Saat Ibrahim mulai menggesekkan pisau di leher Ismail, Allah menjadikan lehernya seperti dilapisi tembaga. Dia kemudian mencoba memotong lehernya dengan pisau itu, namun pisau itu tidak berfungsi. (Tafsir al-Qurtubi)
Perbincangan hangat antara seorang anak shalih bernama Ismail dengan ayahnya Ibrahim juga dapat ditemukan di al-Qur’an (as-Saffat:102). Kisah keduanya adalah contoh terbaik yang digambarakan al-Qur’an terkait triangle atau “Segitiga Cinta” antara Tuhan dan kedua hambanya. Ketiganya saling mencintai, tetapi Tuhan yang paling berkuasa, dan berhak menguji seberapa dalam cinta kedua hambanya.
Alhasil, karena ketundukan Ibrahim dan Ismail terbukti, Allah mengganti sembelihannya dengan domba, dan pada akhirnya peristiwa bersejarah ini menjadi “monumen peringatan” bagi umat muslim sedunia yang selalu ingin diambil ibrahnya saat Idul Adha tiba.
Dari kisah “Segitiga Cinta” di atas, kita juga diminta belajar bagaimana mewujudkan hubungan saling percaya antara anak dan bapak, begitu juga bagaimana puncak tertinggi keimanan seorang hamba kepada Allah, yaitu melaksanakan perintahnya—walau terkadang terasa sangat berat—dan menyerahkan segala yang kita punya kepada-Nya. Ini hanya bisa terwujud kalau kita memahami bahwa hakikatnya manusia tidak memiliki apa-apa.
Siapa Sebenarnya yang Disembelih?
Bila kita membaca berbagai riwayat dalam literatur tafsir, kita akan mengetahui bahwa terdapat perbedaan pandangan ulama salaf, bahkan para sahabat, dalam memahami siapa sebenarnya yang akan disembelih, apakah Ismail ataukah Ishaq?
Ibnu Abbas, Ka’b al-Ahbar, Sa’ad bin Jubair, dan lainnya mengatakan bahwa yang akan disembelih adalah Ishaq. Pendapat ini sesuai dengan apa yang diyakini kelompok Yahudi dan Nasrani.
Pandangan kedua mengatakan bahwa yang akan disembelih atau dijadikan kurban adalah Ismail. Di antara mereka ada Abu Hurairah, Abu at-Tufail, Mujahid, dan lainnya. (Lihat Tafsir al-Qurthubi dalam tafsir surat as-Saffat: 102)
Persoalan tentang siapa yang sebenarnya disembelih tidak masuk dalam persoalan agama yang bersifat qat’i atau pasti. Karena itu, kata az-Zujjaj:
اللَّهُ أَعْلَمُ أَيُّهُمَا الذَّبِيحُ.
“Allah yang lebih tahu siapa yang sebenarnya disembelih.”
Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim dengan tegas menolak pendapat pertama, dan dia meyakini cerita itu muncul dari Ahli Kitab lalu diterima sebagian muslim tanpa dalil yang kuat.
Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, ulama dalam bidang ilmu al-Qur’an dan hadis di al-Azhar dan Ummul Qura, menambahkan bahwa cerita penyembelihan Ishaq adalah imbas dari menyebarnya cerita Israiliyat yang bersumber dari kitab Taurat. Sedangkan Taurat mereka telah diubah. Ini sebagaimana kata Allah:
يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ مِن بَعْدِ مَوَاضِعِهِ
“Mereka mengubah kata-kata (Taurat) dari makna yang sebenarnya.”
Karena itu, kata Muhammad Abu Syahbah, cerita Israiliyat model ini termasuk yang ditolak. Sebagaimana kata Imam Malik terkait hadis Nabi kepada para sahabatnya:
حَدّثوا عَن بني إسرائيل ولا حَرج
Maksudnya, boleh menyampaikan cerita baik yang dibawa oleh Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), adapun cerita yang telah diketahui kebohongannya, maka jangan diikuti atau tolaklah. (Muhammad Abu Syahbah, al-Israiliyyat wa al-Maudu’at).
Referensi : Hikayat dan Hikmah Penyembelihan Ismail