Kaidah Kelima : Mengikuti ulama atau umara dalam menghalalkan yang Allah haramkan atau mengharamkan yang Allah halalkan termasuk sikap menjadikan mereka sebagai sesembahan
Ini merupakan kandungan sebuah bab di dalam Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Di dalamnya beliau memaparkan kepada kita bahwasanya ketaatan termasuk salah satu bentuk ibadah.
Dari ‘Adi bin Hatim dikisahkan bahwa tatkala dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat, “Mereka (ahlul kitab) menjadikan para ulama (pendeta) dan rahib-rahib (ahli ibadah) mereka sebagai tuhan sesembahan selain Allah.” (QS. At Taubah [9]: 31) Maka Adi bin Hatim pun berkomentar kepada Nabi, “Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka.”
Maka Nabi mengatakan, “Bukankah mereka sudah mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah kemudian kalian pun ikut mengharamkannya? Dan bukankah mereka juga menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah kemudian kalian pun ikut menghalalkannya?” Adi bin Hatim menjawab, “Memang demikian” Maka Nabi pun bersabda, “Itulah wujud peribadahan kepada mereka.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, Tirmidzi menghasankannya. Dinilai hasan juga oleh Syaikhul Islam di dalam Al Iman, begitu pula dinilai hasan oleh Al Albani, lihat Al Qaul Al Mufid, II/66, cet. Maktabah Al ‘Ilmu)
Faidah Hadits
Pelajaran yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
Pertama, Mentaati para ulama dan makhluk selain mereka dalam merubah hukum-hukum Allah apabila orang yang menaati ini mengetahui penyimpangannya dari syari’at Allah maka hukumnya syirik akbar.
Kedua, Menghalalkan dan mengharamkan adalah hak Allah ta’ala.
Ketiga, Penjelasan tentang salah satu jenis kesyirikan yaitu syirik dalam ketaatan.
Keempat, Disyari’atkannya mengajari orang yang masih belum tahu (jahil)
Kelima, Makna ibadah itu luas. Ia mencakup segala hal yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin (lihat Al Mulakhkhash fii Syarhi Kitabit Tauhid karya Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, hal. 246)
Macam-Macam Orang yang Menaati dan Hukumnya
Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa keadaan orang yang menaati ulama dalam mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram terbagi menjadi tiga keadaan:
Pertama:
Mengikuti mereka dengan perasaan ridha terhadap pendapat mereka, lebih mendahulukannya serta membenci hukum Allah. Maka orang semacam ini hukumnya kafir. Karena dia membenci wahyu yang diturunkan Allah sehingga menyebabkan Allah menghapuskan amal-amalnya. Dan amal tidaklah menjadi terhapus kecuali dengan sebab kekufuran. Oleh karena itu setiap orang yang membenci ajaran/hukum yang diturunkan Allah maka dia adalah kafir.
Kedua:
Mengikuti mereka dalam hal itu dengan masih menyimpan keridhaan terhadap hukum Allah dan menyadari bahwasanya hukum Allah lebih utama dan lebih baik untuk kemaslahatan orang dan negara. Akan tetapi karena dorongan hawa nafsunya maka dia pun memilih pendapat tersebut, seperti misalnya karena menginginkan pekerjaan. Maka yang seperti ini tidak dikafirkan. Akan tetapi dia adalah fasik (pelaku dosa besar) dan berlaku baginya hukuman terhadap para pelaku maksiat.
Ketiga:
Mengikuti mereka karena kebodohannya. Sehingga dia menyangka bahwa itulah hukum Allah. Orang seperti ini terbagi dalam dua golongan. Yang pertama, apabila dia termasuk orang yang memungkinkan bagi dirinya untuk mengetahui sendiri kebenaran, maka orang seperti ini termasuk orang yang melalaikan kewajiban dan berdosa. Karena Allah telah memerintahkan supaya bertanya kepada ahli ilmu ketika tidak mengetahui. Yang kedua, apabila orang ini adalah orang yang tidak bisa mengetahuinya dan tidak memungkinkan untuk menelaah ilmu sehingga terpaksa mengikuti mereka karena taklid dengan persangkaan kuat bahwa pendapat itu adalah yang haq, maka yang semacam ini tidak mengapa. Karena dia sudah menunaikan perintah yang ditujukan kepadanya. Dengan sebab itu dia juga diberi udzur (toleransi atas kesalahannya).
Oleh sebab itulah terdapat sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang diberi fatwa tanpa ilmu maka dosanya ditanggung oleh orang yang memberikan fatwa.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan dinilai hasan Al Albani di dalam Shahihul Jaami’, 6068-6069, lihat Al Qaul Al Mufid, II/68, silakan baca juga Ibthaalut Tandiid bi ikhtishaari Syarhi Kitaabit Tauhid, hal. 209-210)
Perhatian !!!
Syaikhul Islam mengatakan tentang keadaan orang yang mengikuti ulama atau pemimpin dalam hal menghalalkan yang haram atau sebaliknya sementara hatinya masih meyakini dan mengimani ketetapan halal haram menurut Allah akan tetapi dia tetap mengikuti mereka dalam kemaksiatan kepada Allah sebagaimana perbuatan maksiat yang dilakukan oleh seorang muslim yang masih meyakini bahwa perbuatannya sebagai maksiat.
Beliau rahimahullah menjelaskan, “…Maka terhadap mereka diberlakukan hukum orang-orang seperti mereka yang berbuat dosa (pelaku maksiat). Kemudian kami katakan bahwa mengikuti orang yang menyatakan halal sesuatu yang haram atau mengikuti orang yang menyatakan haram sesuatu yang halal (sebagai berikut) :
Apabila dia adalah seorang mujtahid yang berniat untuk mengikuti Rasul akan tetapi kebenaran tampak samar baginya di dalam perkara tersebut dan dia sudah berusaha bertakwa kepada Allah sepenuh kemampuannya maka orang ini tidak akan dihukum oleh Allah karena sebab kekeliruannya. Bahkan dia mendapatkan pahala atas ijtihadnya yang dengan kesungguhannya itu dia telah mentaati Tuhannya.
Akan tetapi barang siapa yang mengetahui bahwa pendapat ini adalah salah dan menyimpang dari ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia justru mengikuti kesalahannya maka dia tercakup dalam kesyirikan jenis ini (syirik ketaatan) yang dicela Allah.
Adapun apabila orang yang mengikuti pendapat mujtahid adalah orang yang lemah atau tidak mampu mengetahui al haq secara terperinci dan dia juga sudah berupaya bersungguh-sungguh untuk melakukan pencarian kebenaran sepenuh kemampuan orang seperti dirinya yaitu bersungguh-sungguh dalam mencari orang yang pantas untuk diikutinya (ijtihad dalam hal taklid), maka dia juga tidak akan dihukum apabila bersalah.
Adapun jika dia mengikuti seseorang saja tanpa mempedulikan (ulama) yang lainnya semata-mata karena dorongan hawa nafsunya, dia pun berusaha membelanya dengan tenaga dan ucapannya dan tanpa mengetahui apakah kebenaran berada pada orang yang diikutinya ataukah tidak maka orang ini termasuk kalangan pengikut budaya jahiliyah. Apabila seandainya orang yang diikutinya adalah orang yang benar pendapatnya maka amalnya tidaklah dianggap sebagai amal shalih. Dan seandainya orang yang diikutinya adalah orang yang salah pendapatnya maka dia berdosa seperti halnya orang yang menafsirkan Al Qur’an dengan bekal logikanya semata. Apabila dia benar dia tetap dinyatakan bersalah, dan apabila salah tafsirannya maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka” demikian keterangan beliau secara ringkas.
Waspadalah…
Kemudian perhatikanlah komentar Syaikh Hamad bin ‘Atiiq rahimahullah setelah membawakan perkataan Syaikhul Islam di atas. Beliau mengatakan, “Maka jelaslah bahwasanya kebanyakan orang yang menisbatkan dirinya termasuk kalangan ahli ilmu sementara pada hakikatnya dia tergolong pengikut budaya jahiliyah.
Dan kalaulah seandainya bukan karena sifat jahil (bodoh) niscaya dia tidak akan mau memilih si fulan dan bersikukuh membela pendapat-pendapatnya tanpa mau mempertimbangkan salah dan benarnya, dan dia pun membantah pendapat-pendapat yang lainnya serta tak mau sedikitpun menggubrisnya meskipun kebenaran itu ada pada pendapat mereka” (lihat Ibthaalut Tandiid bi ikhtishaari Syarhi Kitaabit Tauhid, hal. 209-211, faidah ini juga kami dapatkan sebelumnya dari kajian bersama Al Ustadz Abu ‘Isa hafizhahullahu wa jazaahullaahu khairan. Anda bisa mendengarkan kajian tentangnya dalam cd Daurah Kitab Tauhid yang diterbitkan oleh Pustaka Muslim Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari Yogyakarta)
Maka perhatikanlah gerak-gerik hati kita wahai saudara-saudaraku, cermatilah kecondongan dan keinginan-keinginannya dan tanyakanlah kepadanya: Benarkah apa yang saya lakukan ini demi membela kebenaran ataukah karena mengikuti hawa nafsu dan membela kepentingan diri pribadi… Wallaahul musta’aan.
Kaidah Keenam: Tidak Boleh Menentang Hadits Shahih Dengan Pendapat Orang
Saudaraku, di antara akidah yang harus kita yakini sebagai orang muslim ialah, “Semua hadits yang sah berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib untuk diterima dan diamalkan, meskipun hadits tersebut berstatus ahad (sedikit jalan periwayatannya, bukan mutawatir) baik dalam masalah-masalah akidah maupun perkara-perkara lainnya.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqiidah, hal. 7)
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan apa saja yang dibawa Rasul maka ambillah dan apa saja yang dilarang Rasul maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr [59]: 7)
Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Dan tidaklah dia (Muhammad) berbicara dengan hawa nafsunya akan tetapi dia berbicara berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An Najm [53]: 3-4)
Sehingga para imam pun sepakat untuk bermazhab dengan hadits shahih dan rela membuang pendapat mereka yang bertentangan dengan hadits tersebut.
Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin telah sepakat bahwasanya barang siapa yang telah jelas baginya suatu Sunnah (hadits) yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak halal baginya meninggalkan hadits itu karena mengikuti pendapat siapapun“. Beliau juga mengatakan, “Apabila suatu hadits terbukti shahih maka itulah mazhabku”. Beliau juga mengatakan, “Semua permasalahan yang di dalamnya terdapat hadits yang dinyatakan shahih menurut ahli naql (ahli hadits) serta menyelisihi pendapatku maka aku rujuk darinya selama aku hidup maupun sesudah aku mati”.
Imam Abu Hanifah mengatakan, “Apabila aku pernah mengatakan suatu pendapat yang menyelisihi Kitabullah ta’ala dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tinggalkanlah pendapatku”.
Imam Malik mengatakan, “Sesungguhnya saya ini adalah manusia, bisa benar dan bisa salah. Maka telitilah pendapatku. Semua pendapatku yang sesuai dengan Al Kitab dan As Sunnah maka ambillah. Sedangkan semua yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan As Sunnah maka tinggalkanlah.”
Imam Ahmad mengatakan, “Barang siapa menentang hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia berada di tepi jurang kebinasaan” (lihat Mukaddimah Shifat Shalat Nabi, karya Al Imam Albani rahimahullah, hal. 46-53)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah mengatakan, “Hampir-hampir saja batu-batu dari atas langit jatuh menimpa kalian ! Aku katakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sedangkan kalian justru (membantahnya dengan) berkata, “Abu Bakar dan ‘Umar berkata” ?!”
Imam Ahmad bin Hanbal menceritakan, “Aku sungguh merasa heran terhadap suatu kaum yang memahami ilmu sanad (ilmu hadits) dan keabsahannya. Mereka justru berpendapat mengikuti pandangan Sufyan (yaitu Sufyan Ats Tsauri, seorang Imam yang agung). Padahal Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyimpang dari perintah Rasul, kalau-kalau mereka akan tertimpa fitnah atau siksa yang pedih.” (QS. An Nuur [24]: 63)
Imam Ahmad berkata, “Tahukah kalian apa itu fitnah? Fitnah itu adalah syirik. Karena bisa jadi apabila dia tengah menolak sebagian sabda beliau maka muncullah kesesatan di dalam hatinya sehingga diapun binasa”.
Syaikh DR. Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql menuliskan salah satu kaidah dan pedoman yang harus dipegang oleh seorang muslim yaitu “(Harus) bersikap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya secara lahir dan batin. Oleh karena itu maka ketetapan yang sudah terdapat di dalam Al Kitab maupun As Sunnah yang Shahih tidak boleh dipertentangkan dengan qiyas, perasaan, penyingkapan (kasyf, istilahnya kaum sufi), tidak juga dengan pendapat seorang Syaikh, Imam dan semacamnya” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 7)
Kaidah Ketujuh: Cara Memahami Al Kitab dan As Sunnah Adalah Mengikuti Salafush Shalih
Syaikh DR. Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql menuliskan salah satu kaidah dan pedoman yang harus dipegang oleh seorang muslim yaitu, “Rujukan dalam memahami Al Kitab dan As Sunnah adalah nash-nash (dalil-dalil) yang menjelaskannya beserta pemahaman salafush shalih (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) dan pemahaman para imam (ulama) yang menempuh metode (manhaj) mereka. Dan apa yang sudah jelas hukumnya dari itu semua maka tidak boleh ditentang dengan semata-mata kemungkinan (celah) makna bahasa” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah, hal. 7)
Allah ta’ala berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya, “Dan Kami turunkan kepadamu Adz Dzikra (al-Qur’an) supaya kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka mau memikirkan.” (QS. An Nahl [16]: 44)
Ini menunjukkan bahwa Nabi berperan sebagai penjelas wahyu al-Qur’an. Allah juga mengaitkan keridhaan-Nya dengan pengikutan terhadap Muhajirin dan Anshar (para sahabat Nabi). Allah berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama berjasa bagi Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah..” (QS. At Taubah [9]: 100)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang mengikuti para sahabat (salafush shalih) akan mendapatkan keridhaan Allah. Maka jika kita ingin mendapatkan keridhaan Allah kita harus mengikuti para sahabat dalam beragama; mengikuti pemahaman mereka terhadap Al Kitab dan As Sunnah. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah orang yang di jamanku (sahabat), kemudian sesudahnya (tabi’in) dan kemudian sesudahnya (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tentu saja semua perkara harus dipulangkan kepada ahlinya. Dalam masalah ushul fikih kita harus merujuk kepada para ulama ushul fikih, dalam masalah tafsir kita merujuk kepada ulama tafsir, dan dalam masalah hadits kita juga harus merujuk kepada ahli hadits, dst. (silakan lihat penjelasan hal ini di dalam Mukaddimah Ilmiyah yang ditulis oleh Al Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullah di dalam Al Masaa’il, jilid. 3 Masalah ke-66, hal. 25-29. Bacalah !!!)
Sehingga dengan begitu kita tidak sembarangan mengambil pendapat ulama. Karena sekali lagi kita harus mempertimbangkan baik-baik pendapat tersebut dengan kemampuan yang Allah berikan kepada kita. Sesedikit apapun ilmu kita Allah masih tetap menyisakan di dalam hati kita kemampuan untuk membandingkan manakah yang lebih baik, lebih kuat dan lebih selamat berdasarkan keterangan yang sampai kepada kita. Dan sekali lagi kami ingatkan, jangan sampai hawa nafsu kita menyebabkan kita memilih atau meninggalkan sesuatu hanya karena itu lebih cocok bagi nafsu kita. Inilah prinsip penting yang harus kita camkan, “Innamal a’maalu bin niyaat” (Sesungguhnya amal itu akan dibalas berdasarkan niatnya).
Kaidah Kedelapan: Innamal A’maalu Bin Niyaat
Dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan. Oleh karena itu barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin didapatkannya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu hanya akan mendapatkan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud amal di dalam hadits ini adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh mukallaf (orang yang sudah terkena beban syariat). Amal tersebut meliputi ucapan lisan, perbuatan anggota badan, ucapan hati dan amalan hati (lihat Syarah Arba’in Syaikh Shalih Alusy Syaikh, hal. 6)
Di dalam hadits ini Nabi mencontohkan amalan hijrah yaitu berpindah dari negeri kafir kepada negeri Islam. Dia meninggalkan negeri yang satu menuju negeri yang lain. Ada yang berniat untuk menaati syari’at dan ada juga yang berniat untuk kepentingan duniawi saja. Maka orang yang berhijrah karena taat kepada syari’at Allah akan memperoleh pahala. Sedangkan orang yang berhijrah hanya karena ingin mencari harta di negeri Islam yang ditujunya atau karena ingin menikahi seorang wanita yang ada di negeri tersebut maka dia tidak memperoleh pahala karena hijrahnya itu, walaupun dia berhasil meraup harta atau menikahi wanita (lihat Syarh Riyadhush Shalihin, I/12-13)
Bahkan sampai menutup pintu dan mematikan lampu pun apabila didasari niat ingin melaksanakan perintah Rasulullah niscaya pelakunya akan mendapat pahala…!!! (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 29-30)
Salah satu bentuk hijrah adalah hijratul ‘amal. Hijratul ‘amal adalah seseorang meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh Allah, baik berupa kemaksiatan (dosa kecil) maupun kefasikan (dosa besar). Hal ini sebagaimana disinggung dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang muslim yang baik adalah yang bisa menahan tangan dan lisannya dari menyakiti orang muslim yang lain. Dan hakikat orang yang berhijrah ialah orang yang meninggalkan sesuatu yang dilarang Allah.” (lihat Syarh Riyadhush Shalihin, I/16)
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa apabila seseorang meninggalkan suatu larangan karena menuruti syariat Allah maka dia akan mendapat pahala. Sedangkan apabila dia meninggalkan larangan bukan karena alasan seperti itu, melainkan karena tidak punya selera atau sedang tidak ada kesempatan atau karena ingin menikahi seorang wanita yang disukainya maka dia tidak mendapatkan pahala. Subhanallah !
Maka marilah kita periksa kembali amal-amal kita selama ini…Apa niat dibalik sikap kita tidak mengerjakan suatu larangan Allah, apakah murni karena ingin mengikuti syari’at ataukah ada udang di balik batu ?!
Catatan:
Ada sebagian orang yang beralasan dengan hadits di atas untuk membolehkan berbagai perbuatan yang tidak ada tuntunannya seperti Selamatan Kematian dan lain-lain. Mereka mengatakan, “Yang penting kan niatnya, kalau niatnya baik kan tidak mengapa.”
Maka kita akan sampaikan kepada mereka ucapan orang-orang musyrik di jaman Nabi sebagaimana disebutkan Allah di dalam al-Qur’an yang artinya, “Tidaklah kami menyembah mereka (berhala-berhala itu) melainkan supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya.” (QS. Az Zumar [39]: 3)
Saudaraku, cobalah perhatikan betapa mulianya tujuan mereka itu. Mereka ingin mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya. Namun apakah kita akan membenarkan tindakan mereka semata-mata karena niat baik mereka itu ? Tentu saja tidak. Kenapa ? Karena mereka melakukan sesuatu yang dilarang Allah yaitu syirik.
Maka dalam hal ini pun sama. Orang yang melakukan selamatan kematian atau perbuatan bid’ah lainnya juga tidak akan dibenarkan perbuatannya. Karena mereka telah melakukan bid’ah yang jelas-jelas dilarang Rasulullah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka dia tertolak.” (HR. Muslim)
Bukankah Nabi juga yang bersabda innamal a’maalu bin niyaat. Dan hadits ini pun datang dari sumber yang sama. Apakah akan kita katakan Nabi mengucapkan kalimat yang saling bertentangan? Oleh sebab itulah para ulama menerangkan bahwa syarat diterimanya amal selain harus ikhlas adalah harus sesuai dengan tuntunan syariat/bukan bid’ah.