Hukum shalat tersebut tampak pada hadits Zaid bin Arqam yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, an-Nasa-i juga Ibnu Majah dengan lafazh:
أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعِيْدَ، ثُمَّ رَخَّصَ فِـي الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ.
“Bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ‘Id, kemudian beliau memberikan keringanan pada shalat Jum’at di hari raya tersebut. Beliau bersabda, ‘Barangsiapa ingin melakukan shalat Jum’at, maka lakukanlah.’”
Hadits ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at yang dilakukan setelah, shalat ‘Id hukumnya rukhshah (diringankan) untuk setiap orang [1], seandainya semua orang meninggalkannya, maka sungguh mereka telah mengamalkan keringanan tersebut, dan jika sebagian-nya melakukan, maka mereka mendapatkan pahala, shalat tersebut sama sekali tidak wajib baginya tanpa membedakan antara imam dan yang lainnya.
Hadits ini telah dishahihkan oleh Ibnul Madini dan dihasankan oleh an-Nawawi. Ibnul Jauzi berkata, “Hadits tersebut adalah yang paling shahih dalam bab ini.” [2]
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa-i dan al-Hakim dari Wahab bin Kaisan, beliau berkata:
اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ حَتَّى تَعَـالَى النَّهَارُ ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ فَأَطَالَ الْخُطْبَةَ ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى وَلَمْ يُصَلِّ النَّاسُ يَوْمَئِذٍ الْجُمُعَةَ فَذُكِرَ ذلِكَ لاِبْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ: أَصَابَ السُّنَّةَ.
“Pada masa Ibnu az-Zubair dua ‘Id (‘Id dan Jum’at) berbarengan, lalu beliau mengakhirkan keluar sehingga matahari meninggi, kemudian beliau keluar dan berkhutbah, beliau berkhutbah dengan lama sehingga beliau turun, yang dilanjutkan dengan shalat, kala itu orang-orang tidak melaksanakan shalat Jum’at,” kemudian peristiwa tersebut diceritakan kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, lalu beliau berkata, “Ia telah melakukannya sesuai dengan Sunnah.”
Perawi hadits ini shahih.
Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dari ‘Atha sesuai dengan yang diungkapkan oleh Wahab bin Kaisan, dengan para perawi yang shahih dari kitab shahih.
Dari semua dalil yang telah kami sebutkan menunjukkan bahwa shalat Jum’at yang terjadi setelah shalat ‘Ied adalah rukhshah (keringanan) bagi setiap muslim, dan Ibnu az-Zubair pernah meninggalkannya pada masa kekhilafahannya sebagaimana yang telah diungkapkan, dan tidak ada seorang pun dari kalangan para Sahabat yang mengingkarinya.[3]
8. HUKUM MANDI UNTUK SHALAT JUM’AT.
Hadits-hadits shahih yang diriwayatkan di dalam ash-Shahiihain dan yang lainnya dari jalan sejumlah Sahabat memastikan bahwa mandi pada hari Jum’at wajib hukumnya, akan tetapi ada pula riwayat yang menunjukkan tidak wajib, sebagaimana diriwayatkan oleh Ash-haabus Sunan, yang masing-masing riwayat di dalamnya saling menguatkan. Maka kewajiban yang diriwayatkan di dalam ash-Shahiihain wajib ditakwil dengan Ta-kiidul Masyru’iyyah, (peribadatan yang sangat dianjurkan untuk dilakukan-pent.) dengan cara penggabungan berbagai hadits, walaupun kata wajib tidak dapat dipalingkan dari makna yang sebenarnya, kecuali jika ada dalil yang memalingkan-nya sebagaimana yang kami ungkapkan, akan tetapi menggabungkan di antara hadits lebih didahulukan dari pada cara tarjih (mengambil dalil yang paling kuat dan mengamalkannya-pent.), walaupun harus dengan sudut pandang yang jauh.[4]
Baca Juga Berusaha Keras Shalat Jum'at Di Masjid Ada Kuburannya, Jual Beli Setelah Adzan Shalat Jum'at
Dan ketahuilah sesungguhnya hadits:
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ.
“Jika salah satu di antara kalian akan datang untuk melakukan shalat Jum’at, maka mandilah.”
Menunjukkan bahwa mandi tersebut untuk shalat Jum’at, dan barangsiapa melakukannya untuk tujuan lain, maka dia belum mengamalkan sesuatu yang disyari’atkan di dalam hadits ini. Sama saja dia melakukannya di awal hari, pertengahan atau dipenghujungnya.
Ungkapan di atas diperkuat oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan yang lainnya secara Marfu:
مَنْ أَتَى الْجُمُعَةَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فَلْيَغْتَسِلْ.
“Barangsiapa datang untuk melakukan shalat Jum’at dari kalangan pria atau wanita, maka hendaklah ia mandi.”
Di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah ada tambahan:
وَمَنْ لَمْ يَأْتِهَا فَلَيْسَ عَلَيْهِ غُسْلٌ.
“Dan barangsiapa yang tidak menghadirinya, maka ia tidak berkewajiban untuk mandi.”
Berkata penulis (al-Albani), “Hadits di atas dengan tambahan “wanita” adalah ganjil, tidak shahih sama sekali. Justeru riwayat yang shahih adalah tanpa penyebutan “pria dan wanita”. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan selain mereka telah saya teliti yang demikian itu dalam kitab adh-Dha’iifah (no. 3958).”
Referensi : Hukum Mandi Untuk Shalat Jum’at & Hukum Shalat Jum’at Pada Hari Raya