Syarat Dalam Ibadah Haji Pertanyaan.
Mohon kejelasan hadis “Hujjiy wasy- tarithtiy anna mahil liy haitsu habasatniy = Tahallulku di mana aku terhalang” (HR al-Bukhâri dan Muslim). Pertanyaan:
Dengan melafazkan syarat ini, apakah boleh tahallul dari ihram yang terhalang tanpa membayar dam?
Bila halangan itu sudah tidak ada, apakah ihrâm harus diulangi lagi, dan harus dari miqat?
Ana berhajat sekali atas penjelasan antum sebagai bekal ana berhaji yang insya Allah berangkat tahun ini. Syukran. Jazâkumullâhu.
Jawaban.
Hadits yang anda maksud adalah hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:
عَنْ عَائِشَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهمَا قَالَتْ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ضُبَاعَةَ بِنْتِ الزُّبَيْرِ فَقَالَ لَهَا « أَرَدْتِ الْحَجَّ ». قَالَتْ وَاللَّهِ مَا أَجِدُنِى إِلاَّ وَجِعَةً. فَقَالَ لَهَا « حُجِّى وَاشْتَرِطِى وَقُولِى اللَّهُمَّ مَحِلِّى حَيْثُ حَبَسْتَنِى »
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma beliau berkata: Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Dhubâ’ah bintu az-Zubair seraya berkata kepadanya: Apakah kamu ingin berhaji? Ia menjawab: Demi Allah aku selalu merasakan sakit. Maka beliau berkata kepadanya: Berhajilah dan buatlah syarat dan katakan: Ya Allah tempat tahallulku adalah tempat aku terhalang. [HR Muslim 2960].
Para Ulama mengambil dari kisah di atas hukum seorang yang berihrâm kemudian mendapatkan sesuatu yang menghalanginya, baik berupa sakit atau terhalang oleh musuh dari kesempurnaan manâsik. Maka, ia diperbolehkan bertahallul dan tidak dikenakan dam apabila mengucapkan syarat ini.
Syaikh Ibnu Utsaimîn rahimahullah berkata, “Bila seseorang telah menyampaikan syarat, maka tidak ada kewajiban qadha` dan tidak juga dam, kecuali apabila hajinya haji wajib secara syariat atau wajib karena nadzar, maka ia diwajibkan mengqadha walaupun telah bersyarat. [Syarhul-Mumti’ 7/413].
Apabila tidak mengucapkan syarat ini, maka diwajibkan menyembelih sembelihan sebagaimana diperintahkan Allah dalam firmanNya:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya.[al-Baqarah/2:196]
Demikian juga pernah terjadi pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika terhalangi dari umrah dalam perjanjian Hudaibiyah, beliau menyembelih sembelihan, lalu mencukur rambut dan bertahallul. Dengan demikian maka ibadah haji atau umrah tersebut batal.
Apabila halangan tersebut berlalu setelah bertahallul, maka kita melakukan ibadah umrah atau haji dari awal lagi.
Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
SAFAR TANPA MAHRAM, HAJINYA SAH TAPI BERDOSA
Pertanyaan.
Assalamu’alaikum ustadz! Saya ingin bertanya. Apabila seorang wanita ingin menunaikan ibadah haji atau umrah tanpa muhrim. Bagaimana hukum safar? Apakah ibadah haji yang dilakukannya itu sah? Apakah benar muhrimnya itu bisa di gantikan oleh pemerintah? Jazâkallâh khair..
Jawaban.
Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Allâh menganugerahi kita semua semangat untuk terus beribadah sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Dalam istilah agama, kerabat pria yang tidak boleh menikahi seorang wanita disebut mahram, bukan muhrim. Adapun muhrim adalah orang yang sedang melakukan ihram (haji atau umrah) atau orang yang sedang berada di tanah haram (tanah suci). Jadi pemakaian kata muhrim yang umum dipakai di masyarakat kita adalah kesalahan bahasa yang perlu diperbaiki.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang wanita untuk safar (bepergian jauh), kecuali jika ada mahram yang menemaninya. Beliau n bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ
Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allâh dan hari akhir untuk melakukan perjalanan dengan masa tempuh sehari semalam tanpa ada mahram bersamanya. [HR. Al-Bukhâri no. 1088 dan Muslim, no. 1339]
Aturan ini berlaku umum, termasuk dalam perjalanan haji, jika jaraknya adalah jarak safar. Jarak antara Indonesia dan Makkah juga tentunya terhitung jarak safar. Tidak ada kewajiban haji atas seorang wanita yang tidak memiliki mahram, sampai ada mahram yang menemaninya.
Sebagian Ulama berpendapat bahwa untuk haji wajib, seorang wanita boleh pergi tanpa mahramnya, tapi dia harus pergi bersama rombongan yang amanah dan terpercaya. Namun pendapat yang tidak membolehkan wanita pergi tanpa mahram itu lebih kuat, karena keumuman hadits di atas, wallahu a’lam.
Dan perlu dicatat bahwa perbedaan pendapat ini hanya terjadi dalam masalah perjalanan haji wajib yaitu haji yang pertama. Di luar itu, haji kedua atau umrah sunnah misalnya, maka tidak ada Ulama yang membolehkan seorang wanita melakukan perjalanan jauh tanpa ditemani mahram.
Untuk para wanita yang hendak melakukan perjalanan jauh untuk haji hendaklah dia menunggu sampai ada mahram yang menemani. Dan jika hal itu terjadi, yakni ada seorang wanita melakukan perjalanan haji wajib tanpa mahram, hajinya tetap sah, namun ia berdosa. Artinya, hajinya sah karena syarat dan rukun hajinya sudah terpenuhi, kewajiban haji telah gugur dan tidak ada kewajiban untuk mengulanginya. Namun ia berdosa karena melanggar larangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun, seorang Muslim hendaknya dalam beribadah tidak hanya mentargetkan sahnya suatu amal ibadah, namun juga harus memperhatikan bagaimana agar amal ibadah yang dilakukan itu diterima (maqbul/mabrur) oleh Allâh Azza wa Jalla. Derajat mabrûr itu lebih tinggi dari sekedar sah. Dan salah satu syarat mabrûr adalah tidak bermaksiat selama menjalankan ibadah haji. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya. [HR. Muslim, no. 1350 dan yang lain, dan ini adalah lafazh Ahmad dalam kitab Musnad, no. 7136]
Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihram.
Fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla , apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusuq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.
Termasuk di dalamnya melanggar larangan safar tanpa mahram bagi seorang wanita. Begitu juga mengganti mahram dengan anggota rombongan yang lain sebagaimana dilakukan sebagian orang. Hal itu merupakan pemalsuan data dan kedustaan yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allâh Azza wa Jalla .