This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Rabu, 31 Agustus 2022

Berikan harta yang baik untuk anak yatim (Jangan Menukar Harta Anak Yatim dengan Harta yang Buruk)

Berikan harta yang baik untuk anak yatim (Jangan Menukar Harta Anak Yatim dengan Harta yang Buruk). Menurutnya pendemi juga telah menyisakan penderitaan dan kesedihan yang mendalam terutama anak-anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya. "Akibatnya terjadi lojakan tajam jumlah anak yatim. Hal ini tentu menjadi keprihatinan kita semua," kata Ustadz Mahbub Maafi saat dihubungi Republika, Ahad (29/8).  Ustadz Mahbub Maafi mengatakan, dalam pandangan Islam sendiri kita diperintahkan untuk berbuat kebaikan (al-ihsan) anak-anak yatim. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Al-Baqarah ayat 83 sebagai berikut:  “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim…"  Menurutnya, perintah berbuat baik kepada anak-anak yatim dalam ayat bisa dilakukan dengan memberikan bantuan (shadaqah) maupun dengan ucapan yang baik (husn al-qaul) kepada mereka. Hal sebagaimana yang dipahami penjelasan Abu al-Laits as-Samarqandi  (W. 373 H) dalam kitab tafsir Barh al-‘Ulum-nya.  "Inilah tanggung jawab sosial umat Islam," katanya.  Sementara yang tak kalah pentingnya adalah pihak yang menjadi wali anak yatim, di mana salah satu tanggung jawabnya adalah menjaga harta anak yatim tersebut. Jangan sampai mengambilnya dengan cara-cara yang tidak benarkan menurut syariat Islam.  Hal ini telah diingatkan firman Allah Swt dalam surat An-Nisa ayat 10 sebagai berikut:   "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)."  Karena itu tasharruf terhadap harta anak yatim oleh walinya hanya bisa dibenarkan jika hal tersebut untuk kemaslahatan atau kepentingan anak yatim. Di luar itu harus dihindari khususnya oleh kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW.  Selanjutnya point terakhir adalah perlakukan wali kepada anak yatim. Hendaklah wali juga berfikir seandainya anaknya menjadi yatim, sehingga ia harus memperlakukan anak yatim yang ada dalam perwaliannya sebagaimana anak sendiri.  alam surah An-Nisa ayat 2 Allah SWT telah mengingatkan kita jangan memakan harta anak yatim.   “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama harta kamu. Sesungguhnya itu, adalah dosa yang besar. ”  Prof Quraish Shihab mengatakan, ayat  di atas (An-Nisa ayat 2) menerangkan tentang siapa yang harus dipelihara hak-haknya dalam rangka bertakwa kepada Allah dan memelihara hubungan rahim itu. Tentu saja yang utama adalah yang paling lemah, dan yang paling lemah adalah anak yang belum dewasa yang telah meninggal ayahnya, yakni anak-anak yatim.   "Karena itu yang pertama diingatkan adalah tentang mereka," katanya.  Ayat ini memerintahkan kepada para wali: "Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka."  Artinya ketika kita memeliharalah harta anak yang belum dewasa yang telah meninggal ayahnya, yang berada dalam pengasuhan kita maka berikanlah harta milik anak-anak yang tadinya yatim dan kini telah dewasa.  "Dan jangan kamu dengan sengaja"  Dan sungguh-sungguh sebagaimana dipahami dari penambahan huruf ta ’ pada kata tatabaddalu (menukar) dengan mengambil harta anak yatim yang buruk, yakni yang haram dan mengambil yang baik untuk harta kamu, yakni yang halal, dan jangan juga kamu makan,yakni gunakan atau manfaatkan secara tidak wajar harta mereka didorong oleh keinginan menggabungnya bersama harta kamu.   "Sesungguhnya itu, yakni semua yang dilarang di atas adalah dosa dan kebinasaan yang besar," tulis Prof Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Misbah.    Menurutnya, kata tatabaddalu, ada yang memahaminya dalam arti menjadikan, karena menukar adalah menjadikan sesuatu di tempat sesuatu yang lain, sehingga atas dasar itu sementara ulama memahami larangan di atas dalam arti:  "Jangan kamu jadikan harta yang buruk buat mereka dan harta yang baik buat kamu,"  Artinya jangan mengambil harta-harta mereka yang bernilai tinggi dan meninggalkan buat mereka yang tidak bernilai. Memang  pada masa Jahiliah, banyak wali yang mengambil harta anak yatim yang kualitasnya baik dan menukarnya dengan barang yang sama milik wali tapi yang berkualitas buruk, sambil berkata bahwa kedua barang itu sama jenis atau kadarnya. Berikan harta yang baik untuk anak yatim (Jangan Menukar Harta Anak Yatim dengan Harta yang Buruk). Menurutnya pendemi juga telah menyisakan penderitaan dan kesedihan yang mendalam terutama anak-anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya. "Akibatnya terjadi lojakan tajam jumlah anak yatim. Hal ini tentu menjadi keprihatinan kita semua," kata Ustadz Mahbub Maafi saat dihubungi Republika, Ahad (29/8).  Ustadz Mahbub Maafi mengatakan, dalam pandangan Islam sendiri kita diperintahkan untuk berbuat kebaikan (al-ihsan) anak-anak yatim. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Al-Baqarah ayat 83 sebagai berikut:  “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim…"  Menurutnya, perintah berbuat baik kepada anak-anak yatim dalam ayat bisa dilakukan dengan memberikan bantuan (shadaqah) maupun dengan ucapan yang baik (husn al-qaul) kepada mereka. Hal sebagaimana yang dipahami penjelasan Abu al-Laits as-Samarqandi  (W. 373 H) dalam kitab tafsir Barh al-‘Ulum-nya.  "Inilah tanggung jawab sosial umat Islam," katanya.  Sementara yang tak kalah pentingnya adalah pihak yang menjadi wali anak yatim, di mana salah satu tanggung jawabnya adalah menjaga harta anak yatim tersebut. Jangan sampai mengambilnya dengan cara-cara yang tidak benarkan menurut syariat Islam.  Hal ini telah diingatkan firman Allah Swt dalam surat An-Nisa ayat 10 sebagai berikut:   "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)."  Karena itu tasharruf terhadap harta anak yatim oleh walinya hanya bisa dibenarkan jika hal tersebut untuk kemaslahatan atau kepentingan anak yatim. Di luar itu harus dihindari khususnya oleh kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW.  Selanjutnya point terakhir adalah perlakukan wali kepada anak yatim. Hendaklah wali juga berfikir seandainya anaknya menjadi yatim, sehingga ia harus memperlakukan anak yatim yang ada dalam perwaliannya sebagaimana anak sendiri.  alam surah An-Nisa ayat 2 Allah SWT telah mengingatkan kita jangan memakan harta anak yatim.   “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama harta kamu. Sesungguhnya itu, adalah dosa yang besar. ”  Prof Quraish Shihab mengatakan, ayat  di atas (An-Nisa ayat 2) menerangkan tentang siapa yang harus dipelihara hak-haknya dalam rangka bertakwa kepada Allah dan memelihara hubungan rahim itu. Tentu saja yang utama adalah yang paling lemah, dan yang paling lemah adalah anak yang belum dewasa yang telah meninggal ayahnya, yakni anak-anak yatim.   "Karena itu yang pertama diingatkan adalah tentang mereka," katanya.  Ayat ini memerintahkan kepada para wali: "Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka."  Artinya ketika kita memeliharalah harta anak yang belum dewasa yang telah meninggal ayahnya, yang berada dalam pengasuhan kita maka berikanlah harta milik anak-anak yang tadinya yatim dan kini telah dewasa.  "Dan jangan kamu dengan sengaja"  Dan sungguh-sungguh sebagaimana dipahami dari penambahan huruf ta ’ pada kata tatabaddalu (menukar) dengan mengambil harta anak yatim yang buruk, yakni yang haram dan mengambil yang baik untuk harta kamu, yakni yang halal, dan jangan juga kamu makan,yakni gunakan atau manfaatkan secara tidak wajar harta mereka didorong oleh keinginan menggabungnya bersama harta kamu.   "Sesungguhnya itu, yakni semua yang dilarang di atas adalah dosa dan kebinasaan yang besar," tulis Prof Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Misbah.    Menurutnya, kata tatabaddalu, ada yang memahaminya dalam arti menjadikan, karena menukar adalah menjadikan sesuatu di tempat sesuatu yang lain, sehingga atas dasar itu sementara ulama memahami larangan di atas dalam arti:  "Jangan kamu jadikan harta yang buruk buat mereka dan harta yang baik buat kamu,"  Artinya jangan mengambil harta-harta mereka yang bernilai tinggi dan meninggalkan buat mereka yang tidak bernilai. Memang  pada masa Jahiliah, banyak wali yang mengambil harta anak yatim yang kualitasnya baik dan menukarnya dengan barang yang sama milik wali tapi yang berkualitas buruk, sambil berkata bahwa kedua barang itu sama jenis atau kadarnya.

Berikan harta yang baik untuk anak yatim (Jangan Menukar Harta Anak Yatim dengan Harta yang Buruk). Menurutnya pendemi juga telah menyisakan penderitaan dan kesedihan yang mendalam terutama anak-anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya. "Akibatnya terjadi lojakan tajam jumlah anak yatim. Hal ini tentu menjadi keprihatinan kita semua," kata Ustadz Mahbub Maafi saat dihubungi Republika, Ahad (29/8).

Ustadz Mahbub Maafi mengatakan, dalam pandangan Islam sendiri kita diperintahkan untuk berbuat kebaikan (al-ihsan) anak-anak yatim. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Al-Baqarah ayat 83 sebagai berikut:

“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim…"

Menurutnya, perintah berbuat baik kepada anak-anak yatim dalam ayat bisa dilakukan dengan memberikan bantuan (shadaqah) maupun dengan ucapan yang baik (husn al-qaul) kepada mereka. Hal sebagaimana yang dipahami penjelasan Abu al-Laits as-Samarqandi  (W. 373 H) dalam kitab tafsir Barh al-‘Ulum-nya.

"Inilah tanggung jawab sosial umat Islam," katanya.

Sementara yang tak kalah pentingnya adalah pihak yang menjadi wali anak yatim, di mana salah satu tanggung jawabnya adalah menjaga harta anak yatim tersebut. Jangan sampai mengambilnya dengan cara-cara yang tidak benarkan menurut syariat Islam.

Hal ini telah diingatkan firman Allah Swt dalam surat An-Nisa ayat 10 sebagai berikut: 

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)."

Karena itu tasharruf terhadap harta anak yatim oleh walinya hanya bisa dibenarkan jika hal tersebut untuk kemaslahatan atau kepentingan anak yatim. Di luar itu harus dihindari khususnya oleh kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW.

Selanjutnya point terakhir adalah perlakukan wali kepada anak yatim. Hendaklah wali juga berfikir seandainya anaknya menjadi yatim, sehingga ia harus memperlakukan anak yatim yang ada dalam perwaliannya sebagaimana anak sendiri.

alam surah An-Nisa ayat 2 Allah SWT telah mengingatkan kita jangan memakan harta anak yatim. 

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama harta kamu. Sesungguhnya itu, adalah dosa yang besar. ”

Prof Quraish Shihab mengatakan, ayat  di atas (An-Nisa ayat 2) menerangkan tentang siapa yang harus dipelihara hak-haknya dalam rangka bertakwa kepada Allah dan memelihara hubungan rahim itu. Tentu saja yang utama adalah yang paling lemah, dan yang paling lemah adalah anak yang belum dewasa yang telah meninggal ayahnya, yakni anak-anak yatim. 

"Karena itu yang pertama diingatkan adalah tentang mereka," katanya.

Ayat ini memerintahkan kepada para wali: "Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka."

Artinya ketika kita memeliharalah harta anak yang belum dewasa yang telah meninggal ayahnya, yang berada dalam pengasuhan kita maka berikanlah harta milik anak-anak yang tadinya yatim dan kini telah dewasa.

"Dan jangan kamu dengan sengaja"

Dan sungguh-sungguh sebagaimana dipahami dari penambahan huruf ta ’ pada kata tatabaddalu (menukar) dengan mengambil harta anak yatim yang buruk, yakni yang haram dan mengambil yang baik untuk harta kamu, yakni yang halal, dan jangan juga kamu makan,yakni gunakan atau manfaatkan secara tidak wajar harta mereka didorong oleh keinginan menggabungnya bersama harta kamu. 

"Sesungguhnya itu, yakni semua yang dilarang di atas adalah dosa dan kebinasaan yang besar," tulis Prof Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Misbah.


Menurutnya, kata tatabaddalu, ada yang memahaminya dalam arti menjadikan, karena menukar adalah menjadikan sesuatu di tempat sesuatu yang lain, sehingga atas dasar itu sementara ulama memahami larangan di atas dalam arti:

"Jangan kamu jadikan harta yang buruk buat mereka dan harta yang baik buat kamu,"

Artinya jangan mengambil harta-harta mereka yang bernilai tinggi dan meninggalkan buat mereka yang tidak bernilai. Memang  pada masa Jahiliah, banyak wali yang mengambil harta anak yatim yang kualitasnya baik dan menukarnya dengan barang yang sama milik wali tapi yang berkualitas buruk, sambil berkata bahwa kedua barang itu sama jenis atau kadarnya.


Referensi : Berikan harta yang baik untuk anak yatim



Dosa Besar yang Tak Diampuni Oleh Allah SWT, Salah Satunya Memakan Harta Anak Yatim

Dosa Besar yang Tak Diampuni Oleh Allah SWT, Salah Satunya Memakan Harta Anak Yatim  Dosa Besar yang Tak Diampuni Oleh Allah SWT, Salah Satunya Memakan Harta Anak Yatim. Rasulullah SAW selalu mencontohkan dan menganjurkan untuk menyantuni anak yatim.  Ada banyak keutamaan yang bisa didapatkan seorang muslim jika menyantuni anak yatim. Anak yatim hidup dengan kondisi yang sudah ditinggalkan seorang Ayah atau ibu serta kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.  Untuk itu, tidak heran jika memang Islam memerintahkan kita untuk menyantuni anak-anak yatim.  Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mengambil anak yatim dari kalangan Muslimin, dan memberinya makan dan minum, Allah akan memasukannya kedalam surga, kecuali apabila ia berbuat dosa besar yang tidak terampuni.” (HR. Tirmidzi). Islam melarang bagi siapa saja untuk memakan harta anak yatim. Bahkan Allah memberikan kecaman yang luar biasa, bagi mereka yang melakukannya.  Apalagi, anak yatim biasanya membutuhkan dukungan, bantuan, dan perlindungan lebih saat ayah atau orang tuanya telah tiada.  Dalam Al Quran dan hadits telah banyak disebutkan bahwa hukum memakan harta anak yatim atau mengambil harta anak yatim adalah suatu yang dosa dan Allah berjanji akan membalasnya kelak di akhirat dengan siksaan neraka.  Dalam Al Quran Surah Al-Ma’un ayat 1-2, Allah berfirman, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka mereka itulah orang yang menghardik anak yatim.”  Pada ayat ini disebutkan bahwa menghardik anak yatim, dalam artian mencaci maki dan membiarkannya dalam kesulitan adalah dosa yang sangat besar.  Untuk itu, jangankan mengambil hartanya, memakinya saja Allah memberikan kecaman yang luar biasa. Untuk itu, sayangi dan berilah perlindungan untuk mereka.  QS An-Nisa: 10. “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala (nereka)”.  Dalam surat An-Nisa ayat 10 berikut, telah jelas bahwa ketika kita memakan harta anak yatim, maka sebenarnya kita sedang menjerumuskan diri sendiri ke dalam jurang neraka. Kita memakan api sendiri dan membuat diri kita tersiksa nantinya di akhirat.  QS Al-An’am: 151-152  “Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepda ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin.  Kamilah yang memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar.  Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti.  Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa.  Referensi : Dosa Besar yang Tak Diampuni Oleh Allah SWT, Salah Satunya Memakan Harta Anak Yatim

Dosa Besar yang Tak Diampuni Oleh Allah SWT, Salah Satunya Memakan Harta Anak Yatim. Rasulullah SAW selalu mencontohkan dan menganjurkan untuk menyantuni anak yatim.

Ada banyak keutamaan yang bisa didapatkan seorang muslim jika menyantuni anak yatim. Anak yatim hidup dengan kondisi yang sudah ditinggalkan seorang Ayah atau ibu serta kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Untuk itu, tidak heran jika memang Islam memerintahkan kita untuk menyantuni anak-anak yatim.

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mengambil anak yatim dari kalangan Muslimin, dan memberinya makan dan minum, Allah akan memasukannya kedalam surga, kecuali apabila ia berbuat dosa besar yang tidak terampuni.” (HR. Tirmidzi). Islam melarang bagi siapa saja untuk memakan harta anak yatim. Bahkan Allah memberikan kecaman yang luar biasa, bagi mereka yang melakukannya.

Apalagi, anak yatim biasanya membutuhkan dukungan, bantuan, dan perlindungan lebih saat ayah atau orang tuanya telah tiada.

Dalam Al Quran dan hadits telah banyak disebutkan bahwa hukum memakan harta anak yatim atau mengambil harta anak yatim adalah suatu yang dosa dan Allah berjanji akan membalasnya kelak di akhirat dengan siksaan neraka.

Dalam Al Quran Surah Al-Ma’un ayat 1-2, Allah berfirman, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka mereka itulah orang yang menghardik anak yatim.”

Pada ayat ini disebutkan bahwa menghardik anak yatim, dalam artian mencaci maki dan membiarkannya dalam kesulitan adalah dosa yang sangat besar.

Untuk itu, jangankan mengambil hartanya, memakinya saja Allah memberikan kecaman yang luar biasa. Untuk itu, sayangi dan berilah perlindungan untuk mereka.

QS An-Nisa: 10. “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala (nereka)”.

Dalam surat An-Nisa ayat 10 berikut, telah jelas bahwa ketika kita memakan harta anak yatim, maka sebenarnya kita sedang menjerumuskan diri sendiri ke dalam jurang neraka. Kita memakan api sendiri dan membuat diri kita tersiksa nantinya di akhirat.

QS Al-An’am: 151-152

“Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepda ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin.

Kamilah yang memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar.  Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti.  Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa.

Referensi : Dosa Besar yang Tak Diampuni Oleh Allah SWT, Salah Satunya Memakan Harta Anak Yatim







Awas jangan termasuk (Golongan Orang yang Menghardik Anak Yatim)

Awas jangan termasuk (Golongan Orang yang Menghardik Anak Yatim). Membantu sesama manusia atau tolong menolong dalam hal kebaikan dan takwa merupakan perbuatan yang mulia. Termasuk di antaranya membantu anak yatim.  Perintah untuk membantu anak yatim termaktub dalam QS. Al Baqarah ayat 220. Allah SWT berfirman sebagai berikut:  وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْيَتَٰمَىٰ ۖ قُلْ إِصْلَاحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ ۖ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَٰنُكُمْ ۚ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ ٱلْمُفْسِدَ مِنَ ٱلْمُصْلِحِ ۚ وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَأَعْنَتَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ   Artinya: "Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al Baqarah: 220).  Baca artikel detiknews, "Ini Golongan Orang yang Menghardik Anak Yatim" selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-5600670/ini-golongan-orang-yang-menghardik-anak-yatim. Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Majah, Rasulullah SAW bersabda: "Sebaik-baik rumah di kalangan kaum Muslimin adalah rumah yang terdapat anak yatim yang diperlakukan dengan baik. Dan sejelek-jelek rumah di kalangan kaum Muslimin adalah rumah yang terdapat anak yatim dan dia diperlakukan dengan buruk." (HR. Ibnu Majah).   Menyantuni anak yatim memiliki keutamaan besar. Di antaranya memiliki kedudukan yang dekat dengan Rasulullah SAW kelak di surga. Bahkan, dikatakan hanya sedekat jari telunjuk dengan jari tengah.  Imam Bukhari dalam kitab sahihnya meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda:  "Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini", kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya" (HR. Bukhari)  Lantas, bagaimana dengan orang yang tidak mau membantu anak yatim?  Orang yang menghardik anak yatim termasuk golongan para pendusta agama. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Maun ayat 1-3 sebagai berikut:  أَرَءَيْتَ ٱلَّذِى يُكَذِّبُ بِٱلدِّينِ (1) فَذَٰلِكَ ٱلَّذِى يَدُعُّ ٱلْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلْمِسْكِينِ (3)  Arab-latin: Ara aital ladzii yukadzdzibu bid diin (1), Fadzaalikal ladzii yadu'ul yatiim (2), Walaa yahudldlu 'alaa tho'aamil miskiin (3)  Artinya: "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (1), Itulah orang yang menghardik anak yatim (2) dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (3)" (QS. Al Ma'un: 1-3).  Menurut tafsir Kemenag, ayat tersebut menjelaskan tentang ciri-ciri orang yang mendustakan agama. Dalam ayat pertama, Allah SWT mengajukan pertanyakan kepada Nabi Muhammad SAW, "Apakah engkau mengetahui orang yang mendustakan agama dan yang dimaksud dengan orang yang mendustakan agama?"  Lalu, Allah SWT menjelaskan jawaban dari pertanyaan-Nya lewat ayat-ayat setelahnya. Adapun sebagian dari sifat-sifat orang yang mendustakan agama adalah menolak dan membentak anak yatim yang datang padanya untuk minta belas kasihan demi mencukupi kebutuhan hidup. Penolakan yang dilakukan pendusta agama tersebut merupakan penghinaan dan takabur terhadap anak yatim.  Sifat selanjutnya adalah tidak mengajak orang lain untuk membantu dan memberi makan orang miskin. Kemenag menafsirkan lebih lanjut, apabila tidak mau mengajak orang memberi makan dan membantu orang miskin, berarti ia tidak melakukannya sama sekali. Berdasarkan penjelasan tersebut, apabila seseorang tidak sanggup membantu orang miskin, maka hendaklah ia menganjurkan orang lain agar melakukannya.  Bahkan, dalam sebuah ayat dikatakan bahwa orang yang memakan harta anak yatim secara zalim termasuk penghuni neraka.  "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (QS. An-Nisa: 10). Menyantuni anak yatim memiliki keutamaan besar. Di antaranya memiliki kedudukan yang dekat dengan Rasulullah SAW kelak di surga. Bahkan, dikatakan hanya sedekat jari telunjuk dengan jari tengah.  Imam Bukhari dalam kitab sahihnya meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda:  "Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini", kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya" (HR. Bukhari)  Lantas, bagaimana dengan orang yang tidak mau membantu anak yatim?  Orang yang menghardik anak yatim termasuk golongan para pendusta agama. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Maun ayat 1-3 sebagai berikut:  أَرَءَيْتَ ٱلَّذِى يُكَذِّبُ بِٱلدِّينِ (1) فَذَٰلِكَ ٱلَّذِى يَدُعُّ ٱلْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلْمِسْكِينِ (3)  Arab-latin: Ara aital ladzii yukadzdzibu bid diin (1), Fadzaalikal ladzii yadu'ul yatiim (2), Walaa yahudldlu 'alaa tho'aamil miskiin (3)  Artinya: "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (1), Itulah orang yang menghardik anak yatim (2) dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (3)" (QS. Al Ma'un: 1-3).  Menurut tafsir Kemenag, ayat tersebut menjelaskan tentang ciri-ciri orang yang mendustakan agama. Dalam ayat pertama, Allah SWT mengajukan pertanyakan kepada Nabi Muhammad SAW, "Apakah engkau mengetahui orang yang mendustakan agama dan yang dimaksud dengan orang yang mendustakan agama?"  Lalu, Allah SWT menjelaskan jawaban dari pertanyaan-Nya lewat ayat-ayat setelahnya. Adapun sebagian dari sifat-sifat orang yang mendustakan agama adalah menolak dan membentak anak yatim yang datang padanya untuk minta belas kasihan demi mencukupi kebutuhan hidup. Penolakan yang dilakukan pendusta agama tersebut merupakan penghinaan dan takabur terhadap anak yatim.  Sifat selanjutnya adalah tidak mengajak orang lain untuk membantu dan memberi makan orang miskin. Kemenag menafsirkan lebih lanjut, apabila tidak mau mengajak orang memberi makan dan membantu orang miskin, berarti ia tidak melakukannya sama sekali. Berdasarkan penjelasan tersebut, apabila seseorang tidak sanggup membantu orang miskin, maka hendaklah ia menganjurkan orang lain agar melakukannya.  Bahkan, dalam sebuah ayat dikatakan bahwa orang yang memakan harta anak yatim secara zalim termasuk penghuni neraka.  "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (QS. An-Nisa: 10).  Referensi : Awas jangan termasuk (Golongan Orang yang Menghardik Anak Yatim)

Awas jangan termasuk (Golongan Orang yang Menghardik Anak Yatim). Membantu sesama manusia atau tolong menolong dalam hal kebaikan dan takwa merupakan perbuatan yang mulia. Termasuk di antaranya membantu anak yatim.

Perintah untuk membantu anak yatim termaktub dalam QS. Al Baqarah ayat 220. Allah SWT berfirman sebagai berikut:

وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْيَتَٰمَىٰ ۖ قُلْ إِصْلَاحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ ۖ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَٰنُكُمْ ۚ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ ٱلْمُفْسِدَ مِنَ ٱلْمُصْلِحِ ۚ وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَأَعْنَتَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ


Artinya: "Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al Baqarah: 220).

Baca artikel detiknews, "Ini Golongan Orang yang Menghardik Anak Yatim" selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-5600670/ini-golongan-orang-yang-menghardik-anak-yatim.
Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Majah, Rasulullah SAW bersabda: "Sebaik-baik rumah di kalangan kaum Muslimin adalah rumah yang terdapat anak yatim yang diperlakukan dengan baik. Dan sejelek-jelek rumah di kalangan kaum Muslimin adalah rumah yang terdapat anak yatim dan dia diperlakukan dengan buruk." (HR. Ibnu Majah).


Menyantuni anak yatim memiliki keutamaan besar. Di antaranya memiliki kedudukan yang dekat dengan Rasulullah SAW kelak di surga. Bahkan, dikatakan hanya sedekat jari telunjuk dengan jari tengah.

Imam Bukhari dalam kitab sahihnya meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda:

"Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini", kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya" (HR. Bukhari)

Lantas, bagaimana dengan orang yang tidak mau membantu anak yatim?

Orang yang menghardik anak yatim termasuk golongan para pendusta agama. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Maun ayat 1-3 sebagai berikut:

أَرَءَيْتَ ٱلَّذِى يُكَذِّبُ بِٱلدِّينِ (1) فَذَٰلِكَ ٱلَّذِى يَدُعُّ ٱلْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلْمِسْكِينِ (3)

Arab-latin: Ara aital ladzii yukadzdzibu bid diin (1), Fadzaalikal ladzii yadu'ul yatiim (2), Walaa yahudldlu 'alaa tho'aamil miskiin (3)

Artinya: "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (1), Itulah orang yang menghardik anak yatim (2) dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (3)" (QS. Al Ma'un: 1-3).

Menurut tafsir Kemenag, ayat tersebut menjelaskan tentang ciri-ciri orang yang mendustakan agama. Dalam ayat pertama, Allah SWT mengajukan pertanyakan kepada Nabi Muhammad SAW, "Apakah engkau mengetahui orang yang mendustakan agama dan yang dimaksud dengan orang yang mendustakan agama?"

Lalu, Allah SWT menjelaskan jawaban dari pertanyaan-Nya lewat ayat-ayat setelahnya. Adapun sebagian dari sifat-sifat orang yang mendustakan agama adalah menolak dan membentak anak yatim yang datang padanya untuk minta belas kasihan demi mencukupi kebutuhan hidup. Penolakan yang dilakukan pendusta agama tersebut merupakan penghinaan dan takabur terhadap anak yatim.

Sifat selanjutnya adalah tidak mengajak orang lain untuk membantu dan memberi makan orang miskin. Kemenag menafsirkan lebih lanjut, apabila tidak mau mengajak orang memberi makan dan membantu orang miskin, berarti ia tidak melakukannya sama sekali. Berdasarkan penjelasan tersebut, apabila seseorang tidak sanggup membantu orang miskin, maka hendaklah ia menganjurkan orang lain agar melakukannya.

Bahkan, dalam sebuah ayat dikatakan bahwa orang yang memakan harta anak yatim secara zalim termasuk penghuni neraka.

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (QS. An-Nisa: 10).
Menyantuni anak yatim memiliki keutamaan besar. Di antaranya memiliki kedudukan yang dekat dengan Rasulullah SAW kelak di surga. Bahkan, dikatakan hanya sedekat jari telunjuk dengan jari tengah.

Imam Bukhari dalam kitab sahihnya meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda:

"Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini", kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya" (HR. Bukhari)

Lantas, bagaimana dengan orang yang tidak mau membantu anak yatim?

Orang yang menghardik anak yatim termasuk golongan para pendusta agama. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Maun ayat 1-3 sebagai berikut:

أَرَءَيْتَ ٱلَّذِى يُكَذِّبُ بِٱلدِّينِ (1) فَذَٰلِكَ ٱلَّذِى يَدُعُّ ٱلْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلْمِسْكِينِ (3)

Arab-latin: Ara aital ladzii yukadzdzibu bid diin (1), Fadzaalikal ladzii yadu'ul yatiim (2), Walaa yahudldlu 'alaa tho'aamil miskiin (3)

Artinya: "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (1), Itulah orang yang menghardik anak yatim (2) dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (3)" (QS. Al Ma'un: 1-3).

Menurut tafsir Kemenag, ayat tersebut menjelaskan tentang ciri-ciri orang yang mendustakan agama. Dalam ayat pertama, Allah SWT mengajukan pertanyakan kepada Nabi Muhammad SAW, "Apakah engkau mengetahui orang yang mendustakan agama dan yang dimaksud dengan orang yang mendustakan agama?"

Lalu, Allah SWT menjelaskan jawaban dari pertanyaan-Nya lewat ayat-ayat setelahnya. Adapun sebagian dari sifat-sifat orang yang mendustakan agama adalah menolak dan membentak anak yatim yang datang padanya untuk minta belas kasihan demi mencukupi kebutuhan hidup. Penolakan yang dilakukan pendusta agama tersebut merupakan penghinaan dan takabur terhadap anak yatim.

Sifat selanjutnya adalah tidak mengajak orang lain untuk membantu dan memberi makan orang miskin. Kemenag menafsirkan lebih lanjut, apabila tidak mau mengajak orang memberi makan dan membantu orang miskin, berarti ia tidak melakukannya sama sekali. Berdasarkan penjelasan tersebut, apabila seseorang tidak sanggup membantu orang miskin, maka hendaklah ia menganjurkan orang lain agar melakukannya.

Bahkan, dalam sebuah ayat dikatakan bahwa orang yang memakan harta anak yatim secara zalim termasuk penghuni neraka.

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (QS. An-Nisa: 10).

Referensi : Awas jangan termasuk (Golongan Orang yang Menghardik Anak Yatim)



Hukumnya makan harta anak yatim

Ulustrasi ceramah : Hukumnya makan harta anak yatim Hukumnya makan harta anak yatim. Dalam Islam telah dijelaskan betapa Allah dan Rasulullah memuliakan dan menyayangi anak yatim, lalu sebagai hamba Allah dan pengikut Rasulullah yang taat kita juga harus meneladani hal tersebut.    Allah SWT. dalam (QS. Al-Ma’un ayat 1-2) berfirman : “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka mereka itulah orang yang menghardik anak yatim.”  Maksud dari ayat tersebut menghardik anak yatim adalah yakni orang yang menolak dengan keras anak yatim dan tidak mau memberikan haknya, termasuk berkata kasar dan membentak mereka sehingga membuat mereka sedih dan bercucuran air mata.    Lalu hukum memakan harta anak yatim sama saja dengan hukum menyakiti hati anak yatim, yaitu tidak diperbolehkan dan dosa.    Rasululullah SAW. pernah bersabda : “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang merusak,” dan salah satu diantara perkara yang Rasulullah sebutkan adalah “Memakan harta anak yatim.” (HR. Bukhari dan Muslim)    Dan dalam (QS. An-Nisa’ ayat 10) Allah SWT. berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala (nereka).”    Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa orang yang memakan harta anak yatim maka ia diibaratkan seperti menelan api dan kelak akan dimasukan kedalam neraka.    Dan dalam (QS. Al-An’am ayat 151-152) Allah SWT. berfirman : Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepda ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti. Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabatmu dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan padamu agar kamu ingat.”    Dalam ayat tersebut disebutkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT. dan salah satunya adalah mendekati harta anak yatim. Seorang muslim dilarang mendekati harta anak yatim kecuali jika dia mendekatinya dengan cara dan tujuan yang bermanfaat bagi anak yatim tersebut, misalnya untuk keperluan pendidikan anak tersebut dan untuk makan beberapa keperluan bersama yang sifatnya tidak berlebihan. Namun hal tersebut juga hanya boleh dilakukan sampai anak tersebut mencapai usia dewasa atau (baligh).    Dan dari As-Suddiy, ia berkata : “Orang yang memakan harta anak yatim secara zalim akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam keadaan keluar nyala api dari mulut, telinga, hdiung, dan matanya. Siapapun yang melihatnya pasti akan mengetahui bahwa ia adalah pemakan harta anak yatim.” (HR. Ibnu Jarir)    Dalam Islam, telah jelas disebutkan bahwa memakan harta anak yatim merupakan salah satu dosa yang tak terampuni oleh Allah SWT., dan juga telah Allah SWT. melalui firmannya di dalam Al-Qur’an telah memberikan gambaran azab bagi orang yang memakan harta anak yatim. Oleh sebab itu, sebagai muslim yang baik dan takut kepada Allah, kita janganlah memakan harta anak yatim ataupun harta yang bukan menjadi hak kita. Serta senantiasa menyayangi, mengasihi, dan melindungi anak yatim, karena kita tidak tahu betapa berat beban hidup dan beban kehilangan yang dideritanya.    Referensi : Hukumnya makan harta anak yatim

Hukumnya makan harta anak yatim. Dalam Islam telah dijelaskan betapa Allah dan Rasulullah memuliakan dan menyayangi anak yatim, lalu sebagai hamba Allah dan pengikut Rasulullah yang taat kita juga harus meneladani hal tersebut.


Allah SWT. dalam (QS. Al-Ma’un ayat 1-2) berfirman : “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka mereka itulah orang yang menghardik anak yatim.”

Maksud dari ayat tersebut menghardik anak yatim adalah yakni orang yang menolak dengan keras anak yatim dan tidak mau memberikan haknya, termasuk berkata kasar dan membentak mereka sehingga membuat mereka sedih dan bercucuran air mata.


Lalu hukum memakan harta anak yatim sama saja dengan hukum menyakiti hati anak yatim, yaitu tidak diperbolehkan dan dosa.


Rasululullah SAW. pernah bersabda : “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang merusak,” dan salah satu diantara perkara yang Rasulullah sebutkan adalah “Memakan harta anak yatim.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Dan dalam (QS. An-Nisa’ ayat 10) Allah SWT. berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala (nereka).”


Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa orang yang memakan harta anak yatim maka ia diibaratkan seperti menelan api dan kelak akan dimasukan kedalam neraka.


Dan dalam (QS. Al-An’am ayat 151-152) Allah SWT. berfirman : Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepda ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti. Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabatmu dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan padamu agar kamu ingat.”


Dalam ayat tersebut disebutkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT. dan salah satunya adalah mendekati harta anak yatim. Seorang muslim dilarang mendekati harta anak yatim kecuali jika dia mendekatinya dengan cara dan tujuan yang bermanfaat bagi anak yatim tersebut, misalnya untuk keperluan pendidikan anak tersebut dan untuk makan beberapa keperluan bersama yang sifatnya tidak berlebihan. Namun hal tersebut juga hanya boleh dilakukan sampai anak tersebut mencapai usia dewasa atau (baligh).


Dan dari As-Suddiy, ia berkata : “Orang yang memakan harta anak yatim secara zalim akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam keadaan keluar nyala api dari mulut, telinga, hdiung, dan matanya. Siapapun yang melihatnya pasti akan mengetahui bahwa ia adalah pemakan harta anak yatim.” (HR. Ibnu Jarir)


Dalam Islam, telah jelas disebutkan bahwa memakan harta anak yatim merupakan salah satu dosa yang tak terampuni oleh Allah SWT., dan juga telah Allah SWT. melalui firmannya di dalam Al-Qur’an telah memberikan gambaran azab bagi orang yang memakan harta anak yatim. Oleh sebab itu, sebagai muslim yang baik dan takut kepada Allah, kita janganlah memakan harta anak yatim ataupun harta yang bukan menjadi hak kita. Serta senantiasa menyayangi, mengasihi, dan melindungi anak yatim, karena kita tidak tahu betapa berat beban hidup dan beban kehilangan yang dideritanya.


Referensi : Hukumnya makan harta anak yatim


Anak Lahir di Luar Nikah dalam Islam

Anak lahir di luar nikah adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan sah menurut ketentuan agama. Dalam aturan agama Islam, anak ini tidak mempunyai hubungan nasab, wali, nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Anak hasil zina hanya memiliki hubungan nasab, waris, dan nafkah dengan ibu dan keluarga ibunya.  Sebagaimana kita tahu, zina adalah perbuatan yang dilarang dalam agama. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita saling mengingatkan akan bahaya zina dan berusaha menghindarinya.  Allah SWT berfirman:  “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Isra:32).  Anak Lahir di Luar Nikah dalam Islam Imam Ibnu Hazm dalam kitab al-Muhalla menjelaskan, anak hasil zina dinasabkan kepada ibunya. Jika ibunya berzina dan kemudian mengandungnya. Tidak dinasabkan kepada lelakinya. Karena itu, Imam Ibnu Nujaim berpendapat bahwa anak hasil zina dan lian hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu.  Nasab anak lahir di luar nikah dari pihak bapak telah terputus, sehingga anak ini tidak mendapatkan hak waris apapun dari pihak bapak.  Sementara itu, kejelasan nasab anak lahir di luar nikah hanya melalui pihak ibu. Ia pun memiliki hak waris dari pihak ibu, saudara perempuan seibu dengan fardh saja (bagian tertentu), demikian pula dengan ibu dan saudara perempuannya yang seibu. Ia mendapatkan bagian fardh (tertentu) tidak dengan jalan lain.  Meski demikian, anak lahir di luar nikah ini tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan kedua orang tuanya. Pezina dikenakan hukum an hadd oleh pihak berwenang untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh an-nasl).  “Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian, kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.” (QS al- Anam: 64).   pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman tazir kepada pezina yang mengakibatkan anak lahir di luar nikah. Pelaku zina diwajibkan mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut.  Memberikan harta setelah ia meninggal melalui washiyyah wajibah. Hukuman ini bertujuan untuk melindungi anak. Bukan untuk mengesahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.  Pendapat mayoritas mazhab fikih Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbaliyah yang menyatakan bahwa prinsip penetapan nasab adalah karena adanya hubungan pernikahan yang sah. Selain karena pernikahan yang sah, tidak ada akibat hukum hubungan nasab.  Anak Lahir di Luar Nikah dalam Islam Lalu bagaimana hukumnya mengakikahi anak lahir di luar nikah?Pertama, masalah akikah, para ulama mengatakan bahwa syarat sah akikah adalah syarat sah kurban. Jadi akikah dan kurban harus sama dari segi usia hewan, jenis hewan, dan poin-poin lainnya. Dan yang disyaratkan untuk sahnya kurban dan akikah adalah penentuan niat, bahwa hewan yang akan disembelih ini adalah diniatkan untuk berkurban, atau pun menunaikan akikah, tidak disembelih begitu saja tanpa niat. (Lihat: Al-Majmu’, karya An-Nawawi, Bab Sembelihan dan Bab Akikah).  Adapun penyebutan nama tertentu saat akikah, maka hukumnya hanyalah mustahab, dan tidak mempengaruhi keabsahan akikah tersebut, sebagaimana para ulama’ juga tidak pernah menaskan bahwa penyebutan nama merupakan syarat sah kurban atau pun akikah.  An-Nawawi –rahimahullah– mengatakan:  يُسْتَحَبُّ أَنْ يُسَمِّيَ اللهَ عِنْدَ ذَبْحِ العَقِيْقَةِ، ثُمَّ يَقُوْلُ: اللّهُمَّ لَكَ وَإِلَيْكَ عَقِيْقَةُ فُلَانٍ.  “Dan di-mustahab-kan agar ia menyebut nama Allah ketika hendak menyembelih hewan untuk akikah, sembari mengatakan: Ya Allah, ini kupersembahkan akikahnya si fulan hanya diniatkan tulus untukMu.”  Adapun anak yang lahir di luar nikah, maka ada perincian dalam penisbahan nasabnya, apakah kepada sang ayah ataukah sang ibu. Perincian tersebut ditinjau dari status si wanita saat melahirkan si anak tersebut.  Jika si wanita dalam keadaan sudah menikah, maka para ulama sepakat bahwa si anak dinisbahkan kepada sang suami. Konsensus ini dinukil oleh beberapa ulama, di antaranya Ibn Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni. Dan ijmak ini berdasarkan sabda Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam– dalam hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:  الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الحَجْرُ  “Si anak dinisbahkan kepada (pemilik) ranjang/kasur (si suami), dan si pezina tidak mendapatkan apa-apa melainkan celaan dan kerugian.” Adapun jika si wanita saat itu belum menikah, maka ada silang pendapat dalam kondisi ini, namun yang kuat adalah bahwa si anak –baik anak laki-laki maupun anak perempuan- dinisbahkan kepada si ibu, bukan kepada si lelaki. Ini adalah pendapat jumhur/mayoritas ulama, di antara mereka adalah Ibn Qudamah, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, dan Syaikh Al-Utsaimin.  Jadi kesimpulannya, akikah tersebut sah, dan tidak perlu diulang kembali. Dan jika terjadi pada kasus lainnya –wa-l iyaadzu billaah-, dan ingin diakikahkan dengan penyebutan nama si anak beserta nasabnya, maka ketentuannya seperti yang telah dijelaskan di atas.  Sebagai tambahan faidah, tidak diperkenankan menyebut anak yang lahir di luar nikah dengan “anak zina”, dan ia memiliki hak yang sama seperti anak-anak muslim lainnya yang lahir dengan ikatan pernikahan.  Referensi : Anak Lahir di Luar Nikah dalam Islam

Anak lahir di luar nikah adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan sah menurut ketentuan agama. Dalam aturan agama Islam, anak ini tidak mempunyai hubungan nasab, wali, nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Anak hasil zina hanya memiliki hubungan nasab, waris, dan nafkah dengan ibu dan keluarga ibunya.

Sebagaimana kita tahu, zina adalah perbuatan yang dilarang dalam agama. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita saling mengingatkan akan bahaya zina dan berusaha menghindarinya.

Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Isra:32).

Anak Lahir di Luar Nikah dalam Islam

Imam Ibnu Hazm dalam kitab al-Muhalla menjelaskan, anak hasil zina dinasabkan kepada ibunya. Jika ibunya berzina dan kemudian mengandungnya. Tidak dinasabkan kepada lelakinya. Karena itu, Imam Ibnu Nujaim berpendapat bahwa anak hasil zina dan lian hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu.

Nasab anak lahir di luar nikah dari pihak bapak telah terputus, sehingga anak ini tidak mendapatkan hak waris apapun dari pihak bapak.

Sementara itu, kejelasan nasab anak lahir di luar nikah hanya melalui pihak ibu. Ia pun memiliki hak waris dari pihak ibu, saudara perempuan seibu dengan fardh saja (bagian tertentu), demikian pula dengan ibu dan saudara perempuannya yang seibu. Ia mendapatkan bagian fardh (tertentu) tidak dengan jalan lain.

Meski demikian, anak lahir di luar nikah ini tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan kedua orang tuanya. Pezina dikenakan hukum an hadd oleh pihak berwenang untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh an-nasl).

“Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian, kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.” (QS al- Anam: 64).

 pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman tazir kepada pezina yang mengakibatkan anak lahir di luar nikah. Pelaku zina diwajibkan mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut.

Memberikan harta setelah ia meninggal melalui washiyyah wajibah. Hukuman ini bertujuan untuk melindungi anak. Bukan untuk mengesahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

Pendapat mayoritas mazhab fikih Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbaliyah yang menyatakan bahwa prinsip penetapan nasab adalah karena adanya hubungan pernikahan yang sah. Selain karena pernikahan yang sah, tidak ada akibat hukum hubungan nasab.

Anak Lahir di Luar Nikah dalam Islam

Lalu bagaimana hukumnya mengakikahi anak lahir di luar nikah?Pertama, masalah akikah, para ulama mengatakan bahwa syarat sah akikah adalah syarat sah kurban. Jadi akikah dan kurban harus sama dari segi usia hewan, jenis hewan, dan poin-poin lainnya.

Dan yang disyaratkan untuk sahnya kurban dan akikah adalah penentuan niat, bahwa hewan yang akan disembelih ini adalah diniatkan untuk berkurban, atau pun menunaikan akikah, tidak disembelih begitu saja tanpa niat. (Lihat: Al-Majmu’, karya An-Nawawi, Bab Sembelihan dan Bab Akikah).

Adapun penyebutan nama tertentu saat akikah, maka hukumnya hanyalah mustahab, dan tidak mempengaruhi keabsahan akikah tersebut, sebagaimana para ulama’ juga tidak pernah menaskan bahwa penyebutan nama merupakan syarat sah kurban atau pun akikah.

An-Nawawi –rahimahullah– mengatakan:

يُسْتَحَبُّ أَنْ يُسَمِّيَ اللهَ عِنْدَ ذَبْحِ العَقِيْقَةِ، ثُمَّ يَقُوْلُ: اللّهُمَّ لَكَ وَإِلَيْكَ عَقِيْقَةُ فُلَانٍ.

“Dan di-mustahab-kan agar ia menyebut nama Allah ketika hendak menyembelih hewan untuk akikah, sembari mengatakan: Ya Allah, ini kupersembahkan akikahnya si fulan hanya diniatkan tulus untukMu.”

Adapun anak yang lahir di luar nikah, maka ada perincian dalam penisbahan nasabnya, apakah kepada sang ayah ataukah sang ibu. Perincian tersebut ditinjau dari status si wanita saat melahirkan si anak tersebut.

Jika si wanita dalam keadaan sudah menikah, maka para ulama sepakat bahwa si anak dinisbahkan kepada sang suami. Konsensus ini dinukil oleh beberapa ulama, di antaranya Ibn Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni. Dan ijmak ini berdasarkan sabda Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam– dalam hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الحَجْرُ

“Si anak dinisbahkan kepada (pemilik) ranjang/kasur (si suami), dan si pezina tidak mendapatkan apa-apa melainkan celaan dan kerugian.” Adapun jika si wanita saat itu belum menikah, maka ada silang pendapat dalam kondisi ini, namun yang kuat adalah bahwa si anak –baik anak laki-laki maupun anak perempuan- dinisbahkan kepada si ibu, bukan kepada si lelaki. Ini adalah pendapat jumhur/mayoritas ulama, di antara mereka adalah Ibn Qudamah, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, dan Syaikh Al-Utsaimin.

Jadi kesimpulannya, akikah tersebut sah, dan tidak perlu diulang kembali. Dan jika terjadi pada kasus lainnya –wa-l iyaadzu billaah-, dan ingin diakikahkan dengan penyebutan nama si anak beserta nasabnya, maka ketentuannya seperti yang telah dijelaskan di atas.

Sebagai tambahan faidah, tidak diperkenankan menyebut anak yang lahir di luar nikah dengan “anak zina”, dan ia memiliki hak yang sama seperti anak-anak muslim lainnya yang lahir dengan ikatan pernikahan.

Referensi : Anak Lahir di Luar Nikah dalam Islam