan.
Berikut adalah daftar panjang pertanyaan penting untuk diajukan kepada calon suami:
- Berapa umurmu?
- Apa negara tempat tinggal Anda?
- Apa negara kelahiran Anda?
- Bagaimana kamu menggambarkan diri Anda?
- Apa yang kamu cari dalam diri seorang istri?
- Apa pekerjaan yang kamu lakukan?
- Apa hal yang paling Anda hargai dalam hidup Anda?
- Pernahkah kamu menikah sebelumnya?
- Apakah kamu memiliki penyakit fisik atau mental?
- Apa konsep pernikahan kamu?
- Apa harapan kamu pada pernikahan?
- Apa cita-citamu?
- Mengapa kamu memilih saya sebagai pasangan potensial?
- Apa peran agama dalam hidup kamu?
- Apa pemahaman kamu tentang pernikahan Islami?
- Apakah kamu orang yang aktif di komunitas Muslim?
- Apakah kamu terlibat dalam kegiatan sukarela?
- Dalam pemahaman kamu, apa peran seorang suami dan apa peran seorang istri?
- Apakah kamu ingin mempraktikkan poligami?
- Bagaimana hubungan kamu dengan keluarga kamu?
- Apakah kamu berencana meminta seseorang dari keluarga kamu tinggal bersamamu setelah menikah?
- Apakah kamu punya teman atau sahabat dari lawan jenis?
- Bagaimana tingkat persahabatan kamu?
- Bagaimana kamu menghabiskan uang?
- Bagaimana kamu menghemat uang?
- Apa yang kamu lakukan di waktu luang?
- Bagaimana kamu membuat keputusan?
- Bagaimana kamu mengekspresikan kemarahan?
- Menurut kamu, bagaimana perselisihan perkawinan harus diselesaikan?
- Tolong definisikan pelecehan mental, verbal, dan emosional.
- Apakah kamu bersedia mencari konseling perkawinan jika merasa diperlukan?
- Apakah kamu mendukung gagasan istri yang bekerja?
- Apakah kamu mengharapkan istri ikut berbagi tanggung jawab finansial bersama dengan kamu?
Di dalam surat Al- Qashash ayat 76-82 kisah Qarun dijelaskan secara terang-benderang. Bahwa Qarun adalah sepupu dari Nabi Musa AS, yang diberikan karunia oleh Allah Ta’ala berupa harta yang berlimpah ruah banyaknya. Akan tetapi dengan harta itu ia bersikap takabur dan memamerkan kekayaannya.
Sikapnya itu bahkan hampir-hampir saja mencelakakkan umat Bani Israil lainnya ikarenakan mereka merasa iri terhadapnya. Sebelum akhirnya, ia binasa disebabkan sikapnya yang mengkufuri nikmat Allah Ta’ala. Sungguh, Allah tiada pernah melarang hamba-hamba-Nya untuk bekerja guna mendapatkan harta. Malah, justru giat bekerja adalah bagian dari bentuk kepatuhan terhadap-Nya. Bekerja dengan giat juga salah satu bentuk menghidupkan sunnah Rasul-Nya. Bukankah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga bekerja bahkan sejak usianya sangat belia. Allah Ta’ala menciptakan alam raya dengan segala kekayaannya ini adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِىۡ جَعَلَ لَـكُمُ الۡاَرۡضَ فِرَاشًا وَّالسَّمَآءَ بِنَآءً وَّاَنۡزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَاَخۡرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزۡقًا لَّـكُمۡۚ فَلَا تَجۡعَلُوۡا لِلّٰهِ اَنۡدَادًا وَّاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ
“Dialah yang menjadikan bumi segala hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 22)
Jelas sudah, bahwa kekayaan alam ini memang diperuntukkan bagi manusia. Allah tidaklah melarang hamba-Nya untuk memiliki bagian dari kekayaan yang berlimpah itu. Akan tetapi yang dilarang oleh-Nya adalah persaingan tidak sehat dalam mendapatan kekayaan dunia. Yang dilarang oleh-Nya adalah bersikap sombong dan kufur atas kekayaannya.
Menurut KH Abdullah Gymnastiar atau dai yang dikenal dengan sapaan Aa Gym, saat ini bukan hal asing ketika manusia berlomba- lomba mengumpulkan harta kekayaan, kemudian memamerkannya dengan harapan mendapat sanjungan, pujian dan pengakuan bahwa dirinya adalah orang yang kaya raya. Bukan ha lasing pula ketika manusia menghalalkan berbagai macam cara hanya demi memiliki harta. Ada yang korupsi, ada yang mencuri, memalsukan uang hingga mencoba- coba ilmu hitam
“Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah pujian orang. Setelah orang lain memuji kita, maka itu sama sekali tak memberi pengaruh apa- apa. Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah rasa puas dan bahagia, maka camkanlah bahwa justru semakin berlimpah kekayaan, semakin bertambah pula kegelisahan. Gelisah harta itu dicuri orang, gelisah harta itu berurang dan lain sebagainya,”ungkapnya dalam salah satu tausiyahnya di MQTV ini.
Aa Gym mengajak kita renungkan pesan Allah Subhanahu wa ta’ala yang terkandung dalam surat At Takatsur,
“Bermegah-megah telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar-benarakan melihat neraka jahiim. Dan sesungguhnya kamu enar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At Takatsur: 1-8). Penting untuk selalu kita sadari, bahwa Allah-lah pemilik segala karunia. Dia-lah Yang Maha Memberi kepada seluruh makhluk-Nya. Sedangkan manusia, tidak lebih dari sekedar makhluk yang dititipi oleh-Nya. Sungguh tidak ada artin ya apa yang kita miliki dibandingkan kekayaan-Nya.
Menyikapi kekayaan yang kita miliki, alangkah baiknya jika kita memakai teori tukang parker. Seorang tukang pasrkir tidak pernah merasa jumawa, sombong dan ujub atas berbagai kendaraan yang berada di dalam kekuasaannya . Karena ia menyadari betul bahwa semua kendaraan itu hanyalah titipan semata yang dating dititipkan kepadanya untuk nanti diambil kembali oleh pemiliknya.
Demikian pula dengan harta kekayaan kita. Tiada lain hanyalah titipan Allah semata. Dia yang Maha Kaya telah menitipkannya kepada kita sebagai ujian apakah kita amanah ataukah tidak. Apakah kita menggunakan titipan- titipan-Nya itu sesuai dengan kehendak-Nya ataukah malah sebaliknya.
Tak perlu sibuk berlomba-lomba dalam kemegahan dan kekayaan. Sibuklah berlomba- lomba dalam berbagi, bersedekah, berwakaf dan amal kebaikan lainnya. Berlomba dalam kemegahan akan berujung di garis finish penyesalan. Sedangkan berlomba dalam kebaikan akan berujung di garis finish kebahagiaan.
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)
Memahami amalan qaashir dan amalan muta’addi
Kaitannya dengan amalan yang ditinggalkan, kita perlu mengenal dua amalan yaitu amalan qaashir dan amalan muta’addi.
Amalan muta’addi adalah amalan yang manfaatnya untuk orang lain, baik manfaat ukhrawi (seperti mengajarkan ilmu dan dakwah ilallah), bisa juga manfaat duniawi (seperti menunaikan hajat orang lain, menolong orang yang dizalimi).
Amalan qaashir adalah amalan yang manfaatnya hanya untuk pelakunya saja, seperti puasa dan iktikaf.
Manakah yang lebih afdal, apakah amalan qaashir ataukah amalan muta’addi?
Para fuqoha syariat menyatakan bahwa amalan muta’addi yang manfaatnya untuk orang lain lebih utama dari amalan qaashir yang manfaatnya untuk diri sendiri.
Di antaranya yang dijadikan dalil adalah hadits dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ
“Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya.” (HR. Abu Daud, no. 3641; Ibnu Majah, no. 223; Tirmidzi, no. 2682. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam tahqiq terhadap Misykah Al-Mashabih).
Juga hadits,
فَوَاللَّهِ لأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
“Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.” (HR. Bukhari, no. 2942 dan Muslim, no. 2406; dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu).
Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa memberi petunjuk pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikuti ajakannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun juga.” (HR. Muslim, no. 2674)
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata, “Pelaku ibadah qaashirah hanya mendapatkan manfaat untuk dirinya sendiri; jika ia meninggal dunia, amalannya akan terputus. Adapun pelaku ibadah muta’addi, maka walaupun meninggal dunia, amalannya tidaklah terputus.” (Utruk Atsaran Qabla Ar-Rahiil, hlm. 8)
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menerangkan bahwa keutamaan di sini dari sisi jenis, bukan berarti semua amalan muta’addi lebih afdal dari amalan qaashir. Shalat, puasa, dan haji termasuk dalam ibadah qaashirah—dalam hukum asalnya–, namun ibadah ini termasuk dalam rukun Islam dan merupakan amalan Islam paling penting. Lihat Utruk Atsaran Qabla Ar-Rahiil, hlm. 8.
Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, para ulama berkata,
إِنَّ أَفْضَلَ العِبَادَةِ العَمَلُ عَلَى مَرْضَاةِ الرَّبِّ فِي كُلِّ وَقْتٍ بِمَا هُوَ مُقْتَضَى ذَلِكَ الوَقْتِ وَوَظِيْفَتِهِ
“Ibadah yang paling afdal adalah amalan yang dilakukan sesuai ridha Allah dalam setiap waktu dengan memandang pada waktu dan tugas masing-masing.” (Madarij As-Salikin, Ibnul Qayyim, 1:89, Asy-Syamilah – Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Arabi)
Ibnul Qayyim melanjutkan, “Ibadah yang paling baik pada waktu jihad adalah berjihad, walaupun nantinya sampai meninggalkan wirid rutin seperti shalat malam, puasa di siang hari, meninggalkan shalat sempurna untuk shalat wajib (shalatnya diqashar) tidak seperti dalam keadaan aman.
Apabila tamu hadir di rumah, paling afdal adalah sibuk melayani tamu daripada rutinitas yang sunnah, begitu pula dalam menunaikan hak istri dan keluarga.
Apabila datang waktu sahur, paling afdal adalah sibuk dengan shalat, membaca Al-Qur’an, berdoa, berdzikir, dan beristighfar. Apabila datang seseorang meminta dibimbing atau saat itu adalah waktu mengajarkan ilmu pada orang yang tidak paham, paling afdal adalah membimbing dan mengajarkan ilmu.
Apabila azan berkumandang, paling afdal adalah sibuk menjawab azan daripada melakukan rutinitas ibadah lainnya. Apabila waktu shalat lima waktu tiba, maka lebih afdal adalah serius dan melakukannya dalam bentuk yang sempurna, bersegera melakukannya pada awal waktu, lalu keluar ke Masjid Jami’ walaupun itu jauh.”
Referensi : Amalan Qaashir dan Muta’addi