Senin, 19 September 2022

Khuluk (Cerai Gugat) & Akibat hukumnya

Khulu (Bahasa Arab: خلع) secara etimologi berarti “melepaskan”.[1] [2] Khulu adalah perceraian yang dilakukan karena kehendak istri untuk melepaskan ikatan perkawinan dengan memberikan tebusan iwald (ganti rugi) yang dipinta oleh pemilik akad yaitu suami[3][4] Sedangkan me-rujuk menurut dari istilah di dalam ilmu fiqih, khulu ialah permintaan perceraian/atau cerai yang diminta oleh istri kepada suaminya dengan memberikan uang atau lain-lain kepada sang suami, agar ia menceraikannya.[5] [6] Dan, dengan kata lain, Khulu yaitu perceraian yang dibeli oleh si istri dari suaminya karena ada beberapa hal dari suami yang tidak menyenangkan istrinya.[6]    Adapun pola untuk perkataan khulu yang di sampaikan suami kepada istrinya, “ Aku menceraikan kamu dengan uang Rp 2.000.000.000,- (Dua Milyar Rupiah) ”[7] [6]. Istri kemudian menjawab “ Aku menerimanya”[6][7][8][8]. Apabia perkataannya seperti ini, maka istri harus memberikan uang sebanyak Rp 2.000.000.000,- (Dua Milyar Rupiah) sebagai tebusan kepada pemilik akad ialah suami[7] [6][8]. Sedangkan apabila istri telah bertanya tidak disebutkan oleh suami tentang berapa jumlah khulu-nya, maka istri hanya perlu untuk mengembalikan maskawin sebanyak yang pernah diterimanya dahulu, catatan: Sang istri telah bertanya lansung kepada suami dengan sakral serta disaksikan oleh keluarga sang istri dan suami tersebut[7] [6][8].    Khulu diperbolehkan bila keduanya sama-sama khawatir tak dapat melakukan aturan Allah[6]. Si istri khawatir, membuat kedurhakaan karena perbuatan suaminya, misalkan seorang suami tidak mau disuruh shalat, dilarang untuk bermain judi, ia membangkang dan bersikap kasar[6]. Maka lebih baik bercerai karena takut mendapat dosa dari Tuhan yang disebabkan karena membiarkan suaminya melakukan dosa terus menerus[6]. Sebaliknya, suami khawatir kalau istrinya tak mau mengikuti perintahnya, ia berbuat sesuatu yang tak diharapkan istrinya itu, seperti menampar, memukul, dan lain sebagainya[6]. Dalam keadaan seperti itu Khulu diperbolehkan[6].    Persyaratan  Seorang istri meminta kepada suaminya untuk melakukan khulu, jika tampak adanya bahaya yang mengancam dan merasa takut keduanya tidak akan menegakkan hukum Allah SWT[6] [7].  Hendaknya khulu itu berlangsung sampai selesai tanpa adanya tindakan penganiayaan (menyakiti) yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya[6] [7]. Jika ia menyakiti istrinya debgan melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), maka ia tidak boleh mengambil sesuatu pun darinya[6] [7].  Khulu itu berasal dari istri dan bukan dari pihak suami[6] [7]. Jika suami yang merasa tidak senang hidup bersama dengan istrinya dengan cara menceraikannya, maka suami tidak berhak mengambil sedikit pun harta bawaan dari istrinya[6] [7].  Khulu sebagai talak ba’in Sughra, yakni sebuah perceraian yang tidak dapat dirujuk kembalinya sang istri oleh si suami kecuali proses akad nikah yang baru karena telah dinyatakan cerai oleh suaminya di hadapan istri dan disaksikan pengadilan agama yaitu hakim ketua dan deretannya[6] [7].  Hukum  Pada masa kemajuan sekarang ini, gugatan perceraian sering terjadi yang disebut cerai gugat, didalam Islam cerai gugat adalah khulu[9]. Untuk putusnya perkawinan karena istri sebagai pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaian itu dari suaminya[10].    Mubah atau boleh  Jika seorang istri tidak menyukai untuk tetap bersama dengan suaminya, baik karena buruknya akhlak/perilaku suaminya atau karena buruknya wajah/fisik suaminya, sehingga ia khawatir tidak dapat menjalankan hak-hak suaminya yang telah ditetapkan Allah kepadanya, maka dalam kondisi semacam ini istri boleh mengajukan khulu kepada suaminya[11]    Mustahab atau wajib  Jika suami melalaikan hak Allah seperti; suaminya meninggalkan shalat, suaminya melakukan hal-hal yang dapat membatalkan islam, dan yang semisalnya, maka istri dianjurkan untuk mengajukan khulu[11]. Ini adalah pendapat ulama Hanabilah[11].    Haram  Jika istri mengajukan cerai gugat (khulu) kepada suaminya bukan karena 4 (empat) alasan yang diperbolehkan oleh agama Islam, seperti karena sang suami buruk rupa, sang istri merasa tidak bahagia karena tidak pernah bersyukur, sang suami selalu salah menurut istri, memfitnah sang suami tidak ada perhatian dan menyayangi istri dan lain sebagainya maka cerai gugat tersebut menjadi hukumnya adalah Haram[11].    Rukun  Adanya mukhali, yakni seseorang yang berhak mengucapkan perkataan cerai, yakni mutlak hak dari pada suami sebagai penerima sakral yang Sah[11][12].  Adanya mukhtali’ah, yakni seseorang yang mengajukan khulu, yakni istri[11]. Dengan syarat, si istri adalah istri yang sah secara agama dan istri dapat menggunakan hartanya secara sadar/atau wali nikah, keturunan sedarah/atau se-kandung, dalam artian tidak gila dan berakal[11][12].  Adanya iwadh, yakni harta yang diambil suami dari istrinya sebagai tebusan karena telah menceraikan istrinya[11][12].  Adanya sigha khulu atau perkataan khulu dari suami di hadapan Istri dengan sakral disaksikan oleh para saksi[11][12].  Batasan  Suami tidak boleh mengambil harta istrinya melebihi mahar yang dia berikan dan juga sesuai dalam perkataan khulu yang telah di setujui oleh Istri. Catatan: Apabila Istri memiliki harta bawaan dan bukan harta yang di dapat setelah berumah tangga dengan suaminya[5].  Khulu dapat dilakukan oleh istri, baik dalam keadaan suci atau haid[7] [1].  Iwadh atau harta tebusan tidak dapat berupa jasa[11]. Menurut pendapat ulama golongan safi’I dan maliki[11].  Khulu tidak sah apabiila tidak ada keikhlasan di hati sang suami[11].  Khulu harus suci Istri yang bertanya langsung kepada suami dan terjawab oleh suami di depan saksi yaitu keluarga se-darah/atau se-kandung, bapak, ibu dari istri dan suami tersebut atau hakim ketua pengadilan[13].  Pengadilan Agama melalui Hakim Ketua beserta deretannya tidak memiliki hak untuk memutus paksa sakral pemilik akad mutlak yaitu suami. Karena dalih-dalih peraturan serta perundang-undangan itu bukan berdasarkan Al-Qur'an yang menjadi pedoman bagi umat Islam semesta alam, namun apabila peraturan tersebut berdasarkan kitab suci maka hakim wajib merealisasikannya walaupun perceraian itu sebenarnya sangat dibenci Allah SWT dan rasul-Nya[14].  4 (empat) Alasan Perceraian Yang Diperbolehkan Agama Islam  Penganiayaan atau penyiksaan fisik, Kegagalan untuk memenuhi maksut dan tujuan pernikahan, Perselingkuhan, Kegagalan suami untuk memberi nafkah selama berjalannya pernikahan

Khulu (Bahasa Arab: خلع) secara etimologi berarti “melepaskan”.[1] [2] Khulu adalah perceraian yang dilakukan karena kehendak istri untuk melepaskan ikatan perkawinan dengan memberikan tebusan iwald (ganti rugi) yang dipinta oleh pemilik akad yaitu suami[3][4] Sedangkan me-rujuk menurut dari istilah di dalam ilmu fiqih, khulu ialah permintaan perceraian/atau cerai yang diminta oleh istri kepada suaminya dengan memberikan uang atau lain-lain kepada sang suami, agar ia menceraikannya.[5] [6] Dan, dengan kata lain, Khulu yaitu perceraian yang dibeli oleh si istri dari suaminya karena ada beberapa hal dari suami yang tidak menyenangkan istrinya.[6]


Adapun pola untuk perkataan khulu yang di sampaikan suami kepada istrinya, “ Aku menceraikan kamu dengan uang Rp 2.000.000.000,- (Dua Milyar Rupiah) ”[7] [6]. Istri kemudian menjawab “ Aku menerimanya”[6][7][8][8]. Apabia perkataannya seperti ini, maka istri harus memberikan uang sebanyak Rp 2.000.000.000,- (Dua Milyar Rupiah) sebagai tebusan kepada pemilik akad ialah suami[7] [6][8]. Sedangkan apabila istri telah bertanya tidak disebutkan oleh suami tentang berapa jumlah khulu-nya, maka istri hanya perlu untuk mengembalikan maskawin sebanyak yang pernah diterimanya dahulu, catatan: Sang istri telah bertanya lansung kepada suami dengan sakral serta disaksikan oleh keluarga sang istri dan suami tersebut[7] [6][8].

Khulu (Bahasa Arab: خلع) secara etimologi berarti “melepaskan”.[1] [2] Khulu adalah perceraian yang dilakukan karena kehendak istri untuk melepaskan ikatan perkawinan dengan memberikan tebusan iwald (ganti rugi) yang dipinta oleh pemilik akad yaitu suami[3][4] Sedangkan me-rujuk menurut dari istilah di dalam ilmu fiqih, khulu ialah permintaan perceraian/atau cerai yang diminta oleh istri kepada suaminya dengan memberikan uang atau lain-lain kepada sang suami, agar ia menceraikannya.[5] [6] Dan, dengan kata lain, Khulu yaitu perceraian yang dibeli oleh si istri dari suaminya karena ada beberapa hal dari suami yang tidak menyenangkan istrinya.[6]    Adapun pola untuk perkataan khulu yang di sampaikan suami kepada istrinya, “ Aku menceraikan kamu dengan uang Rp 2.000.000.000,- (Dua Milyar Rupiah) ”[7] [6]. Istri kemudian menjawab “ Aku menerimanya”[6][7][8][8]. Apabia perkataannya seperti ini, maka istri harus memberikan uang sebanyak Rp 2.000.000.000,- (Dua Milyar Rupiah) sebagai tebusan kepada pemilik akad ialah suami[7] [6][8]. Sedangkan apabila istri telah bertanya tidak disebutkan oleh suami tentang berapa jumlah khulu-nya, maka istri hanya perlu untuk mengembalikan maskawin sebanyak yang pernah diterimanya dahulu, catatan: Sang istri telah bertanya lansung kepada suami dengan sakral serta disaksikan oleh keluarga sang istri dan suami tersebut[7] [6][8].    Khulu diperbolehkan bila keduanya sama-sama khawatir tak dapat melakukan aturan Allah[6]. Si istri khawatir, membuat kedurhakaan karena perbuatan suaminya, misalkan seorang suami tidak mau disuruh shalat, dilarang untuk bermain judi, ia membangkang dan bersikap kasar[6]. Maka lebih baik bercerai karena takut mendapat dosa dari Tuhan yang disebabkan karena membiarkan suaminya melakukan dosa terus menerus[6]. Sebaliknya, suami khawatir kalau istrinya tak mau mengikuti perintahnya, ia berbuat sesuatu yang tak diharapkan istrinya itu, seperti menampar, memukul, dan lain sebagainya[6]. Dalam keadaan seperti itu Khulu diperbolehkan[6].    Persyaratan  Seorang istri meminta kepada suaminya untuk melakukan khulu, jika tampak adanya bahaya yang mengancam dan merasa takut keduanya tidak akan menegakkan hukum Allah SWT[6] [7].  Hendaknya khulu itu berlangsung sampai selesai tanpa adanya tindakan penganiayaan (menyakiti) yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya[6] [7]. Jika ia menyakiti istrinya debgan melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), maka ia tidak boleh mengambil sesuatu pun darinya[6] [7].  Khulu itu berasal dari istri dan bukan dari pihak suami[6] [7]. Jika suami yang merasa tidak senang hidup bersama dengan istrinya dengan cara menceraikannya, maka suami tidak berhak mengambil sedikit pun harta bawaan dari istrinya[6] [7].  Khulu sebagai talak ba’in Sughra, yakni sebuah perceraian yang tidak dapat dirujuk kembalinya sang istri oleh si suami kecuali proses akad nikah yang baru karena telah dinyatakan cerai oleh suaminya di hadapan istri dan disaksikan pengadilan agama yaitu hakim ketua dan deretannya[6] [7].  Hukum  Pada masa kemajuan sekarang ini, gugatan perceraian sering terjadi yang disebut cerai gugat, didalam Islam cerai gugat adalah khulu[9]. Untuk putusnya perkawinan karena istri sebagai pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaian itu dari suaminya[10].    Mubah atau boleh  Jika seorang istri tidak menyukai untuk tetap bersama dengan suaminya, baik karena buruknya akhlak/perilaku suaminya atau karena buruknya wajah/fisik suaminya, sehingga ia khawatir tidak dapat menjalankan hak-hak suaminya yang telah ditetapkan Allah kepadanya, maka dalam kondisi semacam ini istri boleh mengajukan khulu kepada suaminya[11]    Mustahab atau wajib  Jika suami melalaikan hak Allah seperti; suaminya meninggalkan shalat, suaminya melakukan hal-hal yang dapat membatalkan islam, dan yang semisalnya, maka istri dianjurkan untuk mengajukan khulu[11]. Ini adalah pendapat ulama Hanabilah[11].    Haram  Jika istri mengajukan cerai gugat (khulu) kepada suaminya bukan karena 4 (empat) alasan yang diperbolehkan oleh agama Islam, seperti karena sang suami buruk rupa, sang istri merasa tidak bahagia karena tidak pernah bersyukur, sang suami selalu salah menurut istri, memfitnah sang suami tidak ada perhatian dan menyayangi istri dan lain sebagainya maka cerai gugat tersebut menjadi hukumnya adalah Haram[11].    Rukun  Adanya mukhali, yakni seseorang yang berhak mengucapkan perkataan cerai, yakni mutlak hak dari pada suami sebagai penerima sakral yang Sah[11][12].  Adanya mukhtali’ah, yakni seseorang yang mengajukan khulu, yakni istri[11]. Dengan syarat, si istri adalah istri yang sah secara agama dan istri dapat menggunakan hartanya secara sadar/atau wali nikah, keturunan sedarah/atau se-kandung, dalam artian tidak gila dan berakal[11][12].  Adanya iwadh, yakni harta yang diambil suami dari istrinya sebagai tebusan karena telah menceraikan istrinya[11][12].  Adanya sigha khulu atau perkataan khulu dari suami di hadapan Istri dengan sakral disaksikan oleh para saksi[11][12].  Batasan  Suami tidak boleh mengambil harta istrinya melebihi mahar yang dia berikan dan juga sesuai dalam perkataan khulu yang telah di setujui oleh Istri. Catatan: Apabila Istri memiliki harta bawaan dan bukan harta yang di dapat setelah berumah tangga dengan suaminya[5].  Khulu dapat dilakukan oleh istri, baik dalam keadaan suci atau haid[7] [1].  Iwadh atau harta tebusan tidak dapat berupa jasa[11]. Menurut pendapat ulama golongan safi’I dan maliki[11].  Khulu tidak sah apabiila tidak ada keikhlasan di hati sang suami[11].  Khulu harus suci Istri yang bertanya langsung kepada suami dan terjawab oleh suami di depan saksi yaitu keluarga se-darah/atau se-kandung, bapak, ibu dari istri dan suami tersebut atau hakim ketua pengadilan[13].  Pengadilan Agama melalui Hakim Ketua beserta deretannya tidak memiliki hak untuk memutus paksa sakral pemilik akad mutlak yaitu suami. Karena dalih-dalih peraturan serta perundang-undangan itu bukan berdasarkan Al-Qur'an yang menjadi pedoman bagi umat Islam semesta alam, namun apabila peraturan tersebut berdasarkan kitab suci maka hakim wajib merealisasikannya walaupun perceraian itu sebenarnya sangat dibenci Allah SWT dan rasul-Nya[14].  4 (empat) Alasan Perceraian Yang Diperbolehkan Agama Islam  Penganiayaan atau penyiksaan fisik, Kegagalan untuk memenuhi maksut dan tujuan pernikahan, Perselingkuhan, Kegagalan suami untuk memberi nafkah selama berjalannya pernikahan

Khulu diperbolehkan bila keduanya sama-sama khawatir tak dapat melakukan aturan Allah[6]. Si istri khawatir, membuat kedurhakaan karena perbuatan suaminya, misalkan seorang suami tidak mau disuruh shalat, dilarang untuk bermain judi, ia membangkang dan bersikap kasar[6]. Maka lebih baik bercerai karena takut mendapat dosa dari Tuhan yang disebabkan karena membiarkan suaminya melakukan dosa terus menerus[6]. Sebaliknya, suami khawatir kalau istrinya tak mau mengikuti perintahnya, ia berbuat sesuatu yang tak diharapkan istrinya itu, seperti menampar, memukul, dan lain sebagainya[6]. Dalam keadaan seperti itu Khulu diperbolehkan[6].

Persyaratan

Seorang istri meminta kepada suaminya untuk melakukan khulu, jika tampak adanya bahaya yang mengancam dan merasa takut keduanya tidak akan menegakkan hukum Allah SWT[6] [7].

Hendaknya khulu itu berlangsung sampai selesai tanpa adanya tindakan penganiayaan (menyakiti) yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya[6] [7]. Jika ia menyakiti istrinya debgan melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), maka ia tidak boleh mengambil sesuatu pun darinya[6] [7].

Khulu itu berasal dari istri dan bukan dari pihak suami[6] [7]. Jika suami yang merasa tidak senang hidup bersama dengan istrinya dengan cara menceraikannya, maka suami tidak berhak mengambil sedikit pun harta bawaan dari istrinya[6] [7].

Khulu sebagai talak ba’in Sughra, yakni sebuah perceraian yang tidak dapat dirujuk kembalinya sang istri oleh si suami kecuali proses akad nikah yang baru karena telah dinyatakan cerai oleh suaminya di hadapan istri dan disaksikan pengadilan agama yaitu hakim ketua dan deretannya[6] [7].

Hukum

Dalam Islam, berakhirnya ikatan pernikahan atas kehendak istri disebut dengan isilah khulu. Secara bahasa, khulu artinya melepas, mencopot, atau menanggalkan. Sedangkan secara istilah, khulu adalah memutuskan hubungan pernikahan dengan kesediaan istri membayar iwald (ganti rugi) kepada pemilik akad, yaitu suami, dengan perkataan tertentu. Dalam Bidayatul Mujtahid, khulu termasuk ke dalam macam-macam talak. Hukum talak pada dasarnya adalah makruh. Ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya: "Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak/perceraian." (HR. Abu Daud, Ibn Majah, dan Al-Hakim) Namun, mengutip buku Alquran dan Perempuan karya Prof. Dr. Zaitunah Subhan, jumhur ulama memperbolehkan khulu, sebagaimana diperbolehkannya nikah dan talak dalam Islam. Agar lebih memahaminya, berikut penjelasan tentang khulu lengkap dengan hukumnya dalam Islam. Pengertian Khulu dan Hukumnya dalam Islam Khulu artinya permintaan cerai yang dilakukan oleh istri kepada suami dengan pembayaran yang disebut iwadl atau ganti rugi. Terkait ganti rugi ini, para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya. Sebagian jumhur ulama membolehkan mengambil tebusan atau ganti rugi. Sedangkan yang lain sepakat melarang pengambilan harta tersebut, kecuali jika hubungan keluarganya rusak karena sebab istri. Ilustrasi Sungkeman. Foto: Shutter Stock zoom-in-white Perbesar Ilustrasi Sungkeman. Foto: Shutter Stock Dalam sebuah riwayat, diceritakan bahwa seorang istri sangat benci suaminya, tetapi suaminya sangat mencintainya, maka Rasulullah SAW menceraikan keduanya dengan cara khulu dan itu adalah permulaan khulu' dalam Islam. Malik r.a. berkata: "Suami yang tidak menyakiti dan tidak pula berbuat salah kepada istrinya kemudian istri merasa tidak cocok dan ingin diceraikan, maka boleh mengambil seluruh harta tebusan istrinya sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap istri Tsabit r.a. Adapun kesalahan disebabkan oleh suami yang menyebabkan kemudharatan bagi istrinya, maka wajib mengembalikan harta yang telah diambil kembali kepada istri.“ Mengutip buku Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashi karya Ibnu Rusyd, khulu boleh dilakukan dalam keadaan suci ataupun haid. Berbeda dengan talak, khulu sepenuhnya berada pada kehendak sang istri dan suami tidak bisa mencampurinya. Ilustrasi pasangan bertengkar. Foto: Shutterstock zoom-in-white Perbesar Ilustrasi pasangan bertengkar. Foto: Shutterstock Jumhur ulama berpendapat, termasuk imam empat madzhab, bahwa suami tidak boleh rujuk kepada istri karena harta sudah dikeluarkan oleh istri dalam proses perceraiannya. Jika suami mengembalikan uang ganti rugi kepada istrinya dan diterima, maka mereka tidak boleh rujuk sebelum memenuhi masa iddah yang telah ditentukan. Suami boleh menikahinya pada masa iddah dan membuat akad baru, dengan catatan harus atas ridha dan kemauan dari sang istri. Khulu dilakukan karena ada sebab yang mendorongnya, seperti suami yang cacat fisik, suami yang tidak memenuhi hak istrinya, tidak mampu menjalankan perintah Allah SWT yang diwajibkan atas keduanya, dan tidak bisa menjaga hubungan baik mereka.

Pada masa kemajuan sekarang ini, gugatan perceraian sering terjadi yang disebut cerai gugat, didalam Islam cerai gugat adalah khulu[9]. Untuk putusnya perkawinan karena istri sebagai pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaian itu dari suaminya[10].


Mubah atau boleh

Jika seorang istri tidak menyukai untuk tetap bersama dengan suaminya, baik karena buruknya akhlak/perilaku suaminya atau karena buruknya wajah/fisik suaminya, sehingga ia khawatir tidak dapat menjalankan hak-hak suaminya yang telah ditetapkan Allah kepadanya, maka dalam kondisi semacam ini istri boleh mengajukan khulu kepada suaminya[11]


Mustahab atau wajib

Jika suami melalaikan hak Allah seperti; suaminya meninggalkan shalat, suaminya melakukan hal-hal yang dapat membatalkan islam, dan yang semisalnya, maka istri dianjurkan untuk mengajukan khulu[11]. Ini adalah pendapat ulama Hanabilah[11].


Haram

Jika istri mengajukan cerai gugat (khulu) kepada suaminya bukan karena 4 (empat) alasan yang diperbolehkan oleh agama Islam, seperti karena sang suami buruk rupa, sang istri merasa tidak bahagia karena tidak pernah bersyukur, sang suami selalu salah menurut istri, memfitnah sang suami tidak ada perhatian dan menyayangi istri dan lain sebagainya maka cerai gugat tersebut menjadi hukumnya adalah Haram[11].


Rukun

Dalam Islam, berakhirnya ikatan pernikahan atas kehendak istri disebut dengan isilah khulu. Secara bahasa, khulu artinya melepas, mencopot, atau menanggalkan. Sedangkan secara istilah, khulu adalah memutuskan hubungan pernikahan dengan kesediaan istri membayar iwald (ganti rugi) kepada pemilik akad, yaitu suami, dengan perkataan tertentu. Dalam Bidayatul Mujtahid, khulu termasuk ke dalam macam-macam talak. Hukum talak pada dasarnya adalah makruh. Ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya: "Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak/perceraian." (HR. Abu Daud, Ibn Majah, dan Al-Hakim) Namun, mengutip buku Alquran dan Perempuan karya Prof. Dr. Zaitunah Subhan, jumhur ulama memperbolehkan khulu, sebagaimana diperbolehkannya nikah dan talak dalam Islam. Agar lebih memahaminya, berikut penjelasan tentang khulu lengkap dengan hukumnya dalam Islam. Pengertian Khulu dan Hukumnya dalam Islam Khulu artinya permintaan cerai yang dilakukan oleh istri kepada suami dengan pembayaran yang disebut iwadl atau ganti rugi. Terkait ganti rugi ini, para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya. Sebagian jumhur ulama membolehkan mengambil tebusan atau ganti rugi. Sedangkan yang lain sepakat melarang pengambilan harta tersebut, kecuali jika hubungan keluarganya rusak karena sebab istri. Ilustrasi Sungkeman. Foto: Shutter Stock zoom-in-white Perbesar Ilustrasi Sungkeman. Foto: Shutter Stock Dalam sebuah riwayat, diceritakan bahwa seorang istri sangat benci suaminya, tetapi suaminya sangat mencintainya, maka Rasulullah SAW menceraikan keduanya dengan cara khulu dan itu adalah permulaan khulu' dalam Islam. Malik r.a. berkata: "Suami yang tidak menyakiti dan tidak pula berbuat salah kepada istrinya kemudian istri merasa tidak cocok dan ingin diceraikan, maka boleh mengambil seluruh harta tebusan istrinya sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap istri Tsabit r.a. Adapun kesalahan disebabkan oleh suami yang menyebabkan kemudharatan bagi istrinya, maka wajib mengembalikan harta yang telah diambil kembali kepada istri.“ Mengutip buku Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashi karya Ibnu Rusyd, khulu boleh dilakukan dalam keadaan suci ataupun haid. Berbeda dengan talak, khulu sepenuhnya berada pada kehendak sang istri dan suami tidak bisa mencampurinya. Ilustrasi pasangan bertengkar. Foto: Shutterstock zoom-in-white Perbesar Ilustrasi pasangan bertengkar. Foto: Shutterstock Jumhur ulama berpendapat, termasuk imam empat madzhab, bahwa suami tidak boleh rujuk kepada istri karena harta sudah dikeluarkan oleh istri dalam proses perceraiannya. Jika suami mengembalikan uang ganti rugi kepada istrinya dan diterima, maka mereka tidak boleh rujuk sebelum memenuhi masa iddah yang telah ditentukan. Suami boleh menikahinya pada masa iddah dan membuat akad baru, dengan catatan harus atas ridha dan kemauan dari sang istri. Khulu dilakukan karena ada sebab yang mendorongnya, seperti suami yang cacat fisik, suami yang tidak memenuhi hak istrinya, tidak mampu menjalankan perintah Allah SWT yang diwajibkan atas keduanya, dan tidak bisa menjaga hubungan baik mereka.

Adanya mukhali, yakni seseorang yang berhak mengucapkan perkataan cerai, yakni mutlak hak dari pada suami sebagai penerima sakral yang Sah[11][12].

Adanya mukhtali’ah, yakni seseorang yang mengajukan khulu, yakni istri[11]. Dengan syarat, si istri adalah istri yang sah secara agama dan istri dapat menggunakan hartanya secara sadar/atau wali nikah, keturunan sedarah/atau se-kandung, dalam artian tidak gila dan berakal[11][12].

Adanya iwadh, yakni harta yang diambil suami dari istrinya sebagai tebusan karena telah menceraikan istrinya[11][12].

Adanya sigha khulu atau perkataan khulu dari suami di hadapan Istri dengan sakral disaksikan oleh para saksi[11][12].

Batasan

Suami tidak boleh mengambil harta istrinya melebihi mahar yang dia berikan dan juga sesuai dalam perkataan khulu yang telah di setujui oleh Istri. Catatan: Apabila Istri memiliki harta bawaan dan bukan harta yang di dapat setelah berumah tangga dengan suaminya[5].

Khulu dapat dilakukan oleh istri, baik dalam keadaan suci atau haid[7] [1].

Iwadh atau harta tebusan tidak dapat berupa jasa[11]. Menurut pendapat ulama golongan safi’I dan maliki[11].

Khulu tidak sah apabiila tidak ada keikhlasan di hati sang suami[11].

Khulu harus suci Istri yang bertanya langsung kepada suami dan terjawab oleh suami di depan saksi yaitu keluarga se-darah/atau se-kandung, bapak, ibu dari istri dan suami tersebut atau hakim ketua pengadilan[13].

Pengadilan Agama melalui Hakim Ketua beserta deretannya tidak memiliki hak untuk memutus paksa sakral pemilik akad mutlak yaitu suami. Karena dalih-dalih peraturan serta perundang-undangan itu bukan berdasarkan Al-Qur'an yang menjadi pedoman bagi umat Islam semesta alam, namun apabila peraturan tersebut berdasarkan kitab suci maka hakim wajib merealisasikannya walaupun perceraian itu sebenarnya sangat dibenci Allah SWT dan rasul-Nya[14].

4 (empat) Alasan Perceraian Yang Diperbolehkan Agama Islam

  1. Penganiayaan atau penyiksaan fisik,
  2. Kegagalan untuk memenuhi maksut dan tujuan pernikahan,
  3. Perselingkuhan,
  4. Kegagalan suami untuk memberi nafkah selama berjalannya pernikahan