Rabu, 10 Agustus 2022

Bagaimana Al Quran dan Al Hadits Menyebut Bencana (Bag.1)

Ilustrasi Ceramah : Bagaimana Al Quran dan Al Hadits Menyebut Bencana (Bag.1)

Bagaimana Al Quran dan Al Hadits Menyebut Bencana. Sikap manusia terhadap bencana tergambar dari cara pandang manusia terhadapnya dan cara pandang dapat terlihat dari bagaimana manusia mengitilahkan peristiwa bencana. Menurut KBBI bencana memiliki arti sesuatu yang menyebabkan kesusahan, kerugian, atau penderitaan. Tentu saja kesusahan, kerugian, atau penderitaan ini adalah bagi manusia, jika tidak ada manusia maka bencana bukanlah bencana. Cara pandang terhadap bencana menentukan apa yang akan dilakukan manusia dalam rangka menanggapinya.

Al Qur’an sebagai pedoman hidup manusia yang lengkap dan pasti kebenaranya memiliki banyak istilah untuk menyebut bencana. Dari banyak istilah ini kemudian manusia dapat belajar memaknai dan menanggapi kejadian becana secara arif dan bijaksana. Beberapa istilah yang digunakan Al Qur’an adalah

Sikap manusia terhadap bencana tergambar dari cara pandang manusia terhadapnya dan cara pandang dapat terlihat dari bagaimana manusia mengitilahkan peristiwa bencana. Menurut KBBI bencana memiliki arti sesuatu yang menyebabkan kesusahan, kerugian, atau penderitaan. Tentu saja kesusahan, kerugian, atau penderitaan ini adalah bagi manusia, jika tidak ada manusia maka bencana bukanlah bencana. Cara pandang terhadap bencana menentukan apa yang akan dilakukan manusia dalam rangka menanggapinya.

Al Qur’an sebagai pedoman hidup manusia yang lengkap dan pasti kebenaranya memiliki banyak istilah untuk menyebut bencana. Dari banyak istilah ini kemudian manusia dapat belajar memaknai dan menanggapi kejadian becana secara arif dan bijaksana. Beberapa istilah yang digunakan Al Qur’an adalah.

1.Musibah

Musibah berasal dari bahasa Arab (ashoba-yusibu) yang berati sesuatu yang menimpa. Dalam Al Qur’an kata musibah secara umum bersifat netral, tidak dikonotasikan baik positif ataupun negatif. Meskipun setelah diserap dalam bahasa Indonesia musibah selalu dikonotasikan sebagai peristiwa negatif yang menyengsarakan atau tidak enak. Dalam Al Qur’an tidak demikian, apa-apa yang menimpa manusia baik kejadian positif maupun negatif, dalam peristiwa alam maupu sosial pernah disebut dengan kata musibah. Contoh kata musibah dengan konteks positif dan negatif ini terdapat dalam Al Qur’an surat Al-Hadid  ayat 22-23:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُم إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّنْ قَبْلِ أَنْ نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ  (22) لِّكَيْلَا تَاْسَوا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُم وَالله لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (23)

Artinya : “Tiada suatu musibah yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul mahfuz) sebelum kami menciptakanya, Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(kami menjelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu, Allah tidak suka orang yang sombong lagi membanggakan diri”.

Musibah berasal dari bahasa Arab (ashoba-yusibu) yang berati sesuatu yang menimpa. Dalam Al Qur’an kata musibah secara umum bersifat netral, tidak dikonotasikan baik positif ataupun negatif. Meskipun setelah diserap dalam bahasa Indonesia musibah selalu dikonotasikan sebagai peristiwa negatif yang menyengsarakan atau tidak enak. Dalam Al Qur’an tidak demikian, apa-apa yang menimpa manusia baik kejadian positif maupun negatif, dalam peristiwa alam maupu sosial pernah disebut dengan kata musibah. Contoh kata musibah dengan konteks positif dan negatif ini terdapat dalam Al Qur’an surat Al-Hadid  ayat 22-23:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُم إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّنْ قَبْلِ أَنْ نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ  (22) لِّكَيْلَا تَاْسَوا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُم وَالله لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (23)

Artinya : “Tiada suatu musibah yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul mahfuz) sebelum kami menciptakanya, Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(kami menjelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu, Allah tidak suka orang yang sombong lagi membanggakan diri”.

Kemudian penggunaan kata serupa ditemukan pula dalam hadits:

Dari Shuhaib, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “sungguh menakjubkkan perihal kaum mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah (bernilai) kebaikan, dan itu tidak akan terjadi kecuali bagi orang mukmin. Jika ia ditimpa (dikaruniai) nikmat , ia bersyukur dan itu baik baginya. jika ia ditimpa bencana ia bersabar dan itu juga baik baginya” [HR Muslim].

Kata musibah digunakan juga untuk mengajarkan manusia bahwa musibah yang berupa kebaikan itu berasal dari Allah dan musibah yang berupa bencana karena hasil perbuatan manusia itu sendiri. Hal ini dikatakan dalam surat An-Nisa (4) ayat 79 :

مَا أصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أَصَابَ ِمِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلَنَاكَ لِلنَّاسِ رِسُولاً وَكَفَى بِالله شَهِيداً

Artinya: apa saja nikmat (musibah) yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana (musibah) yang menimpamu adalah dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu mejadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.

Kemudian kata musibah juga digunakan Allah untuk mengajari manusia untuk mengembalikan esensi dari sebuah musibah kepada Allah untuk bersyukur maupun bersabar. Dengan demikian, manusia harus menyadari sepenuhnya bahwa dirinya adalah “pelaku dan penerima” cobaan Allah. Hal ini dapat dilihat pada surat Al-Baqarah (2) ayat 156 :

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنّ للهِ وَإِنَا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

Artinya : (yaitu) orang-orang yang jika tertimpa (musibah), mereka mengucapkan “inna lillahi wa inna ilahi raji’un” (sesungguhnya ‘musibah’ dari Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kita kembali)

2. Bala’

Kata Bala’ memiliki makna berati ujian, baik berupa kebaikan dan juga keburukan. Kata bala’ juga diserap kedalam bahasa Indonesia untuk menyebut bencana dan hal-hal buruk, oleh karenanya dikenal istilah “tolak bala” yang berati menolak kejadian buruk. Namun dalam Al Qur’an kata bala menunjukkan peristiwa netral yang berati dapat berupa nikmat maupun bencana dan memiliki dimensi pengajaran kepada manusia atau ujian. Ujian ini dimaksudkan untuk menguji keimanan dan memperteguh keimanan. Hal ini terdapat dalam surat Al-A’raf (7) ayat 168 :

وَ قَطَّعْنَا هُمْ فِي الأَرْض أُمَماً مِنْهُمُ الصَّلِحُون وَمِنْهُم دُونَ ذَلِكَ وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُم يَرْجِعُون

Artinya : Dan kami bagi-bagi mereka di duia ini menjadi beberapa golongan ; diantaranya ada orang salah dam yang tidak. Dan kami uji mereka (bala) dengan nikmat (yang baik-baik) dan bencana (yang buruk-buruk), agar mereka kembali (kepada kebenaran).

Bala’ merupakan ujian diberikan kepada manusia baik yang salih maupun yang tidak, melalui kebaikan/nikmat (al-hasanat) dan keburukan/bencana (as-sayy’iat). Penilaian baik buruk peristiwa adalah dari manusia, karena apa yang ditimpakan Allah sejatinya selalu baik. Hal ini dikarenakan fungsi dari bala’ yang mengembalikan keimanan atau menguatkan keimanan dari orang yang terkena bala’ tersebut. Manusia dapat menyikapi bala’ dengan syukur dan sabar tergantung pada peristiwa yang terjadi. Seseorang yang lulus dalam menyikapi bala’ maka ia menjadi hamba terkasih Allah dan yang belum maka akan diuji lebih banyak lagi. Hal ini didasari pada hadits :

Dari Anas radhiyallahu anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “;..Sesungguhnya besarnya pahala adalah karena ujian. Sungguh jika Allah mencintai suatu kaum maka Ia akan menimpakan ujian (bala’) kepada mereka. Barang siapa ridha terhadapnya maka ia yang akan meraih ridha Allah. Barang siapa yang tidak maka Allah akan murka”. [HR Tirmidzi]. 

3. Fitnah

Kata fitnah berasal dari kata fatana-yuftinu yang berarti cobaan (ibtila’) atau ujian (imtihan) (ikhtibar). Dalam Al Qur’an fitnah mengandung beberapa makna seperti kemusyrikan [QS Al-Baqarah (2): 191,193 dan 217], cobaan atau ujian [QS Taha (20):40 dan Al-‘Ankabut (29):3], kebinasaan/kematian [QS An-Anisa’ (4):101], siksa atau azab [QS Yunus (10):83] dan arti lainya.

Kata fitnah berubah makna saat diserap kedalam bahasa Indonesia yang kemudian menjadi bermakna tuduhan. Berbeda dengan istilah sebelumnya, fitnah menggambarkan hanya peristiwa sosial saja. Yang dapat diartikan fitnah adalah kejadian yang berasal dari hubungan antar manusia, seperti disebutkan pada hadits berikut :

Dari Jabir bin Abdullah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : seorang laki-laki datang dengan membawa dua unta yang baru saja diberinya minum saat malam sudah gelap gulita. Laki-laki itu kemudian tinggalkan untanya dan ikut sholat bersama Muadz. dalam sholatnya, Muadz membaca surat Al-Baqarah atau surat An-Nisa sehingga laki-laki tersebut meninggalkanya. Maka sampailah kepadanya berita bahwa Muadz mengecam tindakan laki-laki tersebut. Akhirnya laki-laki tersebut mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan mengadukan persoalan ini kepada Beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam lalu bersabda “wahai Muadz apakah kamu sedang terfitnah (terperdaya) ?”. [HR Bukhari]

Meski sesuatu yang dilabeli fitnah seringkali bermakna buruk, akan tetapi fitnah juga dapat berupa ujian dari hal yang dianggap baik seperti anak dan istri. Hal ini dapat dilihat di Al Qur’an surat At-Taghabun (64) ayat 15

إِنَّمَا أَمْوَالَكُمْ وَأَوْلاَدُكُم فِتْنَةٌ وَالله عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيم

Artinya: “sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan bagimu, dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”

Referensi : Bagaimana Al Quran dan Al Hadits Menyebut Bencana