This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Jumat, 02 September 2022

Cara Isbat Hukum Nikah Siri Tapi Belum Miliki Akta Cerai

Cara Isbat Hukum Nikah Siri Tapi Belum Miliki Akta Cerai. “Bagaimana hukumnya seseorang yang sudah menikah secara siri, tapi belum memiliki akta cerai dari pengadilan, bagaimana mengisbatkannya? Apakah diurus akta cerainya dulu, atau bagaimana?”   Subtansi dari pertanyaan sdr. Mhd. Khadafi Abdullah, yaitu:  Bagaimana hukum pernikahan sirri? Bagaimana mengajukan itsbat nikah? Sudah menikah sirri tetapi belum memiliki akta cerai, apakah bercerai dulu atau dapat langsung mengajukan gugatan cerai? Pertanyaan ini masih belum jelas, apakah saudara telah mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama dan sudah diputus tetapi akta cerainya belum keluar atau belum terbit, atau belum mengajukan gugatan cerai? Juga belum jelas, apakah yang saudara maksud menikah dengan 1 orang yang sama tetapi belum dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah kemudian saudara ingin menceraikannya? Atau saudara sudah pernah menikah dengan isteri pertama, kemudian saudara menikah lagi dengan isteri kedua secara sirri tangan? Sebelum menjawab secara poin-poin tersebut, saya jelaskan mengenai dasar-dasar perkawinan terlebih dahulu.  Perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) Pasal 1 “ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Apabila saudara seorang muslim, maka dasar hukum yang dapat dirujuk selain UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Pasal 2 KHI disebutkan “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqon gholidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.  Sedangkan menurut Pasal 3 KHI, “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.  Perkawinan dapat dikatakan sah menurut Pasal 2 UU Perkawinan yaitu:  “(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.  (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.  Selain Pasal 2 UU Perkawinan, bagi ummat muslim, menurut Pasal 7 ayat (1) KHI, “perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”.  Perkawinan sah apabila memenuhi rukun dan syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 14 KHI “untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. Calon suami, b. Calon isteri, c. Wali nikah, d. Dua orang saksi, e. Ijab dan kabul”.   Bagaimana akibat hukumnya perkawinan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan Jo. Pasal 7 KHI perkawinannya tidak dicatat Pegawai Pencatat Nikah (hukum nikah sirri)?  Perkawinan yang dilakukan di bawah tangan, atau yang masyarakat banyak ungkapkan dengan istilah pernikahan sirri (secara sembunyi-sembunyi) dengan memenuhi syarat dan rukun perkawinan, maka secara hukum Islam adalah sah. Jika syarat dan rukunnya tidak terpenuhi, maka pernikahannya tidak sah. Tetapi, pernikahan yang tidak dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, maka sesungguhnya tidak sesuai dengan tujuan dari perkawinan itu sendiri, dan tidak sesuai dengan maqashid syariah dalam hal hifdhuz-nasb (melindungi keturunan), karena akibat pernikahan sirri tersebut memberikan dampak negatif yang sangat besar, yaitu: tidak mendapatkannya perlindungan hukum dari negara, tidak diakuinya status perkawinannya, tidak berhak mendapatkan akta nikah, akibat tidak memiliki akta nikah maka tidak dapat mengurus atau mendapatkan Kartu Keluarga (KK), jika tidak memiliki akta nikah dan Kartu Keluarga tidak dapat mengubah status perkawinannya di KTP, akibat itu semua, anak-anak yang dilahirkannya tidak akan mendapatkan akta kelahiran. Akibat tidak mendapatkan kelahiran, maka tidak akan mendapatkan nomor induk kependudukan (KTP), jika tidak memiliki KTP, maka akan kesulitan mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak asasinya berupa layanan pendidikan, layanan kesehatan, layanan pembuatan paspor, layanan hukum di Pengadilan apabila terjadi perceraian beserta akibat hukumnya; sengketa hak asuh anak, sengketa harta bersama. Apabila salah satunya (suami atau isreri) meninggal, jika terjadi sengketa waris antar ahli waris, tidak mendapatkan perlindungan hukum dari negara baik secara perdata maupun pidana, hal itu semua sebagai akibat dari tidak dicatatkannya perkawinan menurut peraturan perundang-undangan, atau tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Mengenai administrasi perkawinan ini menjadi hal fundamental dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Karena itu demi memperoleh hak asasinya dan demi keturunannya, setiap perkawinan harus dicatat sesuai peraturan perundang-undangan.  Bagaimana mengajukan itsbat nikah?  Apabila saudara telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan sebagaimana Pasal 14 KHI, maka saudara dapat mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama sesuai domisili saudara dan istri.  Ketentuan mengenai itsbat nikah harus memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (2), (3) dan (4) KHI:  “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; Hilangnya Akta Nikah; Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dan Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu”. Secara teknis prosedural, apabila saudara ingin mengajukan itsbat nikah:  Membuat dan mengajukan permohonan itsbat nikah secara tertulis ke Pengadilan Agama sesuai domisili saudara; Surat permohonan itsbat nikah ada dua jenis sesuai dengan tujuan yaitu: 1) surat permohonan itsbat nikah digabung dengan gugat cerai, dan  2) surat permohonan itsbat nikah.  saudara dapat berkonsultasi lebih dulu kepada petugas Pengadilan jika belum memahami bagaimana membuat Permohonan itsbat nikah. Atau saudara dapat menggunakan jasa hukum/bantuan hukum dari kantor LBH/ Advokat, selanjutnya kuasa hukum saudara yang akan mengurus pembuatan Permohonan itsbat nikah, mendaftarkannya ke Pengadilan, mendampingi saudara di setiap persidangan hingga terbitnya Putusan Penetapan Itsbat Nikah.  Memfotokopi formulir permohonan Itsbat Nikah sebanyak 5 rangkap, kemudian mengisinya dan menandatangani formulir yang telah lengkap. Empat rangkap formulir permohonan diserahkan kepada petugas Pengadilan, satu fotokopi saudara simpan; Melampirkan surat-surat yang diperlukan, antara lain surat keterangan dari KUA bahwa pernikahannya tidak tercatat; Membayar Panjar Biaya Perkara; Menunggu Panggilan Sidang dari Pengadilan; Pengadilan akan mengirim Surat Panggilan yang berisi tentang tanggal dan tempat sidang kepada Pemohon dan Termohon secara langsung ke alamat yang tertera dalam surat permohonan; Menghadiri Persidangan; datang ke Pengadilan sesuai dengan tanggal dan waktu yang tertera dalam surat panggilan. Upayakan untuk datang tepat waktu dan jangan terlambat; Untuk sidang pertama, bawa serta dokumen seperti Surat Panggilan Persidangan, fotokopi formulir permohonan yang telah diisi. Dalam sidang  pertama ini hakim akan menanyakan identitas para Pihak misalnya KTP atau kartu identitas lainnya yang asli. Dalam kondisi tertentu hakim kemungkinan akan melakukan pemeriksaan isi permohonan; Untuk sidang selanjutnya, hakim akan memberitahukan kepada Pemohon/ Termohon yang hadir dalam sidang kapan tanggal dan waktu sidang berikutnya. Bagi Pemohon/Termohon yang tidak hadir dalam sidang, untuk persidangan berikutnya akan dilakukan pemanggilan ulang kepada yang bersangkutan melalui surat; Untuk sidang kedua dan seterusnya, ada kemungkinan anda harus mempersiapkan dokumen dan bukti sesuai dengan permintaan hakim. Dalam kondisi tertentu, hakim akan meminta anda menghadirkan saksi-saksi yaitu orang yang mengetahui pernikahan anda di antaranya wali nikah dan saksi nikah, atau orang-orang terdekat yang mengetahui pernikahan anda; Putusan/Penetapan Pengadilan; Jika permohonan anda dikabulkan, Pengadilan akan mengeluarkan putusan/ penetapan itsbat nikah. Salinan putusan/penetapan itsbat nikah akan siap diambil dalam jangka waktu setelah 14 hari (kerja) dari sidang terakhir; Salinan putusan/penetapan itsbat nikah dapat diambil sendiri ke kantor Pengadilan atau mewakilkan kepada orang lain dengan Surat Kuasa; Setelah mendapatkan salinan putusan/penetapan tersebut, anda bisa meminta KUA setempat untuk mencatatkan pernikahan anda dengan menunjukkan bukti salinan putusan/penetapan pengadilan tersebut.  Bagaimana hukumnya jika saudara sudah menikah secara sirri tetapi masih terikat perkawinan atau belum bercerai, apakah diurus cerainya dulu atau permohonan istbat nikahnya dapat digabung dengan gugatan cerai? Sebagaimana penjelasan sebelumnya, berdasar Pasal 7 ayat (3) huruf a KHI, Permohonan itsbat nikah dan gugatan cerai dapat digabung.  Yang dimaksud dengan penggabungan permohonan itsbat nikah dan gugatan cerai ini yaitu dengan ilustrasi; apabila saudara sudah menikah secara sirri dengan perempuan bernama fulanah, kemudian setelah sepuluh tahun menikah terjadi pertengkaran terus menerus, hingga akhirnya saudara dan isteri ingin bercerai, maka saudara atau isteri dapat mengajukan permohonan itsbat nikah sekaligus gugatan cerai dalam satu gugatan ke Pengadilan Agama setempat.  Tetapi penggabungan permohonan itsbat nikah dengan gugatan cerai tidak berlaku atau tidak memiliki dasar hukum, apabila saudara telah menikah dengan isteri pertama bernama fulanah, dan pernikahannya itu dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (KUA), kemudian saudara menikah lagi secara siirri dengan perempuan bernama siti, kemudian saudara ingin mengajukan itsbat nikah dari pernikahan saudara dengan siti, maka dalam hal ini saudara harus meminta persetujuan poligami secara tertulis dari isteri pertama, kemudian saudara dapat mengajukan permohonan itsbat nikah. Tetapi, apabila pernikahan saudara sudah retak dengan isteri pertama, terjadinya perselisihan dan pertengkaran terus menerus sehingga tidak ada harapan lagi untuk hidup bersama, maka saudara atau isteri dapat mengajukan gugatan cerai. Apabila selama masa perselisahan tersebut saudara telah menikah secara sirri, maka saudara harus mengajukan gugatan cerai terlebih dahulu, apabila putusan Pengadilan sudah memiliki kekuatan hukum tetap, saudara dapat mengajukan Permohonan istbat nikah ke Pengadilan Agama setempat.  Alasan perceraian tersebut harus memenuhi salah satu alasan hukum berdasar Pasal 116 KHI, yaitu:  “Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:  Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi mabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa ada alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; Salah satu pihak mendapatkan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; Antara suami dan isteri terus menerus terjadi pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; Suami melanggar taklik talak; Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga”. Referensi : Cara Isbat Hukum Nikah Siri Tapi Belum Miliki Akta Cerai

Cara Isbat Hukum Nikah Siri Tapi Belum Miliki Akta Cerai. “Bagaimana hukumnya seseorang yang sudah menikah secara siri, tapi belum memiliki akta cerai dari pengadilan, bagaimana mengisbatkannya? Apakah diurus akta cerainya dulu, atau bagaimana?” 

Subtansi dari pertanyaan sdr. Mhd. Khadafi Abdullah, yaitu:

  • Bagaimana hukum pernikahan sirri?
  • Bagaimana mengajukan itsbat nikah?
  • Sudah menikah sirri tetapi belum memiliki akta cerai, apakah bercerai dulu atau dapat langsung mengajukan gugatan cerai? Pertanyaan ini masih belum jelas, apakah saudara telah mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama dan sudah diputus tetapi akta cerainya belum keluar atau belum terbit, atau belum mengajukan gugatan cerai? Juga belum jelas, apakah yang saudara maksud menikah dengan 1 orang yang sama tetapi belum dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah kemudian saudara ingin menceraikannya? Atau saudara sudah pernah menikah dengan isteri pertama, kemudian saudara menikah lagi dengan isteri kedua secara sirri tangan?

Sebelum menjawab secara poin-poin tersebut, saya jelaskan mengenai dasar-dasar perkawinan terlebih dahulu.

Perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) Pasal 1 “ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Apabila saudara seorang muslim, maka dasar hukum yang dapat dirujuk selain UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Pasal 2 KHI disebutkan “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqon gholidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Sedangkan menurut Pasal 3 KHI, “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.

Perkawinan dapat dikatakan sah menurut Pasal 2 UU Perkawinan yaitu:

“(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Selain Pasal 2 UU Perkawinan, bagi ummat muslim, menurut Pasal 7 ayat (1) KHI, “perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”.

Perkawinan sah apabila memenuhi rukun dan syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 14 KHI “untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. Calon suami, b. Calon isteri, c. Wali nikah, d. Dua orang saksi, e. Ijab dan kabul”. 

  • Bagaimana akibat hukumnya perkawinan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan Jo. Pasal 7 KHI perkawinannya tidak dicatat Pegawai Pencatat Nikah (hukum nikah sirri)? 

Perkawinan yang dilakukan di bawah tangan, atau yang masyarakat banyak ungkapkan dengan istilah pernikahan sirri (secara sembunyi-sembunyi) dengan memenuhi syarat dan rukun perkawinan, maka secara hukum Islam adalah sah. Jika syarat dan rukunnya tidak terpenuhi, maka pernikahannya tidak sah. Tetapi, pernikahan yang tidak dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, maka sesungguhnya tidak sesuai dengan tujuan dari perkawinan itu sendiri, dan tidak sesuai dengan maqashid syariah dalam hal hifdhuz-nasb (melindungi keturunan), karena akibat pernikahan sirri tersebut memberikan dampak negatif yang sangat besar, yaitu: tidak mendapatkannya perlindungan hukum dari negara, tidak diakuinya status perkawinannya, tidak berhak mendapatkan akta nikah, akibat tidak memiliki akta nikah maka tidak dapat mengurus atau mendapatkan Kartu Keluarga (KK), jika tidak memiliki akta nikah dan Kartu Keluarga tidak dapat mengubah status perkawinannya di KTP, akibat itu semua, anak-anak yang dilahirkannya tidak akan mendapatkan akta kelahiran. Akibat tidak mendapatkan kelahiran, maka tidak akan mendapatkan nomor induk kependudukan (KTP), jika tidak memiliki KTP, maka akan kesulitan mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak asasinya berupa layanan pendidikan, layanan kesehatan, layanan pembuatan paspor, layanan hukum di Pengadilan apabila terjadi perceraian beserta akibat hukumnya; sengketa hak asuh anak, sengketa harta bersama. Apabila salah satunya (suami atau isreri) meninggal, jika terjadi sengketa waris antar ahli waris, tidak mendapatkan perlindungan hukum dari negara baik secara perdata maupun pidana, hal itu semua sebagai akibat dari tidak dicatatkannya perkawinan menurut peraturan perundang-undangan, atau tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Mengenai administrasi perkawinan ini menjadi hal fundamental dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Karena itu demi memperoleh hak asasinya dan demi keturunannya, setiap perkawinan harus dicatat sesuai peraturan perundang-undangan.

  • Bagaimana mengajukan itsbat nikah? 

Apabila saudara telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan sebagaimana Pasal 14 KHI, maka saudara dapat mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama sesuai domisili saudara dan istri.

Ketentuan mengenai itsbat nikah harus memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (2), (3) dan (4) KHI:

  • “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
  • Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
  • Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
  • Hilangnya Akta Nikah;
  • Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
  • Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dan
  • Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
  • Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu”.

Secara teknis prosedural, apabila saudara ingin mengajukan itsbat nikah:

  • Membuat dan mengajukan permohonan itsbat nikah secara tertulis ke Pengadilan Agama sesuai domisili saudara;
  • Surat permohonan itsbat nikah ada dua jenis sesuai dengan tujuan yaitu:

1) surat permohonan itsbat nikah digabung dengan gugat cerai, dan

2) surat permohonan itsbat nikah.

saudara dapat berkonsultasi lebih dulu kepada petugas Pengadilan jika belum memahami bagaimana membuat Permohonan itsbat nikah. Atau saudara dapat menggunakan jasa hukum/bantuan hukum dari kantor LBH/ Advokat, selanjutnya kuasa hukum saudara yang akan mengurus pembuatan Permohonan itsbat nikah, mendaftarkannya ke Pengadilan, mendampingi saudara di setiap persidangan hingga terbitnya Putusan Penetapan Itsbat Nikah.

  • Memfotokopi formulir permohonan Itsbat Nikah sebanyak 5 rangkap, kemudian mengisinya dan menandatangani formulir yang telah lengkap. Empat rangkap formulir permohonan diserahkan kepada petugas Pengadilan, satu fotokopi saudara simpan;
  • Melampirkan surat-surat yang diperlukan, antara lain surat keterangan dari KUA bahwa pernikahannya tidak tercatat;
  • Membayar Panjar Biaya Perkara;
  • Menunggu Panggilan Sidang dari Pengadilan; Pengadilan akan mengirim Surat Panggilan yang berisi tentang tanggal dan tempat sidang kepada Pemohon dan Termohon secara langsung ke alamat yang tertera dalam surat permohonan;
  • Menghadiri Persidangan; datang ke Pengadilan sesuai dengan tanggal dan waktu yang tertera dalam surat panggilan. Upayakan untuk datang tepat waktu dan jangan terlambat;
  • Untuk sidang pertama, bawa serta dokumen seperti Surat Panggilan Persidangan, fotokopi formulir permohonan yang telah diisi. Dalam sidang  pertama ini hakim akan menanyakan identitas para Pihak misalnya KTP atau kartu identitas lainnya yang asli. Dalam kondisi tertentu hakim kemungkinan akan melakukan pemeriksaan isi permohonan;
  • Untuk sidang selanjutnya, hakim akan memberitahukan kepada Pemohon/ Termohon yang hadir dalam sidang kapan tanggal dan waktu sidang berikutnya. Bagi Pemohon/Termohon yang tidak hadir dalam sidang, untuk persidangan berikutnya akan dilakukan pemanggilan ulang kepada yang bersangkutan melalui surat;
  • Untuk sidang kedua dan seterusnya, ada kemungkinan anda harus mempersiapkan dokumen dan bukti sesuai dengan permintaan hakim. Dalam kondisi tertentu, hakim akan meminta anda menghadirkan saksi-saksi yaitu orang yang mengetahui pernikahan anda di antaranya wali nikah dan saksi nikah, atau orang-orang terdekat yang mengetahui pernikahan anda;
  • Putusan/Penetapan Pengadilan; Jika permohonan anda dikabulkan, Pengadilan akan mengeluarkan putusan/ penetapan itsbat nikah. Salinan putusan/penetapan itsbat nikah akan siap diambil dalam jangka waktu setelah 14 hari (kerja) dari sidang terakhir;
  • Salinan putusan/penetapan itsbat nikah dapat diambil sendiri ke kantor Pengadilan atau mewakilkan kepada orang lain dengan Surat Kuasa;
  • Setelah mendapatkan salinan putusan/penetapan tersebut, anda bisa meminta KUA setempat untuk mencatatkan pernikahan anda dengan menunjukkan bukti salinan putusan/penetapan pengadilan tersebut. 
  • Bagaimana hukumnya jika saudara sudah menikah secara sirri tetapi masih terikat perkawinan atau belum bercerai, apakah diurus cerainya dulu atau permohonan istbat nikahnya dapat digabung dengan gugatan cerai?

Sebagaimana penjelasan sebelumnya, berdasar Pasal 7 ayat (3) huruf a KHI, Permohonan itsbat nikah dan gugatan cerai dapat digabung.

Yang dimaksud dengan penggabungan permohonan itsbat nikah dan gugatan cerai ini yaitu dengan ilustrasi; apabila saudara sudah menikah secara sirri dengan perempuan bernama fulanah, kemudian setelah sepuluh tahun menikah terjadi pertengkaran terus menerus, hingga akhirnya saudara dan isteri ingin bercerai, maka saudara atau isteri dapat mengajukan permohonan itsbat nikah sekaligus gugatan cerai dalam satu gugatan ke Pengadilan Agama setempat.

Tetapi penggabungan permohonan itsbat nikah dengan gugatan cerai tidak berlaku atau tidak memiliki dasar hukum, apabila saudara telah menikah dengan isteri pertama bernama fulanah, dan pernikahannya itu dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (KUA), kemudian saudara menikah lagi secara siirri dengan perempuan bernama siti, kemudian saudara ingin mengajukan itsbat nikah dari pernikahan saudara dengan siti, maka dalam hal ini saudara harus meminta persetujuan poligami secara tertulis dari isteri pertama, kemudian saudara dapat mengajukan permohonan itsbat nikah. Tetapi, apabila pernikahan saudara sudah retak dengan isteri pertama, terjadinya perselisihan dan pertengkaran terus menerus sehingga tidak ada harapan lagi untuk hidup bersama, maka saudara atau isteri dapat mengajukan gugatan cerai. Apabila selama masa perselisahan tersebut saudara telah menikah secara sirri, maka saudara harus mengajukan gugatan cerai terlebih dahulu, apabila putusan Pengadilan sudah memiliki kekuatan hukum tetap, saudara dapat mengajukan Permohonan istbat nikah ke Pengadilan Agama setempat.

Alasan perceraian tersebut harus memenuhi salah satu alasan hukum berdasar Pasal 116 KHI, yaitu:

“Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi mabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa ada alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak mendapatkan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
  6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
  7. Suami melanggar taklik talak;
  8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga”.
Referensi : Cara Isbat Hukum Nikah Siri Tapi Belum Miliki Akta Cerai


Tanya Jawab Soal Perceraian Dan hal Asuk Anak

Semua pasangan berharap pernikahan bertahan sampai keduanya meninggal dunia. Tak ada satu pun yang terbersit untuk mengakhiri pernikahan di tengah jalan. Tapi bagaimana bila takdir tidak bisa dilawan dan harus berakhir dengan perceraian?

  1. Saya ingin bercerai, bagaimanakah caranya? Silakan mengajukan gugatan dan kelengkapan lainnya ke Pengadilan Agama sesuai dengan domisili (tempat tinggal sekarang). Tapi sebelumnya coba dipikirkan kembali keputusan Anda untuk bercerai. Apakah memang itu jalan yang terbaik untuk ke depannya?
  2. Alasan yang diperbolehkan untuk bisa cerai apa saja?
  3. Beberapa contoh:
  4. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
  5. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya
  6. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
  7. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain
  8. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri
  9. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga
  10. Suami melanggar taklik talak
  11. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga
  12. Bolehkah membawa saksi keluarga untuk perkara perceraian?
  13. Bila alasan bercerai karena terjadi cekcok yang terus-menerus, maka diperbolehkan.
  14. Bisakah seorang ayah mendapatkan hak asuh anak setelah bercerai?
  15. Bisa. Namun untuk anak yang belum berumur 12 tahun, maka hak pemeliharaan otomatis ada pada ibu kandung.
  16. Bisakah kami rujuk kembali setelah keluar akta cerai?
  17. Bisa, jika:  1. Masih dalam masa iddah 2. Pihak yang mengajukan cerai adalah suami
  18. Bisakah Pengadilan Agama mengesahkan nikah siri/nikah di bawah tangan?
  19. Bisa, tapi dengan ketentuan perkawinan tersebut telah memenuhi rukun dan syarat menurut hukum Islam serta tidak ada ikatan dengan perkawinan lainnya.
  20. Saya berniat menikah lagi dan istri pertama sudah mengizinkan, bagaimana proses dan persyaratannya? 1. Mengajukan izin poligami ke Pengadilan Agama setempat'2. Melengkapi persyaratan selengkapnya yang disediakan PA
  21. Saya ditipu oleh suami atau istri, apakah saya bisa mengajukan pembatalan perkawinan
  22. Apakah mengajukan perceraian harus datang sendiri? Dapat diwakilkan atau dikuasakan.
  23. Siapa yang dapat jadi wakil atau kuasa tersebut?1. Advokat/ Pengacara. 2. Keluarga dekat (dengan memenuhi syarat-syaratnya)
  24. Apakah bisa bercerai tanpa adanya tanda tangan dari suami?
  25. Suami tanda tangan ataupun tidak, setuju ataupun tidak, perceraian tetap dapat terjadi. Jika istri mengajukan cerai dan setelah melalui proses persidangan oleh majelis hakim diputus bercerai, maka yang menceraikan adalah majelis hakim tersebut atas nama negara.
Referensi : Tanya Jawab Soal Perceraian Dan hal Asuk Anak


Talak Khulu‘ dalam Kajian Fiqih Munakahat (Bag 1)

Pertanyaan : Salam'alaikum,  Terkait dengan penjelasan tentang hukum fasakh yang baru saja dibahas, saya ingin menanyakan lebih jauh. Apakah setiap gugatan cerai dari istri akan dijatuhi hukum khulu' atau fasakh? Bagaimana ketentuannya jika pada akhirnya kedua pasangan ingin kembali berumah tangga? Sejauh yang saya fahami, jika dijatuhi hukum khulu' maka pernikahannya difasakhkan, sehingga jika ingin kembali berumah tangga dengan pasangan yang sama harus dengan akad yang baru.  Akan tetapi, seingat saya (walaupun belum bisa saya konfirmasi sendiri) ada yang berpendapat bahwa jika gugatan cerai datang dari pihak istri, maka tidak akan pernah bisa kembali baik rujuk maupun dengan akad yang baru, kecuali kedua belah pihak sudah pernah menikah dan berumah tangga dengan orang lain.  Demikian pertanyaan saya. Pertanyaan : Salam'alaikum,  Terkait dengan penjelasan tentang hukum fasakh yang baru saja dibahas, saya ingin menanyakan lebih jauh.  Apakah setiap gugatan cerai dari istri akan dijatuhi hukum khulu' atau fasakh? Bagaimana ketentuannya jika pada akhirnya kedua pasangan ingin kembali berumah tangga? Sejauh yang saya fahami, jika dijatuhi hukum khulu' maka pernikahannya difasakhkan, sehingga jika ingin kembali berumah tangga dengan pasangan yang sama harus dengan akad yang baru.  Akan tetapi, seingat saya (walaupun belum bisa saya konfirmasi sendiri) ada yang berpendapat bahwa jika gugatan cerai datang dari pihak istri, maka tidak akan pernah bisa kembali baik rujuk maupun dengan akad yang baru, kecuali kedua belah pihak sudah pernah menikah dan berumah tangga dengan orang lain.  Demikian pertanyaan saya.  Barakallahu fiikum.  Wassalamu 'alaikum.

Pertanyaan :

Terkait dengan penjelasan tentang hukum fasakh yang baru saja dibahas, saya ingin menanyakan lebih jauh.

  1. Apakah setiap gugatan cerai dari istri akan dijatuhi hukum khulu' atau fasakh?
  2. Bagaimana ketentuannya jika pada akhirnya kedua pasangan ingin kembali berumah tangga?

Sejauh yang saya fahami, jika dijatuhi hukum khulu' maka pernikahannya difasakhkan, sehingga jika ingin kembali berumah tangga dengan pasangan yang sama harus dengan akad yang baru.

Akan tetapi, seingat saya (walaupun belum bisa saya konfirmasi sendiri) ada yang berpendapat bahwa jika gugatan cerai datang dari pihak istri, maka tidak akan pernah bisa kembali baik rujuk maupun dengan akad yang baru, kecuali kedua belah pihak sudah pernah menikah dan berumah tangga dengan orang lain. Demikian pertanyaan saya.

Definisi dan Dasar Legalitas Khulu' Secara bahasa, khulu’ adalah melepaskan atau menanggalkan. Disebut "menanggalkan' karena pasangan suami-istri diibaratkan dengan pakaian bagi satu sama lain, sebagaimana ayat, “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka,” (Surat Al-Baqarah ayat 187). Kemudian, secara terminologis, khulu’ adalah perceraian antara suami-istri disertai dengan kompensasi atau tebusan yang diberikan istri kepada suami. Dasar legalitasnya adalah ayat Al-Quran, “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya,” (Surat Al-Baqarah ayat 229). Di samping itu, khulu’ juga dilandaskan pada hadits riwayat Al-Bukhari, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Ibnu ‘Abbas tentang kasus istri Tsabit bin Qais, yakni Ummu Habibah binti Sahl al-Anshariyyah, yang mengadukan perihal suaminya kepada Rasulullah SAW:

فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ فِي خُلْقٍ وَلَا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ أَيْ: كُفْرَانَ النِّعْمَةِ فَقَالَ: أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ: نَعَمْ قَالَ: اقْبَلْ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً 

Artinya, “Istri Qais menyampaikan, ‘Wahai Rasulullah, aku tak mencela perangai maupun agama Tsabit bin Qais, namun aku tidak mau kufur dalam Islam.’ Maksudnya, kufur nikmat. Rasulullah SAW menjawab, ‘Apakah engkau mau mengembalikan kebun dari Tsabit?’ Istri Qais menjawab, ‘Mau.’ Kemudian, beliau berkata kepada Tsabit, ‘Terimalah kebun itu lalu talaklah dia dengan talak tebusan.’”

Berdasarkan ayat dan hadits di atas, para ulama bersepakat akan kebolehan khulu’ terutama di saat ada alasan kuat yang diajukan oleh istri. Bahkan, sebagian ulama membolehkan khulu’ walau tanpa sebab namun disertai dengan makruh dengan dalil bahwa Rasulullah SAW pun tidak menelisik lebih jauh alasan istri Qais mengajukan khulu’. Namun, di sisi lain, beliau pernah bersabda dalam hadisnya, “Perkara halal yang paling dimurka Allah adalah talak,” (HR Ahmad); dan juga hadits, “Perempuan mana saja yang meminta talak kepada suaminya tanpa alasan yang kuat, maka haram baginya mencium aroma surga,”  (HR Abu Dawud).

Apakah Khulu’ termasuk Talak atau Fasakh? Para ulama fiqih bersilang pendapat dalam melihat masalah khulu’. Pendapat jumhur ulama, yakni ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, pendapat paling kuat dari ulama Syafi‘iyyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad, menyebut khulu’ sebagai talak bain dan dianggap mengurangi bilangan talak. Satu riwayat dari Imam Ahmad menyatakan, khulu‘ adalah fasakh dan tidak mengurangi bilangan talak. Pendapat mu’tamad dari ulama Hanbali menyebutkan khulu‘ sebagai fasakh bain dan tidak mengurangi talak. (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu, [Damaskus: Darul Fikr], jilid IX, halaman 7034).

Berdasarkan pendapat jumhur di atas, khulu’ dapat disebut dengan talak karena menjadi bagian darinya. Kemudian, pengkategorian khulu‘ sebagai fasakh dan talak bain melahirkan perbedaan dan persamaan konsekuensi hukum. Perbedaannya, sebagaimana yang telah disebutkan, jika dikategorikan sebagai talak, khulu’ akan mengurangi bilangan talak. Sementara jika dikategorikan sebagai fasakh, ia tidak menguranginya.

Perbedaannya, sebagaimana yang telah disebutkan, jika dikategorikan sebagai talak, khulu’ akan mengurangi bilangan talak. Sementara jika dikategorikan sebagai fasakh, ia tidak menguranginya. Adapun persamaannya, baik sebagai talak bain maupun sebagai fasakh, khulu’ membutuhkan akad baru ketika kedua mantan suami-istri ingin kembali. Selain itu, suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada istri yang telah di-khulu’-nya walaupun istri masih dalam masa iddah. Kekhasan Khulu’ Para ulama kemudian mengurai beberapa kekhasan dari talak khulu’ sekaligus perbedaannya dengan jenis talak lainnya.
  1. Ketika seorang istri meng-khulu’ suaminya, berarti istri telah memiliki hak penuh atas dirinya sehingga tidak ada kuasa apa pun bagi suami untuk merujuknya walaupun istri dalam masa iddah. Tidak ada jalan lain jika suami ingin kembali kepada istrinya kecuali dengan akad dan mahar baru. (Mushthafa Al-Khin, Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 1992], jilid IV, halaman 128).
  2. Talak merupakan hak suami. Sedangkan khulu’ merupakan hak istri. Selain itu, talak sifatnya bertahap, mulai dari satu sampai tiga. Talak juga bisa dijatuhkan setelah talak sebelumnya walau masih dalam masa iddah. Sedangkan khulu’ tidak. Meski demikian, khulu’ tetap mengurangi bilangan talak.
  3. Yang membedakan akad khulu’ dengan yang lainnya adalah tebusan. Maka tidak ada khulu’ kecuali dengan tebusan dari istri kepada suami.
  4. Talak tidak boleh dijatuhkan pada saat istri sedang haid atau saat suci tetapi setelah dicampuri suaminya. Sedangkan khulu’ boleh dilakukan kapan saja, baik sedang suci, sedang haid, maupun saat suci setelah dicampuri.
  5. Menurut jumhur ulama, masa iddah dari talak khulu’ seperti iddah talak pada umumnya, yaitu tiga quru (bagi yang masih haid). Hanya saja, ulama Hanabilah memilih berpendapat bahwa masa iddah wanita yang meng-khulu’ suaminya dengan satu kali haid. Sebab, dengan satu haid itu cukup menandakan kosongnya kandungan. Jika memperpanjang masa iddah pun, hak rujuk bagi suaminya sudah tak ada.
Demikian definisi, dasar hukum, kekhasan, dan ragam pendapat para ulama tentang khulu’. Adapun hal-hal lain tentang khulu‘ yang belum teruraikan, seperti rukun, ketentuan, sebab-sebab, akan diulas pada tulisan berikutnya.

Referensi : Talak Khulu‘ dalam Kajian Fiqih Munakahat 

Rujuk

Rujuk  Pertanyaan :   Saya pernah bercerai di pengadilan agama dgn talak satu tetapi sebelum habis'masa iddah saya telah memberi tahu kepada 2 orang saksi suami istri yg merupakan juga orang tua Gampong yaitu pak lurah dan ibu lurah bahwa saya telah rujuk lg dgn istri tetapi saya tidak memberi tahu istri kl saya dah rujuk di hadapan 2 orng saksi apakah rujuk saya ini sah menurut agama tanpa memberi tahu istri dalam hal ini saya yg mengugat istri di pengadilan mohon jawabannya pak ustad  Jawaban :   Yth. Saudara Ridwanafi, di ACEH. Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan Perkawinan: Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), dikatakan: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa”. Jika seseorang beraga Islam hal itu ditegaskan kembali pada Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat. Mengacu Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), berbunyi: Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Bercerai Talak Satu: Pasal 115 KHI, berbunyi: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak (Pasal 8 KHI). Apabila bukti sebagaimana dimaksud tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama (Pasal 9). Dari perjalanan perkawinan, Anda pernah bercerai talak satu di pengadilan agama tetapi sebelum habis'masa iddah saya telah memberi tahu kepada 2 orang saksi suami istri yg merupakan juga orang tua Gampong yaitu pak lurah dan ibu lurah bahwa saya telah rujuk lg dgn istri tetapi saya tidak memberi tahu istri kl saya dah rujuk di hadapan 2 orng saksi. Dari penjelasan tersebut, walaupun anda telah memberitahu kepada 2 orang saksi yaitu pak lurah dan ibu lurah bahwa anda telah rujuk lagi namun hal itu hanya untuk memenuhi tuntutan hukum adat. Namun ada baiknya anda memberitahukan ke istri dan bersama-sama ke pengadilan. Karena tanpa sepengetahun istri bisa dinyatakan tidak sah. Mengacu Pasal 10 KHI, berbunyi: “Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah”. Menurut Pasal 163 KHI mengenai rujuk: (1) Seorang suami dapat merujuk isterunya yang dalam masaiddah. (2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal : a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan qobla al dukhul; b. putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk. Seorang wanita dalam iddah talak raj`I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi (Pasal 164). Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama (Pasal 165 KHI). Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatbya kepada instansi yang mengeluarkannya semula (Pasal 166) KHI). Tata Cara Rujuk Pasal 167 KHI:   (1) Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami isteridengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan   (2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan Pegawaii Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.   (3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan meyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj`i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah isterinya.   (4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan besrta saksisaksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.   (5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikahmenasehati suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk. Dari penjelasan tersebut, jadi jika anda ingin rujuk maka anda harus memberitahukan dan menyertakan istri.   Referensi :

Rujuk

Pertanyaan : 

Saya pernah bercerai di pengadilan agama dgn talak satu tetapi sebelum habis'masa iddah saya telah memberi tahu kepada 2 orang saksi suami istri yg merupakan juga orang tua Gampong yaitu pak lurah dan ibu lurah bahwa saya telah rujuk lg dgn istri tetapi saya tidak memberi tahu istri kl saya dah rujuk di hadapan 2 orng saksi apakah rujuk saya ini sah menurut agama tanpa memberi tahu istri dalam hal ini saya yg mengugat istri di pengadilan mohon jawabannya pak ustad

Jawaban : 

Yth. Saudara Ridwanafi, di ACEH. Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan Perkawinan: Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), dikatakan: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa”. Jika seseorang beraga Islam hal itu ditegaskan kembali pada Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat. Mengacu Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), berbunyi: Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Bercerai Talak Satu: Pasal 115 KHI, berbunyi: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak (Pasal 8 KHI). Apabila bukti sebagaimana dimaksud tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama (Pasal 9). Dari perjalanan perkawinan, Anda pernah bercerai talak satu di pengadilan agama tetapi sebelum habis'masa iddah saya telah memberi tahu kepada 2 orang saksi suami istri yg merupakan juga orang tua Gampong yaitu pak lurah dan ibu lurah bahwa saya telah rujuk lg dgn istri tetapi saya tidak memberi tahu istri kl saya dah rujuk di hadapan 2 orng saksi. Dari penjelasan tersebut, walaupun anda telah memberitahu kepada 2 orang saksi yaitu pak lurah dan ibu lurah bahwa anda telah rujuk lagi namun hal itu hanya untuk memenuhi tuntutan hukum adat. Namun ada baiknya anda memberitahukan ke istri dan bersama-sama ke pengadilan. Karena tanpa sepengetahun istri bisa dinyatakan tidak sah. Mengacu Pasal 10 KHI, berbunyi: “Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah”. Menurut Pasal 163 KHI mengenai rujuk: (1) Seorang suami dapat merujuk isterunya yang dalam masaiddah. (2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal : a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan qobla al dukhul; b. putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk. Seorang wanita dalam iddah talak raj`I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi (Pasal 164). Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama (Pasal 165 KHI). Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatbya kepada instansi yang mengeluarkannya semula (Pasal 166) KHI). Tata Cara Rujuk Pasal 167 KHI: 

  1. Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami isteridengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan 
  2. Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan Pegawaii Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. 
  3. Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan meyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj`i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah isterinya. 
  4. Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan besrta saksisaksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk. 
  5. Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikahmenasehati suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk. Dari penjelasan tersebut, jadi jika anda ingin rujuk maka anda harus memberitahukan dan menyertakan istri. 

Referensi : 

Hukum Rujuk dan Iddah Dalam Kasus Khulu’ (Gugat Cerai)

Tanya :  Ustadz, apakah khulu’ itu merupakan talak ataukah fasakh? Apakah dalam khulu’ ada masa iddah dan rujuk?  (Abu Zaid, Depok). Jawab :  Khulu’ (gugat cerai) didefinisikan berbeda bergantung khulu’ dianggap talak atau fasakh (pembatalan akad nikah). Menurut ulama Hanafiyah yang menganggap khulu’ itu talak, khulu’ adalah pengambilan tebusan oleh istri sebagai ganti dari pemilikan nikah dengan lafal khulu’. Menurut jumhur ulama yang menganggap khulu’ itu fasakh, khulu’ adalah pemisahan (furqah) suami istri dengan pemberian tebusan (‘iwadh) dari suami dengan lafal thalaq atau khulu’. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/234; Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/452; ‘Amir Az Zaibari, Ahkamul Khulu’ fi As Syari`ah Al Islamiyyah, hlm. 26 & 199).  Hukum asal khulu’ boleh (ja`iz) jika ada alasan syar’i, yaitu istri khawatir tak dapat menjalankan kewajibannya menaati suami karena berbagai sebab, misal suami bertampang jelek, cacat jasmani, atau tak taat ibadah, buruk kelakuannya (suka membentak istri dll), atau tak melaksanakan kewajiban sebagai suami (tak memberi nafkah dll). Dalil bolehnya khulu’ QS Al Baqarah [2] : 229. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 7/51).  Adapun jika istri mengajukan khulu’ tanpa alasan syar’i, yakni ketika interaksi suami istri baik-baik saja (istiqamatul haal), khulu’ hukumnya makruh menurut jumhur fuqaha, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i; dan haram menurut sebagian fuqaha lainnya, seperti ulama Zahiriyah, Imam Ibnul Mundzir, dan sebagainya. (Mushtofa Al ‘Adawi, Ahkam At Thalaq, hlm. 64; Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/166).  Ulama Hanafiyah yang menganggap khulu’ sebagai talak berdalil antara lain dengan riwayat Ibnu Abbas ra tentang istri Tsabit bin Qais ra yang mengadukan suaminya kepada Rasulullah SAW lantaran tak suka dengan wajah suaminya. Maka Rasulullah SAW bersabda kepada suaminya,”Ambillah kebunnya dan ceraikan istrimu dengan talak satu.” (aqbil al hadiqah wa thalliqha tathliiqah). (HR Bukhari no 5273, Nasa`i 6/169).  Namun kami memandang yang rajih adalah pendapat jumhur yang memandang khulu’ itu fasakh, bukan talak. Ada dua alasan sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Syaukani: Pertama, hadits Ibnu Abbas ra itu dianggap lemah (marjuh) karena bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang tak menyebut redaksi talak dalam sabda Nabi SAW kepada suami Tsabit bin Qais. Dari istri Tsabit bin Qais ra dalam Al Muwaththa’, Nabi SAW bersabda, ”Lapangkanlah jalannya.” (khalli sabiilaha). Dari Aisyah ra dalam Sunan Abu Dawud, Nabi SAW bersabda,”Berpisahlah kamu darinya.” (faariqha). Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz ra dalam Sunan Nasa`i, Nabi SAW bersabda, ”Hendaklah dia (istrimu) kembali ke keluarganya.” (talhaq bi ahliha). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1344).  Kedua, terdapat hadits Rubayyi’ binti Mu’awwidz ra dan Ibnu Abbas ra yang menerangkan bahwa Nabi SAW memerintahkan kepada istri Tsabit bin Qais ra untuk beriddah dengan satu kali haid. (HR Nasa`i 6/186; Abu Dawud no.2229; Tirmidzi no. 1185). Hadits ini menunjukkan khulu’ bukan talak yang iddahnya tiga kali haid atau tiga kali suci, melainkan fasakh, yang iddahnya ditentukan khusus hanya satu kali haid. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1344).  Kesimpulannya, khulu’ adalah fasakh bukan talak. Maka dari itu, khulu’ mempunyai akibat hukum yang berbeda dengan talak. Jika dalam talak masa iddahnya tiga kali haid (menurut madzhab Hanafi) atau tiga kali suci (menurut madzhab Syafi’i), dalam kasus khulu’ iddahnya hanya satu kali haid. Jika dalam talak suami dapat merujuk istrinya, dalam kasus khulu’ suami tak dapat merujuk istrinya, karena pernikahannya sudah di-fasakh (dibatalkan). Suami hanya dapat kembali kepada istrinya dengan akad nikah baru dan mahar baru setelah istri selesai masa iddahnya dengan haid satu kali. (‘Amir Az Zaibari, Ahkamul Khulu’ fi As Syari`ah Al Islamiyyah, hlm. 240). Wallahu a’lam. (mediaumat.com, 24/12)  Referensi : Hukum Rujuk dan Iddah Dalam Kasus Khulu’ (Gugat Cerai)

Tanya : 

Ustadz, apakah khulu’ itu merupakan talak ataukah fasakh? Apakah dalam khulu’ ada masa iddah dan rujuk? 

Jawab :

Khulu’ (gugat cerai) didefinisikan berbeda bergantung khulu’ dianggap talak atau fasakh (pembatalan akad nikah). Menurut ulama Hanafiyah yang menganggap khulu’ itu talak, khulu’ adalah pengambilan tebusan oleh istri sebagai ganti dari pemilikan nikah dengan lafal khulu’. Menurut jumhur ulama yang menganggap khulu’ itu fasakh, khulu’ adalah pemisahan (furqah) suami istri dengan pemberian tebusan (‘iwadh) dari suami dengan lafal thalaq atau khulu’. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/234; Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/452; ‘Amir Az Zaibari, Ahkamul Khulu’ fi As Syari`ah Al Islamiyyah, hlm. 26 & 199).

Hukum asal khulu’ boleh (ja`iz) jika ada alasan syar’i, yaitu istri khawatir tak dapat menjalankan kewajibannya menaati suami karena berbagai sebab, misal suami bertampang jelek, cacat jasmani, atau tak taat ibadah, buruk kelakuannya (suka membentak istri dll), atau tak melaksanakan kewajiban sebagai suami (tak memberi nafkah dll). Dalil bolehnya khulu’ QS Al Baqarah [2] : 229. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 7/51).

Adapun jika istri mengajukan khulu’ tanpa alasan syar’i, yakni ketika interaksi suami istri baik-baik saja (istiqamatul haal), khulu’ hukumnya makruh menurut jumhur fuqaha, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i; dan haram menurut sebagian fuqaha lainnya, seperti ulama Zahiriyah, Imam Ibnul Mundzir, dan sebagainya. (Mushtofa Al ‘Adawi, Ahkam At Thalaq, hlm. 64; Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/166).

Ulama Hanafiyah yang menganggap khulu’ sebagai talak berdalil antara lain dengan riwayat Ibnu Abbas ra tentang istri Tsabit bin Qais ra yang mengadukan suaminya kepada Rasulullah SAW lantaran tak suka dengan wajah suaminya. Maka Rasulullah SAW bersabda kepada suaminya,”Ambillah kebunnya dan ceraikan istrimu dengan talak satu.” (aqbil al hadiqah wa thalliqha tathliiqah). (HR Bukhari no 5273, Nasa`i 6/169).

Namun kami memandang yang rajih adalah pendapat jumhur yang memandang khulu’ itu fasakh, bukan talak. Ada dua alasan sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Syaukani: Pertama, hadits Ibnu Abbas ra itu dianggap lemah (marjuh) karena bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang tak menyebut redaksi talak dalam sabda Nabi SAW kepada suami Tsabit bin Qais. Dari istri Tsabit bin Qais ra dalam Al Muwaththa’, Nabi SAW bersabda, ”Lapangkanlah jalannya.” (khalli sabiilaha). Dari Aisyah ra dalam Sunan Abu Dawud, Nabi SAW bersabda,”Berpisahlah kamu darinya.” (faariqha). Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz ra dalam Sunan Nasa`i, Nabi SAW bersabda, ”Hendaklah dia (istrimu) kembali ke keluarganya.” (talhaq bi ahliha). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1344).

Kedua, terdapat hadits Rubayyi’ binti Mu’awwidz ra dan Ibnu Abbas ra yang menerangkan bahwa Nabi SAW memerintahkan kepada istri Tsabit bin Qais ra untuk beriddah dengan satu kali haid. (HR Nasa`i 6/186; Abu Dawud no.2229; Tirmidzi no. 1185). Hadits ini menunjukkan khulu’ bukan talak yang iddahnya tiga kali haid atau tiga kali suci, melainkan fasakh, yang iddahnya ditentukan khusus hanya satu kali haid. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1344).

Kesimpulannya, khulu’ adalah fasakh bukan talak. Maka dari itu, khulu’ mempunyai akibat hukum yang berbeda dengan talak. Jika dalam talak masa iddahnya tiga kali haid (menurut madzhab Hanafi) atau tiga kali suci (menurut madzhab Syafi’i), dalam kasus khulu’ iddahnya hanya satu kali haid. Jika dalam talak suami dapat merujuk istrinya, dalam kasus khulu’ suami tak dapat merujuk istrinya, karena pernikahannya sudah di-fasakh (dibatalkan). Suami hanya dapat kembali kepada istrinya dengan akad nikah baru dan mahar baru setelah istri selesai masa iddahnya dengan haid satu kali. (‘Amir Az Zaibari, Ahkamul Khulu’ fi As Syari`ah Al Islamiyyah, hlm. 240). 

Referensi : Hukum Rujuk dan Iddah Dalam Kasus Khulu’ (Gugat Cerai)



Begini Cara ‘Rujuk’ Setelah Di-Talaq Ba’in Shugra

Begini Cara ‘Rujuk’ Setelah Di-Talaq Ba’in Shugra. Talak Ba’in Shugra  Talak ba’in shugra (talak ba’in kecil) menurut Sayuti Thalib dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia (hal. 104) adalah talak yang tidak boleh dirujuk lagi, tetapi keduanya dapat kawin kembali, yang terdiri dari: Talak satu atau talak dua pakai ‘iwadh (sejumlah uang pengganti yang merupakan syarat jatuhnya talak) atau disebut juga talak dengan penggantian harta (khulu’) Talak satu atau talak dua tidak pakai ‘iwadh, tetapi talaknya sebelum bersetubuh atau disebut juga talak qabla dukhul   Perlu dicatat bahwa, meskipun banyak masyarakat di Indonesia yang beranggapan bahwa kawin kembali sama dengan rujuk, namun sebenarnya keduanya berbeda.   Rujuk berarti suami yang telah menjatuhkan talaq kembali menjalin hubungan sebagai suami-istri dengan istri yang dijatuhi talaq tersebut dengan cara yang sederhana, yakni dengan suami mengucapkan “saya kembali kepadamu” kepada istri yang ditalaq di hadapan dua orang saksi laki-laki yang adil.   Sedangkan kawin kembali berarti suami istri yang telah bercerai memenuhi persyaratan-persyaratan perkawinan seperti biasa, yaitu adanya akad nikah, saksi, dan lain-lainnya untuk menjadikan mereka suami istri kembali.  Talak ba’in shughra merupakan jenis putusnya perkawinan/talak yang paling mendominasi jenis perkara di Pengadilan Agama, yang mana sifat dari talak ba’in shughra ini adalah memutus perkawinan secara utuh sehingga mengharuskan nikah baru untuk kembali. Demikian informasi yang kami dapatkan dari tulisan Spesifikasi Putusnya Perkawinan karena Perceraian.  Yang termasuk talak ba’in sughra berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) adalah: talak yang terjadi qabla al dukhul (sebelum bersetubuh); talak dengan tebusan atau khuluk; talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.   Cara Kawin Kembali KHI telah menegaskan bahwa talak ba’in shugra adalah talak yang tidak boleh dirujuk, tetapi mantan istri boleh akad nikah baru dengan mantan suaminya meskipun dalam iddah. Sehingga, dalam talak ba’in shugra, mantan suami yang hendak menikahi kembali mantan istinya tidak perlu untuk menunggu habisnya waktu tunggu/iddah.   Bekas suami-istri yang ingin kawin kembali dapat melangsungkan akad nikah baru dengan memenuhi syarat perkawinan yaitu adanya calon suami, calon istri, ijab kabul, dua orang saksi, dan wali.  Referensi : Begini Cara ‘Rujuk’ Setelah Di-Talaq Ba’in Shugra

Begini Cara ‘Rujuk’ Setelah Di-Talaq Ba’in Shugra. Talak Ba’in Shugra

Talak ba’in shugra (talak ba’in kecil) menurut Sayuti Thalib dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia (hal. 104) adalah talak yang tidak boleh dirujuk lagi, tetapi keduanya dapat kawin kembali, yang terdiri dari:
  1. Talak satu atau talak dua pakai ‘iwadh (sejumlah uang pengganti yang merupakan syarat jatuhnya talak) atau disebut juga talak dengan penggantian harta (khulu’)
  2. Talak satu atau talak dua tidak pakai ‘iwadh, tetapi talaknya sebelum bersetubuh atau disebut juga talak qabla dukhul
 
Perlu dicatat bahwa, meskipun banyak masyarakat di Indonesia yang beranggapan bahwa kawin kembali sama dengan rujuk, namun sebenarnya keduanya berbeda.
 
Rujuk berarti suami yang telah menjatuhkan talaq kembali menjalin hubungan sebagai suami-istri dengan istri yang dijatuhi talaq tersebut dengan cara yang sederhana, yakni dengan suami mengucapkan “saya kembali kepadamu” kepada istri yang ditalaq di hadapan dua orang saksi laki-laki yang adil.
 
Sedangkan kawin kembali berarti suami istri yang telah bercerai memenuhi persyaratan-persyaratan perkawinan seperti biasa, yaitu adanya akad nikah, saksi, dan lain-lainnya untuk menjadikan mereka suami istri kembali.

Talak ba’in shughra merupakan jenis putusnya perkawinan/talak yang paling mendominasi jenis perkara di Pengadilan Agama, yang mana sifat dari talak ba’in shughra ini adalah memutus perkawinan secara utuh sehingga mengharuskan nikah baru untuk kembali. Demikian informasi yang kami dapatkan dari tulisan Spesifikasi Putusnya Perkawinan karena Perceraian.

Yang termasuk talak ba’in sughra berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) adalah:
  1. talak yang terjadi qabla al dukhul (sebelum bersetubuh);
  2. talak dengan tebusan atau khuluk;
  3. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
 
Cara Kawin Kembali
KHI telah menegaskan bahwa talak ba’in shugra adalah talak yang tidak boleh dirujuk, tetapi mantan istri boleh akad nikah baru dengan mantan suaminya meskipun dalam iddah. Sehingga, dalam talak ba’in shugra, mantan suami yang hendak menikahi kembali mantan istinya tidak perlu untuk menunggu habisnya waktu tunggu/iddah.
 
Bekas suami-istri yang ingin kawin kembali dapat melangsungkan akad nikah baru dengan memenuhi syarat perkawinan yaitu adanya calon suami, calon istri, ijab kabul, dua orang saksi, dan wali.

Referensi : Begini Cara ‘Rujuk’ Setelah Di-Talaq Ba’in Shugra