This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Senin, 08 Agustus 2022

Musibah dan Bencana, Pertanda Allah Swt Murka?

 Pertanyaan :

Assalamu’alaikum wr.wb.

Saya berlangganan Suara Muhammadiyah melalui agen setempat. Alhamdulillah banyak masalah agama yang saya peroleh dari Suara Muhammadiyah. Untuk ini saya ada masalah yang mengganjal pada diri saya, karena itu saya ajukan pertanyaan dan mohon dengan hormat bapak bisa menjelaskannya.

Di desa saya banyak orang menyatakan bahwa gempa bumi, angin puting beliung, tanah longsor, banjir bandang dan tsunami itu adalah sebab Tuhan sedang murka. Apakah dapat dibenarkan kata-kata semacam itu?

Lalu bagaimana hubungannya dengan sifat rahman dan rahim-nya Allah? Apakah tidak bertentangan dengan hadits :

قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى نَفْسِهِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ إِنَّ رَحْمَتِي تَغْلِبُ غَضَبِي [الحديث]

Apakah hadits ini shahih dan apa maksudnya?

Mohon penjelasannya yang sejelas-jelasnya, agar hati dan benak saya lega. Sebelumnya mohon maaf dan terima kasih yang sedalam dalamnya.

Pertanyaan dari:

Fajar, Kampung Pereng Kecamatan Paguyangan Brebes

(disidangkan pada hari Jum’at, 14 Rabiul-Akhir 1430 H / 10 April 2009)

Jawaban :

Pernyataan bahwa gempa bumi, angin puting beliung, tanah longsor, banjir bandang, tsunami dan bencana-bencana lainnya yang telah terjadi dikarenakan bahwasanya tuhan sedang murka adalah sangat tidak dibenarkan. Untuk membuktikannya kita harus memahami secara mendalam makna dari istilah bencana tersebut dalam al-Quran sehingga kita bisa memaknai semua bencana yang terjadi dengan arif.

Bencana, keburukan atau dikatakan juga sebagai petaka disebut dengan berbagai istilah di dalam al-Quran. Misalnya, mushibah, bala’, ’iqab dan fitnah dengan pengertian dan cakupan yang berbeda:

1. Kata mushibah, ia pada mulanya berarti mengenai atau menimpa. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sesuatu yang menimpa atau mengenai tersebut adalah sesuatu yang menyenangkan, namun bila al-Quran menggunakan kata mushibah maka itu berarti sesuatu yang tidak menyenangkan yang menimpa manusia. Pengertian ini juga telah umum diketahui di Indonesia, bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan yang menimpa manusia disebut dengan musibah. Dalam penyelusurannya, ada beberapa hal yang dapat ditarik dari uraian al-Quran:

a. Musibah terjadi karena ulah manusia, antara lain karena dosanya. Ini ditegaskan oleh firman Allah:

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيْرٍ.

Artinya: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” [QS. asy-Syura (42): 30]

b. Musibah tidak terjadi kecuali atas izin Allah

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ.

Artinya: “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali atas izin Allah, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS. at-Taghabun (64): 11]

c. Musibah, antara lain, bertujuan untuk menempa manusia, dan karena itu dilarang untuk berputus asa akibat jatuhnya musibah -walau hal tersebut adalah karena kesalahan sendiri – sebab bisa jadi ada kesalahan yang tidak disengaja atau karena kesalahan yang tidak disengaja atau karena kelengahan. Al-Quran menegaskan bahwa:

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ. لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ.

Artinya: “Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kamu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. al-Hadid (57): 22-23]

2. Kata bala’ . Akar kata ini mulanya berarti nyata/tampak, seperti firman Allah:

يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِلُ.

Artinya: “Pada hari dinampakkan segala rahasia.” [QS. ath-Thariq (86): 9]

Namun makna tersebut berkembang sehingga berarti ujian yang dapat menampakkan kualitas keimanan seseorang. Dari beberapa ayat yang menggunakan kata bala’ dalam berbagai bentuknya dapat diperoleh beberapa hakikat berikut:

a. Bala’ (ujian) adalah keniscayaan hidup. Itu dilakukan Allah, tanpa keterlibatan manusia yang diuji dalam menentukan cara dan bentuk ujian tersebut. Yang menentukan cara, waktu, dan bentuk ujian adalah Allah swt. Allah swt berfirman:

اَلَّذِي خَلَقَ اْلمَوْتَ وَالحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ العَزِيْزُ الْغَفُوْرُ.

Artinya: “(Dia) Yang menciptakan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu (melakukan bala’), siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” [QS. al-Mulk (67): 2]

Karena bala’ adalah keniscayaan bagi manusia mukallaf, maka tidak seorang pun yang luput darinya. Semakin tinggi kedudukan seseorang semakin berat pula ujiannya, karena itu ujian para nabi pun sangat berat. Dikarenakan bala’ adalah keniscayaan hidup, maka ada pula bala’ (ujian) tersebut berupa sesuatu yang menyenangkan. Adapun contoh dari bala’ (ujian) yang menyenangkan adalah anugerah yang diberikan Allah kepada Nabi Sulaiman as yang menyadari bahwa fungsi nikmat tersebut adalah sebagai ujian.

هَذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ.

Artinya: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk menguji aku (melakukan bala’), apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” [QS. an-Naml (27): 40]

b. Anugerah/nikmat yang berupa ujian itu, tidak dapat dijadikan bukti kasih Ilahi sebagaimana penderitaan tidak selalu berarti murka-Nya. Hanya orang-orang yang tidak memahami makna hidup yang beranggapan demikian. Hal ini antara lain ditegaskan-Nya dalam QS. al-Fajr (89): 15-17:

فَأَمَّا اْلإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلاَهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلاَهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ. كَلاَّ بَل لاَّ تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ.

Artinya: “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka ia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku.” Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.” Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim.” [QS. al-Fajr (89): 15-17]

c. Bala’ (ujian) yang menimpa seseorang dapat merupakan cara Allah mengampuni dosa, menyucikan jiwa, dan meninggikan derajatnya. Dalam perang Uhud tidak kurang dari tujuh puluh orang sahabat Nabi Muhammad saw yang gugur. Al-Quran dalam konteks ini membantah mereka yang menyatakan dapat menghindar dari kematian sambil menjelaskan tujuannya:

قُل لَّوْ كُنتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحَّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ.

Artinya: “Katakanlah: “Sekiranya kamu berada di rumah kamu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.” Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji (melakukan bala’) apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” [QS. Ali Imran (3): 154]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bala’ adalah bentuk ujian dari Allah yang dapat berupa hal-hal yang menyenangkan ataupun sebaliknya. Bala’ ditimpakan oleh Allah kepada manusia dengan tujuan untuk meningkatkan derajat seseorang tersebut dihadapan Allah. Dari sini pula dapat dilihat perbedaan antara musibah dan bala’, karena musibah sebagaimana terbaca di atas, pada dasarnya dijatuhkan Allah akibat ulah atau kesalahan manusia, sedangkan bala’ tidak harus demikian, dan bahwa tujuan dari bala’ adalah peningkatan derajat seseorang di hadapan Allah.

Kata fitnah dalam al-Quran mengandung banyak arti, di antaranya:

Perbuatan atau tindakan yang dapat menimbulkan kekacauan

Membakar dalam neraka, membakar dalam arti dimasukkan ke dalam Neraka

Menyiksa atau siksaan

Kesesatan atau penyimpangan

Ujian atau cobaan, baik berupa nikmat maupun kesulitan.

Arti fitnah yang terakhir itulah yang kemudian akan digunakan untuk memahami makna bencana dalam al-Qur’an.

وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ.

Artinya: “Dan ketahuilah, bahwa harta kamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan (fitnah) dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. al- Anfal (8): 28] Baca juga QS. at-Taghabun (64): 15.

Bahkan pada QS. al-Anbiya’: 35 Allah mempersamakan antara kata bala’ dan fitnah. Allah berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوَكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ.

Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu (melakukan bala’) dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan/ fitnah (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” [QS. al-Anbiya’ (21): 35]

Ini berarti bahwa fitnah/ cobaan dilakukan Allah sebagai peringatan, dan tentu saja apabila peringatan tidak juga diindahkan—setelah berkali-kali— maka adalah wajar menjatuhkan tindakan yang lebih keras. Dalam konteks uraian tentang fitnah, al-Quran menggarisbawahi bahwa:

وَاتَّقُواْ فِتْنَةً لاَّ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمْ خَآصَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.

Artinya: “Dan peliharalah diri kamu dari pada siksaan (fitnah) yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksa-Nya.” [QS. al-Anfal (8): 25]

Ayat di atas menggunakan tiga kata yang kesemuanya dapat berarti sesuatu yang tidak menyenangkan. Yaitu kata fitnah, tushibanna yang seakar dengan kata mushibah, serta ‘iqab yang terambil dari kata ‘aqiba yang berarti belakang/kesudahan. Kata ‘iqab digunakan dalam arti kesudahan yang tidak menyenangkan/ sanksi pelanggaran. Berbeda dengan ‘aqibah/ akibat yang berarti dampak baik atau buruk dari satu perbuatan. Dan dari ayat di atas dapat difahami bahwa fitnah dapat menimpa orang yang tidak bersalah.

Beberapa kesimpulan yang dapat dipetik dari ayat-ayat di atas, antara lain adalah bahwa musibah terjadi atau menimpa manusia akibat kesalahan manusia sendiri, bala’ merupakan keniscayaan dan dijatuhkan Allah swt, walau tanpa kesalahan manusia. Adapun fitnah, maka ia adalah bencana yang dijatuhkan Allah dan dapat menimpa yang bersalah dan tidak bersalah.

Berpijak pada uraian-uraian di atas, terkait dengan ungkapan-ungkapan al-Quran dalam mengutarakan “keburukan/bencana yang menimpa manusia”, dapat dinyatakan bahwa bencana (alam) yang terjadi di muka bumi ini, dengan istilah al-Quran, secara umum, lebih tepat disebut sebagai fitnah (ujian atau cobaan). Hal ini dikarenakan bahwa bencana alam yang terjadi tidak hanya menimpa orang-orang yang berdosa saja melainkan juga mereka yang tidak berdosa (berbuat salah). Di sisi lain, kita dapat berkata bahwa jika yang berdosa ditimpa mudlarat akibat bencana tersebut, maka itu adalah akibat dosanya, sedang yang tidak berdosa, maka buat mereka yang masih hidup, itu adalah bala’, yakni ujian untuk melihat kualitas keimanan mereka. Adapun yang wafat tapi tidak berdosa, atau yang kesalahannya tidak setimpal dengan dampak buruk bencana tersebut, maka itu merupakan tangga yang mengantar mereka memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi Allah.

Dari serangkaian pembahasan di atas dapat diketahui rumusan teologi bencana yang terdapat dalam al-Quran, yakni bahwa bencana yang terjadi pada dasarnya adalah akibat perbuatan manusia sendiri. Namun di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa kesemuanya itu sudah menjadi ketentuan dan hukum Allah— yang telah tertulis di Lauh al-Mahfudz. Dalam tataran makna, bencana yang banyak terjadi akhir-akir ini dalam bahasa al-Quran lebih tepat untuk disebut sebagai fitnah (cobaan atau ujian) dengan cakupannya bahwa bencana tersebut tidak hanya menimpa mereka yang bersalah atau yang telah melakukan kerusakan di muka bumi, melainkan juga mereka yang tidak berdosa (berbuat salah). Di sisi lain, kita dapat berkata bahwa jika yang berdosa ditimpa mudlarat akibat bencana tersebut, maka itu adalah akibat dosanya, sedang yang tidak berdosa, maka buat mereka yang masih hidup, itu adalah bala’, yakni ujian untuk melihat kualitas keimanan mereka. Adapun yang wafat tapi tidak berdosa, atau yang kesalahannya tidak setimpal dengan dampak buruk bencana tersebut, maka itu merupakan tangga yang mengantar mereka memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi Allah.

Mengenai hadis yang bapak utarakan, menurut penelusuran kami termasuk hadis shahih dan banyak diriwayatkan oleh periwayat-periwayat hadis, di antaranya adalah al-Bukhari, Muslim, at-Turmudzi dan lain-lainya yang semua jalur periwayatannya bersambung dan bersumber dari sahabat Abu Hurairah. Salah satu jalur periwayatannya adalah:

حدَّثَنا عَبْدَانُ عَنْ أَبِي حَمْزَةَ عَنِ اْلأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَمَّا خَلَقَ اللهُ اْلخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ وَهُوَ يَكْتُبُ عَلَى نَفْسِهِ وَهُوَ وَضْعٌ عِنْدَهُ عَلَى اْلعَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِي تَغلِبُ غَضَبِي. [رواه البخارى]

Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdan diriwayatkan dari Abu Hamzah dari A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda: Tatkala Allah menciptakan ciptaan, Allah telah menuliskan dalam kitab (Lauh al-Mahfudz), Dia menuliskannya langsung di arsy (Lauh al-Mahfudz), sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemarahan dan kebencian-Ku.” [HR. al-Bukhari]

Menilik dari penjelasan di atas, tidak didapati kontradiksi terhadap sifat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang karena akibat dari bencana-bencana yang telah terjadi saat ini. Bukankah ketika kita melakukan kesalahan dan berbuat dosa Allah juga tidak segera langsung memberikan hukuman dan siksa kepada kita

Referensi : Musibah dan Bencana, Pertanda Allah Swt Murka?























Mengambil Hikmah Di Setiap Musibah

Ilustrasi : Mengambil Hikmah Di Setiap Musibah

Musibah itu adalah keniscayaan. Dihindarkan kayak apa ya ndak mungkin. Baik musibah kecil maupun musibah besar. Bahkan kalau kita dapat info dari kehidupan sebelum manusia seperti halnya jaman dinosaurus, itu juga musnah karena musibah. Candi Borobudur yang tinggi juga pernah terkubur saat erupsi besar Merapi. Yang namanya musibah ini kalau kita lihat asalnya ada yang memang betul2 dari Allah SWT (Gempa bumi, gunung meletus, dll), ada juga musibah karena ulah tangan manusia (perampokan, pembunuhan, dll). Demikian disampaikan oleh Ust. Muh. Ikhsan dalam kajian rutin Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) bertema Mengambil Hikmah di Setiap Musibah, Jumat, 29 Januari 2021.

Lebih jauh ust. Muh. Ikhsan menyampaikan bahwa musibah itu kalau dirunut kurang lebih ada 5 makna. Makna yang pertama adalah Sebagai Ujian atau cobaan. “Makna ini untuk menguji siapa yang paling baik amalnya dan sabar. Ini sesuai dengan QS Al-Baqarah 155:  “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,” ungkapnya.  Sedangkan orang sabar menurut Al Quran adalah orang yang saat terkena musibah akan berkata innalillahi wainna ilaihi roji’un. “Keburukan maupun kebaikan yang menimpa manusia adalah musibah. Kehidupan dan kematian itu adalah ujian,” tambahnya.

Makna berikutnya adalah Sebagai Peringatan. “Biasanya ini diperuntukan bagi orang yang lalai. Kasus Tsunami aceh. Teman saya kebetulan Islam abangan. Dia anggota resque tim SAR yang tangguh. Ketika dikirim ke Aceh, dia melihat pandangan yang luar biasa dan merubah pandangannya. Pulang Aceh beliau menjadi Alim, sering ke masjid”,  tuturnya sembari menambahkan bahwa hal ini juga bisa untuk orang yang nekat seperti halnya kecelakaan saat berkendara dengan kecepatan tinggi.

Makna yang ketiga adalah Sebagai Kafarat Penebus Dosa.  menurut beliau kafarat tersebut berlaku untuk untuk dosa kecil maupun besar dengan syarat bisa menerima musibah dengan sabar dan ikhlas. “Bahkan lelah seorang muslim saat berjuang di jalan Allah bisa juga sebagai kafarat,” jelasnya.

Sedang makna yang lebih besar namun sulit diterima adalah musibah Sebagai Pengantar Menuju Mati Sahid. Makna ini menurutnya paling sulit diterima karena biasanya musibah itu menimbulkan susah, berlinang air mata, dll. Sedemikian besarnya karunia Allah, maka musibah itu bisa menjadi nikmat luar biasa. “Kalau sampai kena musibah dan meninggal, maka matinya adalah mati syahid. Di daerah konflik justeru berpotensi bisa mati syahid. Orang mati syahid akan memperoleh kemuliaan, diantaranya diampuni dosanya, dibebasakan dari siksa kubur, dijauhkan dari rasa takut saat dibangkitkan dari kubur, akan diberikan kemuliaan, akan dinikahkan dengan 72 bidadri, dan akan diberikan ijin memberikan syafaat bagi 70 orang anggotanya/keluarganya.  Musibah saat ini pun (tanah longsor, gempa bumi, banjir) juga berpotensi sebagai media mati syahid. Kita doakan mukmin yang meninggal tenggelam di Sriwijaya Air maupun terbakar kita doakan mati shaid. Orang yang tyerkena reruntuhan, ibu yang melahirkan, seseorang yang meninggal ketika sedang bekerja mencari nafkah, orang yang terkena wabah thoun (lepra), karena penyakit perut, orang yang fi sabilillah atau mewakafkan hidupnya di jalan Allah, dan  orang yang mati karena membela hartanya, nyawanya, kehormatannya juga mati sahid,” tegasnya.

Sedangkan makna yang kelima adalah Sebagai azab. Musibah ini pernah terjadi pada fir’aun dan bala tentaranya. Demikian juga yang mengenai umat Nabi Nuh (banjir), kaum luth (hujan batu) dll. “Kalau sebagai azab, itu tidak mengurangi dosanya,” tambahnya.

Namun beliau menyayangkan bahwasannya banyak orang melihat suatu musibah tidak mau menghubungkan dengan Allah. Mereka yang sekuler menganggap bahwa musibah itu betul2 karena faktor alam biasa.

“Hampir semua bencana terutama yang namanya azab, itu hampir 100 %  karena perilaku manusia. Yang durhaka, dzolim, maksiat, dll.  Penyakit aid, penyakit kelamin juga akibat perilaku manusia. Rasulullah mengatakan jika suatu kaum telah menghalalkan zina dan riba, maka dia merelakan dirinya untuk di azab. Marilah kita mulai berpikir yang namanya musibah itu terkait dengan perilaku manusia. Jaman Umar, pernah ada gempa. Umar langsung menyimpulkan ini pasti ada kemaksiatan di madinah. Bagaimana kita bisa menerima? Kuncinya ilmu. Ngaji. Diajarkan. Mahasiswa itu ketika lulus, ada yang sukses ada yang stagnan. Pernahkan kita memberikan ilmu pada mahasiswa ketika besok kamu stagnan, kamu harus begini. Mestinya itu kita ajarkan kepada mahasiswa kita!,” pungkasnya.

Referensi sbb : Mengambil Hikmah Di Setiap Musibah 














Musibah yang Disebabkan Karena Dosa Diri Sendiri & Dalilnya

Ilustrasi : Musibah yang Disebabkan Karena Dosa Diri Sendiri & Dalilnya
Musibah yang datang pada kita kadang tidak disadari terjadi diakibatkan karena dosa dari diri sendiri. Dosa yang diperbuat bisa saja mendatangkan musibah yang tidak kita duga. Benarkan ada musibah yang disebabkan karena dosa diri sendiri? Berikut pembahasannya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30).
Hilangnya Nikmat dan Datangnya Musibah, Salah Satu Bentuk dari Dosa Akibat Diri Sendiri
Ibnu Qoyyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan,
“Di antara akibat dari berbuat dosa adalah menghilangkan nikmat dan akibat dosa adalah mendatangkan bencana (musibah). Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)
Ibnu Rajab Al Hambali –rahimahullah- mengatakan,
“Tidaklah disandarkan suatu kejelekan (kerusakan) melainkan pada dosa karena semua musibah, itu semua disebabkan karena dosa.” (Latho’if Ma’arif, hal. 75)
Musibah juga Menjadi Penghapus Dosa Bagi Seseorang
Musibah yang datang karena dosa diri sendiri juga menjadi penghapus dosa bagi orang tersebut. Hanya dengan bersabar dan tawakal pada musibah yang datang, maka musibah tersebut akan menjadi penghapus dosa bagi mereka.
Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, mereka mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ وَلاَ نَصَبٍ وَلاَ سَقَمٍ وَلاَ حَزَنٍ حَتَّى الْهَمِّ يُهَمُّهُ إِلاَّ كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ
“Tidaklah seorang mukmin tertimpa suatu musibah berupa rasa sakit (yang tidak kunjung sembuh), rasa capek, rasa sakit, rasa sedih, dan kekhawatiran yang menerpa melainkan dosa-dosanya akan diampuni” (HR. Muslim no. 2573).
Dari Mu’awiyah, ia berkata bahwa ia mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا مِنْ شَىْءٍ يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ فِى جَسَدِهِ يُؤْذِيهِ إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِه
“Tidaklah suatu musibah menimpa jasad seorang mukmin dan itu menyakitinya melainkan akan menghapuskan dosa-dosanya” (HR. Ahmad 4: 98. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanadnya shahih sesuai syarat Muslim).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Wahai sekalian manusia, ketahuilah bahwa musibah yang menimpa kalian tidak lain adalah disebabkan karena dosa yang kalian dahulu perbuat. Dan Allah memaafkan kesalahan-kesalahan kalian tersebut. Dia bukan hanya tidak menyiksa kalian, namun Allah langsung memaafkan dosa yang kalian perbuat.” Karena memang Allah akan menyiksa seorang hamba karena dosa yang ia perbuat.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ
“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melata pun” (QS. Fathir: 45).
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas,
يخبر تعالى، أنه ما أصاب العباد من مصيبة في أبدانهم وأموالهم وأولادهم وفيما يحبون ويكون عزيزا عليهم، إلا بسبب ما قدمته أيديهم من السيئات، وأن ما يعفو اللّه عنه أكثر، فإن اللّه لا يظلم العباد، ولكن أنفسهم يظلمون وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ وليس إهمالا منه تعالى تأخير العقوبات ولا عجزا.
Allah Ta’ala memberitahukan bahwa tidak ada satupun musibah yang menimpa hamba-hamba-Nya, baik musibah yang menimpa tubuh, harta, anak, dan menimpa sesuatu yang mereka cintai serta (musibah tersebut) berat mereka rasakan, kecuali (semua musibah itu terjadi) karena perbuatan dosa yang telah mereka lakukan dan bahwa dosa-dosa (mereka) yang Allah ampuni lebih banyak.
“Karena Allah tidak menganiaya hamba-hamba-Nya, namun merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatannya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun, dan menunda siksa itu bukan karena Dia teledor dan lemah” (Tafsir As-Sa’di: 899).
Salah Satu Cara Allah SWT Mengampuni Dosa Hamba-Nya adalah dengan Mendatangkan Musibah
Al-Baghawi rahimahullah menukilkan perkataan seorang tabi’in pakar tafsir Ikrimah rahimahullah,
ما من نكبة أصابت عبدا فما فوقها إلا بذنب لم يكن الله ليغفر له إلا بها، أو درجة لم يكن الله ليبلغها إلا بها .
“Tidak ada satupun musibah yang menimpa seorang hamba, demikian pula musibah yang lebih besar (dan luas) darinya, kecuali karena sebab dosa yang Allah mengampuninya hanya dengan (cara menimpakan) musibah tersebut (kepadanya) atau Allah hendak mengangkat derajatnya (kepada suatu derajat kemuliaan) hanya dengan (cara menimpakan) musibah tersebut (kepadanya)” (Tafsir Al-Baghawi: 4/85)
Abul Bilad berkata pada ‘Ala’ bin Badr mengenai ayat,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri”, dan sejak kecil aku sudah buta, bagaimana pendapatmu? ‘Ala’ berkata,
فبذنوب والديك
“Itu boleh jadi karena sebab orang tuamu”.
Seseorang bisa jadi mudah lupa terhadap ayat Qur’an yang telah ia hafal karena sebab dosa yang ia perbuat. Adh Dhohak berkata,
ما نعلم أحدا حفظ القرآن ثم نسيه إلا بذنب
“Kami tidaklah mengetahui seseorang yang menghafal Qur’an kemudia ia lupa melainkan karena dosa”. Lantas Adh Dhohak membacakan surat Asy Syura yang kita bahas saat ini. Lalu ia berkata,
وأي مصيبة أعظم من نسيان القرآن.
“Musibah mana lagi yang lebih besar dari melupakan Al Qur’an?”
Itulah penjelasan singkat mengenai musibah yang disebabkan karena dosa diri sendiri. Demikianlah artikel yang singkat ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Referensi : Musibah yang Disebabkan Karena Dosa Diri Sendiri & Dalilnya















Dosa Muslim Dihapuskan Saat Tertimpa Suatu Musibah

Dosa Muslim Dihapuskan Saat Tertimpa Suatu Musibah. Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW mengajarkan umat manusia untuk bersabar dalam menghadapi ujian dan cobaan apapun di dunia. 

Begitu besar pahala orang-orang yang bersabar. Rasulullah SAW dalam sabdanya memberikan kabar gembira bagi Muslim yang bersabar saat tertimpa musibah. Ini sebagaimana riwayat Muslim dari Aisyah RA:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُصِيبَةٍ يُصَابُ بِهَا الْمُسْلِمُ إِلَّا كُفِّرَ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا

“Aisyah RA berkata, “Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada satupun musibah (cobaan) yang menimpa seorang Muslim, melainkan dosanya dihapus Allah Ta'ala karenanya, sekalipun musibah itu hanya karena tertusuk duri." (HR Muslim)

Dalam sabda Rasulullah SAW lainnya yang diriwayatkan Sunan Ibnu Majah. Rasulullah SAW menyampaikan firman Allah yang menyampaikan bahwa orang-orang yang sabar akan mendapatkan pahala surga. Ini sebagaimana riwayat Ibnu Majah dari Abu Amamah RA: 

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ ابْنَ آدَمَ إِنْ صَبَرْتَ وَاحْتَسَبْتَ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى لَمْ أَرْضَ لَكَ ثَوَابًا دُونَ الْجَنَّةِ

Dari Abu Amamah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Nabi Muhammad SAW bersabda, "Allah SWT berfirman: Hai anak Adam, jika kamu bersabar dan ikhlas saat tertimpa musibah, maka Aku tidak akan meridhoi bagimu sebuah pahala kecuali surga." (HR Ibnu Majah)

Melalui dua hadits ini dapat dilihat Allah SAW memberikan pahala yang sangat besar bagi Muslim yang bersabar. Hal ini mengisyaratkan betapa pentingnya bagi setiap Muslim memiliki sifat sabar.  

Referensi  : Dosa Muslim Dihapuskan Saat Tertimpa Suatu Musibah  













Musibah yang Disebabkan Karena Dosa Diri Sendiri

Ilustrasi ; Musibah yang Disebabkan Karena Dosa Diri Sendir

Musibah yang datang pada kita kadang tidak disadari terjadi diakibatkan karena dosa dari diri sendiri. Dosa yang diperbuat bisa saja mendatangkan musibah yang tidak kita duga. Benarkan ada musibah yang disebabkan karena dosa diri sendiri? Berikut pembahasannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30).

Hilangnya Nikmat dan Datangnya Musibah, Salah Satu Bentuk dari Dosa Akibat Diri Sendiri

Ibnu Qoyyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan,

“Di antara akibat dari berbuat dosa adalah menghilangkan nikmat dan akibat dosa adalah mendatangkan bencana (musibah). Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

“Tidaklah disandarkan suatu kejelekan (kerusakan) melainkan pada dosa karena semua musibah, itu semua disebabkan karena dosa.” (Latho’if Ma’arif, hal. 75)

Musibah juga Menjadi Penghapus Dosa Bagi Seseorang

Musibah yang datang karena dosa diri sendiri juga menjadi penghapus dosa bagi orang tersebut. Hanya dengan bersabar dan tawakal pada musibah yang datang, maka musibah tersebut akan menjadi penghapus dosa bagi mereka.

Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, mereka mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ وَلاَ نَصَبٍ وَلاَ سَقَمٍ وَلاَ حَزَنٍ حَتَّى الْهَمِّ يُهَمُّهُ إِلاَّ كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ

“Tidaklah seorang mukmin tertimpa suatu musibah berupa rasa sakit (yang tidak kunjung sembuh), rasa capek, rasa sakit, rasa sedih, dan kekhawatiran yang menerpa melainkan dosa-dosanya akan diampuni” (HR. Muslim no. 2573).

Dari Mu’awiyah, ia berkata bahwa ia mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا مِنْ شَىْءٍ يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ فِى جَسَدِهِ يُؤْذِيهِ إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِه

“Tidaklah suatu musibah menimpa jasad seorang mukmin dan itu menyakitinya melainkan akan menghapuskan dosa-dosanya” (HR. Ahmad 4: 98. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanadnya shahih sesuai syarat Muslim).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

“Wahai sekalian manusia, ketahuilah bahwa musibah yang menimpa kalian tidak lain adalah disebabkan karena dosa yang kalian dahulu perbuat. Dan Allah memaafkan kesalahan-kesalahan kalian tersebut. Dia bukan hanya tidak menyiksa kalian, namun Allah langsung memaafkan dosa yang kalian perbuat.” Karena memang Allah akan menyiksa seorang hamba karena dosa yang ia perbuat.

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ

“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melata pun” (QS. Fathir: 45).

Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas,

يخبر تعالى، أنه ما أصاب العباد من مصيبة في أبدانهم وأموالهم وأولادهم وفيما يحبون ويكون عزيزا عليهم، إلا بسبب ما قدمته أيديهم من السيئات، وأن ما يعفو اللّه عنه أكثر، فإن اللّه لا يظلم العباد، ولكن أنفسهم يظلمون وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ وليس إهمالا منه تعالى تأخير العقوبات ولا عجزا.

Allah Ta’ala memberitahukan bahwa tidak ada satupun musibah yang menimpa hamba-hamba-Nya, baik musibah yang menimpa tubuh, harta, anak, dan menimpa sesuatu yang mereka cintai serta (musibah tersebut) berat mereka rasakan, kecuali (semua musibah itu terjadi) karena perbuatan dosa yang telah mereka lakukan dan bahwa dosa-dosa (mereka) yang Allah ampuni lebih banyak.

“Karena Allah tidak menganiaya hamba-hamba-Nya, namun merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatannya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun, dan menunda siksa itu bukan karena Dia teledor dan lemah” (Tafsir As-Sa’di: 899).

Salah Satu Cara Allah SWT Mengampuni Dosa Hamba-Nya adalah dengan Mendatangkan Musibah

Al-Baghawi rahimahullah menukilkan perkataan seorang tabi’in pakar tafsir Ikrimah rahimahullah,

ما من نكبة أصابت عبدا فما فوقها إلا بذنب لم يكن الله ليغفر له إلا بها، أو درجة لم يكن الله ليبلغها إلا بها .

“Tidak ada satupun musibah yang menimpa seorang hamba, demikian pula musibah yang lebih besar (dan luas) darinya, kecuali karena sebab dosa yang Allah mengampuninya hanya dengan (cara menimpakan) musibah tersebut (kepadanya) atau Allah hendak mengangkat derajatnya (kepada suatu derajat kemuliaan) hanya dengan (cara menimpakan) musibah tersebut (kepadanya)” (Tafsir Al-Baghawi: 4/85)

Abul Bilad berkata pada ‘Ala’ bin Badr mengenai ayat,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri”, dan sejak kecil aku sudah buta, bagaimana pendapatmu? ‘Ala’ berkata,

فبذنوب والديك

“Itu boleh jadi karena sebab orang tuamu”.

Seseorang bisa jadi mudah lupa terhadap ayat Qur’an yang telah ia hafal karena sebab dosa yang ia perbuat. Adh Dhohak berkata,

ما نعلم أحدا حفظ القرآن ثم نسيه إلا بذنب

“Kami tidaklah mengetahui seseorang yang menghafal Qur’an kemudia ia lupa melainkan karena dosa”. Lantas Adh Dhohak membacakan surat Asy Syura yang kita bahas saat ini. Lalu ia berkata,

وأي مصيبة أعظم من نسيان القرآن.

“Musibah mana lagi yang lebih besar dari melupakan Al Qur’an?”

Itulah penjelasan singkat mengenai musibah yang disebabkan karena dosa diri sendiri. Demikianlah artikel yang singkat ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Referensi : Musibah yang Disebabkan Karena Dosa Diri Sendiri



















3 Macam Sabar Menurut Ulama

Sabar itu ada tiga macam, yaitu sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat dan sabar dalam menghadapi takdir.  Apa itu Sabar? Sabar secara bahasa berarti al habsu yaitu menahan diri. Sedangkan secara syar’i, sabar adalah menahan diri dalam tiga perkara : (1) ketaatan kepada Allah, (2) hal-hal yang diharamkan, (3) takdir Allah yang dirasa pahit (musibah). Inilah tiga bentuk sabar yang biasa yang dipaparkan oleh para ulama.

Sabar dalam Ketaatan

Sabar dalam ketaatan kepada Allah yaitu seseorang bersabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah. Dan perlu diketahui bahwa ketaatan itu adalah berat dan menyulitkan bagi jiwa seseorang. Terkadang pula melakukan ketaatan itu berat bagi badan, merasa malas dan lelah (capek). Juga dalam melakukan ketaatan akan terasa berat bagi harta seperti dalam masalah zakat dan haji. Intinya, namanya ketaatan itu terdapat rasa berat dalam jiwa dan badan sehingga butuh adanya kesabaran dan dipaksakan.

Allah Swtberfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imron [3] : 200).

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Riyadhus Sholihin ketika menjelaskan ayat di atas, beliau rahimahullah mengatakan, ”(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang mukmin sesuai dengan konsekuensi dan besarnya keimanannya dengan 4 hal yaitu: shobiru, shoobiru, robithu, dan bertakwalah pada Allah.

Shobiru berarti menahan diri dari maksiat. Shoobiruu berarti menahan diri dalam melakukan ketaatan. Roobithu adalah banyak melakukan kebaikan dan mengikutkannya lagi dengan kebaikan. Sedangkan takwa mencakup semua hal tadi.”

Kenapa Butuh Sabar dalam Ketaatan?

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan pula bahwa dalam melakukan ketaatan itu butuh kesabaran yang terus menerus dijaga karena :

(1) Ketaatan itu akan membebani seseorang dan mewajibkan sesuatu pada jiwanya,

(2) Ketaatan itu terasa berat bagi jiwa, karena ketaatan itu hampir sama dengan meninggalkan maksiat yaitu terasa berat bagi jiwa yang selalu memerintahkan pada keburukan. –Demikianlah perkataan beliau-

Sabar dalam Menjauhi Maksiat

Ingatlah bahwa jiwa seseorang biasa memerintahkan dan mengajak kepada kejelekan, maka hendaklah seseorang menahan diri dari perbuatan-perbuatan haram seperti berdusta, menipu dalam muamalah, makan harta dengan cara bathil dengan riba dan semacamnya, berzina, minum minuman keras, mencuri dan berbagai macam bentuk maksiat lainnya.

Seseorang harus menahan diri dari hal-hal semacam ini sampai dia tidak lagi mengerjakannya dan ini tentu saja membutuhkan pemaksaan diri dan menahan diri dari hawa nafsu yang mencekam.

Sabar Menghadapi Takdir yang Pahit

Ingatlah bahwa takdir Allah itu ada dua macam, ada yang menyenangkan dan ada yang terasa pahit. Untuk takdir Allah yang menyenangkan, maka seseorang hendaknya bersyukur. Dan syukur termasuk dalam melakukan ketaatan sehingga butuh juga pada kesabaran dan hal ini termasuk dalam sabar bentuk pertama di atas. Sedangkan takdir Allah yang dirasa pahit misalnya seseorang mendapat musibah pada badannya atau kehilangan harta atau kehilangan salah seorang kerabat, maka ini semua butuh pada kesabaran dan pemaksaan diri. Dalam menghadapi hal semacam ini, hendaklah seseorang sabar dengan menahan dirinya jangan sampai menampakkan kegelisahan pada lisannya, hatinya, atau anggota badan.

Referensi : 3 Macam Sabar Menurut Ulama









Penyebab Susah Hamil Menurut Pandangan Islam

Ilustrasi : Penyebab Susah Hamil Menurut Pandangan Islam

Memiliki keturunan yang saleh dan salihah merupakan impian bagi setiap pasangan. Bahkan Rasulullah SAW pun menyarankan umatnya untuk memiliki keturunan yang banyak.  Karena anak-anak yang terlahir dari pernikahan yang syar'i akan melanggengkan keberadaan manusia di muka Bumi. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda,

“Nikahilah perempuan yang wadud, yang walud karena aku membanggakan banyaknya kalian.” (HR. an-Nasa’i, al- Imam al-Albani rahimahullah menyatakan derajat hadits ini hasan sahih sebagaimana dalam Irwa’ul Ghalil no. 1784 dan Adab az-Zifaf hlm. 61).

Wadud adalah sangat mencintai suami, sedangkan walud adalah banyak melahirkan atau perempuan yang subur rahimnya. Karenanya seorang muslim yang memiliki keturunan dan menjaganya dengan baik akan mendatangkan keberkahan dari Allah SWT.

Penyebab susah hamil menurut Islam

Namun, tidak semua pasangan suami istri mudah mendapatkan keturunan. Banyak pula pasangan yang harus berjuang bertahun-tahun untuk mendapat keturunan. Menurut pandangan Islam ada beberapa penyebab susah hamil, berikut di antaranya seperti dikutip dari A-Z Islam.

1. Tidak Berwudhu Sebelum Berhubungan

Berwudhu merupakan salah satu adab sebelum seseorang berhubungan intim. Tidak hanya membersihkan najis kecil, berwudhu juga dapat menjauhi setan yang menghalani atau bahkan ikut campur membisikkan keburukan bagi calon bayi.

Berwudhu juga sangat dianjurkan dilakukan setelah berhubungan intim, sebelum tidur. Sehingga kedua pasangan bisa terjaga dari setan.

Hadis yang diriwayatkan Imam Muslim adalah sebagai berikut:

“Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menyetubuhi istrinya lalu ia ingin mengulanginya, maka hendaklah ia berwudhu.” Abu Bakr dalam haditsnya menambahkan, “Hendaklah menambahkan wudhu di antara kedua hubungan intim tersebut.” Lalu ditambahkan, “Jika ia ingin mengulangi hubungan intim.”

2. Belum Bertaubat

Pasangan yang belum bertobat dari dosa besar dalam Islam akan sulit mendapatkan keturunan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak akan mempercayakan seorang anak kepada mereka yang tidak ingin bertobat.

Untuk itu, lakukan doa Bertobat, perbuatan baik dan istighfar. Jadi, Andas dapat diberikan kemudahan untuk mendapatkan keturunan.

Seperti firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

"Maka aku berkata (kepada mereka), " Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, sungguh Dia Maha Pengampun. Miscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untuku dan mengadakan sungai-sungai untukmu." (QS. Nuh: 10 - 12).

3. Menunda Kehamilan

Beberapa pasangan menunda hamil karena mereka ingin tandem terlebih dahulu, meningkatkan karir dan keuangan mereka. Dengan menggunakan kontrasepsi, rahim akan kering dan tubuh akan dipenuhi oleh bahan kimia dari kontrasepsi itu.

Kasus ini menyebabkan sel telur sulit dibuahi. Memang, ada banyak kebajikan wanita hamil dalam Islam. Allah Subahanhu Wa Ta'ala juga tidak mencintai orang seperti ini.

“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar". (QS. An-Nisa : 9)

Jangan takut dengan rizq anak-anak nanti, karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menyediakan rizq untuk setiap makhluk-Nya.

“Dan tidak ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz)." (QS. Hud: 6)

4. Kelainan

Kelainan di organ rahim akan menghalangi jalan sperma menuju sel telur, sehingga sulit melakukan pembuahan. Beberapa kelainan yang dapat menghambat kehamilan, seperti pembentukan ligamen (fibrosis) dan aglutinasi tuba yang mengganggu fungsi fimbria, polip atau mioma, masalah kontraksi uterus dan radang endometrium.

Sulit hamil juga bisa karena faktor pria yang tidak subur atau memiliki gangguan kesehatan tertentu. Adanya masalah pada sperma, impotensi, masalah ejakulasi, masalah pada testis, perawatan kanker prostat, hingga diabetes. Kondisi-kondisi tersebut juga menjadikan pasangan sulit memiliki keturunan.

Mengenai kondisi medis ini, tidak ada yang tidak mungkin bila seseorang berdoa, berikhtiar dan tawakkal kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, hingga keinginan mereka dikabulkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Seperti kata Rasulullah melihat:

"Tidak ada yang berdoa kepada Allah dengan doa, kecuali Dia mengabulkan, dan dia mendapatkan satu dari tiga hal, mereka dipercepat untuk diberikan kepadanya di dunia, diselamatkan baginya sampai di akhirat, atau diubah dengan mencegah dia dari bencana serupa." (HR. Ath-Thabrani)

Dan jangan lupa untuk selalu memulai doa dengan memuji nama Allah SWT (Asmaul Husna). "Jika salah satu dari kalian berdoa, dia harus mulai dengan memuji dan memberkati Allah, maka dia harus membaca shalawat Nabi shallallahu‘ alaihi wa sallam, maka setelah itu dia dapat berdoa tentang apa saja sesuai keinginannya. " (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)

5. Stres dan Gaya Hidup yang Tidak Sehat

5 Penyebab Susah Hamil Menurut Pandangan Islam

Seorang wanita yang stres akan mengalami kesulitan hamil. Pendiri Seminar Konseling Kesadaran Kesuburan dan Pelatihan (FACTS), Tony Wechsler mengatakan bahwa stres dapat mempengaruhi fungsi hipotalamus, bagian dari otak yang memiliki fungsi untuk mengatur emosi, tekanan darah, detak jantung dan perilaku konsumsi.

Bagian otak ini juga mengatur hormon yang memerintahkan ovarium untuk melepaskan sel telur. Maka itu, lakukan cara mengatasi depresi menurut Islam, salah satunya dengan berdzikir. Selain stres, gaya hidup tidak sehat seperti terlalu banyak makan junk food, merokok, dan mengonsumsi minuman beralkohol juga sangat memengaruhi kesuburan pria dan wanita. Karena itu, hindarilah kebiasaan buruk ini, dan ubah menjadi gaya hidup sehat selama melakukan program hamil.

Referensi : Penyebab Susah Hamil Menurut Pandangan Dalam Agama Islam









Hukum Islam (Infak Harta dari Hasil Berjudi)

Pertanyaan tentang Infak Hasil Judi:  Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Ustadz saya ingin bertanya :  Jika menginfaq / menyedekahka harta yang didapat dengan cara yang tidak halal, misalkan dari hasil taruhan bola, bagaimana hukumnya secara islam?

Saya beranggapan jika hasil uang haram saya gunakan / beli berupa barang tidak akan apa-apa. Karena setahu saya uang haram tidak boleh digunakan untuk membeli makanan karena akan menjadi dosa dan darah yang mengalir akan diteruskan ke anak kita. Apakan benar anggapan saya pa ustadz?

Apabila uang haram itu diinfaqkan, apakah seseorang mendapatkan barokahnya atau tetap berdosa

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Jawaban tentang Infak Hasil Judi:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh.

Semoga Allah swt senantiasa mencurahkan keberkahan-Nya kepada saudara dan keluarga.

Allah SWT berfirman:

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. 2:188)

Para ahli tafsir mengatakan bahwa kata memakan yang ada pada ayat di atas merupakan penggambaran fenomena umum. Artinya, motivasi sebagian besar orang dalam memiliki harta adalah untuk memenuhi kebutuhan dirinya terhadap makanan. Jadi, penggunakan kata memakan pada ayat di atas bukan bertujuan membatasi keharaman pada memakan saja.

Pertanyaan tentang Infak Hasil Judi:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Ustadz saya ingin bertanya :

Jika menginfaq / menyedekahka harta yang didapat dengan cara yang tidak halal, misalkan dari hasil taruhan bola, bagaimana hukumnya secara islam?

Saya beranggapan jika hasil uang haram saya gunakan / beli berupa barang tidak akan apa-apa. Karena setahu saya uang haram tidak boleh digunakan untuk membeli makanan karena akan menjadi dosa dan darah yang mengalir akan diteruskan ke anak kita. Apakan benar anggapan saya pa ustadz?

Apabila uang haram itu diinfaqkan, apakah seseorang mendapatkan barokahnya atau tetap berdosa

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Jawaban tentang Infak Hasil Judi:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh.

Semoga Allah swt senantiasa mencurahkan keberkahan-Nya kepada saudara dan keluarga.

Allah SWT berfirman:

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. 2:188)

Para ahli tafsir mengatakan bahwa kata memakan yang ada pada ayat di atas merupakan penggambaran fenomena umum. Artinya, motivasi sebagian besar orang dalam memiliki harta adalah untuk memenuhi kebutuhan dirinya terhadap makanan. Jadi, penggunakan kata memakan pada ayat di atas bukan bertujuan membatasi keharaman pada memakan saja.

Akan tetapi, keharaman terhadap harta yang diperoleh dengan cara tidak benar mencakup seluruh jenis pemanfaatan. Seseorang yang memperoleh harta dengan cara yang tidak benar, baik itu judi, korupsi, mencuri dan sejenisnya, haram hukumnya memanfaatkan harta tersebut.

Para ulama membagi sesuatu yang diharamkan dalam dua kategori: pertama, haram secara dzatnya. misalnya, daging babi, daging anjing, bangkai, darah dan sejenisnya. Kedua, haram secara hukum. Bisa jadi sesuatu itu halal secara dzat, hanya saja cara memperolehnya tidak sesuai dengan syariat maka haram pula mengkonsumsinya. Misalnya, buah-buahan hasil curian, uang hasil korupsi, uang hasil judi dan lain-lain. Allah swt mengharamkan kedua jenis harta di atas.

Abu Mas’ud Al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw melarang menerima bayaran jual-beli anjing, bayaran zina dan bayaran praktek perdukunan (sihir).”(HR Bukhari Muslim) hadits ini bisa menjadi landasan keharaman suatu harta yang diperoleh dengan cara yang tidak benar.

Lalu bolehkah kita menggunakan harta tersebut untuk infak?

Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. 2:267)”

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan sedekah dari hasil korupsi (ghulul).” (HR An-Nasa’i)

Berdasarkan ayat dan hadits di atas, Allah swt tidak menerima sedekah harta yang diperoleh melalui cara yang tidak benar. Allah swt hanya akan menerima sedekah harta yang berasal dari sumber yang halal.

Bagaimana solusi atas harta yang diperoleh dengan cara yang tidak benar?

Harta yang diperoleh dengan cara yang tidak benar banyak ragamnya. Apabila seseorang memperoleh harta dengan mendzalimi dan mengambil hak orang lain, maka ia harus mengembalikannya. Misalnya, harta yang diperoleh melalui mencuri, mencopet, korupsi, merampok dan sejenisnya. Orang tersebut berdosa atas perbuatannya. Di sisi lain, ia berkewajiban untuk mengembalikan kepada orang yang berhak.

Sedangkan bila harta itu diperoleh dengan mendzalimi orang lain secara umum, bukan spesifik serta sulit untuk mencari orangnya, ia bisa mendistribusikan harta yang diperoleh dengan cara tidak benar itu kepada wilayah kemaslahatan umum. Misalnya, ia bisa menggunakannya untuk pembangunan jalan, jembatan atau fasilitas umum lainnya. Hanya saja, ia tidak mendistribusikannya untuk pembangunan masjid.

Apakah seseorang mendapatkan pahala dari sedekah harta yang diperoleh dengan cara yang tidak benar?

Apabila seseorang mendapatkan harta haram dengan usahanya, ia berdosa dengan usahanya itu. Jika ia infakkan harta tersebut, maka ia tidak akan mendapatkan pahala atas infak tersebut.

Berbeda halnya seseorang yang mendapatkan harta haram bukan karena usaha dirinya atau ia mendapatkannya karena suatu aturan dan kebutuhan darurat. Misalnya, seseorang memperoleh bunga dari tabungannya yang ia tidak bisa melepaskan diri darinya. Padahal, ia menabung bukan untuk mendapatkan bunga. Bunga itu tetap haram baginya. Jika ia menginfakkannya, ia tidak akan mendapatkan pahala atas infak itu. Ia bisa mendapatkan pahala dari niat shalihnya untuk melepaskan diri dari harta haram yang datang bukan atas kemauan dirinya.

Referensi : Hukum Islam (Infak Harta dari Hasil Berjudi)
















Hukum Menahan Hak Orang Lain

Ilustrasi : Hukum Menahan Hak Orang Lain

Menahan hak orang lain atau penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kejahatan” (HR. Bukhari no. 2400 dan Muslim no. 1564) dan akan mendapatkan balasan orang zalim dalam islam. Ada orang yang sudah mendapat gaji bulanan, namun tidak langsung memberikan pada istri, orangtua, atau pembantu rumahnya, padahal saat itu sudah tanggal di mana seharusnya ia membayar segala kewajibannya,

ia sengaja menahan hak orang lain nundanya sampai benar benar ditagih keras. Ada juga seorang pemilik usaha yang menahan hak orang lain nunda pembayaran gaji pegawainya, padahal dananya sudah siap dan dengan sengaja melakukan dosa paling berat dalam islam. Tidak sedikit pula orang yang menahan hak orang lain pembayaran utangnya sekalipun ia telah memiliki uang untuk melunasi.

Islam sangat membenci perbuatan jahat terlebih jika sengaja dan melakukan dosa yang berulang dalam islam, dan menahan hak orang lain nunda pembayaran hak orang lain karena sifat kikir yang dimiliki merupakan sebuah bentuk kejahatan yang amat buruk. “Orang yang menahan hak orang lain kewajiban, halal kehormatan dan pantas mendapatkan hukuman” (HR. Abu Daud no. 3628, An Nasa i no. 4689, Ibnu Majah no. 2427, hasan).

Sungguh mengherankan orang orang yang suka menahan hak orang lain pembayaran hak orang lain. Dalam Islam, kita disarankan untuk membayar upah para pekerja sebelum keringat mereka kering, dalam artian… segeralah dalam membayar hak orang lain, jangan sampai mereka meminta dan mengemis ngemis untuk hak yang memang semestinya mereka peroleh.

“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih). Bahkan di hari kiamat kelak Allah akan memusuhi orang yang ‘berani’ tidak membayar hak orang lain.

Referensi : Hukum Menahan Hak Orang Lain









Surat Al-Hujurat Ayat 12

QS. Al-Hujurat Ayat 12  

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اجۡتَنِبُوۡا كَثِيۡرًا مِّنَ الظَّنِّ اِنَّ بَعۡضَ الظَّنِّ اِثۡمٌ‌ۖ وَّلَا تَجَسَّسُوۡا وَلَا يَغۡتَبْ بَّعۡضُكُمۡ بَعۡضًا‌ ؕ اَ يُحِبُّ اَحَدُكُمۡ اَنۡ يَّاۡكُلَ لَحۡمَ اَخِيۡهِ مَيۡتًا فَكَرِهۡتُمُوۡهُ‌ ؕ وَاتَّقُوا اللّٰهَ‌ ؕ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيۡمٌ

Yaaa ayyuhal laziina aamanuj tanibuu kasiiram minaz zanni inna ba'daz zanniismunw wa laa tajassasuu wa la yaghtab ba'dukum ba'daa; a yuhibbu ahadukum any yaakula lahma akhiihi maitan fakarih tumuuh; wattaqul laa; innal laaha tawwaabur Rahiim

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.

Juz ke-26 : Tafsir : 

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka buruk kepada manusia yang tidak disertai bukti atau tanda-tanda, sesungguhnya sebagian prasangka, yakni prasangka yang tidak disertai bukti atau tanda-tanda itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain yang sengaja ditutup-tutupi untuk mencemoohnya dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing, yakni membicarakan aib, sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Karena itu hindarilah pergunjingan karena itu sama dengan memakan daging saudara yang telah mati. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat kepada orang yang bertobat, Maha Penyayang kepada orang yang taat.

Pada ayat ini dijelaskan bahwa permintaan mereka itu tidak mungkin diperkenankan oleh Allah. Mereka tidak akan dikembalikan ke dunia, karena hati mereka sudah tidak menerima kebenaran lagi. Di dunia, mereka kafir dan ingkar apabila diseru untuk hanya menyembah Allah saja, tetapi apabila Allah dipersekutukan dengan yang lain, mereka percaya dan membenarkannya. Permintaan mereka ke luar dari neraka dan dikembalikan ke dunia untuk beramal saleh, dijawab oleh Allah dengan firman-Nya:

Dia (Allah) berfirman, "Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku." (al-Mu'minun/23: 108)

Andaikata permintaan mereka diperkenankan dan dikembalikan ke dunia, mereka akan tetap mengerjakan hal-hal yang dilarang Allah sebagaimana halnya dahulu. Mereka itu pembohong, sebagaimana firman Allah:

Seandainya mereka dikembalikan ke dunia, tentu mereka akan mengulang kembali apa yang telah dilarang mengerjakannya. Mereka itu sungguh pendusta. (al-An'am/6: 28)

Ayat ini ditutup dengan satu ketegasan bahwa putusan di hari Kiamat berada di tangan Allah yang akan memberi putusan dengan hak dan adil, Tuhan Yang Mahatinggi dan Mahabesar tiada sesuatu yang menyamai-Nya. Tuhan sangat benci kepada yang mempersekutukan-Nya dan telah memberlakukan kebijaksanaan yaitu mengekalkan mereka di dalam neraka.

Keterangan mengenai QS. Al-Hujurat

Surat Al Hujuraat terdiri atas 18 ayat, termasuk golongan surat-surat Madaniyyah, diturunkan sesudah surat Al Mujaadalah. Dinamai Al Hujuraat diambil dari perkataan Al Hujuraat yang terdapat pada ayat 4 surat ini. Ayat tersebut mencela para sahabat yang memanggil Nabi Muhammad SAW yang sedang berada di dalam kamar rumahnya bersama isterinya. Memanggil Nabi Muhammad SAW dengan cara dan dalam keadaan yang demikian menunjukkan sifat kurang hormat kepada beliau dan mengganggu ketenteraman beliau.

Tafsir Jalalayn : 

(Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa) artinya, menjerumuskan kepada dosa, jenis prasangka itu cukup banyak, antara lain ialah berburuk sangka kepada orang mukmin yang selalu berbuat baik. Orang-orang mukmin yang selalu berbuat baik itu cukup banyak, berbeda keadaannya dengan orang-orang fasik dari kalangan kaum muslimin, maka tiada dosa bila kita berburuk sangka terhadapnya menyangkut masalah keburukan yang tampak dari mereka (dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain) lafal Tajassasuu pada asalnya adalah Tatajassasuu, lalu salah satu dari kedua huruf Ta dibuang sehingga jadilah Tajassasuu, artinya janganlah kalian mencari-cari aurat dan keaiban mereka dengan cara menyelidikinya (dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain) artinya, janganlah kamu mempergunjingkan dia dengan sesuatu yang tidak diakuinya, sekalipun hal itu benar ada padanya. (Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati?) lafal Maytan dapat pula dibaca Mayyitan; maksudnya tentu saja hal ini tidak layak kalian lakukan. (Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya) maksudnya, mempergunjingkan orang semasa hidupnya sama saja artinya dengan memakan dagingnya sesudah ia mati. Kalian jelas tidak akan menyukainya, oleh karena itu janganlah kalian melakukan hal ini. (Dan bertakwalah kepada Allah) yakni takutlah akan azab-Nya bila kalian hendak mempergunjingkan orang lain, maka dari itu bertobatlah kalian dari perbuatan ini (sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat) yakni selalu menerima tobat orang-orang yang bertobat (lagi Maha Penyayang) kepada mereka yang bertobat.

Tafsir Quraish Shihab : 

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah prasangka buruk terhadap orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa yang harus dihukum. Janganlah kalian menyelidiki dan mencari-cari aib dan cela orang-orang Muslim, dan jangan pula kalian saling menggunjing yang lain. Apakah salah seorang di antara kalian senang memakan bangkai saudaranya yang mati yang kalian sendiri sebenarnya merasa jijik? Maka bencilah perbuatan menggunjing, karena perbuatan menggunjing itu bagaikan memakan bangkai saudara sendiri. Peliharalah diri kalian dari azab Allah dengan menaati semua perintah dan menjauhi segala larangan. Sesungguhnya Allah Mahaagung dalam menerima pertobatan orang-orang yang mau bertobat, lagi Mahaluas kasih sayang-Nya terhadap alam semesta.

Diskusi : 

Di ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta'aala melarang banyak dari prasangka terhadap kaum mukmin, karena sebagian dari prasangka adalah dosa, seperti sangkaan yang kosong dari hakikat dan qarinah, bersangka buruk yang diiringi dengan ucapan dan perbuatan yang diharamkan, karena bersangka buruk di hati tidak sebatas sampai di situ, bahkan terus menjalar sehingga ia mengatakan kata-kata yang tidak patut dan melakukan perbuatan yang tidak layak dilakukan, disamping sebagai sikap su’uzzhan terhadap seorang muslim, membencinya dan memusuhinya, padahal yang diperintahkan adalah kebalikannya.

Seperti suuâ€uzzhan (bersangka buruk) kepada orang-orang yang baik dari kalangan kaum mukmin, berbeda dengan orang fasik, maka tidak mengapa pada apa yang mereka tampakkan.
Yakni biarkanlah kaum muslimin dengan keadaannya dan gunakanlah sikap merasa lengah terhadapnya, dimana jika dikaji malah tampak perkara yang tidak patut.
Yaitu dengan menyebutkan hal yang tidak disukainya meskipun ada padanya.
Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan perumpamaan untuk menjauhkan sesorang dari ghibah.

Yakni sebagaimana kamu tidak suka dan merasa jijik memakan bangkai saudaramu yang sudah mati, maka seperti itulah seharusnya sikap kamu terhadap ghibah (menggunjing saudaramu). Ayat ini menunjukkan ancaman yang keras terhadap ghibah, dan bahwa ghibah termasuk dosa yang besar karena Allah mengumpamakannya seperti memakan daging saudaranya yang telah mati.
Allah adalah At Tawwab, yakni Dia yang mengizinkan tobat hamba-Nya, lalu Dia memberinya taufiq kepadanya, kemudian menerima tobatnya. Dia Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya, dimana Dia mengajak mereka kepada sesuatu yang bermanfaat bagi mereka dan menerima tobat mereka.

Referensi : Surat Al-Hujurat Ayat 12