Dalam perkara perceraian, ketika suami istri datang pada sidang pertama, maka Hakim akan memerintahkan keduanya untuk menempuh proses mediasi, setelah terlebih dahulu dirukunkan oleh Hakim di ruang sidang. Terkadang kedua belah pihak itu enggan untuk mengikuti mediasi, karena keduanya telah menyatakan sepakat untuk bercerai. Mereka berkeinginan agar perkaranya segera diputus tanpa harus melakukan mediasi.
Apakah kesepakatan untuk bercerai ini dibenarkan secara hukum? Dan, apakah Hakim bisa serta merta memutus perkara berdasarkan kesepakatan suami istri untuk bercerai? Kiranya inilah permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan kali ini, sehingga diharapkan dapat memberikan edukasi kepada masyarakat pencari keadilan, terlebih kepada pihak berperkara dalam perkara perceraian.
Hukum perkawinan di Indonesia menganut asas mempersulit perceraian. Artinya, perceraian hanya dimungkinkan jika dilakukan di depan persidangan dan berdasarkan alasan-alasan tertentu. Hal ini telah diatur dalam Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 juncto Pasal 16 & Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ini juga terkait dengan perkawinan yang merupakan ikatan yang amat kuat yang sulit untuk dilepaskan (mitsaqan ghalidhan). Selain itu, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 454 K/Pdt/1991 tanggal 29 Januari 1993 menjelaskan bahwa putusan akta perdamaian mengenai perceraian adalah bertentangan dengan PP Nomor 9 Tahun 1975. Menurut PP tersebut, perceraian harus berdasarkan putusan pengadilan melalui proses pemeriksaan biasa, dan tidak boleh disepakati berdasarkan proses perdamaian yang diatur dalam Pasal 130 HIR.
Dari ketentuan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa perceraian tidak bisa terjadi dengan adanya kesepakatan semata kedua belah pihak. Harus ada cukup alasan yang dapat dibuktikan kebenarannya di depan sidang agar perceraian dapat dikabulkan. Penyelesaian perceraian dalam hukum Islam bukan sekedar masalah administrasi tetapi sangat erat kaitannya dengan agama (al-din) yang menyangkut masalah halal dan haram hingga masalah keakhiratan.
Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Peradilan Agama yang diselenggarakan pada tanggal 19 s/d 20 Desember 2013, sebagaimana dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hukum Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan juga menyebutkan bahwa perceraian dapat dikabulkan jika fakta menunjukkan rumah tangga sudah pecah (broken marriage) dengan indikator antara lain:Sudah ada upaya damai tetapi tidak berhasil;
- Sudah tidak ada komunikasi yang baik antara suami istri
- Salah satu pihak atau masing-masing pihak meninggalkan kewajibannya sebagai suami istri;
- Telah terjadi pisah ranjang/tempat tinggal bersama;
- Hal-hal lain yang ditemukan dalam persidangan (seperti adanya WIL, PIL, KDRT, main judi, dll)
Belakangan ketentuan dalam SEMA tersebut disempurnakan dengan SEMA Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Disebutkan dalam SEMA itu bahwa Hakim hendaknya mempertimbangkan secara cukup dan seksama dalam mengadili perkara perceraian, karena perceraian itu akan mengakhiri lembaga perkawinan yang bersifat sakral, mengubah status hukum dari halal menjadi haram dan berdampak luas bagi struktur masyarakat dan menyangkut pertanggungjawaban dunia akhirat, maka perceraian hanya dapat dikabulkan jika perkawinan sudah pecah (broken marriage) dengan indikator yang secara nyata telah terbukti.
Dari pemaparan di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan umum bahwa perceraian tidak bisa dikabulkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak.