يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ وَذَرُوا الْبَيْعَۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. [al-Jumu’ah/62:9]
Kewajiban shalat Jum’at merupakan kewajiban besar setiap pekan. Dan al-hamdulillâh banyak kaum Muslimin nampak memperhatikan hal ini. Namun dalil dan perincian dalam masalah ini banyak yang belum mengetahuinya. Inilah sedikit keterangan tentang ayat yang memerintahkan shalat Jum’at tersebut.
TAFSIR AYAT
Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا
Hai orang-orang beriman…
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Firman Allâh ‘hai orang-orang beriman’ adalah pembicaraan kepada orang-orang mukallaf[1] dengan ijma’ dan keluar dari pembicaraan ini, yaitu orang-orang sakit, lumpuh, musafir, budak, dan wanita dengan berdasarkan dalil.”[2]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang-orang yang diperintahkan menghadiri Jum’at hanyalah laki-laki merdeka; bukan wanita, budak, dan anak-anak. Dan diberi udzur (atau dima’afkan; yakni, tidak wajib bagi): musafir, orang sakit, pengurus orang sakit, dan halangan-halangan semacamnya, sebagaimana ini disebutkan dalam kitab-kitab furu’ (fiqih)”.[3]
Adapun dalil perkataan Ulama di atas antara lain adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Jum’at itu wajib bagi setiap Muslim dengan berjama’ah, kecuali empat (golongan), yaitu; hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang sakit.[4]
Hadits ini juga menunjukkan bahwa berjama’ah merupakan syarat shalat Jum’at. Imam Ibnu Abi Syaibah rahimahullah meriwayatkan dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, ia berkata:
لاَ جَمَاعَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ إِلاَّ مَعَ الإِمَامِ
Tidak ada jama’ah (shalat Jum’at) pada hari Jum’at kecuali bersama imam.[5]
Firman Allâh Ta’ala:
اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at…
Yang dimaksudkan dengan seruan di sini adalah adzan Jum’at ketika khatib naik mimbar dan duduk di atasnya, sebagaimana dilakukan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رضي الله عنه وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ. قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ
Dari as-Saib bin Yazid, ia berkata, “Dahulu pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Bakar dan ‘Umar Radhiyallahu anhuma, adzan pada hari Jum’at pertama kalinya adalah ketika imam sudah duduk di atas mimbar. Tatkala ‘Utsmân Radhiyallahu anhu (menjadi khalifah, pen.) orang-orang bertambah banyak, beliau Radhiyallahu anhu menambah adzan ketiga di Zaura“. Abu Abdillah (Imam al-Bukhâri rahimahullah ) berkata, “Az-Zaura’ adalah nama satu tempat di pasar Madinah”. [HR al-Bukhâri, no. 870].
Disebut adzan ketiga karena adzan itu adalah tambahan dari adzan di depan imam setelah naik mimbar dan iqamat shalat.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah (8/122) setelah menyebutkan hadits di atas, mengatakan, “maksudnya adalah adzan itu dikumandangkan di atas sebuah rumah yang disebut az-Zaura`, dan az-Zaura’ adalah rumah yang paling tinggi di Madinah di dekat masjid.”[6]
Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ
maka bersegeralah kamu kepada dzikrullâh (mengingat Allâh).
Syaikh Abdurahmân as-Sa’di rahimahullah berkata, “Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para hamba-Nya, orang-orang Mukmin, untuk menghadiri shalat Jum’at dan bersegera kepadanya, dan memperhatikannya sejak adzan shalat kumandangkan.
Yang dimaksud dengan sa’i di sini, adalah bergegas kepadanya, memperhatikannya dan menjadikannya kesibukan terpenting. Maksudnya bukan berlari, karena perbuatan ini terlarang ketika pergi menuju shalat.[7]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang-orang yang wajib menghadiri shalat Jum’at tetapi tidak mendatanginya dengan ancaman yang keras, sebagaimana diriwayatkan dari Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa keduanya mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas mimbarnya:
Baca Juga Doa-Doa Dzikir Pada Hari Jum’at
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ
Hendaklah orang yang suka meninggalkan shalat Jum’at menghentikan perbuatan mereka, atau benar-benar Allâh akan menutup hati mereka, kemudian mereka benar-benar menjadi termasuk orang-orang yang lalai. [HR Muslim].
Kemudian bahwa yang dimaksud dengan dzikrullâh (mengingat Allâh) dalam ayat ini adalah shalat Jum’at dan khutbahnya.
Imam Qurthubi rahimahullah berkata, “Firman Allâh ‘menuju dzikrullâh’ yaitu shalat. Ada yang mengatakan khutbah dan shalat. Ini dikatakan oleh Sa’id bin Jubair. Ibnul ‘Arabi berkata, ‘Yang benar bahwa semuanya wajib, yang pertama adalah khutbah. Ini adalah pendapat para Ulama kita kecuali Abdul-Mâlik bin al-Majisyun; ia berpendapat (mendengarkan) khutbah itu sunnah. Dalil wajibnya mendengarkan khutbah adalah khutbah itu menyebabkan jual beli menjadi haram. Seandainya khutbah tidak wajib, niscaya ia tidak akan menyebabkan jual beli menjadi haram, karena sesuatu yang mustahab (sunah) tidak menyebabkan yang mubah menjadi haram.”[8]
Firman Allâh Ta’ala:
وَذَرُوا الْبَيْعَۗ
dan tinggalkanlah jual beli.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yaitu bersegeralah menuju dzikrullâh dan tinggalkan jual-beli ketika adzan (Jum’at) telah dikumandangkan. Oleh karena itu, para Ulama –semoga Allâh meridhai mereka- bersepakat tentang haramnya jual-beli setelah adzan kedua. Namun Ulama berbeda pendapat, apakah jual beli itu sah (atau) tidak ?! Jika ada yang melakukannya. Mereka terbagi menjadi dua pendapat. Zhahir ayat (menunjukkan) bahwa jual beli itu tidak sah sebagaimana telah dijelaskan di dalam tempatnya (kitab fiqih, pen.). Wallâhu a’lam“.[9]
Walaupun ayat ini memerintahkan agar meninggalkan jual-beli, tetapi bagi orang yang berkewajiban melaksanakan Jum’at juga harus meninggalkan semua pekerjaan setelah adzan dikumandangkan.
Imam al-Alûsi rahimahullah berkata, “Yaitu, tinggalkan mu’amalah (intraksi atau pekerjaan antar sesama manusia), karena jual-beli merupakan majaz (kiasan) dari mu’amalah, sehingga mencakup menjual, membeli, sewa-menyewa, dan bentuk-bentuk mu’amalah lainnya. Atau (kata) jual-beli menunjukkan (perbuatan) yang lainnya berdasarkan dalil nash, dan kemungkinan ini yang lebih utama. Perintah (untuk meninggalkan mu’amalah, pen.) ini menunjukkan wajib, sehingga semua itu (mu’amalah ketika adzan berkumandang) haram. Bahkan telah diriwayatkan dari ‘Atha` Radhiyallahu anhu, keharaman kesenangan yang mubah (pada asalnya), suami menggauli istrinya, menulis tulisan juga (diharamkan).”[10]
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Allâh Azza wa Jallasecara khusus menyebut jual-beli, karena jual-beli pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh orang-orang pasar. Namun orang yang tidak wajib menghadiri shalat Jum’at maka tidak dilarang dari jual-beli”.[11]
Firman Allâh Azza wa Jalla:
ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Syaikh Abdurahmân as-Sa’di rahimahullah berkata, “Yang demikian itu lebih baik bagimu dari pada kesibukanmu dengan jual-beli dan kamu kehilangan shalat wajib yang termasuk kewajiban yang besar. Jika kamu mengetahui bahwa apa yang ada di sisi Allâh itu lebih baik dan lebih kekal, dan bahwa orang yang lebih mementingkan dunia dari pada agama, maka ia telah merugi dengan kerugian yang sebenarnya, dari arah yang ia menyangka akan mendapatkan keuntungan. Dan perintah meninggalkan jual-beli ini ditetapkan waktunya (yaitu) selama shalat”[12]
Wanita Yang Shalat di Rumah
Wanita tidak diwajibkan shalat Jum’at, namun dibolehkan mengikuti shalat Jum’at di masjid. Jika wanita shalat sendiri di rumahnya maka ia shalat Zhuhur, sebagaimana laki-laki yang tidak bisa mengikuti shalat Juma’t.
Syaikh Abdul-‘Aziz bin Bâz rahimahullah pernah ditanya, “Jika aku tidak shalat Jum’at bersama jama’ah di masjid, apakah aku shalat di rumah dua raka’at dengan niat Jum’at atau aku shalat empat raka’at dengan niat Zhuhur?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Barangsiapa tidak menghadiri shalat Jum’at bersama umat Islam karena ‘udzur (halangan) syar’i, berupa sakit atau sebab-sebab lainnya, (maka) ia shalat Zhuhur. Demikian juga wanita (yang tidak menghadiri shalat Jum’at), (maka) ia shalat Zhuhur. Demikian juga musafir, penduduk padang pasir/desa (yang tidak menghadiri shalat Jum’at), maka mereka shalat Zhuhur. Hal itu ditunjukkan oleh Sunnah (Nabi), dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama; (sedangkan) orang yang menyelisihi dari (pendapat) mereka tidak dianggap. Demikian juga orang yang sengaja meninggalkan shalat Jum’at, lalu ia bertaubat kepada Allâh Ta’ala, (maka) ia melakukan shalat Zhuhur”.[13]
Baca Juga Tafsir Surat Yasin Ayat 12
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah juga pernah ditanya: “Berkaitan dengan shalat Jum’at bagi wanita, berapa raka’at yang dikerjakan wanita yang shalat di rumahnya? Syukran”.
Beliau menjawab: “Jika wanita shalat bersama imam di masjid, (maka) ia melakukan shalat seperti imam. Namun jika wanita shalat di rumahnya, (maka) ia melakukan shalat Zhuhur, empat raka’at”.[14]
Makmum Masbuq Dari Shalat Jum’at
Makmum masbuq (tertinggal) dari shalat Jum’at yang masih mendapatkan raka’at imam, maka ia menggenapi raka’at yang kurang. Seseorang dianggap mendapatkan raka’at imam jika mendapatkan ruku’ bersama imam. Namun jika ia sudah tidak mendapati raka’at imam, maka ia melakukan shalat empat raka’at, yaitu shalat Zhuhur, karena ia telah kehilangan jama’ah yang merupakan syarat shalat Jum’at. Hal ini sebagaimana penjelasan dari banyak ulama, antara lain sebagai berikut.
1. Imam Ibnul Mundzir rahimahullah berkata di dalam kitab al-Ausath (4/100):
“Sebagian Ulama berkata, ‘Barangsiapa mendapati satu raka’at dari shalat Jum’at (bersama imam, pen), (maka) ia manambah satu raka’at lagi. Jika ia (makmum masbuq, pen.) mendapati mereka (imam dan makmum) duduk (tasyahud), (maka) ia shalat empat raka’at (yaitu shalat Zhuhur, pen.). Demikian ini dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Anas bin Mâlik, Sa’id bin Musayyib, al-Hasan, asy-Sya’bi, ‘Alqomah, al-Aswad, ‘Urwah, an-Nakha’i, dan az-Zuhri”. Kemudian Ibnul-Mundzir menyebutkan riwayat-riwayat itu dengan sanad-sanadnya.[15]
2. Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata,
مَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الْجُمْعَةَ وَمَنْ لَمْ يُدْرِكِ الرَّكْعَةَ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا
Barangsiapa (dari makmum masbuq, pen.) mendapati satu raka’at (dari shalat Jum’at bersama imam, pen.), (maka) ia telah mandapatkan Jum’at. Dan barangsiapa tidak mendapatkan Jum’at, hendaklah ia shalat empat raka’at (yaitu shalat Zhuhur, pen.).[16]
3. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata,
إِذَا أَدْرَكَ الرَّجُلُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ رَكْعَةً؛ صَلَّى إِلَيْهَا أُخْرَى، فَإِذَا وَجَدَهُمْ جُلُوْسًا؛ صَلَّى أَرْبَعًا
Jika seorang laki-laki (dari makmum masbuq, pen.) pada hari Jum’at mendapati satu raka’at (dari shalat Jum’at bersama imam, pen.), (maka) ia menambah lagi satu raka’at. Namun jika mendapati mereka duduk (tasyahud), (maka) ia shalat empat raka’at (yaitu shalat Zhuhur, pen.). [Riwayat Abdur- Razaq dalam al-Mushannaf, 3/234, sanadnya shahîh].[17]
Petunjuk Ayat
Di dalam ayat yang mulia ini terdapat berbagai petunjuk, antara lain:
Kewajiban shalat Jum’at bagi laki-laki dewasa, merdeka, sehat, dan mukim.
Kewajiban bersegera menuju dzikrullâh dengan berjalan tenang.
Keharaman jual-beli dan mu’amalah lainnya bagi orang yang wajib Jum’at setelah adzan berkumandang.
Bagi wanita atau laki-laki yang tidak mengikuti shalat Jum’at atau tertinggal, maka melakukan shalat Zhuhur
Referensi : Kewajiban Shalat Jum’at