This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Kamis, 29 September 2022

Melafazkan Niat Haji Dan Umrah

Pertanyaan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah boleh melafazkan niat untuk melaksanakan umrah, haji, thawaf, atau sa’i ? Dan kapan noleh mengucapkan niat ?


Pertanyaan  Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah boleh melafazkan niat untuk melaksanakan umrah, haji, thawaf, atau sa’i ? Dan kapan noleh mengucapkan niat ?      Jawaban  Melafazkan niat tidak terdapat keterangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam shalat, thaharah, puasa, bahkan dalam semua ibadah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk haji dan umrah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin haji atau umrah tidak mengatakan : “Ya Allah, saya ingin demikian dan demikian”. Tidak terdapat riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian itu dan beliau juga tidak pernah memerintahkan kepada seorang pun dari sahabatnya”. Yang ada dalam hal ini hanya bahwa Dhaba’ah binti Zubair, semoga Allah meridhainya, mengadu kepada Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam bahwa dia ingin haji dan dia sakit. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya :    “Berhajilah kamu dan syaratkan, bahwa tempatku ketika aku tertahan. Sebab yang dinilai oleh Allah untukmu, apa yang kamu kecualikan” [Muttafaqun ‘Alaihi]    Sesungguhnya perkataan di sini dengan lisan. Sebab akad haji sama dengan nadzar. Dan bila manusia niat untuk bernazdar dalam hatinya maka demikian itu bukan nadzar dan tidak berlaku hukum nadzar. Karena haji seperti nadzar dalam keharusan menepatinya jika telah merencanakannya (niat), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Dhaba’ah untuk mensyari’atkan dengan mengatakan : “Jika aku terhalang oleh halangan apapun, maka tempatku ketika aku terhalang”. Adapun hadits yang menyatakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan berkata : “Shalatlah kamu di lembah yang diberkati Allah ini, dan katakanlah : ” Umrah dalam haji atau umrah dan haji”.Maka demikian itu bukan berarti bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan niat. Tetapi maknanya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan manasiknya dalam talbiyahnya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkan niat.
Jawaban

Melafazkan niat tidak terdapat keterangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam shalat, thaharah, puasa, bahkan dalam semua ibadah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk haji dan umrah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin haji atau umrah tidak mengatakan : “Ya Allah, saya ingin demikian dan demikian”. Tidak terdapat riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian itu dan beliau juga tidak pernah memerintahkan kepada seorang pun dari sahabatnya”. Yang ada dalam hal ini hanya bahwa Dhaba’ah binti Zubair, semoga Allah meridhainya, mengadu kepada Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam bahwa dia ingin haji dan dia sakit. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya :


“Berhajilah kamu dan syaratkan, bahwa tempatku ketika aku tertahan. Sebab yang dinilai oleh Allah untukmu, apa yang kamu kecualikan” [Muttafaqun ‘Alaihi]


Sesungguhnya perkataan di sini dengan lisan. Sebab akad haji sama dengan nadzar. Dan bila manusia niat untuk bernazdar dalam hatinya maka demikian itu bukan nadzar dan tidak berlaku hukum nadzar. Karena haji seperti nadzar dalam keharusan menepatinya jika telah merencanakannya (niat), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Dhaba’ah untuk mensyari’atkan dengan mengatakan : “Jika aku terhalang oleh halangan apapun, maka tempatku ketika aku terhalang”. Adapun hadits yang menyatakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan berkata : “Shalatlah kamu di lembah yang diberkati Allah ini, dan katakanlah : ” Umrah dalam haji atau umrah dan haji”.Maka demikian itu bukan berarti bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan niat. Tetapi maknanya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan manasiknya dalam talbiyahnya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkan niat.

Burung Merpati Di Tanah Suci, Barang Temuan Di Mekkah

Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah boleh melafazkan niat untuk melaksanakan umrah, haji, thawaf, atau sa’i ? Dan kapan noleh mengucapkan niat ?  Jawaban Melafazkan niat tidak terdapat keterangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam shalat, thaharah, puasa, bahkan dalam semua ibadah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk haji dan umrah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin haji atau umrah tidak mengatakan : “Ya Allah, saya ingin demikian dan demikian”. Tidak terdapat riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian itu dan beliau juga tidak pernah memerintahkan kepada seorang pun dari sahabatnya”. Yang ada dalam hal ini hanya bahwa Dhaba’ah binti Zubair, semoga Allah meridhainya, mengadu kepada Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam bahwa dia ingin haji dan dia sakit. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya :  “Berhajilah kamu dan syaratkan, bahwa tempatku ketika aku tertahan. Sebab yang dinilai oleh Allah untukmu, apa yang kamu kecualikan” [Muttafaqun ‘Alaihi]  Sesungguhnya perkataan di sini dengan lisan. Sebab akad haji sama dengan nadzar. Dan bila manusia niat untuk bernazdar dalam hatinya maka demikian itu bukan nadzar dan tidak berlaku hukum nadzar. Karena haji seperti nadzar dalam keharusan menepatinya jika telah merencanakannya (niat), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Dhaba’ah untuk mensyari’atkan dengan mengatakan : “Jika aku terhalang oleh halangan apapun, maka tempatku ketika aku terhalang”. Adapun hadits yang menyatakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan berkata : “Shalatlah kamu di lembah yang diberkati Allah ini, dan katakanlah : ” Umrah dalam haji atau umrah dan haji”. Pertanyaan.  Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta ditanya : Seseorang yang haji mengatakan bahwa burung merpati di Madinah jika telah dekat waktunya untuk mati, maka dia pergi ke Mekkah dan membelah langit di atas Ka’bah sebagai perpisahan kepadanya, kemudian mati setelah terbang beberapa mil. Apakah demikian ini benar ataukah tidak, mohon penjelasan?  Jawaban.  Burung merpati Madinah, bahkan burung merpati Mekkah, tidak mempunyai keistimewaan khusus atas burung merpati lainnya. Hanya saja dilarang menjadikan burung merpati di tanah suci sebagai buruan atau mengusirnya bagi orang yang sedang ihram haji atau umrah, bahkan bagi orang yang tidak sedang ihram, jika burung merpati berada di Mekkah atau di Madinah. Tapi jika keluar dari kedua tanah suci, maka boleh menangkapnya dan menyembelihnya bagi orang yang tidak ihram haji atau umrah berdasarkan firman Allah.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ  “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram” [al-Ma’idah/5 : 95]  Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.  إِنَّ اللَّه حَرَّمَ مَكَّةَ فَلَمْ تَحِلْ لأَحَدٍ قَبْلِي وَلاَ تَحِلٌ لآَ حَدٍ بَعْدِي، وَإِنَّمَا أُحِلَّتْ لِي سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ، لاَيُخْتَلَي خَلاَهَا وَلاَ يُعْضَدُ شَجَرُ هَا وَلاَ يُنَفِّرُ صَيْدُ هَا  “Sesungguhnya Allah memuliakan kota Mekkah, maka tidak halal bagi seseorang sebelumku dan juga setelahku. Sesungguhnya dia halal bagiku sesaat dari waktu siang. Tidak boleh dicabut tanamannya, tidak boleh dipotong pohonnya dan tidak boleh diusir binatang buruannya” [HR Bukhari]  Dan dalam hadits lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.  “Sesungguhnya Nabi Ibrahim memuliakan Mekkah dan aku memuliakan Madinah. Tidak boleh dipotong pohonnya dan tidak boleh diburu binatang buruannya” [HR Muslim]  Maka barangsiapa yang menyatakan bahwa burung merpati mana pun yang di Madinah jika dekat ajalnya terbang ke Mekkah dan melintas di atas Ka’bah, maka dia orang bodoh yang mendalihkan sesuatu tanpa dasar yang shahih. Sebab ajal (kematian) tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah. Firman-Nya.  وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ  “Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi manapun dia akan mati” [Luqman/31: 34]  Sedangkan perpisahan dengan Ka’bah adalah dengan melakukan thawaf di sekelilingnya, dan itupun bagi orang haji dan umrah. Maka menyatakan bahwa burung merpati mengetahui ajalnya dan berpamitan ke Ka’bah dengan terbang di atasnya adalah suatu dalil yang bohong dan tidak akan berani melakukannya kecuali orang bodoh yang membuat kebohongan kepada Allah dan kepada hamba-hambaNya.  Dan kepada Allah kita mohon pertolongan. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhamamd, keluarga dan shahabatnya.  BARANG TEMUAN DI MEKKAH TIDAK BOLEH DIMILIKI  Oleh  Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin  Pertanyaan  Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah saya boleh mengambil barang yang hilang di Mekkah dan membawanya lalu mengumumkan di tempat saya tinggal? Ataukah yang wajib atas saya memberitahukannya di pintu-pintu masjid, pasar dan lainnya di Mekkah al-Mukarramah?  Jawaban  Barang temuan di Mekkah secara khusus tidak halal diambil kecuali oleh orang yang akan mengumumkannya atau menyerahkan kepada pihak berwenang yang mengurusi harta seperti itu. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :  Baca Juga  Memilih Haji Sunnah Ataukah Sedekah Untuk Membiayai Para Pejuang  “Dan tidak halal mengambil barang temuan di Mekkah kecuali orang yang akan mengumumkannya”    Adapun hikmah dibalik itu adalah, bahwa barang yang hilang jika masih di tempatnya maka boleh jadi pemiliknya akan kembali kepada tempat tersebut dan akan mendapatkannya. Atas dasar ini, kami mengatakan kepada saudara penanya, bahwa kamu wajib mengumumkannya di Mekkah al-Mukarramah di tempat ditemukannnya barang dan sekitarnya, seperti di pintu-pintu masjid dan tempat-tempat berkumpulnya manusia. Dan jika tidak, maka serahkanlah barang tersebut kepada para petugas yang khusus menangani barang hilang atau yang lainnya.  MEMOTONG POHON DI TANAH SUCI  Oleh  Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin  Pertanyaan  Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apa yang wajib dilakukan orang yang memotong pohon di tanah suci? Dan apa batas-batas tanah suci?  Jawaban  Siapa yang memotong pohon besar di Mekkah maka dia wajib menyembelih unta, dan jika pohonnya kecil wajib menyembelih kambing. Sedangkan kesalahan karena mencabut rumput maka ditentukan nilainya oleh hakim. Tetapi diperbolehkan memotong dahan yang menjulur ke jalan dan mengganggu orang yang lewat. Sebagaimana juga boleh memotong tumbuhan yang di tanam manusia.  Adapun batas-batas tanah haram adalah telah maklum. Di mana pada batas akhirnya terdapat rambu-rambu jelas yang terdapat di jalan-jalan, seperti yang terdapat di antara Muzdalifah dan Arafah, di jalan ke Jeddah dekat Al-Syumaisi, di Hudaibiyah dan lain-lain.Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah boleh melafazkan niat untuk melaksanakan umrah, haji, thawaf, atau sa’i ? Dan kapan noleh mengucapkan niat ?  Jawaban Melafazkan niat tidak terdapat keterangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam shalat, thaharah, puasa, bahkan dalam semua ibadah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk haji dan umrah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin haji atau umrah tidak mengatakan : “Ya Allah, saya ingin demikian dan demikian”. Tidak terdapat riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian itu dan beliau juga tidak pernah memerintahkan kepada seorang pun dari sahabatnya”. Yang ada dalam hal ini hanya bahwa Dhaba’ah binti Zubair, semoga Allah meridhainya, mengadu kepada Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam bahwa dia ingin haji dan dia sakit. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya :  “Berhajilah kamu dan syaratkan, bahwa tempatku ketika aku tertahan. Sebab yang dinilai oleh Allah untukmu, apa yang kamu kecualikan” [Muttafaqun ‘Alaihi]  Sesungguhnya perkataan di sini dengan lisan. Sebab akad haji sama dengan nadzar. Dan bila manusia niat untuk bernazdar dalam hatinya maka demikian itu bukan nadzar dan tidak berlaku hukum nadzar. Karena haji seperti nadzar dalam keharusan menepatinya jika telah merencanakannya (niat), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Dhaba’ah untuk mensyari’atkan dengan mengatakan : “Jika aku terhalang oleh halangan apapun, maka tempatku ketika aku terhalang”. Adapun hadits yang menyatakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan berkata : “Shalatlah kamu di lembah yang diberkati Allah ini, dan katakanlah : ” Umrah dalam haji atau umrah dan haji”.

Pertanyaan.

Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta ditanya : Seseorang yang haji mengatakan bahwa burung merpati di Madinah jika telah dekat waktunya untuk mati, maka dia pergi ke Mekkah dan membelah langit di atas Ka’bah sebagai perpisahan kepadanya, kemudian mati setelah terbang beberapa mil. Apakah demikian ini benar ataukah tidak, mohon penjelasan?

Jawaban.

Burung merpati Madinah, bahkan burung merpati Mekkah, tidak mempunyai keistimewaan khusus atas burung merpati lainnya. Hanya saja dilarang menjadikan burung merpati di tanah suci sebagai buruan atau mengusirnya bagi orang yang sedang ihram haji atau umrah, bahkan bagi orang yang tidak sedang ihram, jika burung merpati berada di Mekkah atau di Madinah. Tapi jika keluar dari kedua tanah suci, maka boleh menangkapnya dan menyembelihnya bagi orang yang tidak ihram haji atau umrah berdasarkan firman Allah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram” [al-Ma’idah/5 : 95]

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ اللَّه حَرَّمَ مَكَّةَ فَلَمْ تَحِلْ لأَحَدٍ قَبْلِي وَلاَ تَحِلٌ لآَ حَدٍ بَعْدِي، وَإِنَّمَا أُحِلَّتْ لِي سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ، لاَيُخْتَلَي خَلاَهَا وَلاَ يُعْضَدُ شَجَرُ هَا وَلاَ يُنَفِّرُ صَيْدُ هَا

“Sesungguhnya Allah memuliakan kota Mekkah, maka tidak halal bagi seseorang sebelumku dan juga setelahku. Sesungguhnya dia halal bagiku sesaat dari waktu siang. Tidak boleh dicabut tanamannya, tidak boleh dipotong pohonnya dan tidak boleh diusir binatang buruannya” [HR Bukhari]

Dan dalam hadits lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Sesungguhnya Nabi Ibrahim memuliakan Mekkah dan aku memuliakan Madinah. Tidak boleh dipotong pohonnya dan tidak boleh diburu binatang buruannya” [HR Muslim]

Maka barangsiapa yang menyatakan bahwa burung merpati mana pun yang di Madinah jika dekat ajalnya terbang ke Mekkah dan melintas di atas Ka’bah, maka dia orang bodoh yang mendalihkan sesuatu tanpa dasar yang shahih. Sebab ajal (kematian) tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah. Firman-Nya.

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ

“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi manapun dia akan mati” [Luqman/31: 34]

Sedangkan perpisahan dengan Ka’bah adalah dengan melakukan thawaf di sekelilingnya, dan itupun bagi orang haji dan umrah. Maka menyatakan bahwa burung merpati mengetahui ajalnya dan berpamitan ke Ka’bah dengan terbang di atasnya adalah suatu dalil yang bohong dan tidak akan berani melakukannya kecuali orang bodoh yang membuat kebohongan kepada Allah dan kepada hamba-hambaNya.

Dan kepada Allah kita mohon pertolongan. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhamamd, keluarga dan shahabatnya.

BARANG TEMUAN DI MEKKAH TIDAK BOLEH DIMILIKI

Oleh

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah saya boleh mengambil barang yang hilang di Mekkah dan membawanya lalu mengumumkan di tempat saya tinggal? Ataukah yang wajib atas saya memberitahukannya di pintu-pintu masjid, pasar dan lainnya di Mekkah al-Mukarramah?

Jawaban

Barang temuan di Mekkah secara khusus tidak halal diambil kecuali oleh orang yang akan mengumumkannya atau menyerahkan kepada pihak berwenang yang mengurusi harta seperti itu. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Baca Juga  Memilih Haji Sunnah Ataukah Sedekah Untuk Membiayai Para Pejuang

“Dan tidak halal mengambil barang temuan di Mekkah kecuali orang yang akan mengumumkannya”


Adapun hikmah dibalik itu adalah, bahwa barang yang hilang jika masih di tempatnya maka boleh jadi pemiliknya akan kembali kepada tempat tersebut dan akan mendapatkannya. Atas dasar ini, kami mengatakan kepada saudara penanya, bahwa kamu wajib mengumumkannya di Mekkah al-Mukarramah di tempat ditemukannnya barang dan sekitarnya, seperti di pintu-pintu masjid dan tempat-tempat berkumpulnya manusia. Dan jika tidak, maka serahkanlah barang tersebut kepada para petugas yang khusus menangani barang hilang atau yang lainnya.

MEMOTONG POHON DI TANAH SUCI

Oleh

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Pertanyaan

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apa yang wajib dilakukan orang yang memotong pohon di tanah suci? Dan apa batas-batas tanah suci?

Jawaban

Siapa yang memotong pohon besar di Mekkah maka dia wajib menyembelih unta, dan jika pohonnya kecil wajib menyembelih kambing. Sedangkan kesalahan karena mencabut rumput maka ditentukan nilainya oleh hakim. Tetapi diperbolehkan memotong dahan yang menjulur ke jalan dan mengganggu orang yang lewat. Sebagaimana juga boleh memotong tumbuhan yang di tanam manusia.

Adapun batas-batas tanah haram adalah telah maklum. Di mana pada batas akhirnya terdapat rambu-rambu jelas yang terdapat di jalan-jalan, seperti yang terdapat di antara Muzdalifah dan Arafah, di jalan ke Jeddah dekat Al-Syumaisi, di Hudaibiyah dan lain-lain.


Ragu Dalam Putaran Thawaf yang Telah Dilakukan

Pertanyaan  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Pada bulan Ramadhan yang lalu saya melaksanakan umrah, tapi ketika pada akhir thawaf saya ragu dalam hitungan putaran, apakah enam atau tujuh. Dan karena takut kurang dalam hitungan putaran thawaf dan untuk memutuskan keraguan maka saya thawaf dengan menambahkan satu putaran. Saya tidak mengerti, apakah yang saya lakukan itu benar atau tidak ? Dan apakah saya wajib melakukan sesuatu dalam hal tersebut .?  Jawaban  Sungguh bagus apa yang kamu lakukan. dan demikian itu adalah yang wajib bagi kamu lakukan. Sebab yang wajib bagi orang yang ragu dalam hitungan putaran thawaf dan sa’i adalah berpedoman kepada yang diyakininya, yaitu mengambil yang sedikit. Seperti orang yang ragu dalam shalat, apakah dia telah shalat tiga raka’at ataukah empat rakaat, maka dia harus menetapkan kepada yang yakin, yaitu mengambil yang sedikit, lalu dia melakukan raka’at yang keempat, dan dia sujud sahwi jika dia menjadi imam atau sendirian. Adapun jika dia makmum maka dia mengikuti imamnya. Demikian juga dalam thawaf. Jika seseorang ragu dalam thawafnya, apakah dia telah thawaf enam atau tujuh putaran, maka dia menetapkan kepada yang yakin, yaitu mengambil yang sedikit, lalu dia melaksanakan putaran thawaf ke tujuh. Dan untuk itu dia tidak terkena kafarat.  HUKUM DAN TEMPAT SHALAT DUA RAKAAT THAWAF  Oleh  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz  Pertanyaan  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah shalat dua rakaat thawaf di belakang maqam Ibrahim merupakan keharusan bagi setiap orang yang thawaf ? Dan apa hukum orang yang lupa melakukannya .?    Jawaban  Shalat dua rakaat setelah thawaf tidak harus dilakukan di belakang maqam Ibrahim, tapi dapat dilakukan di tempat mana saja di Masjidil Haram. Bagi orang yang lupa melakukannya, maka tidak berdosa karenanya. Sebab shalat dua raka’at setelah thawaf hukmnya sunnah, dan bukan wajib.  TIDAK MAMPU MELAKSANAKAN THAWAF QUDUM  Oleh  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz  Pertanyaan  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Seseorang tidak mampu thawaf qudum karena dia sampai di Mekkah pada waktu ashar hari Arafah. Apakah dia langsung pergi ke Arafah tanpa harus melewati Masjidil Haram ? Dan apa yang haris dilakukan jika hal itu terjadi .?  Jawaban  Dia memilih salah satu dari dua hal :  Pertama, masuk ke Masjidil Haram untuk thawaf dan sa’i. Lalu dengan tetap dalam ihram, dia pergi ke Arafah untuk wukuf walaupun pada malam hari. Kemudian dia pergi ke Muzdalifah untuk mabit di sana.  Kedua, dia langsung ke Arafah dan wukuf hingga maghrib, lalu pergi bersama manusia ke Muzdalifah dan shalat maghrib dan isya dengan jama’ ketika di Muzdalifah dan bermalam di Muzdalifah. Kemudian setelah itu dia thawaf dan sa’i pada hari ‘Idul Adha atau setelahnya. Untuk itu dia tidak harus membayar dam jika dia ihram untuk haji saja (haji ifrad). Adapun jika dia ihram untuk haji dan umrah sekaligus (haji qiran atau haji tamattu) maka dia harus membayar dam, yaitu sepertujuh unta, atau sepertujuh sapi, atau satu kambing yang disembelih di Mina atau di Mekkah, dan dia makan sebagian darinya dan sebagian disedekahkan kepada fakir miskin berdasarkan firman Allah.  لِّيَشْهَدُوْا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْلُوْمٰتٍ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۚ فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْبَاۤىِٕسَ الْفَقِيْرَ  “Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atau rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak, Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi miskin”. [Al-Hajj/22 : 28]  MENINGGAL DUNIA SEBELUM THAWAF IFADHAH  Oleh  Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta  Pertanyaan  Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Seseorang telah melaksanakan amal-amal haji selain thawaf ifadhah lalu dia meninggal, apakah thawafnya digantikan oleh orang lain ataukah tidak ?  Jawaban  Orang yang telah melaksanakan amal-amal haji selain thawaf ifadhah kemudian meninggal sebelum thawaf ifadhah, maka thawafnya tidak digantikan. Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu berkata :  “Artinya : Ketika seseorang wukuf bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba dia jatuh dari untanya, maka dia meninggal. Lalu hal itu dilaporkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda : “Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, dan kafankanlah dia dengan dua baju ihramnya, jangan kamu berikan parfum dan jangan kamu tutup kepalanya. Sebab Allah akan membangkitkan dia pada hari kiamat dalam keadaan berihram” [Hadits Riwayat Bukhari, Muslim dan Ahlus Sunnan]  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk menggantikan thawafnya, bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan berihram karena dia masih dalam ihram sedangkan dia belum thawaf dan juga tidak digantikan thawafnya.  MENGAKHIRKAN SA’I DARI THAWAF IFADHAH  Oleh  Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta  Pertanyaan  Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Apa hukum orang yang telah thawaf ifadhah dan belum sa’i hingga matahari terbenam pada akhir hari tasyriq ? Dan apa hukum sa’i jika dilakukan setelah matahari terbenam pada hari pelaksanaan dan setelah hari-hari tasyriq ?  Jawaban  Sa’i yang dilakukan pada akhir hari tasyriq atau setelah hari-hari tasyriq adalah sah hukumnya dan tidak dosa karena mengakhirkannya. Sebab syarat sahnya sa’i tidak harus dilakukan bersambung dengan thawaf ifadhah, tapi sebaiknya sa’i dilakukan langsung setelah thawaf ifadhah karena mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Pada bulan Ramadhan yang lalu saya melaksanakan umrah, tapi ketika pada akhir thawaf saya ragu dalam hitungan putaran, apakah enam atau tujuh. Dan karena takut kurang dalam hitungan putaran thawaf dan untuk memutuskan keraguan maka saya thawaf dengan menambahkan satu putaran. Saya tidak mengerti, apakah yang saya lakukan itu benar atau tidak ? Dan apakah saya wajib melakukan sesuatu dalam hal tersebut .?

Jawaban

Sungguh bagus apa yang kamu lakukan. dan demikian itu adalah yang wajib bagi kamu lakukan. Sebab yang wajib bagi orang yang ragu dalam hitungan putaran thawaf dan sa’i adalah berpedoman kepada yang diyakininya, yaitu mengambil yang sedikit. Seperti orang yang ragu dalam shalat, apakah dia telah shalat tiga raka’at ataukah empat rakaat, maka dia harus menetapkan kepada yang yakin, yaitu mengambil yang sedikit, lalu dia melakukan raka’at yang keempat, dan dia sujud sahwi jika dia menjadi imam atau sendirian. Adapun jika dia makmum maka dia mengikuti imamnya. Demikian juga dalam thawaf. Jika seseorang ragu dalam thawafnya, apakah dia telah thawaf enam atau tujuh putaran, maka dia menetapkan kepada yang yakin, yaitu mengambil yang sedikit, lalu dia melaksanakan putaran thawaf ke tujuh. Dan untuk itu dia tidak terkena kafarat.

HUKUM DAN TEMPAT SHALAT DUA RAKAAT THAWAF

Oleh

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah shalat dua rakaat thawaf di belakang maqam Ibrahim merupakan keharusan bagi setiap orang yang thawaf ? Dan apa hukum orang yang lupa melakukannya .?


Jawaban

Shalat dua rakaat setelah thawaf tidak harus dilakukan di belakang maqam Ibrahim, tapi dapat dilakukan di tempat mana saja di Masjidil Haram. Bagi orang yang lupa melakukannya, maka tidak berdosa karenanya. Sebab shalat dua raka’at setelah thawaf hukmnya sunnah, dan bukan wajib.

TIDAK MAMPU MELAKSANAKAN THAWAF QUDUM

Oleh

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Seseorang tidak mampu thawaf qudum karena dia sampai di Mekkah pada waktu ashar hari Arafah. Apakah dia langsung pergi ke Arafah tanpa harus melewati Masjidil Haram ? Dan apa yang haris dilakukan jika hal itu terjadi .?

Jawaban

Dia memilih salah satu dari dua hal :

Pertama, masuk ke Masjidil Haram untuk thawaf dan sa’i. Lalu dengan tetap dalam ihram, dia pergi ke Arafah untuk wukuf walaupun pada malam hari. Kemudian dia pergi ke Muzdalifah untuk mabit di sana.

Kedua, dia langsung ke Arafah dan wukuf hingga maghrib, lalu pergi bersama manusia ke Muzdalifah dan shalat maghrib dan isya dengan jama’ ketika di Muzdalifah dan bermalam di Muzdalifah. Kemudian setelah itu dia thawaf dan sa’i pada hari ‘Idul Adha atau setelahnya. Untuk itu dia tidak harus membayar dam jika dia ihram untuk haji saja (haji ifrad). Adapun jika dia ihram untuk haji dan umrah sekaligus (haji qiran atau haji tamattu) maka dia harus membayar dam, yaitu sepertujuh unta, atau sepertujuh sapi, atau satu kambing yang disembelih di Mina atau di Mekkah, dan dia makan sebagian darinya dan sebagian disedekahkan kepada fakir miskin berdasarkan firman Allah.

لِّيَشْهَدُوْا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْلُوْمٰتٍ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۚ فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْبَاۤىِٕسَ الْفَقِيْرَ

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atau rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak, Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi miskin”. [Al-Hajj/22 : 28]

MENINGGAL DUNIA SEBELUM THAWAF IFADHAH

Oleh

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta

Pertanyaan

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Seseorang telah melaksanakan amal-amal haji selain thawaf ifadhah lalu dia meninggal, apakah thawafnya digantikan oleh orang lain ataukah tidak ?

Jawaban

Orang yang telah melaksanakan amal-amal haji selain thawaf ifadhah kemudian meninggal sebelum thawaf ifadhah, maka thawafnya tidak digantikan. Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu berkata :

“Artinya : Ketika seseorang wukuf bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba dia jatuh dari untanya, maka dia meninggal. Lalu hal itu dilaporkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda : “Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, dan kafankanlah dia dengan dua baju ihramnya, jangan kamu berikan parfum dan jangan kamu tutup kepalanya. Sebab Allah akan membangkitkan dia pada hari kiamat dalam keadaan berihram” [Hadits Riwayat Bukhari, Muslim dan Ahlus Sunnan]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk menggantikan thawafnya, bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan berihram karena dia masih dalam ihram sedangkan dia belum thawaf dan juga tidak digantikan thawafnya.

MENGAKHIRKAN SA’I DARI THAWAF IFADHAH

Oleh

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta

Pertanyaan

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Apa hukum orang yang telah thawaf ifadhah dan belum sa’i hingga matahari terbenam pada akhir hari tasyriq ? Dan apa hukum sa’i jika dilakukan setelah matahari terbenam pada hari pelaksanaan dan setelah hari-hari tasyriq ?

Jawaban

Sa’i yang dilakukan pada akhir hari tasyriq atau setelah hari-hari tasyriq adalah sah hukumnya dan tidak dosa karena mengakhirkannya. Sebab syarat sahnya sa’i tidak harus dilakukan bersambung dengan thawaf ifadhah, tapi sebaiknya sa’i dilakukan langsung setelah thawaf ifadhah karena mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Tentara Menunaikan Haji Tanpa Seizin Komandannya

Pertanyaan Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Saya telah berjanji kepada Allah untuk pergi haji setiap tahun dan ketika itu saya bukan sebagai pegawai. Tapi karena desakan kondisi saya menjadi tentara, dan komandan saya tidak memperbolehkan saya haji setiap tahun. Mohon penjelasan, apakah saya berdosa ataukah tidak ?  Jawaban Jika yang menghambat seseorang dalam melaksanakan haji pada sebagian tahun karena hal-hal yang memaksa dan tidak dapat menanggulanginya, maka tidak dosa. Sebab Allah berfirman.  لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan” [Al-Baqarah/2 : 286]  Allah juga berfirman.  مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ “Allah tidak hendak menyulitkan jamu” [Al-Maidah/5 : 6]  Kepada Allah kita mohon pertolongan. Dan shalawat serta salam kepada pemimpin kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.  BUTUH PEKERJAAN MEMBOLEHKAN PENUNDAAN HAJI  Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin  Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sejak tiga tahun saya mengajukan cuti dari pekerjaan-ku untuk melaksanakan haji wajib. Tapi kondisi tidak mengizinkan saya melakukan itu karena saya membutuhkan pekerjaan. Apa yang harus saya lakukan .? Dan bagaimana hukumnya jika saya haji tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka.?  Jawaban Selama kamu terkait dengan orang lain, maka kamu tidak wajib haji melainkan setelah persetujuan orang tersebut. Dan jika kebutuhan menuntut untuk tetap di tempat, maka tidak ada halangan jika kamu tidak haji. Tapi jika keperluan untuk tetap sudah selesai, maka kamu boleh haji, baik dengan cara bergantian atau dengan cara lain.  Pertanyaan  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah seorang polisi boleh pergi haji tanpa seizin komandannya .?    Jawaban  Seorang pegawai atau polisi tidak boleh pergi haji kecuali dengan izin atasannya secara mutlak, baik haji wajib maupun sunah. Sebab waktu pegawai atau polisi merupakan hak atasan, di samping karena pekerjaan-pekerjaan haji terkadang menghambat pegawai, atau polisi dari melaksanakan sebagian tugasnya.    TENTARA MENUNAIKAN IBADAH HAJI BERSAMA IBUNYA TANPA SEIZIN KOMANDANNYA    Oleh  Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta    Pertanyaan  Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Saya seorang tentara dan ingin haji dengan ibu saya namun komandan tidak mengizinkan. Apakah saya berdosa jika pergi haji bersama ibu saya tanpa seizin komandan .?    Jawaban  Anda mendapatkan gaji sebab pekerjaan anda. Maka jika anda meninggalkan pekerjaan tanpa seizin komandan untuk berhaji bersama ibu anda adalah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sebab kewajiban anda adalah melaksanakan tugas ketentaraan. Oleh karena itu anda tidak boleh pergi haji bersama ibu anda tanpa seizin komandan. Agar lebih berhati-hati, hendaklah seseorang dari mahram ibu anda menyertainya dalam haji, dan hendaknya anda memberikan biaya haji untuk mereka berdua jika anda menghendaki itu. Dan shalawat serta salam kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada keluarga dan sahabatnya.

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Saya telah berjanji kepada Allah untuk pergi haji setiap tahun dan ketika itu saya bukan sebagai pegawai. Tapi karena desakan kondisi saya menjadi tentara, dan komandan saya tidak memperbolehkan saya haji setiap tahun. Mohon penjelasan, apakah saya berdosa ataukah tidak ?

Jawaban
Jika yang menghambat seseorang dalam melaksanakan haji pada sebagian tahun karena hal-hal yang memaksa dan tidak dapat menanggulanginya, maka tidak dosa. Sebab Allah berfirman.

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan” [Al-Baqarah/2 : 286]

Allah juga berfirman.

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ

Allah tidak hendak menyulitkan jamu” [Al-Maidah/5 : 6]

Kepada Allah kita mohon pertolongan. Dan shalawat serta salam kepada pemimpin kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

BUTUH PEKERJAAN MEMBOLEHKAN PENUNDAAN HAJI

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sejak tiga tahun saya mengajukan cuti dari pekerjaan-ku untuk melaksanakan haji wajib. Tapi kondisi tidak mengizinkan saya melakukan itu karena saya membutuhkan pekerjaan. Apa yang harus saya lakukan .? Dan bagaimana hukumnya jika saya haji tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka.?

Jawaban
Selama kamu terkait dengan orang lain, maka kamu tidak wajib haji melainkan setelah persetujuan orang tersebut. Dan jika kebutuhan menuntut untuk tetap di tempat, maka tidak ada halangan jika kamu tidak haji. Tapi jika keperluan untuk tetap sudah selesai, maka kamu boleh haji, baik dengan cara bergantian atau dengan cara lain.

Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah seorang polisi boleh pergi haji tanpa seizin komandannya .?


Jawaban

Seorang pegawai atau polisi tidak boleh pergi haji kecuali dengan izin atasannya secara mutlak, baik haji wajib maupun sunah. Sebab waktu pegawai atau polisi merupakan hak atasan, di samping karena pekerjaan-pekerjaan haji terkadang menghambat pegawai, atau polisi dari melaksanakan sebagian tugasnya.


TENTARA MENUNAIKAN IBADAH HAJI BERSAMA IBUNYA TANPA SEIZIN KOMANDANNYA


Oleh

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta


Pertanyaan

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Saya seorang tentara dan ingin haji dengan ibu saya namun komandan tidak mengizinkan. Apakah saya berdosa jika pergi haji bersama ibu saya tanpa seizin komandan .?


Jawaban

Anda mendapatkan gaji sebab pekerjaan anda. Maka jika anda meninggalkan pekerjaan tanpa seizin komandan untuk berhaji bersama ibu anda adalah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sebab kewajiban anda adalah melaksanakan tugas ketentaraan. Oleh karena itu anda tidak boleh pergi haji bersama ibu anda tanpa seizin komandan. Agar lebih berhati-hati, hendaklah seseorang dari mahram ibu anda menyertainya dalam haji, dan hendaknya anda memberikan biaya haji untuk mereka berdua jika anda menghendaki itu. Dan shalawat serta salam kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada keluarga dan sahabatnya.

Hukum dan Waktu Mabit Di Muzdalifah

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum mabit di Muzdalifah, berapa lama waktunya, dan kapan orang yang haji bertolak darinya ?

Jawaban
Menurut pendapat yang shahih, mabit di Muzdalifah adalah wajib. Tapi sebagian ulama mengatakan mabit di Muzdalifah sebagai rukun haji, dan sebagian lain mengatakan sunnah. Adapun yang benar dari pendapat tersebut, bahwa mabit di Muzdalifah adalah wajib. Maka siapa saja yang meninggalkannya wajib membayar dam.

Adapun yang sunnah dalam mabit di Muzdalifah adalah tidak meninggalkan Muzdalifah melainkan setelah shalat Subuh dan setelah langit menguning sebelum matahari terbit. Di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat shubuh di Muzdalifah dan berdzikir setelah shalat, lalu setelah langit menguning beliau bertolak manuju ke Mina dengan bertalbiyah.

Tetapi bagi orang-orang yang lemah, seperti wanita dan orang-orang tua, diperbolehkan meninggalkan Muzdalifah pada tengah malam kedua. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada mereka untuk hal tersebut. Adapun orang-orang yang kuat, maka yang sunnah bagi mereka adalah tetap di Muzdalifah hingga shalat shubuh dan banyak dzikir setelah shalat kemudian kemudian bertolak menuju Mina sebelum matahari terbit. Ketika berdo’a di Muzdalifah disunnahkan mengangkat kedua tangan seraya menghadap kiblat seperti ketika di Arafah. Dan bahwa kawasan Muzdalifah adalah tempat mabit.

TIDAK MABIT DI MUZDALIFAH DAN HANYA MELINTASINYA

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bagaimana pedoman dalam mabit di Muzdalifah ? Dan apa hukum bagi orang yang berhalangan mabit di Muzdalifah dan hanya melintasinya ?

Jawaban
Wajib atas orang yang haji mabit di Muzdalifah hingga tengah malam. Dan jika seorang menyempurnakan mabit sampai shalat shubuh dan banyak dzikir serta istighfar setelah shalat hingga langit ke kuning-kuningan adalah lebih utama. Dan bagi orang-orang yang lemah, seperti kaum wanita, orang-orang tua dan yang seperti mereka, boleh meninggalkan Muzdalifah setelah lewat tengah malam. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada orang-orang yang lemah dari keluarga beliau dalam hal tersebut. Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di Muzdalifah dan shalat shubuh di sana dengan membaca dzikir, tahlil (la ilaha illallah) dan istighfar (astagfirullah) setelah shalat. Lalu ketika langit telah sangat menguning, beliau bertolak ke Mina. Maka yang paling sempurna bagi orang-orang yang haji adalah meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal tersebut. Namun bagi orang-orang yang lemah diperbolehkan meninggalkan Muzdalifah sebelum shubuh seperti telah disebutkan.

Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum mabit di Muzdalifah, berapa lama waktunya, dan kapan orang yang haji bertolak darinya ?  Jawaban Menurut pendapat yang shahih, mabit di Muzdalifah adalah wajib. Tapi sebagian ulama mengatakan mabit di Muzdalifah sebagai rukun haji, dan sebagian lain mengatakan sunnah. Adapun yang benar dari pendapat tersebut, bahwa mabit di Muzdalifah adalah wajib. Maka siapa saja yang meninggalkannya wajib membayar dam.  Adapun yang sunnah dalam mabit di Muzdalifah adalah tidak meninggalkan Muzdalifah melainkan setelah shalat Subuh dan setelah langit menguning sebelum matahari terbit. Di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat shubuh di Muzdalifah dan berdzikir setelah shalat, lalu setelah langit menguning beliau bertolak manuju ke Mina dengan bertalbiyah.  Tetapi bagi orang-orang yang lemah, seperti wanita dan orang-orang tua, diperbolehkan meninggalkan Muzdalifah pada tengah malam kedua. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada mereka untuk hal tersebut. Adapun orang-orang yang kuat, maka yang sunnah bagi mereka adalah tetap di Muzdalifah hingga shalat shubuh dan banyak dzikir setelah shalat kemudian kemudian bertolak menuju Mina sebelum matahari terbit. Ketika berdo’a di Muzdalifah disunnahkan mengangkat kedua tangan seraya menghadap kiblat seperti ketika di Arafah. Dan bahwa kawasan Muzdalifah adalah tempat mabit.  TIDAK MABIT DI MUZDALIFAH DAN HANYA MELINTASINYA  Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bagaimana pedoman dalam mabit di Muzdalifah ? Dan apa hukum bagi orang yang berhalangan mabit di Muzdalifah dan hanya melintasinya ?  Jawaban Wajib atas orang yang haji mabit di Muzdalifah hingga tengah malam. Dan jika seorang menyempurnakan mabit sampai shalat shubuh dan banyak dzikir serta istighfar setelah shalat hingga langit ke kuning-kuningan adalah lebih utama. Dan bagi orang-orang yang lemah, seperti kaum wanita, orang-orang tua dan yang seperti mereka, boleh meninggalkan Muzdalifah setelah lewat tengah malam. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada orang-orang yang lemah dari keluarga beliau dalam hal tersebut. Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di Muzdalifah dan shalat shubuh di sana dengan membaca dzikir, tahlil (la ilaha illallah) dan istighfar (astagfirullah) setelah shalat. Lalu ketika langit telah sangat menguning, beliau bertolak ke Mina. Maka yang paling sempurna bagi orang-orang yang haji adalah meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal tersebut. Namun bagi orang-orang yang lemah diperbolehkan meninggalkan Muzdalifah sebelum shubuh seperti telah disebutkan.    Adapun bagi orang yang meninggalkan mabit di Muzdailifah tanpa alasan syar’i, maka dia wajib membayar dam (menyembelih kurban) karena melanggar sunnah dan perkataan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu.    “Barangsiapa meninggalkan satu ibadah (dalam haji) atau lupa darinya, maka dia harus menyembelih kurban” [Hadits Riwayat Malik]    Tidak diragukan bahwa mabit di Muzdalifah adalah ibadah besar dalam haji hingga sebagian ulama mengatakan sebagai rukun haji, meskipun ada yang mengatakan sunnah. Tetapi pendapat yang paling tengah, bahwa mabit di Muzdalifah wajib dalam haji dimana yang meninggalkannya wajib membayar dam disertai taubat dan mohon ampunan kepada Allah bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i.    TIDAK MABIT DI MUZDALIFAH KARENA MACET    Pertanyaan  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kita melihat saat sekarang ini bila berangkat dari Arafah ke Muzdalifah, maka akan ada kemacetan besar di mana orang yang haji sampai ke Muzdalifah tidak mampu mabit di sana dan mendapat kesulitan dalam hal tersebut. Apakah boleh meninggalkan mabit di Muzdalifah dan adakah sangsi bagi orang yang meninggalkannya ? Apakah shalat Maghrib dan Isya mencukupi dari wukuf dan mabit di Muzdalifah, di mana orang yang haji shalat maghrib dan isya di Muzdalifah kemudian langsung ke Mina ? Dan apakah sah wukuf di Muzdalifah dengan cara seperti itu ? Mohon penjelasan tentang hal tersebut beserta dalilnya.    Jawaban  Mabit di Muzdalifah adalah kewajiban dari beberapa kewajiban dalam haji karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mabit dan shalat Shubuh di Muzdalifah lalu berdzikir setelah shalat hingga langit kekuning-kuningan, dan beliau bersabda : “Ambillah manasikmu dariku”. Maka orang yang haji tidak dinilai telah melaksanakan kewajiban ini jika dia shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah dengan jama’ kemudian meninggalkan Muzdalifah. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan keringanan meninggalkannya melainkan kepada orang-orang yang kemah setelah tengah malam.Dan jika seseorang tidak mabit di Muzdalifah, maka dia wajib membayar dam karena meninggalkan kewajiban. Dan telah maklum bahwa diantara ulama terdapat perbedaan pendapat tentang hukum mabit di Muzdalifah, ada yang mengatakan rukun, ada yang mengatakan wajib, dan juga ada yang mengatakan sunnah. Tapi yang terkuat dari beberapa pendapat tersebut adalah, bahwa mabit wajib dalam haji, dan bagi orang yang meninggalkannya wajib menyembelih kurban dan hajinya sah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dan bahwa mabit di Muzdalifah tidak diberikan keringanan untuk meninggalkannya sampai tengah malam bagian kedua melainkan kepada orang-orang yang lemah. Adapun orang-orang yang kuat maka yang sunnah bagi mereka adalah tetap di Muzdalifah hingga shalat Shubuh dan memperbanyak dzikir serta berdo’a kepada Allah setelah shalat hingga langit kekuning-kuningan kemudian bertolak ke Mina sebelum terbit matahari karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa yang tidak mampu sampai di Muzdalifah melainkan sehabis tengah malam dari orang-orang yang lemah, maka cukup bagi mereka muqim di Muzdalifah pada sebagian waktu kemudian meninggalkan Muzdalifah karena mengambil rukhsah (dispensasi). Dan Allah adalah yang memberikan pertolongan kepada kebaikan.    HUKUM MENINGGALKAN MABIT DI MUZDALIFAH    Oleh  Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin    Pertanyaan  Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah hukum bagi orang yang haji meninggalkan mabit di Muzdalifah pada malam idul Adha ?    Jawaban  Mabit di Muzdalifah adalah wajib, tapi diberikan keringanan bagi orang-orang yang lemah untuk meninggalkan Muzdalifah pada akhir malam. Adapun meninggalkannya karena sengaja maka dosa hukumnya dan harus membayar fidyah menurut jumhur ulama. Tapi jika karena tidak tahu maka hanya wajib membayar fidyah saja. Sedangkan bagi orang yang tidak mampu, maka mabit di Muzdalifah menjadi gugur sebagaimana kewajiban-kewajiban yang lain. Tapi bagi orang yang mendapatkan shalat shubuh pada awal waktu dan tetap di Muzdalifah setelah shalat dengan membaca dzikir dan do’a kemudian bertolak ke Mina maka demikian itu telah cukup baginya.
Adapun bagi orang yang meninggalkan mabit di Muzdailifah tanpa alasan syar’i, maka dia wajib membayar dam (menyembelih kurban) karena melanggar sunnah dan perkataan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu.


“Barangsiapa meninggalkan satu ibadah (dalam haji) atau lupa darinya, maka dia harus menyembelih kurban” [Hadits Riwayat Malik]


Tidak diragukan bahwa mabit di Muzdalifah adalah ibadah besar dalam haji hingga sebagian ulama mengatakan sebagai rukun haji, meskipun ada yang mengatakan sunnah. Tetapi pendapat yang paling tengah, bahwa mabit di Muzdalifah wajib dalam haji dimana yang meninggalkannya wajib membayar dam disertai taubat dan mohon ampunan kepada Allah bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i.


TIDAK MABIT DI MUZDALIFAH KARENA MACET


Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kita melihat saat sekarang ini bila berangkat dari Arafah ke Muzdalifah, maka akan ada kemacetan besar di mana orang yang haji sampai ke Muzdalifah tidak mampu mabit di sana dan mendapat kesulitan dalam hal tersebut. Apakah boleh meninggalkan mabit di Muzdalifah dan adakah sangsi bagi orang yang meninggalkannya ? Apakah shalat Maghrib dan Isya mencukupi dari wukuf dan mabit di Muzdalifah, di mana orang yang haji shalat maghrib dan isya di Muzdalifah kemudian langsung ke Mina ? Dan apakah sah wukuf di Muzdalifah dengan cara seperti itu ? Mohon penjelasan tentang hal tersebut beserta dalilnya.


Jawaban

Mabit di Muzdalifah adalah kewajiban dari beberapa kewajiban dalam haji karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mabit dan shalat Shubuh di Muzdalifah lalu berdzikir setelah shalat hingga langit kekuning-kuningan, dan beliau bersabda : “Ambillah manasikmu dariku”. Maka orang yang haji tidak dinilai telah melaksanakan kewajiban ini jika dia shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah dengan jama’ kemudian meninggalkan Muzdalifah. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan keringanan meninggalkannya melainkan kepada orang-orang yang kemah setelah tengah malam.Dan jika seseorang tidak mabit di Muzdalifah, maka dia wajib membayar dam karena meninggalkan kewajiban. Dan telah maklum bahwa diantara ulama terdapat perbedaan pendapat tentang hukum mabit di Muzdalifah, ada yang mengatakan rukun, ada yang mengatakan wajib, dan juga ada yang mengatakan sunnah. Tapi yang terkuat dari beberapa pendapat tersebut adalah, bahwa mabit wajib dalam haji, dan bagi orang yang meninggalkannya wajib menyembelih kurban dan hajinya sah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dan bahwa mabit di Muzdalifah tidak diberikan keringanan untuk meninggalkannya sampai tengah malam bagian kedua melainkan kepada orang-orang yang lemah. Adapun orang-orang yang kuat maka yang sunnah bagi mereka adalah tetap di Muzdalifah hingga shalat Shubuh dan memperbanyak dzikir serta berdo’a kepada Allah setelah shalat hingga langit kekuning-kuningan kemudian bertolak ke Mina sebelum terbit matahari karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa yang tidak mampu sampai di Muzdalifah melainkan sehabis tengah malam dari orang-orang yang lemah, maka cukup bagi mereka muqim di Muzdalifah pada sebagian waktu kemudian meninggalkan Muzdalifah karena mengambil rukhsah (dispensasi). Dan Allah adalah yang memberikan pertolongan kepada kebaikan.


HUKUM MENINGGALKAN MABIT DI MUZDALIFAH


Oleh

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah hukum bagi orang yang haji meninggalkan mabit di Muzdalifah pada malam idul Adha ?


Jawaban

Mabit di Muzdalifah adalah wajib, tapi diberikan keringanan bagi orang-orang yang lemah untuk meninggalkan Muzdalifah pada akhir malam. Adapun meninggalkannya karena sengaja maka dosa hukumnya dan harus membayar fidyah menurut jumhur ulama. Tapi jika karena tidak tahu maka hanya wajib membayar fidyah saja. Sedangkan bagi orang yang tidak mampu, maka mabit di Muzdalifah menjadi gugur sebagaimana kewajiban-kewajiban yang lain. Tapi bagi orang yang mendapatkan shalat shubuh pada awal waktu dan tetap di Muzdalifah setelah shalat dengan membaca dzikir dan do’a kemudian bertolak ke Mina maka demikian itu telah cukup baginya.

Menggabungkan Semua Kewajiban Melontar Dalam Satu Hari

Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah boleh bagi jama’ah haji melontar semua jumrah untuk hari-hari tasyriq dalam satu hari, baik pada hari Id, awal, hari tasyriq atau pada akhir hari tasyriq, kemudian dia mabit di Mina dua atau tiga hari tanpa melontar karena telah melontar semuanya dalam satu hari ? Apakah sah melontar jumrah yang seperti itu, ataukah harus berurutan sesuai hari masing-masing sampai akhir hari tasyriq ? Mohon penjelasan beserta dalilnya.  Jawaban Melontar jumrah adalah satu kewajiban dalam haji yang harus dilakukan pada hari Id dan tiga hari tasyriq bagi orang-orang yang tidak ingin mempercepat pulang dari Mina, atau dalam hari Id dan dua hari tasyriq bagi orang yang ingin mempercepat pulang dari Mina. Adapun waktu melontar adalah setelah matahari condong ke barat seperti dilakukan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan dikuatkan dengan sabdanya : “Ambillah manasikmu dariku”. Karena itu tidak boleh mendahulukan melontar sebelum waktunya. Adapun mengakhirkannya karena kondisi terpaksa seperti berdesak-desakan, maka mayoritas ulama memperbolehkan karena mengqiyaskan dengan keadaan para penggembala. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada mereka melontar untuk hari Id setelah tengah malam Id dan menggabungkan melontar untuk dua hari tasyriq pada hari ke -12 Dzulhijjah.  Dalam melontar harus dilakukan secara berurutan. Pertama, melontar jumrah ‘aqabah pada hari Id, kemudian melontar tiga jumrah (ula, wustha, dan aqabah) pada hari tasyriq pertama, lalu melontar tiga jumrah pada hari tasyriq kedua, kemudian melontar tiga jumrah pada hari taysriq ketiga, jika tidak ingin mempercepat pulang dari Mina, atau hanya sampai hari tasyriq kedua bagi yang ingin mempercepat pulang dari Mina. Kemudian thawaf wada’ setelah itu. Wallahu ‘alam.  MELONTAR JUMRAH DENGAN SEKALI LEMPARAN  Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya menunaikan haji wajib ketika usia 17 tahun bersama bapak, dan saya tidak mengerti tentang haji. Saya pergi bersama bapak untuk melontar jumrah lalu bapak mengambil semua batu dan melontarkan semuanya. Apakah haji saya sah atau tidak ?  Jawaban Jika ayah anda melontar dengan tujuh batu dalam satu lontaran, maka wajib menyembelih kurban, yaitu sepertujuh unta atau sepertujuh sapi atau satu kambing, yang disembelih di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang miskin di tanah suci. Sebab melontar jumrah dalam haji hukumnya wajib dan harus dilakukan tujuh kali lontaran satu persatu. Jika seseorang melontar dengan tujuh batu dalam satu lontaran, maka tidak dinilai baginya melainkan hanya satu lontaran. Sedangkan haji yang anda lakukan sah hukumnya dan tidak wajib mengulang haji pada tahun berikutnya, tapi hanya terdapat kekurangan yang harus disempurnakan dengan menyembelih kurban tersebut. Namun jika anda pergi haji lagi pada tahun berikutnya, maka demikian itu sunnah hukumnya. Dan bahwa dalam haji, baik haji wajib maupun haji sunnah terdapat pahala besar bagi orang yang melakukannya jika dilaksanakan menurut aturan syari’ah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.  الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ  “Haji yang mabrur balasannya adalah surga” [Hadits Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim dan lainnya]  Adapun orang yang tidak mampu melontar, seperti orang yang sakit, berusia lanjut, wanita dan lain-lain, yang tidak mampu sampai ke tempat melontar, maka boleh mewakilkan melontar semua jumrah. Sebab Allah berfirman.  فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسۡتَطَعۡتُمۡ  ” Maka bertakwalah kamu menurut kesanggupanmu” [At-Thagabun/64 : 16]  Bahwa kewajiban setiap muslim laki-laki dan perempuan adalah mempelajari agama dan mengetahui hukum-hukum yang wajib, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain. Sebab Allah menciptakan manusia dan jin untuk beribadah kepada-Nya dan tiada jalan untuk itu melainkan dengan belajar dan memahami agama. Terdapat riwayat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.    مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ    “Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka Allah memberikan pemahaman kepadanya dalam urusan agama” [Muttafaqun alaih]    Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.    وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ    “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan memudahkan kepadanya jalan ke surga” [Hadits Riwayat Muslim]    Semoga Allah memberikan taufiq kepada semua kaum Musilimin dalam memperoleh ilmu yang menfa’at dan mengamalkannya, sesungguhnya Allah adalah yang terbaik tempat meminta    TERBALIK DALAM MELONTAR JUMRAH    Pertanyaan  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Seorang kerabat saya pergi haji wajib pada tahun 1406H. Dan pada hari pertama melontar jumrah dia tidak melontar secara berurutan dari jumrah ula lalu jumrah wustha kemudian jumrah ‘aqabah. Kemudian dia mengetahui kesalahan itu pada hari kedua dan dia menyempurnakannya pada hari kedua dan hari ketiga, tetapi dia tidak melontar untuk hari pertama atau membayar kifarat. Setelah itu dia menyempurnakan semua manasik haji dan kembali ke negaranya. Kemudian dia mengirimkan surat untuk menanyakan kewajibannya atas kesalahannya karena orang-orang yang ditanya tentang hal tersebut berselisih pendapat. Mohon penjelasan.    Jawaban  Ia wajib menyembelih kurban, yaitu sepertujuh unta atau sepertujuh sapi atau satu kambing, dan disembelih di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang miskin di tanah suci. Sebab dia mengetahui hukum tersebut pada hari-hari melontar dan tidak mengulang melontar yang benar menurut syar’i. Di mana terdapat riwayat shahih dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia berkata :    “Barangsiapa yang meninggalkan ibadah (dalam haji) atau lupa, maka dia harus menyembelih kurban” [Hadits Riwayat Malik]    Sebab hadits ini nilainya marfu’ karena tidak semata-mata pendapat pribadi, terlebih bahwa tidak seorang sahabatpun yang berbeda dengan pendapat tersebut.    TIDAK SEGERA PULANG SETELAH MELONTAR PADA HARI TASYRIQ KEDUA    Pertanyaan  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum orang yang berada di Mina dua hari setelah Id dan mabit pada malam ketiga, apakah dia boleh melontar setelah terbit fajar atau setelah terbit matahari jika terdapat kondisi yang tidak mendukung ?    Jawaban  Siapa yang berada di Mina hingga mendapatkan malam ke-13 Dzulhijjah maka dia wajib mabit dan melontar setelah matahari condong ke barat dan dia tidak boleh sebelum waktu itu seperti dalam melontar pada dua hari sebelumnya. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih di Mina pada hari ke-13 Dzulhijjah dan beliau tidak melontar melainkan setelah matahari bergeser ke barat. Disamping itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda : “Ambillah manasikmu dariku“.    TIDAK MELONTAR PADA TANGGAL 12 DZULHIJJAH DAN TIDAK MABIT PADA MALAM KE-12 DZULHIJJAH    Pertanyaan  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya haji bersama istri untuk yang kedua kalinya dan anak-anak kami di Riyadh. Setelah melontar jumrah hari kedua (hari pertama tasyriq), kami ke Mekkah untuk menyelesaikan haji lalu pergi ke Riyadh karena kami mencemaskan dengan keadaan anak-anak kami. Tapi kami mewakilkan kepada seorang kerabat untuk melontarkan jumrah. Apakah demikian itu boleh, dan apa kewajiban kami ?    Jawaban  Kalian berdua harus bertaubat kepada Allah karena meninggalkan kewajiban melontar hari ke-12 Dzulhijjah, tidak bermalam di Mina pada malamnya, dan tidak thawaf wada’ pada waktunya, yaitu setelah selesai melontar. Dan bagi masing-masing kalian berdua wajib menyembelih kurban di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang miskin di tanah suci karena meninggalkan melontar jumrah pada hari ke-12 Dzulhijjah dan meninggalkan thawaf wada’ karena dilakukan sebelum waktunya. Sebagaimana kalian berdua wajib sedekah kepada orang-orang sesuai kemampuan karena meninggalkan mabit di Mina pada malam ke-12 Dzulhijjah. Semoga Allah mengampuni kita dan anda semua.  BOLEH MEWAKILKAN MELONTAR JIKA TERDAPAT HALANGAN YANG DIBENARKAN SYARI’AT    Pertanyaan  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ibu dan dua saudariku mewakilkan kepadaku untuk melontar jumrah karena mereka takut berdesak-desakan. Apakah demikian itu boleh ?    Jawaban  Boleh mewakilkan jumrah jika tidak mampu melontar karena tidak mampunya berdesak-desakan atau karena sakit atau sebab lain yang dibenarkan secara syar’i    MLEONTAR PADA HARI KE-11 DZULHIJJAH KEMUDIAN THAWAF WADA’ DAN PULANG    Oleh  Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin    Pertanyaan  Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum orang yang melontar pada hari ke-11 Dzulhijjah kemudian thawaf wada’ dan pulang ?    Jawaban  Jika seseorang melontar jumrah pada hari ke-11 Dzulhijjah kemudian thawaf wada dan pulang, maka dia meninggalkan dua kewajiban, yaitu melontar jumrah untuk hari ke-12 Dzulhijjah dan mabit di Mina pada malamnya. Menurut mayoritas ulama, dia wajib menyembelih dua ekor kambing di Mekkah dan disedekahkan di sana.    MELONTAR JUMRAH SEBELUM MATAHARI CONDONG KE BARAT PADA HARI KEDUA (HARI TASYRIQ)    Oleh  Al-Lajnah Ad-Daimah Lil ifta    Pertanyaan  Al-Lajnah Ad-Daimah Lil ifta ditanya : Apa yang wajib dilakukan bagi orang melontar jumrah pada waktu dhuha setelah hari Idul Adha (hari tasyriq) kemudian setelah itu dia mengetahui bahwa waktu melontar jumrah setelah dzuhur ?    Jawaban  Barangsiapa melontar jumrah setelah hari Idul Adha sebelum matahari condong ke barat, maka dia wajib mengulanginya setelah matahari condong ke barat pada hari tersebut. Dan jika tidak mengetahui kesalahannya melainkan pada hari kedua atau ketiga hari tasyriq, maka dia wajib mengulangi melontar setelah matahari condong ke barat sebelum melontar untuk hari tersebut. Tapi jika dia tidak mengtahui melainkan setelah terbenamnya matahari pada akhir hari tasyriq, maka dia tidak wajib mengulanginya, namun wajib menyembelih kurban di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang miskin.    CARA MELONTAR JUMRAH BAGI ORANG YANG MENGAKHIRKAN SAMPAI AKHIR HARI TASYRIQ KARENA SAKIT ATAU USIA LANJUT    Pertanyaan  Al-Lajnaha Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Jika jama’ah haji mengakhirkan melontar jumrah sampai akhir hari tasyriq karena sakit, usia lanjut atau takut berdesak-desakan, apakah dia melontar jumrah ‘aqabah dan jumrah-jumrah lain dalam satu tahapan ? Ataukah dia harus melontar untuk setiap hari dengan cara tersendiri, maksudnya dia harus menlontar untuk hari pertama, kemudian memulai melontar untuk hari kedua dan seterusnya, walau demikian itu berat ?    Jawaban  Ia melontar jumrah aqabah dahulu, lalu melontar tiga jumrah secara berurutan dari jumrah ula lalu jumrah wustha kemudian jumrah aqabah untuk hari ke-11, kemudian melontar tiga jumrah secara berurutan untuk hari ke-12, kemudian untuk hari ke-13 jika dia tidak bersegera meninggalkan Mekkah sebelum matahari terbenam hari ke-12 Dzulhijjah. Sebab yang sunnah adalah melontar setiap hari pada waktunya sesuai kemampuan.
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah boleh bagi jama’ah haji melontar semua jumrah untuk hari-hari tasyriq dalam satu hari, baik pada hari Id, awal, hari tasyriq atau pada akhir hari tasyriq, kemudian dia mabit di Mina dua atau tiga hari tanpa melontar karena telah melontar semuanya dalam satu hari ? Apakah sah melontar jumrah yang seperti itu, ataukah harus berurutan sesuai hari masing-masing sampai akhir hari tasyriq ? Mohon penjelasan beserta dalilnya.

Jawaban
Melontar jumrah adalah satu kewajiban dalam haji yang harus dilakukan pada hari Id dan tiga hari tasyriq bagi orang-orang yang tidak ingin mempercepat pulang dari Mina, atau dalam hari Id dan dua hari tasyriq bagi orang yang ingin mempercepat pulang dari Mina. Adapun waktu melontar adalah setelah matahari condong ke barat seperti dilakukan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan dikuatkan dengan sabdanya : “Ambillah manasikmu dariku”. Karena itu tidak boleh mendahulukan melontar sebelum waktunya. Adapun mengakhirkannya karena kondisi terpaksa seperti berdesak-desakan, maka mayoritas ulama memperbolehkan karena mengqiyaskan dengan keadaan para penggembala. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada mereka melontar untuk hari Id setelah tengah malam Id dan menggabungkan melontar untuk dua hari tasyriq pada hari ke -12 Dzulhijjah.

Dalam melontar harus dilakukan secara berurutan. Pertama, melontar jumrah ‘aqabah pada hari Id, kemudian melontar tiga jumrah (ula, wustha, dan aqabah) pada hari tasyriq pertama, lalu melontar tiga jumrah pada hari tasyriq kedua, kemudian melontar tiga jumrah pada hari taysriq ketiga, jika tidak ingin mempercepat pulang dari Mina, atau hanya sampai hari tasyriq kedua bagi yang ingin mempercepat pulang dari Mina. Kemudian thawaf wada’ setelah itu. Wallahu ‘alam.

MELONTAR JUMRAH DENGAN SEKALI LEMPARAN

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya menunaikan haji wajib ketika usia 17 tahun bersama bapak, dan saya tidak mengerti tentang haji. Saya pergi bersama bapak untuk melontar jumrah lalu bapak mengambil semua batu dan melontarkan semuanya. Apakah haji saya sah atau tidak ?

Jawaban
Jika ayah anda melontar dengan tujuh batu dalam satu lontaran, maka wajib menyembelih kurban, yaitu sepertujuh unta atau sepertujuh sapi atau satu kambing, yang disembelih di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang miskin di tanah suci. Sebab melontar jumrah dalam haji hukumnya wajib dan harus dilakukan tujuh kali lontaran satu persatu. Jika seseorang melontar dengan tujuh batu dalam satu lontaran, maka tidak dinilai baginya melainkan hanya satu lontaran. Sedangkan haji yang anda lakukan sah hukumnya dan tidak wajib mengulang haji pada tahun berikutnya, tapi hanya terdapat kekurangan yang harus disempurnakan dengan menyembelih kurban tersebut. Namun jika anda pergi haji lagi pada tahun berikutnya, maka demikian itu sunnah hukumnya. Dan bahwa dalam haji, baik haji wajib maupun haji sunnah terdapat pahala besar bagi orang yang melakukannya jika dilaksanakan menurut aturan syari’ah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

Haji yang mabrur balasannya adalah surga” [Hadits Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim dan lainnya]

Adapun orang yang tidak mampu melontar, seperti orang yang sakit, berusia lanjut, wanita dan lain-lain, yang tidak mampu sampai ke tempat melontar, maka boleh mewakilkan melontar semua jumrah. Sebab Allah berfirman.

فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسۡتَطَعۡتُمۡ

” Maka bertakwalah kamu menurut kesanggupanmu” [At-Thagabun/64 : 16]

Bahwa kewajiban setiap muslim laki-laki dan perempuan adalah mempelajari agama dan mengetahui hukum-hukum yang wajib, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain. Sebab Allah menciptakan manusia dan jin untuk beribadah kepada-Nya dan tiada jalan untuk itu melainkan dengan belajar dan memahami agama. Terdapat riwayat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.


مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ


“Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka Allah memberikan pemahaman kepadanya dalam urusan agama” [Muttafaqun alaih]


Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.


وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ


“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan memudahkan kepadanya jalan ke surga” [Hadits Riwayat Muslim]


Semoga Allah memberikan taufiq kepada semua kaum Musilimin dalam memperoleh ilmu yang menfa’at dan mengamalkannya, sesungguhnya Allah adalah yang terbaik tempat meminta


TERBALIK DALAM MELONTAR JUMRAH


Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Seorang kerabat saya pergi haji wajib pada tahun 1406H. Dan pada hari pertama melontar jumrah dia tidak melontar secara berurutan dari jumrah ula lalu jumrah wustha kemudian jumrah ‘aqabah. Kemudian dia mengetahui kesalahan itu pada hari kedua dan dia menyempurnakannya pada hari kedua dan hari ketiga, tetapi dia tidak melontar untuk hari pertama atau membayar kifarat. Setelah itu dia menyempurnakan semua manasik haji dan kembali ke negaranya. Kemudian dia mengirimkan surat untuk menanyakan kewajibannya atas kesalahannya karena orang-orang yang ditanya tentang hal tersebut berselisih pendapat. Mohon penjelasan.


Jawaban

Ia wajib menyembelih kurban, yaitu sepertujuh unta atau sepertujuh sapi atau satu kambing, dan disembelih di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang miskin di tanah suci. Sebab dia mengetahui hukum tersebut pada hari-hari melontar dan tidak mengulang melontar yang benar menurut syar’i. Di mana terdapat riwayat shahih dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia berkata :


“Barangsiapa yang meninggalkan ibadah (dalam haji) atau lupa, maka dia harus menyembelih kurban” [Hadits Riwayat Malik]


Sebab hadits ini nilainya marfu’ karena tidak semata-mata pendapat pribadi, terlebih bahwa tidak seorang sahabatpun yang berbeda dengan pendapat tersebut.


TIDAK SEGERA PULANG SETELAH MELONTAR PADA HARI TASYRIQ KEDUA


Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum orang yang berada di Mina dua hari setelah Id dan mabit pada malam ketiga, apakah dia boleh melontar setelah terbit fajar atau setelah terbit matahari jika terdapat kondisi yang tidak mendukung ?


Jawaban

Siapa yang berada di Mina hingga mendapatkan malam ke-13 Dzulhijjah maka dia wajib mabit dan melontar setelah matahari condong ke barat dan dia tidak boleh sebelum waktu itu seperti dalam melontar pada dua hari sebelumnya. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih di Mina pada hari ke-13 Dzulhijjah dan beliau tidak melontar melainkan setelah matahari bergeser ke barat. Disamping itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda : “Ambillah manasikmu dariku“.


TIDAK MELONTAR PADA TANGGAL 12 DZULHIJJAH DAN TIDAK MABIT PADA MALAM KE-12 DZULHIJJAH


Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya haji bersama istri untuk yang kedua kalinya dan anak-anak kami di Riyadh. Setelah melontar jumrah hari kedua (hari pertama tasyriq), kami ke Mekkah untuk menyelesaikan haji lalu pergi ke Riyadh karena kami mencemaskan dengan keadaan anak-anak kami. Tapi kami mewakilkan kepada seorang kerabat untuk melontarkan jumrah. Apakah demikian itu boleh, dan apa kewajiban kami ?


Jawaban

Kalian berdua harus bertaubat kepada Allah karena meninggalkan kewajiban melontar hari ke-12 Dzulhijjah, tidak bermalam di Mina pada malamnya, dan tidak thawaf wada’ pada waktunya, yaitu setelah selesai melontar. Dan bagi masing-masing kalian berdua wajib menyembelih kurban di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang miskin di tanah suci karena meninggalkan melontar jumrah pada hari ke-12 Dzulhijjah dan meninggalkan thawaf wada’ karena dilakukan sebelum waktunya. Sebagaimana kalian berdua wajib sedekah kepada orang-orang sesuai kemampuan karena meninggalkan mabit di Mina pada malam ke-12 Dzulhijjah. Semoga Allah mengampuni kita dan anda semua.

BOLEH MEWAKILKAN MELONTAR JIKA TERDAPAT HALANGAN YANG DIBENARKAN SYARI’AT


Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ibu dan dua saudariku mewakilkan kepadaku untuk melontar jumrah karena mereka takut berdesak-desakan. Apakah demikian itu boleh ?


Jawaban

Boleh mewakilkan jumrah jika tidak mampu melontar karena tidak mampunya berdesak-desakan atau karena sakit atau sebab lain yang dibenarkan secara syar’i


MLEONTAR PADA HARI KE-11 DZULHIJJAH KEMUDIAN THAWAF WADA’ DAN PULANG


Oleh

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum orang yang melontar pada hari ke-11 Dzulhijjah kemudian thawaf wada’ dan pulang ?


Jawaban

Jika seseorang melontar jumrah pada hari ke-11 Dzulhijjah kemudian thawaf wada dan pulang, maka dia meninggalkan dua kewajiban, yaitu melontar jumrah untuk hari ke-12 Dzulhijjah dan mabit di Mina pada malamnya. Menurut mayoritas ulama, dia wajib menyembelih dua ekor kambing di Mekkah dan disedekahkan di sana.


MELONTAR JUMRAH SEBELUM MATAHARI CONDONG KE BARAT PADA HARI KEDUA (HARI TASYRIQ)


Oleh

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil ifta


Pertanyaan

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil ifta ditanya : Apa yang wajib dilakukan bagi orang melontar jumrah pada waktu dhuha setelah hari Idul Adha (hari tasyriq) kemudian setelah itu dia mengetahui bahwa waktu melontar jumrah setelah dzuhur ?


Jawaban

Barangsiapa melontar jumrah setelah hari Idul Adha sebelum matahari condong ke barat, maka dia wajib mengulanginya setelah matahari condong ke barat pada hari tersebut. Dan jika tidak mengetahui kesalahannya melainkan pada hari kedua atau ketiga hari tasyriq, maka dia wajib mengulangi melontar setelah matahari condong ke barat sebelum melontar untuk hari tersebut. Tapi jika dia tidak mengtahui melainkan setelah terbenamnya matahari pada akhir hari tasyriq, maka dia tidak wajib mengulanginya, namun wajib menyembelih kurban di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang miskin.


CARA MELONTAR JUMRAH BAGI ORANG YANG MENGAKHIRKAN SAMPAI AKHIR HARI TASYRIQ KARENA SAKIT ATAU USIA LANJUT


Pertanyaan

Al-Lajnaha Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Jika jama’ah haji mengakhirkan melontar jumrah sampai akhir hari tasyriq karena sakit, usia lanjut atau takut berdesak-desakan, apakah dia melontar jumrah ‘aqabah dan jumrah-jumrah lain dalam satu tahapan ? Ataukah dia harus melontar untuk setiap hari dengan cara tersendiri, maksudnya dia harus menlontar untuk hari pertama, kemudian memulai melontar untuk hari kedua dan seterusnya, walau demikian itu berat ?


Jawaban

Ia melontar jumrah aqabah dahulu, lalu melontar tiga jumrah secara berurutan dari jumrah ula lalu jumrah wustha kemudian jumrah aqabah untuk hari ke-11, kemudian melontar tiga jumrah secara berurutan untuk hari ke-12, kemudian untuk hari ke-13 jika dia tidak bersegera meninggalkan Mekkah sebelum matahari terbenam hari ke-12 Dzulhijjah. Sebab yang sunnah adalah melontar setiap hari pada waktunya sesuai kemampuan.