|  | 
| Agus Santoso Alumni SMK Negeri 9 Surakarta (SMSR Solo) | 
Pria  ini bernama Agus Santoso berasal dari Solo, kelahiran tahun 1986. Ia  lulus bulan Maret ini setelah masuk sebagai mahasiswa Desain Komunikasi  Visual (DKV) Despro ITS lima tahun yang lalu. Tugas Akhir (TA) yang  dirancangnya berupa sebuah buku berjudul Batik Tulis Tradisional Solo.
Topik  yang diangkat Agus cukup berbeda dengan teman-temannya yang banyak  berkonsentrasi pada produk digital. Namun, ia punya misi besar lewat  bukunya tersebut.
Agus melihat bahwa maraknya produk 'berbau'  batik saat ini ternyata justru menguburkan makna asli produk kebudayaan  Indonesia tersebut. Secara harfiah, batik berasal dari kata ambatik yang  berarti membuat titik-titik. Secara tradisional, aslinya ini hanya  dapat dicapai dengan menggunakan canting.
Jadi, seharusnya tidak  ada istilah batik cap maupun batik sablon. "Itu bukan batik, hanya  motifnya saja batik. Tapi banyak masyarakat Indonesia yang menganggapnya  batik," papar Agus.
Bahkan, saat ini juga ada motif batik jenis  baru yang berasa dari Cina. Sedihnya, jenis motif ini juga sudah  merambah bahkan ke butik-butik batik ternama sekalipun. Seperti pameran  batik Cina di butik batik Danar Hadi tahun lalu. Agus sedih melihatnya.
Secara  singkat, sejarah batik dimulai dari zaman kerajaan Mataram. Kain batik  diciptakan sebagai sebuah lambang, sebagai sebuah ungkapan kekuasaan  atau posisi seseorang di kalangan keraton. Berbagai simbol masih dapat  kita lihat sampai hari ini, seperti burung garuda, satriya manah, babon  angrem, serta parang.
Simbol-simbol tersebut memiliki  filosofi-filosofi tertentu, yang menjadi dasar pilihan bagi pemakainya.  Seperti contoh, garuda melambangkan kekuasaan, satriya manah digunakan  oleh pria yang hendak melamar seorang wanita. Sementara babon angrem  digunakan oleh wanita yang sedang hamil. Motif parang menunjukkan bahwa  pemakainya adalah seorang raja. Untuk motif parang di Jogja dan Solo  berbeda arahnya.
Maksud daripada simbol-simbol itu lebih dari  sekedar menunjukkan status. Namun juga berfungsi sebagai sebuah  pengingat bagi pemakainya sendiri. Agus mengatakan, bahwa simbol babon  angrem mengingatkan wanita untuk merawat putranya sebagaimana seekor  ayam mengerami telur-telurnya. Tekun dan penuh perhatian.
Semua  batik berfilosofi tersebut termasuk dalam batik-batik 'larangan'.  Artinya, hanya boleh digunakan oleh orang-orang dari kalangan keraton.  Namun tak lama setelahnya, para saudagar mulai menciptakan batik jenis  mereka sendiri. Batik ini diberi nama batik Sudagaran, dan berkembang di  sekitar daerah Laweyan.
"Motifnya lebih banyak mengenai makhluk  hidup, binatang dan tumbuh-tumbuhan," jelas alumnus SMK Negeri 9  Surakarta jurusan seni rupa ini. Selain itu, warna-warnanya pun lebih  bervariasi, tidak dominan kuning, krem, coklat dan hitam seperti batik  'asli'.
Ketika batik mulai bersentuhan dengan masyarakat petani  dan nelayan, mereka pun menciptakan batiknya sendiri. Batik ini disebut  batik pesisiran. Motifnya menonjolkan elemen-elemen alam yang identik  dengan dunia petani.
Pengaruh batik Solo menyebar ke berbagai  kawasan di Jawa, termasuk Cirebon. Masing-masing daerah kemudian  mengembangkan dan menciptakan kekhasan masing-masing.
Untuk  mendalami semua informasi tersebut, Agus mengalami banyak kesulitan.  Terutama karena referensi yang ia butuhkan cukup langka. Bahkan di dinas  arsip Perpustakaan Daerah (Perpusda) Surakarta, buku mengenai batik  dalam tafsiran aslinya hanya ada satu buah. Selama setahun, ia mampir ke  berbagai tempat di sekitar Solo dan Yogyakarta, termasuk butik Danar  Hadi hingga rumah-rumah pembatik di Kauman.
Keuletannya berbuah  ketertarikan Danar Hadi untuk menerbitkan bukunya tersebut. Ia juga  mendapatkan bantuan dari budayawan Sunar Susanto yang menjadi salah satu  narasumber  buku mengenai batik untuk UNESCO pada tahun 2009.
Melalui  bukunya, Agus ingin mengajak masyarakat untuk berpikir kembali mengenai  budaya batik. Terutama tentang bagaimana menjaga orisinalitasnya, dan  agar tidak disusupi oleh pengaruh dari luar.
Masalahnya memang  saat ini batik asli cukup mahal, dan hanya bisa dinikmati oleh kalangan  tertentu. "Tapi saya yakin, dengan perubahan cara pandang masyarakat,  suatu solusi bisa ditemukan," ucapnya optimistis. Bukunya saat ini masih  dalam tahap revisi. Namun dipastikan bahwa dalam waktu singkat,  karyanya tersebut akan segera terbit.
Kini, Agus telah bekerja di  Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Jawa Timur. Dalam  perjalanan hidupnya, ia tak ingin lepas dari kehidupan budaya. Suatu  hari nanti, ia ingin mewujudkan cita-citanya untuk menciptakan sebuah  forum komunikasi seni dan budaya se-Indonesia.
t : @agustopena
fb / email :  agusistop@gmail.com
Sumber ITS.