Assalamu ‘alaikum. Kepada para ulama, mohon tuntunan Ustadz. Nama saya Abdie. Saya telah menceraikan istri saya dengan talak tiga; dan pertanyaan saya ialah: apakah boleh saya menyuruh orang ‘tuk menikahi istriku dan menyuruh menceraikannya agar saya bisa rujuk kembali? Apakah rujukan itu sah dalam hukum Islam?
Jawaban:
Wa’alaikumus salam warahmatullah wabarakatuh.
Jika seorang suami menceraikan istrinya dengan cerai satu atau dua maka sang suami berhak untuk melakukan rujuk dengan istri, selama masih masa iddah, baik istri ridha maupun tidak ridha. Namun, jika talak tiga sudah jatuh maka suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada istrinya, sampai sang istri dinikahi oleh lelaki lain. Allah berfirman,
“Jika dia mentalak istrinya (talak tiga) maka tidak halal baginya setelah itu, sampai dia menikah dengan lelaki yang lain ….” (Q.S. Al-Baqarah:230)
Pernikahan wanita ini dengan lelaki kedua bisa menjadi syarat agar bisa rujuk kepada suami pertama, dengan syarat:
Pertama: Dalam pernikahan yang dilakukan harus terjadi hubungan badan, antara sang wanita dengan suami kedua. Berdasarkan hadis dari Aisyah, bahwa ada seorang sahabat yang bernama Rifa’ah, yang menikah dengan seorang wanita. Kemudian, dia menceraikan istrinya sampai ketiga kalinya. Wanita ini, kemudian menikah dengan lelaki lain, namun lelaki itu impoten dan kurang semangat dalam melakukan hubungan badan.
Dia pun melaporkan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan harapan bisa bercerai dan bisa kembali dengan Rifa’ah. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu ingin agar bisa kembali kepada Rifa’ah? Tidak boleh! Sampai kamu merasakan madunya dan dia (suami kedua) merasakan madumu.” (H.R. Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, dan At-Turmudzi)
Yang dimaksud “kamu merasakan madunya dan dia merasakan madumu” adalah melakukan hubungan badan.
Kedua: Pernikahan ini dilakukan secara alami, tanpa ada rekayasa dari mantan suami maupun suami kedua. Jika ada rekayasa maka pernikahan semacam ini disebut sebagai “nikah tahlil“; lelaki kedua yang menikahi sang wanita, karena rekayasa, disebut “muhallil“; suami pertama disebut “muhallal lahu“. Hukum nikah tahlil adalah haram, dan pernikahannya dianggap batal.
Ibnu Qudamah mengatakan, “Nikah muhallil adalah haram, batal, menurut pendapat umumnya ulama. Di antaranya: Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i, Qatadah, Imam Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Mubarak, dan Imam Asy-Syafi’i.” (Al-Mughni, 7:574)
Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang yang menjadi muhallil dan muhallal lahu. Dari Ali bin Abi Thalib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu.” (H.R. Abu Daud; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Bahkan, telah termasuk tindakan “merekayasa” ketika ada seorang lelaki yang menikahi wanita yang dicerai dengan talak tiga, dengan niat untuk dicerai agar bisa kembali kepada suami pertama, meskipun suami pertama tidak mengetahui.
Ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar, bahwa ada seseorang datang kepada beliau dan bertanya tentang seseorang yang menikahi seorang wanita. Kemudian, lelaki tersebut menceraikan istrinya sebanyak tiga kali. Lalu, saudara lelaki tersebut menikahi sang wanita, tanpa diketahui suami pertama, agar sang wanita bisa kembali kepada saudaranya yang menjadi suami pertama. Apakah setelah dicerai maka wanita ini halal bagi suami pertama? Ibnu Umar memberi jawaban, “Tidak halal. Kecuali nikah karena cinta (bukan karena niat tahlil). Dahulu, kami menganggap perbuatan semacam ini sebagai perbuatan zina di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (H.R. Hakim dan Al-Baihaqi; dinilai sahih oleh Al-Albani).
Talak 3 Bisa Dibatalkan? Ini Penjelasannya Menurut 4 Imam Madzhab. Talak 3 dalam Islam dikenal dengan istilah talaq bain kubra. Pada talak ini, seorang suami tidak diperkenankan untuk merujuk istrinya kembali, sebelum sang istri menikah dengan laki-laki lain dan bercerai.
Dalam hukum perkawinan, talak 3 menjadi kesempatan terakhir bagi pihak suami dan istri untuk memperbaiki masalah rumah tangganya. Apabila talak 3 sudah dilayangkan, pernikahan mereka resmi batal secara hukum dan agama.
Jika talak 1 dan 2 memungkinkan suami-istri untuk rujuk kembali, talak 3 tidak demikian. Karena sejatinya, talak tiga merupakan keputusan final yang tidak dapat diganggu gugat. Lantas, apakah talak 3 bisa dibatalkan?
Hukum Talak 3 dalam Perspektif Hukum Islam
Ketentuan hukum talak 3 telah banyak disebutkan dalam Alquran dan hadits. Dalam surah al-Baqarah ayat 230, Allah Swt berfirman:
"Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa hukum menikahi istri yang sudah ditalak tiga kali adalah haram dan dilarang dalam Islam. Untuk menikahinya kembali, harus terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan habis masa iddahnya.
Namun dalam beberapa situasi, terkadang suami dipenuhi amarah ketika menjatuhkan talak. Sehingga, kerap muncul rasa penyesalan dalam hatinya dan berharap talak itu bisa dibatalkan.
Buya Yahya dalam ceramah singkatnya di Channel Youtube Al-Bahjah TV mengungkapkan pandangannya terkait perkara ini. Beliau menuturkan bahwa talak jenis apapun, meski dilakukan dalam kondisi marah, tetap sah dan tidak bisa dibatalkan. Ketentuan ini didasarkan pada pendapat 4 Imam Madzhab.
Terlebih pada talak 3, perceraian suami-istri ini cenderung bersifat final dan tidak ada isyarat rujuk di dalamnya. Jadi, apapun alasannya, talak 3 yang dilayangkan oleh suami kepada istri tetap sah terhitung secara hukum agama.
Sehingga, pernikahan keduanya resmi batal dan tidak diperkenankan rujuk kembali. Apabila ingin rujuk, sang istri harus menikah dengan muhallil (suami kedua) dan menjalankan hubungan suami istri dengannya.
“Istri harus menikah dulu dengan muhallil. Pernikahan ini bisa saja lebih bahagia daripada pernikahan pertamanya. Namun ada kemungkinan juga setelah menikah ia kembali bercerai. Jika hal itu terjadi, maka setelah masa iddah itu suami pertama boleh menikahinya kembali,” tutur Buya Yahya.
Perlu digarisbawahi bahwa pernikahan kedua ini harus terjadi tanpa ada unsur kesengajaan. Mengutip jurnal berjudul Hukum Rujuk Pada Talak Bain Kubra yang Diucapkan di Luar Pengadilan oleh Muhaiminuddin, seorang suami atau istri tidak boleh melakukan nikah palsu hanya karena ingin memperoleh syarat rujuk dari pasangan terdahulunya.
Ini yang menjadi kesepakatan jumhur ulama salaf dan khalaf, kecuali Ibnu al-Musayyab. Dari Aisyah ra bahwa Rifa'ah al-Qurazhi menikahi seorang perempuan lalu mentalaknya.
Kemudian, perempuan itu menikah lagi dengan laki-laki lain dan menghadap kepada Nabi SAW. Ia menyampaikan bahwa suami keduanya itu tidak pernah menggaulinya dan bahwa alat vitalnya lemas seperti ujung kain (impoten). Maka Rasulullah SAW bersabda:
"Sepertinya kamu ingin kembali rujuk dengan Rifa'ah. Tidak boleh hingga kamu merasakan 'madu'-nya dan suami keduamu itu merasakan 'madu'-mu." (HR. Bukhari Muslim)
Menurut jumhur ulama, yang dimaksud madu dalam hadits ini adalah kenikmatan persetubuhan yang dirasakan suami istri. Kalangan Hanabilah mensyaratkan agar persetubuhan tersebut adalah persetubuhan yang halal.
Referensi : Talak 3 Bisa Dibatalkan? Ini Penjelasannya Menurut 4 Imam Madzhab
Ketika Sang Suami Melanggar Taklik Talak. Masih menjadi tradisi di kalangan ummat Islam di Indonesia begitu selesai pengantin laki-laki mengucapkan ijab kabul dalam acara akad nikah, selalu pengantin laki-laki disuruh membaca janji sighat taklik talak. Taklik talak adalah talak suami yang digantungkan pada suatu sifat tertentu, yang apabila sifat tertentu itu terwujud maka jatuhlah talak suami itu. Taklik talak menurut ketentuan pasal 1 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah “perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang”. Perjanjian taklik talak ini sebenarnya bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan dalam setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan maka tidak dapat dicabut kembali. Jadi sighat taklik talak itu tidak harus dibaca dalam setiap kali perkawinan, tetapi kalau pihak isteri meminta pihak suami untuk membaca taklik talak maka suami harus membaca taklik talak.
Pembacaan taklik talak dalam akad perkawinan ini agak aneh, kenapa?. Karena akad pernikahan baru saja diucapkan, calon suami dan calon isteri belum bersatu membina rumah tangga bahkan belum terjadi tamkin antara suami isteri, tetapi langsung disusul dengan suami mengucapkan taklik talak. Pasangan suami isteri belum membina rumah tangga sebagaimana mestinya, tetapi sudah ada pengucapan talak dari suami. Aneh tetapi ini sudah menjadi tradisi dari zaman dahulu, yang dimaksudkan untuk melindungi para isteri dari kesewenang-wenangan para suami.
Taklik talak dalam versi fikih Indonesia ini berbeda dengan taklik talak yang diatur dalam kitab fikih (kitab kuning). Dalam kajian kitab fikih, kalau keadaan tertentu yang disyaratkan dalam taklik talak itu terjadi maka dengan sendirinya talak itu jatuh. Disebutkan dalam kitab al-Syarqowiy ‘Ala at-Tahrir juz 2 halaman 302: “Man ‘alaqa thalaqan bisifatin waqa’a biwujudiha ‘amalan bi muqtadhallafdhi, barang siapa (suami) yang menggantungkan talak pada suatu sifat, maka jatuhlah talaknya itu dengan terwujudnya sifat tersebut sesuai dengan ucapannya itu”. Jadi talaknya itu langsung jatuh begitu sifat yang dijanjikan/digantungkan itu terwujud.
Berbeda ketentuannya dalam versi fikih Indonesia. Kalau keadaan tertentu yang disyaratkan dalam taklik talak itu betul-betul terjadi, maka supaya talak itu sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama (PA). Kalau tidak mengadukan persoalannya ke PA, maka talak suami itu selamanyatidak akan jatuh.
Selengkapnya bunyi taklik talak ala fikih Indonesia adalah sebagai berikut:
“Sesudah akad nikah saya (pengantin laki-laki) berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan mempergauli isteri saya bernama (pengantin perempuan) dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran Islam. Kepada isteri saya tersebut saya menyatakansighat taklik sebagai berikut:
Apabila saya:
Meninggalkan isteri saya 2 (dua) tahun berturut-turut;
Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya;
Menyakiti badan/jasmani isteri saya, atau
Membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya 6 (enam) bulan atau lebih;
dan karena perbuatan saya tersebut isteri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut, kemudian isteri saya membayar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada Pengadilan tersebut saya memberi kuasa untuk menerima uang iwadh tersebut dan menyerahkannya kepada Badan Amil Zakat Nasional setempat untuk keperluan ibadah sosial”
Kalau kita perhatikan, dalam sighat taklik talak tersebut mengandung 2 syarat, yaitu syarat alternatif dan syarat kumulatif. Syarat alternatif harus dilanggar oleh suami sedang syarat kumulatif harus dilakukan oleh isteri. Syarat alternatifnya adalah angka 1 sampai dengan angka 4. Apabila suami telah melakukan salah satu dari angka 1 sampai 4 atau semuanya, maka suami telah melanggar taklik talak yang alternatif. Tetapi itu belum cukup syarat untuk jatuhnya talak suami. Untuk jatuhnya talak suami maka isteri harus memenuhi syarat kumulatif, yaitu 1. isteri tidak ridho 2. mengajukan gugatan pada PA 3. gugatannya diterima dan 4. isteri menyerahkan uang iwadh Rp.10.000,-. Empat syarat kumulatif ini harus terpenuhi semuanya. Kalau 4 syarat kumulatif ini sudah terpenuhi semuanya, maka jatuhlah talak satu suaminya itu.
Masyarakat awam terkadang datang ke PA untuk meminta surat cerai dengan alasan suaminya telah melanggar salah satu dari syarat alternatif taklik talak, misalnya suaminya telah tidak memberi nafkah kepadanya lebih dari 3 bulan. Sudah barang tentu hal itu tidak akan dipenuhi oleh PA. Pandangan masyarakat awam ini salah sebagai akibat dari memahami taklik talak yang ada pada ajaran fikih kitab kuning. Sebab dalam taklik talak versi kitab kuning tidak ada syarat alternatif dan syarat kumulatif. Yang ada hanya syarat secara umum saja. Jatuhnya talak karena suami melanggar taklik talak adalah langsung terjadi begitu pelanggaran taklik terjadi.
Setidaknya ada 3 perbedaan antara taklik talak ala fikih kitab kuning dan ala fikih Indonesia, yaitu terletak pada syarat talak, jenis talak dan iwadh.
Dalam kajian fikih kitab kuning, syarat taklik talak hanya satu, yaitu syarat secara mutlak saja. Misalnya seorang suami berkata kepada isterinya “kalau kamu keluar dari rumah ini sekarang, maka kamu tertalak”. Kalaulah kemudian isterinya itu keluar lumah, maka jatuhlah talak suaminya itu secara langsung, saat itu juga.
Berbeda dengan taklik talak versi fikih Indonesia. Karena dalam fikih Indonesia syarat taklik talak tidak hanya syarat alternative saja, tetapi ada syarat kumulatif, yaitu harus diajukan ke PA dengan mengajukan gugatan taklik talak. Kalau gugatannya dikabulkan dan si isteri membayar iwadh, barulah kemudian Pengadilan akan menyatakan syarat taklik telah terpenuhi dan jatuhlah talak suami. Kalau proses ke PA ini tidak ditempuh, maka selamanya talak suami itu tidak akan jatuh.
Perbedaan yang kedua adalah jenis talak. Kalau dalam kajian fikih kitab kuning, maka taklik talak ini termasuk talak raj’i, karena yang mengucapkan adalah suami. Talak raj’i adalah talak kesatu, atau kedua.Dalam talak ini suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah. Jadi ada hak rujuk suami terhadap isteri yang dijatuhi talak dengan cara suami melanggar taklik talak. Hak rujuk itu ada selama isteri menjalani masa iddah.
Dalam kajian fikih Indonesia, cerai karena pelanggaran taklik talak termasuk dalam kategori talak ba’in sughra (cerai gugat), walaupun yang jatuh itu adalah talak suami. Talak bain sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. Mengapa cerai taklik talak termasuk dalam talak bain sughra, karena untuk jatuhnya talak suami itu isteri harus mengajukan gugatan pelanggaran taklik talak ke PA dan harus membayar iwadh. Untuk jatuhnya talak suami itu tergantung pada inisiatif isteri. Jatuhnya talak suami yang melanggar taklik talak adalah oleh Pengadilan. Cerai karena pelanggaran taklik talak adalah talak bain sughra. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam pasal 119 ayat (2) huruf c. KHI, “talak bain sughra sebagaimana tersebut dalam pada ayat (1) adalah c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama”. Jadi karena perceraian disebabkan pelanggaran taklik talak itu yang menjatuhkan adalah PA, maka jenis talaknya adalah ba’in sughra, sehingga suami tidak mempunyai hak rujuk terhadap isterinya. Kalau terjadi kesepakatan untuk menbangun rumah tangga lagi maka harus dengan akad nikah yang baru.
Perbedaan yang ketiga adalah iwadh. Dalam kajian fikih kitab kuning, tidak ada pembayaran iwadh oleh isteri dalam cerai karena pelanggaran taklik talak. Kalau harus dengan adanya syarat isteri membayar iwadh, maka itu bukan cerai taklik talak, tetapi dinamakan dengan khuluk atau talak tebus, yaitu perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadh kepada/dan atas persetujuan suaminya. Kalau dalam fikih Indonesia, pembayaran iwadh dari isteri kepada suami merupakan syarat komulatif pelanggaran taklik talak. Kalau isteri tidak membayar uang iwadh yang besarnya Rp.10.000,-, maka talak suami tidak akan jatuh.
Hukum Islam dapat diklasifikasikan kepada yang bersifat diyani (keagamaan) dan qadha’i (yuridis). Hukum Islam seluruhnya bersifat diyani, tetapi hanya hukum Islam yang bersifat qadha’i saja yang membutuhkan kekuasaan Negara untuk menegakkannya. Hukum Islam yang bersifat diyani sangat mengandalkan ketaatan individu yang menjadi subyek hukum. Hukum Islam yang bersifat diyani seperti hukum-hukum dalam bidang ibadah, shalat, zakat, puasa dan haji. Sedang hukum Islam yang bersifat qadha’i antara lain adalah hukum-hukum dalam bidang hukum muamalah, hukum keluarga dan hukum pidana. Dalam sengketa jual beli (ekonomi syari’ah) dan perselisihan suami isteri dalam berumah tangga perlu adanya campur tangan Pengadilan untuk mengadilinya.
Pemeriksaan pelanggaran Taklik Talak adalah hukum Islam yang bersifat qadhai yang memerlukan campur tangan Pengadilan untuk menyelesaikannya. dalam hal ini Pengadilan Agama untuk tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Agama untuk tingkat banding dan Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi.
Referensi : Ketika Sang Suami Melanggar Taklik Talak
Masih menjadi tradisi di kalangan ummat Islam di Indonesia begitu selesai pengantin laki-laki mengucapkan ijab kabul dalam acara akad nikah, selalu pengantin laki-laki disuruh membaca janji sighat taklik talak. Taklik talak adalah talak suami yang digantungkan pada suatu sifat tertentu, yang apabila sifat tertentu itu terwujud maka jatuhlah talak suami itu. Taklik talak menurut ketentuan pasal 1 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah “perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang”. Perjanjian taklik talak ini sebenarnya bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan dalam setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan maka tidak dapat dicabut kembali. Jadi sighat taklik talak itu tidak harus dibaca dalam setiap kali perkawinan, tetapi kalau pihak isteri meminta pihak suami untuk membaca taklik talak maka suami harus membaca taklik talak.
Pembacaan taklik talak dalam akad perkawinan ini agak aneh, kenapa?. Karena akad pernikahan baru saja diucapkan, calon suami dan calon isteri belum bersatu membina rumah tangga bahkan belum terjadi tamkin antara suami isteri, tetapi langsung disusul dengan suami mengucapkan taklik talak. Pasangan suami isteri belum membina rumah tangga sebagaimana mestinya, tetapi sudah ada pengucapan talak dari suami. Aneh tetapi ini sudah menjadi tradisi dari zaman dahulu, yang dimaksudkan untuk melindungi para isteri dari kesewenang-wenangan para suami.
Taklik talak dalam versi fikih Indonesia ini berbeda dengan taklik talak yang diatur dalam kitab fikih (kitab kuning). Dalam kajian kitab fikih, kalau keadaan tertentu yang disyaratkan dalam taklik talak itu terjadi maka dengan sendirinya talak itu jatuh. Disebutkan dalam kitab al-Syarqowiy ‘Ala at-Tahrir juz 2 halaman 302: “Man ‘alaqa thalaqan bisifatin waqa’a biwujudiha ‘amalan bi muqtadhallafdhi, barang siapa (suami) yang menggantungkan talak pada suatu sifat, maka jatuhlah talaknya itu dengan terwujudnya sifat tersebut sesuai dengan ucapannya itu”. Jadi talaknya itu langsung jatuh begitu sifat yang dijanjikan/digantungkan itu terwujud.
Berbeda ketentuannya dalam versi fikih Indonesia. Kalau keadaan tertentu yang disyaratkan dalam taklik talak itu betul-betul terjadi, maka supaya talak itu sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama (PA). Kalau tidak mengadukan persoalannya ke PA, maka talak suami itu selamanya tidak akan jatuh.
Selengkapnya bunyi taklik talak ala fikih Indonesia adalah sebagai berikut:
“Sesudah akad nikah saya (pengantin laki-laki) berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan mempergauli isteri saya bernama (pengantin perempuan) dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran Islam. Kepada isteri saya tersebut saya menyatakan sighat taklik sebagai berikut:
Apabila saya:
Meninggalkan isteri saya 2 (dua) tahun berturut-turut;
Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya;
Menyakiti badan/jasmani isteri saya, atau
Membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya 6 (enam) bulan atau lebih;
dan karena perbuatan saya tersebut isteri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut, kemudian isteri saya membayar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada Pengadilan tersebut saya memberi kuasa untuk menerima uang iwadh tersebut dan menyerahkannya kepada Badan Amil Zakat Nasional setempat untuk keperluan ibadah sosial”
Kalau kita perhatikan, dalam sighat taklik talak tersebut mengandung 2 syarat, yaitu syarat alternatif dan syarat kumulatif. Syarat alternatif harus dilanggar oleh suami sedang syarat kumulatif harus dilakukan oleh isteri. Syarat alternatifnya adalah angka 1 sampai dengan angka 4. Apabila suami telah melakukan salah satu dari angka 1 sampai 4 atau semuanya, maka suami telah melanggar taklik talak yang alternatif. Tetapi itu belum cukup syarat untuk jatuhnya talak suami. Untuk jatuhnya talak suami maka isteri harus memenuhi syarat kumulatif, yaitu 1. isteri tidak ridho 2. mengajukan gugatan pada PA 3. gugatannya diterima dan 4. isteri menyerahkan uang iwadh Rp.10.000,-. Empat syarat kumulatif ini harus terpenuhi semuanya. Kalau 4 syarat kumulatif ini sudah terpenuhi semuanya, maka jatuhlah talak satu suaminya itu.
Masyarakat awam terkadang datang ke PA untuk meminta surat cerai dengan alasan suaminya telah melanggar salah satu dari syarat alternatif taklik talak, misalnya suaminya telah tidak memberi nafkah kepadanya lebih dari 3 bulan. Sudah barang tentu hal itu tidak akan dipenuhi oleh PA. Pandangan masyarakat awam ini salah sebagai akibat dari memahami taklik talak yang ada pada ajaran fikih kitab kuning. Sebab dalam taklik talak versi kitab kuning tidak ada syarat alternatif dan syarat kumulatif. Yang ada hanya syarat secara umum saja. Jatuhnya talak karena suami melanggar taklik talak adalah langsung terjadi begitu pelanggaran taklik terjadi.
Setidaknya ada 3 perbedaan antara taklik talak ala fikih kitab kuning dan ala fikih Indonesia, yaitu terletak pada syarat talak, jenis talak dan iwadh.
Dalam kajian fikih kitab kuning, syarat taklik talak hanya satu, yaitu syarat secara mutlak saja. Misalnya seorang suami berkata kepada isterinya “kalau kamu keluar dari rumah ini sekarang, maka kamu tertalak”. Kalaulah kemudian isterinya itu keluar lumah, maka jatuhlah talak suaminya itu secara langsung, saat itu juga.
Berbeda dengan taklik talak versi fikih Indonesia. Karena dalam fikih Indonesia syarat taklik talak tidak hanya syarat alternative saja, tetapi ada syarat kumulatif, yaitu harus diajukan ke PA dengan mengajukan gugatan taklik talak. Kalau gugatannya dikabulkan dan si isteri membayar iwadh, barulah kemudian Pengadilan akan menyatakan syarat taklik telah terpenuhi dan jatuhlah talak suami. Kalau proses ke PA ini tidak ditempuh, maka selamanya talak suami itu tidak akan jatuh.
Perbedaan yang kedua adalah jenis talak. Kalau dalam kajian fikih kitab kuning, maka taklik talak ini termasuk talak raj’i, karena yang mengucapkan adalah suami. Talak raj’i adalah talak kesatu, atau kedua. Dalam talak ini suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah. Jadi ada hak rujuk suami terhadap isteri yang dijatuhi talak dengan cara suami melanggar taklik talak. Hak rujuk itu ada selama isteri menjalani masa iddah.
Dalam kajian fikih Indonesia, cerai karena pelanggaran taklik talak termasuk dalam kategori talak ba’in sughra (cerai gugat), walaupun yang jatuh itu adalah talak suami. Talak bain sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. Mengapa cerai taklik talak termasuk dalam talak bain sughra, karena untuk jatuhnya talak suami itu isteri harus mengajukan gugatan pelanggaran taklik talak ke PA dan harus membayar iwadh. Untuk jatuhnya talak suami itu tergantung pada inisiatif isteri. Jatuhnya talak suami yang melanggar taklik talak adalah oleh Pengadilan. Cerai karena pelanggaran taklik talak adalah talak bain sughra. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam pasal 119 ayat (2) huruf c. KHI, “talak bain sughra sebagaimana tersebut dalam pada ayat (1) adalah c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama”. Jadi karena perceraian disebabkan pelanggaran taklik talak itu yang menjatuhkan adalah PA, maka jenis talaknya adalah ba’in sughra, sehingga suami tidak mempunyai hak rujuk terhadap isterinya. Kalau terjadi kesepakatan untuk menbangun rumah tangga lagi maka harus dengan akad nikah yang baru.
Perbedaan yang ketiga adalah iwadh. Dalam kajian fikih kitab kuning, tidak ada pembayaran iwadh oleh isteri dalam cerai karena pelanggaran taklik talak. Kalau harus dengan adanya syarat isteri membayar iwadh, maka itu bukan cerai taklik talak, tetapi dinamakan dengan khuluk atau talak tebus, yaitu perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadh kepada/dan atas persetujuan suaminya. Kalau dalam fikih Indonesia, pembayaran iwadh dari isteri kepada suami merupakan syarat komulatif pelanggaran taklik talak. Kalau isteri tidak membayar uang iwadh yang besarnya Rp.10.000,-, maka talak suami tidak akan jatuh.
Hukum Islam dapat diklasifikasikan kepada yang bersifat diyani (keagamaan) dan qadha’i (yuridis). Hukum Islam seluruhnya bersifat diyani, tetapi hanya hukum Islam yang bersifat qadha’i saja yang membutuhkan kekuasaan Negara untuk menegakkannya. Hukum Islam yang bersifat diyani sangat mengandalkan ketaatan individu yang menjadi subyek hukum. Hukum Islam yang bersifat diyani seperti hukum-hukum dalam bidang ibadah, shalat, zakat, puasa dan haji. Sedang hukum Islam yang bersifat qadha’i antara lain adalah hukum-hukum dalam bidang hukum muamalah, hukum keluarga dan hukum pidana. Dalam sengketa jual beli (ekonomi syari’ah) dan perselisihan suami isteri dalam berumah tangga perlu adanya campur tangan Pengadilan untuk mengadilinya.
Pemeriksaan pelanggaran Taklik Talak adalah hukum Islam yang bersifat qadhai yang memerlukan campur tangan Pengadilan untuk menyelesaikannya. dalam hal ini Pengadilan Agama untuk tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Agama untuk tingkat banding dan Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi.