Perkara yang Termasuk Dosa Paling Besar (Kezaliman). Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya yang berjudul Ad-Da' u wa ad- Dawa' (Terapi Penyakit Hati) menuliskan, kezaliman dan permusuhan menafikan keadilan, yang langit dan bumi tegak dengannya, serta Allah mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan Kitab-Kitab-Nya agar manusia melaksanakan keadilan tersebut, maka kezhaliman termasuk dosa yang paling besar di sisi Allah.
Derajatnya pun sesuai dengan tingkat kerusakan yang ditimbulkannya. Oleh sebab itu, seseorang yang membunuh anaknya yang masih kecil, yang sama sekali tidak berdosa, padahal Allah telah menjadikan hati-hati manusia secara fitrah mencintai, menyayangi, dan mengasihi anak kecil, bahkan hal ini lebih ditanamkan secara khusus dalam diri kedua orang tuanya. Maka orang tua yang membunuh anaknya karena khawatir anak itu akan menjadi sekutunya dalam makanan, minuman, serta hartanya tadi telah berbuat kezhaliman yang paling buruk dan paling parah.
Begitu pula dengan seseorang yang membunuh kedua orang tua yang melahirkannya ataupun seseorang yang membunuh kerabatnya. Tingkatan dosa pembunuhan tergantung pada tingkat keburukan-nya dan tingkatan hak orang yang dibunuh, yang seharusnya tetap hidup dan mendapat nasihat (bimbingannya).
Oleh sebab itu, manusia yang paling keras siksaannya pada hari Kiamat adalah orang yang membunuh Nabi atau dibunuh oleh Nabi. Selanjutnya adalah orang yang membunuh pimpinan kaum Muslimin atau seorang alim yang memerintahkan manusia untuk melaksanakan keadilan, menyeru mereka kepada Allah, serta menasihati mereka dalam perkara agama.
Allah membalas perbuatan membunuh jiwa seseorang yang beriman secara sengaja dengan kekekalan di dalam Neraka, luapan kemurkaan dan laknat-Nya, serta adzab-Nya yang sangat pedih. Itulah akibat dari membunuh seorang Mukmin secara sengaja, selama tidak terdapat penghalang yang mencegah hal tersebut.
Tidak ada perselisihan di kalangan ulama bahwa keislaman pembunuh setelah terjadinya peristiwa pembunuhan, baik secara sukarela maupun terpaksa, merupakan perkara yang menghalangi terealisasinya ganjaran di atas. Namun, apakah taubat seorang Muslim juga termasuk perkara yang menghalangi ganjaran tersebut?
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat di kalangan ulama salaf dan khalaf. Kedua pendapat tersebut diriwayatkan dari Imam Ahmad. Ulama yang menyatakan bahwa taubat bukanlah penghalang tenaksananya hukuman memandang perkara ini sebagai hak anak Adam yang tidak terpenuhi di dunia, yaitu dia meninggalkan dunia disebabkan kezhaliman pelakunya, maka dari itu haknya harus di-penuhi di akhirat.
Menurut pendapat mereka, hukuman qishash yang dilakukan ber-dasarkan permintaan ahli waris korban semata-mata dilakukan sebagai pemenuhan haknya, meskipun Allah memberikan pilihan kepadanya antara hukuman qishash atau memberi maaf.
Apakah manfaat yang didapatkan oleh korban hukuman qishash yang dapat dituntut oleh ahli warisnya?
Apakah korban mendapatkan balasan atas kezhaliman yang menimpa dirinya dengan hukuman qishash ahli warisnya?
Inilah pendapat yang paling benar dalam masalah ini, yaitu hak korban tidak gugur dengan adanya hukuman qishash yang dituntut dari ahli warisnya. Masing-masing dari kedua pendapat di atas merupakan pendapat para pengikut Ahmad, asy-Syafi'i, dan selainnya. Sebagian orang berpendapat bahwa ganjaran di atas dapat digugur-kan dengan taubat clan hukuman qishash ahli waris. Sebab, taubat bisa menghapus kesalahan-kesalahan sebelumnya dan telah ditegakkan pula hukuman hadd atas dosa yang dilakukan pelaku pembunuhan itu.