This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Senin, 08 Agustus 2022

Baik itu bagi yang menganggap khulu' itu thalaq ba-in maupun faskh. Jika dia menginginkan kembali kepada isterinya maka harus dengan akad pernikahan dan mahar yang baru


Mahkamah Agung dalam menangapi masalah penyelesaian perceraian dengan khuluk ini dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan  Administrasi Agama Buku II 2013 halaman 151 menyatakan bahwa:

Talak khuluk merupakan gugatan istri untuk bercerai dari suaminya dengan tebusan. Proses penyelesaian gugatan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur cerai gugat dan harus diputus oleh hakim.

Ketentuan khuluk sebagaimana tersebut dalam pasal 148 KHI harus dikesampingkan pelaksanaannya. Gugatan khukuk tetap dilaksanakan sesuai ketentuan huruf a, b, dan c di atas.

Dari muatan pasal 148 KHI dan membandingkannya dengan pedoman Mahkamah Agung dalam Buku II 2013 halaman 151 tentu yang tepat dan relistis dalam proses penyelesaiannya agar mengikuti petunjuk Mahkamah Agung, karena itu penulis sepakat untuk mengesampingkan pasal 148 KHI sekalipun Mahkamah Agung  sendiri menggunakan istilah Talak Khuluk, berikut ini tahapan yang harus dilakukan pihak istri dalam mengajukan perceraian dengan khuluk yaitu :

Setelah gugatan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri, sesuai dengan peraturan perundangan, istri maupun suami akan dipanggil oleh Pengadilan Agama untuk melaksanakan sidang pertama.

Dalam sidang pertama jika suami istri hadir , maka majelis hakim akan mendamaikan suami istri sesuai maksud pasal 130 HIR dan kalau tidak berhasil damai maka suami istri diperintahkan untuk mengikuti proses mediasi sesuai Perma Nomor 01 tahun 2016 tentang proses mediasi di Pengadilan.

Dalam mediasi harus ada iktikad baik dari suami istri untuk menyelesaikan masalahnya terutama kalau ada inisiatif istri untuk melakukan perceraian dengan khuluk karenanya,  setelah tidak berhasil damai,  mediator berusaha mengarahkan agar terjadi kesepakatan tentang tebusannya.

Mediator melaporkan secara tertulis kepada ketua majelis hakim tentang pelaksanaan mediasi apakah berhasil atau tidak.

Kalau masalah tebusan tidak terjadi sekepakatan baik dalam mediasi maupun dalam persidangan maka prosesnya dilakukan sebagaimana memeriksa perkara cerai gugat dengan tahapan-tahapan jawab menjawab, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan dan musyawarah hakim untuk membacakan putusan.

Berbeda dengan  penyelesaian menurut Mahkamah Agung yang langsung memberlakukan putusannya,  memudahkan eksekusi dan tidak perlu ada ketergantungan suami sehingga cara seperiti inilah yang telah dipilih Mahkamah Agung, kan sudah jelas tujuan perceraian dengan khuluk sudah tercapai kenapa harus ada ikrar suami itulah mungkin pertimbangan Mahkamah Agung kenapa mengesampingkan proses  148 KHI.

Selanjutnya ternyata belum berhenti pada putusan khuluk belaka akan tetapi ada masalah lain yang mengikutinya yaitu :

Khulu’ di Masa Haid.

Khulu’ tidak terikat dengan waktu tertentu[16], untuk itu boleh dilakukan diwaktu suci atau haidh, hal ini berbeda dengan talak yang diharamkan untuk dilakukan di saat haidh. Yang demikian itu dimaksudkan agar suami tidak mengulur-ulur waktu ‘iddah, sedangkan khulu’ adalah permintaan istri untuk menghilangkan “bahaya” yang dialaminya. Begitu juga karena Rasululllah Saw. tidak menanyakan keadaan Mukhtali’ah (Istri Tsabit bin Qais tatakala ia meminta khulu’ dari suaminya) apakah ia saat itu dalam keadaan suci atau haidh. Dan tidak adanya dalil yang mengatakan tidak boleh meminta khulu’ ketika haidh. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa khulu’ dapat dilakukan kapan saja meskipun sang istri sedang haidh.

Khulu' Dilakukan Orang Yang Tengah Sakit

Sah khulu' yang dilakukan oleh orang yang sedang sakit parah[17]. Karena jika dia menjatuhkan talak yang tidak memiliki 'iwadh, maka sah talaknya, apalagi talak yang memiliki 'iwadh. Juga karena ahli warisnya tidak akan mendapatkan kerugi­an apa-apa dengan tindakan khulu'nya.

Mazhab Maliki mengungkapkan me­ngenai hal ini dengan pendapat mereka, terlaksana khulu' yang dilakukan oleh orang yang tengah terkena penyakit yang mengkhawatirkan. Sebagai isyarat bahwa secara prinsipil mereka tidak mengharam­kan talak pada masa ini yang menyebab­kan keluarnya ahli waris.

Menurut pendapat yang masyhur, istri yang dia khulu' pada masa dia sakit mendapatkan warisan dari  suami jika  suami meninggal dunia pada masa khulu' ini akibat penyakit yang mengkhawatir­kan. Meskipun masa iddahnya telah sele­sai, dan dia kawin lagi dengan orang lain. Sedangkan istri tidak mewarisi suami­nya jika  istri meninggal dunia sebelum suami pada masa suami sakit, meski­pun  istri tengah sakit pada saat terjadi khulu'; karena  suamilah yang membuat hilang apa yang seharusnya berhak untuk dia dapatkan.

Demikian juga Setiap pasangan suami istri atau salah satu dari keduanya berhak untuk mewakil­kan orang lain dalam khuluk[18].

Masa ‘Iddah Bagi Khulu’.

Sebagaimana talak, bagi wanita yang khulu’ juga diharuskan untuk ‘Iddah. Dengan maksud istibra’ (meyakinkan bahwa dalam rahimnya tidak ada janin/kandungan). Namun berapakah tempo I’ddah yang harus ditempuh wanita dalam khulu’?, ulama telah berbeda pendapat dalam hal ini. Salah satunya adalah pendapat Jumhur ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) yang mengatakan bahwa ‘iddah seorang wanita yang meminta khulu’ adalah sama dengan ‘iddah wanita yang ditalak, yaitu tiga quru’ (tiga kali haid). Landasannya adalah firman Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah ayat 228: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'”. Dan juga karena khulu’ adalah perpisahan antara suami istri setelah adanya perkawinan (dukhul), maka ‘iddah-nya tiga quru’ sebagaimana perpisahan selain khulu’.

Selain pendapat jumhur, terdapat juga pendapat kedua yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ustman bin Affan, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa ‘iddah bagi wanita khulu’ adalah cukup dengan satu kali haidh. Dalilnya yaitu; sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dan Ibnu Majah bahwa Rasulullah Saw. telah menjadikan ‘iddah istri Tsabit bin Qais satu haidh saja.

Apakah Khulu’ Talak atau

Ulama telah berbeda pendapat. Menurut Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafii’yyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad mengatakan bahwa khulu’ adalah thalaq ba-in. Sedangkan menurut riwayat lain dari Imam Ahmad bahwa khulu’ adalah faskh.

Konsekuensi dari perbedaan pendapat di atas dapat terlihat ketika seorang suami telah men-thalaq istrinya dua kali, kemudian meng-khulu’-nya, maka; Bagi yang mengangap khulu’ itu thalaq, berarti telah jatuh thalaq tiga, yang berarti suami tidak lagi halal untuk merujuk kembali istrinya, kecuali wanita tersebut telah menikah dengan laki-laki lain kemudian diceraikan.

Sedangkan bagi yang menganggap khulu’ itu faskh, maka suami tersebut berhak untuk merujuk istrinya, meskipun wanita tersebut belum menikah lagi dengan laki-laki lain, apabila sudah habis masa ‘iddah-nya.

Rujuk Setelah Khulu’.

Tidak ada rujuk bagi seorang suami dari seorang istri yang telah pisah dengan sebab khulu’. Baik itu bagi yang menganggap khulu’ itu thalaq ba-in maupun faskh. Jika dia menginginkan kembali kepada isterinya maka harus dengan akad pernikahan dan mahar yang baru.

Akibat hukum perceraian dengan khuluk:

istri tidak bisa dirujuk, berakhir dengan takak ba’in, kalau ingin rujuk harus menikah baru lagi, berlaku pasal 161 Kompasi Hukum Islam.

Tentang akibat hukum terhadap anak atau anak-anaknya sama dengan akibat hukum yang telah diatur dalam pasal 149 huruf d kompilasi hukuk Islam (memberikan biaya hadhanah untuk anakanaknya yang belum mencapai umur 21 tahun).

Referensi : Baik itu bagi yang menganggap khulu' itu thalaq ba-in maupun faskh. Jika dia menginginkan kembali kepada isterinya maka harus dengan akad pernikahan dan mahar yang baru.











Talak Raj’i dan Talak Ba’in

Referensi : Talak Raj’i dan Talak Ba’in

Talak Raj’i dan Talak Ba’in. Kesempatan Menalak Istri yang Telah Digauli Hanya Tiga Kali. Seorang lelaki yang merdeka memiliki kesempatan menalak istrinya yang telah digaulinya tiga kali, baik istrinya wanita merdeka maupun berstatus budak.  Talak pertama dan talak kedua adalah talak raj’i. Artinya, dia punya hak merujuk istrinya pada masa iddah kapan saja dia mau walaupun istrinya tidak rela dirujuk.

Talak yang ketiga adalah talak ba’in dengan derajat bainunah kubra (perpisahan besar) yang tidak menyisakan ikatan lagi antara keduanya sedikit pun sejak jatuhnya talak. Bahkan, suami tidak bisa menikahi bekas istrinya kembali sampai bekas istrinya itu telah digauli oleh suami yang lain.

Tata Cara Jatuhnya Talak Ba’in

Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’ al-Fatawa,

“Caranya, ia menalaknya, kemudian merujuknya dalam masa iddah atau menikahinya seusai masa iddah. Lantas ia menalaknya lagi, kemudian merujuknya atau menikahinya. Lantas ia menalaknya lagi untuk yang ketiga kalinya. Inilah talak yang menjadikan istrinya haram atasnya sampai menikah dengan suami lain dan digauli, menurut kesepakatan ulama.”

Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad menukilkan kesepakatan ulama bahwa apabila suami telah menalak istrinya satu atau dua kali kemudian ia menikahinya kembali setelah dinikahi lelaki lain yang tidak menggaulinya, kesempatannya untuk menalak istrinya itu tetap mengikuti hitungan talak sebelumnya.

Artinya, kesempatannya tersisa dua kali talak apabila ia telah menalaknya satu kali; dan tersisa satu kali talak apabila ia telah menalaknya dua kali.

Adapun jika ia menikahinya setelah dinikahi lelaki lain yang menggaulinya, di sinilah terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. Yang rajih, hitungan talak yang telah jatuh sebelumnya tidak gugur dan kesempatan untuk menalaknya ialah apa yang tersisa dari talak sebelumnya. Ini adalah mazhab Ahmad, asy-Syafi’i, dan Malik, yang dinilai rajih oleh Ibnu Utsaimin.


Di antara sahabat yang berpendapat demikian adalah Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu. Ia berkata,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا تَطْلِيْقَةً أَوْ تَطْلِيْقَتَيْنِ، ثُمَّ تَرَكَهَا حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَيَمُوْتَ عَنْهَا أَوْ يُطَلِّقَهَا، ثُمَّ يَنْكِحُهَا زَوْجُهَا اْلأَوَّلُ فَإِنَّهَا عِنْدَهُ عَلَى مَا بَقِيَ مِنْ طَلاَقِهَا

“Siapa pun wanita yang ditalak oleh suaminya satu atau dua kali, kemudian suaminya membiarkannya sampai dinikahi suami lain, lantas (suami yang baru tersebut) meninggal atau menalaknya, kemudian suami pertamanya menikahinya kembali, wanita itu di sisi suaminya tersebut memiliki kesempatan talak yang tersisa sebelumnya.” (Riwayat Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya dengan sanad yang sahih)

Abdurrazzaq juga meriwayatkan atsar yang semisal dari Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’b, dan Imran bin Hushain radhiallahu anhum pada bab ini.

Menurut Ibnul Qayyim, alasannya adalah bahwa jimak suami kedua dengan wanita tersebut tidak ada kaitannya dengan talak tiga dari suami pertama—yang berfungsi membuat halalnya kembali wanita tersebut untuk suami pertama. Selain itu, jimak suami kedua bukan merupakan syarat halalnya kembali wanita tersebut untuk suami pertama, andai suami pertama menikahinya lagi setelah diceraikan oleh suami kedua. Dengan demikian, terjadinya jimak antara suami kedua dan wanita tersebut atau tidak adalah sama saja, tidak ada pengaruh bagi suami pertama. Atas dasar itu, suami pertama tetap memberlakukan talak satu dan duanya, serta tidak memulai dengan penghitungan baru.

Ibnu Utsaimin menerangkan pula dalam asy-Syarh al-Mumti’ bahwa yang tampak dari firman Allah subhanahu wa ta’ala,

ٱلطَّلَٰقُ مَرَّتَانِۖ

“Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali.” (al-Baqarah: 229)

dan ayat berikutnya,

فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعۡدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوۡجًا غَيۡرَهُۥۗ

“Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga menikah dengan suami yang lain.” (al-Baqarah: 230)

Sama saja, apakah wanita itu telah sempat menikah dengan suami lain (yang menggaulinya)—antara talak kedua dan talak ketiga—atau tidak.

Telah datang hadits marfu’ (sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam) yang semakna dengan ini, tetapi hadits itu sangat lemah (dha’if jiddan) dan dinilai dha’if oleh Ibnul Qayyim.

Talak Tiga Tidak Bisa Jatuh Sekaligus

As-Sa’di berkata dalam al-Mukhtarat al-Jaliyyah,

“Syaikh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah merajihkan bahwa talak dengan lafadz apa pun jatuhnya hanya satu talak, walaupun diperjelas dengan lafaz “talak tiga”, “talak ba’in”, “talak battah (selamanya)”, ataupun yang lainnya. Demikian pula, talak yang kedua tidak akan jatuh kecuali setelah terjadi rujuk yang benar. Ibnu Taimiyah mendukung pendapat ini dengan tinjauan dari banyak sisi. Siapa pun yang melihat keterangannya, tidak mungkin (ada alasan) baginya untuk menyelisihinya.”

Jadi, tidak ada sama sekali talak tiga atau talak dua kecuali yang dijatuhkan secara bertahap, yang diselingi dengan terjadinya rujuk atau pernikahan baru.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnul Qayyim, ash-Shan’ani, asy-Syaukani, al-Albani, al-Lajnah ad-Da’imah (diketuai oleh Ibnu Baz), Ibnu Utsaimin, dan guru besar kami, al-Wadi’i.

Di antara dalil-dalilnya adalah:

Allah subhanahu wa ta’ala tidak mensyariatkan dijatuhkannya talak tiga sekaligus tanpa melalui tahapan.

Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱلطَّلَٰقُ مَرَّتَانِۖ فَإِمۡسَاكُۢ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ تَسۡرِيحُۢ بِإِحۡسَٰنٍۗ

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (al-Baqarah: 229)

Tidak ada makna lain dari ayat ini yang dipahami oleh bangsa Arab selain bahwa dua talak tersebut jatuhnya secara bertahap. Jika dia berkata,

“Aku menalakmu dua kali atau tiga kali.”

“Aku menalakmu, aku menalakmu, aku menalakmu”, atau semisalnya,

dia tidak dianggap menalaknya lebih dari satu kali.

Hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, ia berkata,

كَانَ الطَّلَاقُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ طَلاَقُ الثَّلاَثِ وَاحِدَةً، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: إِنَّ النَّاسَ قَدْ اسْتَعْجَلُوا فِي أَمْرٍ قَدْ كَانَتْ لَهُمْ فِيهِ أَنَاةٌ، فَلَوْ أَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ؟ فَأَمْضَاهُ عَلَيْهِمْ.

“Dahulu pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kekhalifahan Abu Bakr radhiallahu anhu, dan dua tahun pertama dari kekhalifahan Umar radhiallahu anhu, talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus dihitung satu talak. Lantas Umar menyampaikan, ‘Sesungguhnya orang-orang telah tergesa-gesa pada urusan talak mereka yang mengandung tahapan (ingin menjatuhkan sebagai talak tiga sekaligus). Bagaimana jika kami berlakukan saja bagi mereka hal itu?’ Umar radhiallahu anhu pun memberlakukannya bagi mereka.” (HR. Muslim)

Asy-Syaukani dalam as-Sail al-Jarrar berkata,

“Kesimpulannya, di sini ada satu hujah yang melibas habis seluruh hujah yang dikemukakan mengenai jatuhnya talak tiga sekaligus, dan satu dalil yang tidak dapat ditandingi sedikit pun oleh dalil-dalil yang dikemukakan itu, yaitu hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma dalam Shahih Muslim dan lainnya. Jika seperti ini talak yang berlaku pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan diamalkan oleh para sahabat radhiallahu anhum setelahnya lebih dari empat tahun, hujah apa lagi yang dapat menolak hujah ini? Dalil apa lagi yang dapat tegak menentangnya?”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa menerangkan alasan Umar radhiallahu anhu dan imam-imam mujtahid selainnya yang mengharuskan jatuhnya talak tiga bagi orang yang menjatuhkannya sekaligus. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa hal itu adalah ijtihad Umar radhiallahu anhu tatkala menyaksikan kaum muslimin sering melakukan hal yang sesungguhnya diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala itu. Mereka tidak akan berhenti melainkan dengan suatu hukuman.

Menurut Umar radhiallahu anhu, hukumannya ialah dengan memberlakukannya bagi mereka agar mereka tidak melakukannya. Boleh jadi, hal itu sebagai jenis ta’zir (hukuman agar jera darinya) yang dilakukan saat dibutuhkan. Boleh jadi pula, Umar menganggap bahwa syariat talak tiga sekaligus dihitung satu, memiliki suatu persyaratan yang telah sirna (karena kondisi kaum muslimin saat itu, -pen.).

Ibnu Abbas radhiallahu anhuma sendiri pada mulanya berfatwa jatuhnya hal itu sebagai talak tiga, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Namun, di kemudian hari, ia meralat fatwa tersebut dan berfatwa bahwa hal itu tidak jatuh sebagai talak tiga. Ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud.

Menalak Istri Sebelum Digauli Adalah Talak Ba’in

Menalak istri sebelum digauli adalah talak ba’in, meskipun sudah berkhalwat (berdua-duaan) dan terjadi apa yang terjadi (selain senggama).

Hukum perceraiannya adalah bainunah sughra (perpisahan kecil). Artinya, tidak halal baginya untuk merujuknya kecuali dengan akad nikah yang baru. Sebab, hak rujuk hanya ada pada masa iddah, sedangkan talak ini tidak ada masa iddahnya.

Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نَكَحۡتُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمۡ عَلَيۡهِنَّ مِنۡ عِدَّةٍ تَعۡتَدُّونَهَاۖ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, tidak wajib atas mereka iddah (penantian) bagimu yang kalian minta menyempurnakannya.” (al-Ahzab: 49)

Talak ini dihitung baginya. Artinya, jika ia menikahinya lalu kembali talak, tersisa baginya kesempatan talak satu kali lagi.

Wallahu a’lam.

Catatan Kaki:

  1. Yakni budak orang lain yang dinikahinya.
  2. Adapun bainunah shughra (perpisahan kecil) yang tidak menyisakan ikatan sedikit pun antara keduanya, tetapi masih bisa menikahinya secara langsung tanpa disyaratkan telah dinikahi dan digauli lelaki lain, hal ini akan diterangkan nanti, insya Allah.
  3. Pada Bab “an-Nikah al-Jadid wath Thalaq al-Jadid” no. 11150 dengan sanad yang sahih.
  4. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari seorang sahabat. Pada sanadnya terdapat perawi yang haditsnya mungkar dan ditinggalkan oleh ahli hadits.  Pendapat yang kedua dalam masalah ini, hitungan talak yang telah lewat dianggap gugur dan kesempatan menalaknya dihitung kembali dari awal. Telah diriwayatkan atsar-atsar dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas radhiallahu anhu dalam Mushannaf Abdurrazzaq pada bab ini.  Sisi makna pengambilan hukumnya adalah jika ia digauli oleh suami yang kedua akan menggugurkan hitungan tiga talak yang telah jatuh sebelumnya, tentu hal itu menggugurkan hitungan dua talak yang telah jatuh sebelumnya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan dinilai rajih oleh asy-Syaukani dalam as-Sail al-Jarrar. Wallahu a’lam.
  5. Keterangan kebenaran dua riwayat fatwa Ibnu Abbas radhiallahu anhuma ini dapat dilihat dalam al-Irwa’ (7/120—122).
  6. Ini menurut pendapat yang rajih bahwa masis yang di maksud dalam ayat ini adalah jimak (senggama). Ada pula yang berpendapat bahwa masis dalam ayat ini mencakup khalwat dan hal lainnya yang hanya dilakukan oleh suami istri. Menurut pendapat ini, hukum pada ayat ini (tidak ada masa iddah) tidak berlaku pada wanita yang ditalak setelah berkhalwat tetapi belum digauli. Jika sudah berkhalwat meskipun belum digauli, ada masa iddah.
Referensi : Talak Raj’i dan Talak Ba’in








Talak Bain: Pengertian, Dasar Hukum

Ilustrasi : (Talak Bain: Pengertian, Dasar Hukum)

Talak Bain adalah salah satu jenis atau bentuk dari macam macam talak. Atau talak yang dibagi ke dalam beberapa bagian jika dilihat dari berbagai bentuknya.  Sementara pengertian talak adalah seperti yang dijelaskan dalam surah (Q.S Al-Baqarah ayat 229 dan Q.S A-Talaq ayat 1-7). Demikian juga dasar hukum talak dalam Agama Islam yang telah dijabarkan Al-Quran.

اَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Artinya:

"Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik".

Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.

Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.

Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”.

Talak bain adalah talak yang tidak boleh rujuk kecuali setelah menikah dengan orang lain. Talak bain merupakan talak yang dilihat dari pengaruh yang dihasilkannya.

Dalam talak yang dilihat dari pengaruh yang dihasilkannya, selain talak bain ada Talak Raj’i. Talak Raj;i merupakan talak dimana seorang suami boleh rujuk kepada istrinya di saat dia sedang ‘iddah.

Dan ini tanpa harus menggunakan akad baru serta tanpa perlu ada restu dari pihak istri. Dan talak raj’i berlaku untuk talak kesatu dan talak kedua, serta talaknya belum bain.

Jadi cara rujuk talak yang dilakukan sebelum masa iddahnya berakhir. Cek juga macam macam rujuk untuk mempelajarinya.

Sementara Talak Bain adalah talak yang mana suami tidak berhak untuk merujuk istri yang diceraikannnya, dan talak bentuk ini ada dua macam:

  1. Talak Bain Sughra’ (Kecil)
  2. Talak Ba’in Kubra

Pengertian Talak Bain Sughro

Pertama adalah pengertian dari talak ba’in sughra’ (kecil). Pengertian talak bain sughro adalah talak dimana suami bebas untuk menikahi istri yang sudah diceraikannya kapan saja dengan syarat istri tersebut rela dan juga atas restu walinya.

Serta diharuskan melakukan akad baru dan membayar mahar baru. Dengan talak ini, istri boleh meminta untuk mengakhirkan maharnya.

Dan kalau salah seorang di antara pasangan ini meninggal dunia maka pasangannya tidak mendapatkan warisan karena hubungan pernikahannya telah putus.

Talak ba’in sughra’ dapat mengurangi jumlah talak. Jika seorang suami menceraikan istrinya dengan talak ba’in ini maka ia mengurangi jumlah talak yang dimiliki suami kepada istrinya.

Kapankah Talak Ba’in Disebut Ba’in Sughra’

Talak bain sughra terjadi dalam keadaan berikut:

a). menceraikan istri yang belum digauli.

Dalam hal ini seperti yang dijelaskan dalam Firman Allah SWT dalam Qur’an Surah (Q.S) Al-Ahzab [33]: (49) :

“Wahai orang orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa ‘iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan.”

Ayat ini menunjukkan bahwa barang siapa yang menceraikan istrinya sebelum di gauli maka tidak ada ‘iddah bagi istri tersebut dan suami tidak berhak untuk merujuknya. Dan talak ini menjadi talak ba’in.

Dan beberapa di antaranya, penjelasan di atas juga menjadi salah satu dasar hukum talak bain sughra.

b). Apabila pengadilan memutuskan untuk memisahkan pasangan suami istri dengan alasan adanya suatu aib.

Atau jika tidak dipisahkan akan menimbulkan bahaya atau karena ila dan sejenisnya. Maka talak ini dinamakan talak ba’in.

Jadi yang dimaksud dengan Talak ba’in sughra adalah talak untuk menghilangkan kepemilikan antara suami istri di dalam pernikahannya.

Tetapi tidak menghilangkan izin bagi mantan suami untuk mengajak rujuk kembali sang mantan istri dengan cara melakukan akad nikah baru lagi.

Talak yang termasuk dalam talak bain sughra adalah talak suami pada istri yang belum pernah dicampuri, khulu’, talak satu dan dua namun telah habis masa ‘iddah.

Pengertian Talak Bain Kubra’

Talak ba’in kubra adalah talak yang mana suami tidak berhak untuk merujuknya kembali kecuali dengan akad dan mahar baru serta dengan syarat istri tersebut harus sudah menikah dengan lelaki lain secara sah.

Jadi menikah dengan lelaki lain dengan nikah yang sebenarnya, bukan nikah tahlil dan diisyaratkan dalam pernikahannya dengan suami yang kedua harus sampai berhubungan intim yang hakiki atau jimak.

Talak seperti ini adalah apabila suami menceraikan istrinya dengan talak tiga. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah [2]: (230).

“Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain.

Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum hukum Allah.”

Adapun contoh talak bain kubra adalah seperti apa yang diceritakan dari apa yang disampaikan ‘Aisyah.

Bahwasannya diceritakan bahwa Rifa’ah al-Quradzi menikah dengan seorang perempuan kemudian ia menceraikannya.

lalu perempuan tersebut menikah lagi dengan orang lain, kemudian ia (mantan istrinya Rifa’ah) mendatangi Rasulullah SAW.

Dan menceritakan bahwa suaminya (yang kedua) ini tidak pernah menggaulinya kecuali hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.

Maka Rasulullah SAW pun bersabda: “Sepertinya kamu ingin kembali rujuk dengan Rifa’ah, tidak, hingga laki laki kedua merasakan nikmatnya madu denganmu dan kamu pun merasakan nikmatnya madu dengannya.”

Al-‘Usailah (madu) artinya kenikmatan bersetubuh, dan ia hanya bisa dicapai dengan cara memasukkan kemaluan lelaki ke dalam faraj (kemaluan) perempuan meskipun tidak sampai keluar air mani.

Masalah Gugurnya Talak

Ada beberapa hal yang menjadi gugurnya talak. Pertama, jika seorang suami menceraikan istrinya dengan talak ba’in kubra (besar) lalu istri tersebut menikah dengan laki laki lain.

Kemudian laki laki tersebut meninggal dunia atau menceraikannya lagi, lalu istri tersebut menikah lagi dengan suaminya yang pertama.

Maka laki laki tersebut memiliki hak talak lagi tiga kali yang baru. Ini menurut kesepakatan para ulama.

Kedua, Jika suami menceraikan istri dengan talak 1 atau 2, kemudian istri menikah dengan lelaki lain, lalu lelaki tersebut meninggal dunia atau menceraikannya lagi, kemudian ia menikah kembali dengan suami yang pertama.

Apakah dengan pernikahan tersebut talak sebelumnya masih dihitung sampai mencapai talak 3? Ataukah pernikahan istri tersebut dengan laki laki yang kedua telah menggugurkan jumlah talak sebelumnya.

Sehingga dengan demikian suaminya memiliki talak 3 kali yang baru? Dalam masalah ini terdapat dua pendapat ulama yang akan diceritakan dalam contoh talak bain berikut:

Golongan pertama seperti pendapat Imam Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad (pada salah satu diantara dua riwayatnya) berkata:

“Talak yang sudah jatuh dari suami pertama itu dihitung, sehingga yang dimiliki (hak) suami untuk menceraikan tinggal sisanya.

Artinya, jika suami pertama menceraikan istrinya dengan talak satu, kemudian ia rujuk lagi setelah menikah dengan orang lain, maka yang tersisa baginya tinggal dua talak, bukan tiga.

Dalil mereka adalah fatwa Umar bin al-Khaththab yaitu ketika beliau ditanya seorang lelaki dari Bahrain dimana ia bertanya bagaimana hukumnya jika seorang suami menceraikan istrinya dengan talak 1 atau 2,

kemudian istri tersebut dinikahi oleh lelaki lain setelah habis masa iddahnya, lalu lelaki tersebut menceraikannya atau meninggal dunia kemudian istri tersebut rujuk lagi kepada suami yang pertama?

Beliau menjawab: “Istri tersebut hanya mempunyai talak yang tersisa pada suaminya pertama.” Hal tersebut juga menjadi pendapatnya Ali RA, Abu Hurairah RA dan Imran bin Hushain RA.

Golongan kedua: Abu Hanifah dan Imam Ahmad pada riwayat lain berkata: “Suami tersebut kembali memiliki 3 talak yang baru, karena suaminya yang kedua telah menggugurkan talak sebelumnya.”

Mereka berkata:

“Karena hubungan intim dengan suami kedua menjadi alasan kehalalan istri tersebut terhadap suaminya yang pertama dengan syarat harus ada akad dan mahar baru, maka talak 3 gugur jika memang istri tersebut di talak tiga.

Oleh karena itu (jika talak tiga saja bisa gugur oleh pernikahan dengan suaminya yang kedua) yang kurang dari talak tiga lebih utama untuk digugurkan.”

Baca Juga: Cara Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga

Itulah tentang talak bain yang bisa kita ketahui dan pahami. Dalam hal ini disimpulkan beberapa definisi talak secara bahasa berarti membebaskan perjanjian, kata Ath-Thalaq artinya juga mengurus atau meninggalkan.

Talak menurut pengertian syariat adalah membebaskan ikatan nikah, atau melepas ikatan nikah dengan talak bain, atau dengan talak raj’i setelah masa ‘iddah.

Semuanya menggunakan lafadz khusus. Sementara hukum talak sendiri ada lima hukum syariatnya. Di antaranya adalah:

  1. Talak bisa menjadi wajib
  2. Talak bisa menjadi sunnah
  3. Talak bisa menjadi mubah
  4. Talak bisa menjadi makruh
  5. Talak bisa menjadi haram

Itulah penjelasan tentang talak, termasuk dengan talak bain. Sekian yang bisa disampaikan. Semoga bermanfaat.

Referensi : Talak Bain: Pengertian, Dasar Hukum













Talak Ba'in Sughra Sebagai Wujut Keadilan Hukum Islam

Ilustrasi : Talak Ba'in Sughra Sebagai Wujut Keadilan Hukum Islam

Keadilan merupakan harapan dan kecendurungan setiap orang dalam tatanan kehidupan, terutama dalam berinteraksi. Setiap negara maupun lembaga-lembaga dan organisasi di manapun mempunyai visi dan misi yang sama terhadap keadilan, walaupun persepsi dan konsepsi mereka bisa saja berbeda. Karena dalam pemahaman mereka keadilan sebagai konsep yang relatif dan tolak ukur yang sangat beragam antara satu negara dengan negara lain, dan masing-masing ukuran keadilan itu didefinisikan dan ditetapkan oleh masyarakat sesuai dengan tatanan sosial masyarakat yang bersangkutan.

Wahbah Zuhayli menyatakan keadilan sebagai suatu ajaran universal oleh setiap Rasul, tidak mengalami perubahan dari setiap generasi Rasul dan berakhir pada Muhammad Saw. Al-Qur`an dan Al Hadis disepakati sebagai dua sumber pokok dan utama ajaran Muhammad saw, karenanya umat Islam memiliki pegangan yang kuat untuk menggali dan memahami konsep keadilan yang akan diaplikasikan dalam kehidupan individual dan sosial mereka.

Menurut Majid Khadduri, sumber keadilan itu ada dua: keadilan positif dan keadilan revelasional. Keadilan positif adalah konsep-konsep produk manusia yang dirumuskan berdasarkan kepentingan-kepentingan individual maupun kepentingan kolektif mereka. Skala keadilan berkembang melalui persetujuan-persetujuan diam-diam maupun tindakan formal, sebagai produk interaksi antara harapan-harapan dan kondisi yang ada. Sedangkan keadilan revelasional adalah bersumber dari Tuhan yang disebut dengan keadilan Ilahi. Keadilan ini dianggap berlaku bagi seluruh manusia, terutama bagi pemeluk agama yang taat.

Keadilan dalam Islam pada dasarnya ingin mendorong Setiap anggota masyarakat untuk memperbaiki kehidupan masyarakat tanpa membedakan bentuk, keturunan dan jenis orangnya. Setiap orang dipandang sama untuk diberi kesempatan dalam mengembangkan seluruh potensi hidupnya. Secara substansi, penegakan keadilan terutama di bidang sosial bukan hanya sekedar bentuk kontrak sosial melainkan tanggung jawab manusia terhadap Allah SWT. Bahkan al-Qur’an menegaskan bahwa alam raya ini ditegakkan atas dasar keadilan. Islam merupakan peraturan dan petunjuk kepada semua orang, oleh karena itu ketentuan hukum yang di atur didalamnya untuk bagaimana seseorang dapat menjadi anggota masyarakat yang adil, bahkan kemerdekaan orang di dalam rumah tangga dijamin oleh hukum Islam, dan orang lain tidak boleh mengganggu kemerdekaannya.

Bahwa dalam Pembahasan keadilan dalam Islam tidak mungkin dapat mencakup seluruh aspek keadilan secara mendalam, dikarenakan pembahasannya begitu kompleks dan komprehensif, oleh karena itu Penulis mengarahkan pada pembahasan pada keadilan hukum dalam Islam. Pembahasan keadilan hukum tersebut dalam konteks implementasinya akan penulis kaji dalam bidang hukum perdata Islam, terutama dalam hal ini adalah membahas mengenai pelembagaan cerai gugat dengan putusan talak ba’in Sughra yang kerap didalihkan dan diterapkan di lingkungan peradilan agama di Indonesia, yang pada dasarnya konsep cerai gugat dengan putusan talak ba’in Sughra yang dijatuhkan oleh Hakim merupakan salah satu keadilan dalam pembaharuan Islam yang telah lama diterapkan terutama dalam aspek sosial dengan memberikan perlindungan bagi hak para perempuan/isteri yang ingin melepaskan/bercerai dari suaminya karena pertengkaran dan perselisihan/shiqaq, sementara hak thalaq/melepaskan/menceraikan dalam Islam itu cuma ada hanya pada suami saja, namun dengan adanya diperbolehkan gugatan cerai di Pengadilan oleh kaum perempuan ini merupakan suatu wujud pembaharuan hukum Islam yang menjunjung tinggi rasa keadilan bagi kaum perempuan.

Referensi : Talak Ba'in Sughra Sebagai Wujut Keadilan Hukum Islam






Talak Bain Kubra: Pengertian dan Ketentuannya dalam Kompilasi Hukum Islam

Ilustrasi : Talak Bain Kubra: Pengertian dan Ketentuannya dalam Kompilasi Hukum Islam

Talak bain kubra adalah talak yang dijatuhkan pada ketiga kalinya. Pada talak ini, seorang suami tidak bisa merujuk dan menikahi istrinya kembali, sebelum istrinya kawin dengan laki-laki lain dan bercerai.  Dalam surah al-Baqarah ayat 230, Allah Swt berfirman: “Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”

Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa hukum menikahi istri yang sudah ditalak tiga kali adalah haram dan dilarang dalam Islam. Untuk menikahinya kembali, harus terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan habis masa iddahnya.

Bagaimana kedudukan talak bain kubra dalam kompilasi hukum Islam? Simak artikel berikut untuk mengetahui jawabannya. 

Talak Bain Kubra: Pengertian dan Ketentuannya dalam Kompilasi Hukum Islam

Dalam surah al-Baqarah ayat 230, Allah Swt berfirman: “Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”

Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa hukum menikahi istri yang sudah ditalak tiga kali adalah haram dan dilarang dalam Islam. Untuk menikahinya kembali, harus terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan habis masa iddahnya.

Bagaimana kedudukan talak bain kubra dalam kompilasi hukum Islam? Simak artikel berikut untuk mengetahui jawabannya.

Talak Bain Sugra dalam Kompilasi Hukum Islam

Perkara talak bain kubra terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu pada pasal 120. Pada talak ini, suami tidak bisa merujuk istrinya kecuali sang istri sudah menikah dengan laki-laki lain.

Tentunya, pernikahan harus terjadi tanpa ada unsur kesengajaan. Mengutip jurnal berjudul Hukum Rujuk Pada Talak Bain Kubra yang Diucapkan di Luar Pengadilan oleh Muhaiminuddin, seorang suami atau istri tidak boleh melakukan hal ini hanya karena ingin memperoleh syarat rujuk dari pasangan terdahulunya.

Hendaknya, pernikahan tersebut adalah pernikahan yang sah secara lahir dan batin. Artinya, syarat-syarat sah penyelenggaraan akad nikah harus terpenuhi. Menurut jumhur ulama, jika akadnya fasid, maka penghalalan untuk suami pertama tidak akan tercapai.

Sah secara batin maksudnya, menjadikan pernikahan tersebut sebagai media untuk mewujudkan tujuan suami-istri seperti terbentuknya suatu keluarga, terjaganya kehormatan pasangan, dan lahirnya keturunan.

Jika pernikahan hanya dilakukan sebagai syarat, maka penghalalan yang dimaksud tidak bisa tercapai. Jadi, tidak cukup hanya sekadar akad yang sah tanpa terjadinya hubungan badan suami istri.

Ini yang menjadi kesepakatan jumhur ulama salaf dan khalaf, kecuali Ibnu al-Musayyab. Dari Aisyah ra bahwa Rifa'ah al-Qurazhi menikahi seorang perempuan lalu mentalaknya.

Kemudian, perempuan itu menikah lagi dengan laki-laki lain dan menghadap kepada Nabi SAW. Ia menyampaikan bahwa suami keduanya itu tidak pernah menggaulinya dan bahwa alat vitalnya lemas seperti ujung kain (impoten). Maka Rasulullah SAW bersabda:

"Sepertinya kamu ingin kembali rujuk dengan Rifa'ah. Tidak boleh hingga kamu merasakan 'madu'-nya dan suami keduamu itu merasakan 'madu'-mu." (HR. Bukhari Muslim)

Menurut jumhur ulama, yang dimaksud madu dalam hadits ini adalah kenikmatan persetubuhan yang dirasakan suami istri. Kalangan Hanabilah mensyaratkan agar persetubuhan tersebut adalah persetubuhan yang halal.

Jika suami menyetubuhinya saat mengalami haid, nifas, atau saat berihram, maka belum cukup untuk halalnya perempuan tersebut bagi suami pertamanya.

Referensi : Talak Bain Kubra: Pengertian dan Ketentuannya dalam Kompilasi Hukum Islam








Pengertian Talak Bain

Ilustrasi : Pengertian Talak Bain

Talak bai-in adalah talak di mana suami tidak punya hak lagi untuk rujuk pada istri yang telah ditalak. Talak ba-in dibagi dua: (1) talak ba-in shugro (kecil) dan (2) talak ba-in kubro (besar). Pertama: Talak ba-in shugro (kecil). 

Talak ba-in shugro adalah talak di mana suami tidak memiliki hak untuk rujuk pada istri kecuali dengan akad yang baru.

Ketika itu ikatan suami istri terputus dan istri menjadi wanita asing, bukan lagi milik suami. Talak ba-in shugro ini tidak mengharuskan istri menikah dengan pria lain lalu halal bagi suami yang dulu. Jika ingin menyambung ikatan pernikahan, cukup dengan akad dan mahar yang baru.

Talak jenis ini akan mengurangi jumlah talak suami. Misalnya ini adalah talak pertama, maka suami masih punya dua kesempatan talak lagi.

Jika istri menikah lagi dengan pria lain setelah talak ba-in shugro dan telah selesai masa ‘iddah, lalu menikah lagi dengan suami terdahulu (artinya, ada selang dengan pria lain), apakah talak yang terdahulu dari suami pertama jadi terhapus?

Jawabnya, tidak terhapus. Karena ada qoul (perkataan) dari salah seorang khulafaur rosyidin, ‘Umar bin Khottob mengenai hal ini. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia bertanya pada ‘Umar bin Khottob mengenai seseorang dari ahlul Bahrain yang telah mentalak istrinya sekali atau dua kali kemudian telah lewat masa ‘iddahnya. Lalu mantan istrinya menikah lagi dengan pria lain. Suami kedua lantas menceraikan wanita tersebut atau ditinggal mati suaminya. Lantas wanita itu menikah lagi dengan suaminya yang dahulu. ‘Umar lantas berkata,

هِيَ عِنْدَهُ عَلَى مَا بَقَى

“Suami tersebut hanya punya kesempatan talak sebagaimana tersisa (dari yang dulu).”[1]

Kapan jatuh talak ba-in shugro?

Pertama: Talak sebelum disetubuhi.

Ini berarti jika saat malam pertama, suami belum sempat menyetubuhi istrinya, lantas ia ceraikan, maka jatuhlah talak yang disebut talak ba-in sughro. Saat ini tidak ada lagi istilah talak. Jika ia ingin kembali pada mantan istrinya, maka harus dengan mahar dan akad yang baru. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya” (QS. Al Ahzab: 49).

Kedua: Perceraian dengan jalan khulu’.

Di mana istri menyerahkan harta sebagai kompensasi atas gugatan cerai yang ia lakukan, maka terhitung talak ba-in shugro menurut jumhur (mayoritas ulama). Artinya, jika suami ingin kembali pada istri yang dulu, maka harus dengan ridho istri, lalu dengan akad dan mahar yang baru.

Ketiga: Berbagai bentuk perceraian yaitu dengan jalan iila’, cerai karena ‘aib atau dhohor (bahaya). Masing-masing bentuk perceraian semacam ini akan dibicarakan pada bahasan mendatang.

Intinya, bentuk talak ba-in sughro masih boleh suami menjalin hubungan rumah tangga dengan mantan istrinya, namun tidak lagi dengan rujuk ketika masa ‘iddah. Akan tetapi, harus dengan akad dan mahar yang baru. Ada talak ba-in bentuk lain yang dikenal dengan talak ba-in kubro, di mana mantan suami bisa kembali ke mantan istri, namun harus diselangi pernikahan mantan istri dengan pria lain. Pernikahan tersebut tidak dibuat-buat dan juga harus terjadi jima’ antara mantan istri dan suami kedua. Jika sudah terjadi perceraian, baru ia halal kembali bagi suami pertama. Demikian Penjelasan Kami Mengenai : Pengertian Talak Bain

Referensi : Pengertian Talak Bain












Perbedaan Antara Bain Sugro Dan Kubro Serta Hukum Keluarnya Roj’iyyah Pada Waktu Iddah

Ilustrasi : Perbedaan Antara Bain Sugro Dan Kubro Serta Hukum Keluarnya Roj’iyyah Pada Waktu Iddah

Pertanyaan : Apakah wanita yang beriddah dari talak bain sugro diperbolehkan menginap di luar rumah keluarganya. Ketika pekerjaannya mengharuskan hal itu seperti untuk menghadiri muktamar di suatu daerah yang masih satu negara. Dia tidak meminta bermalam di luar rumah?

Teks Jawaban

Pertama: Kalau seorang wanita dicerai dengan tiga kali perceraian maka dia termasuk bain kubro, tidak halal lagi bagi suaminya kecuali (istrinya) menikah dengan lelaki lain.

Sementara kalau dia dicerai dengan perceraian pertama atau kedua dan dibiarkan sampai selesai masa iddahnya tanp diruju’ maka ia dalam kondisi bain sugro. Contoh hal itu adalah ketika dia dicerai dengan diganti dikhulu’- maka seorang istri langsung lepas ketika telah berpisah meskipun belum selesai masa iddahnya.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan dalam ‘As-Syarkah Al-Mumti’, (12/468), “Bain artinya adalah berpisah. Dan talak bain itu ada dua macam:

Bain kubro yaitu tiga kali perceraian.

Bain sugro yaitu perceraian dengan pengganti (‘iwad).

Kalau seorang suami telah menceraikan istrinya dahulu dua kali perceraian kemudian dicerai yang ketiga, kita katakan, “Ini talak bain kubro. Maksudnya, dia tidak dihalalkan lagi kecuali (istrinya) menikah lagi (dengan lelaki lain).

Kalau seorang istri diceraikan dengan pengganti, maka dia termasuk bain sugro. Terus apa arti bain itu sendiri?artinya suami tidak dihalalkan untuk merujuknya lagi kalau dia ingin merujuknya… dan seterusnya.

Beliau juga mengatakan di As-Syarkhu Al-mumti’, (12/130), “Bain sugro adalah seorang suami mengkhulu’ istrinya. Dinamakan sugro karena seorang suami yang mengkhulu’ istrinya diperbolehkan untuk menikahi lagi dalam masa iddah atau setelah iddah. Sementara kalau bain kubro yaitu bain dari percerairan ketiga kali. Dari sini maka hukum iddah ada tiga macam.

Pertama: Roj’iyyah yaitu wanita dalam masa iddah yang memungkinkan untuk dirujuk kembali tanpa adanya akad lagi.

Kedua: bain sugro, yaitu seorang suami diperbolehkan menikahinya lagi tanpa diperbolehkan ruju’. Maksudnya suami tidak memilik hak untuk ruju’ tapi dia memiliki untuk melakukan akad lagi kepada mantan istrinya. Maka setiap wanita dalam masa iddah tidak dihalalkan kecuali dengan adanya akad, maka ini namanya bain sugro.

Ketiga: bain kubro, yaitu wanita yang ditalak terakhir dengan tiga kali perceraian. Maka suami tidak dihalalkan kecuali sang istri menikah lagi (dengan lelaki lain) dengan syarat yang telah dikenal. Selesai

Kedua:

Kalau seorang wanita yang telah selesai masa iddahnya dari talak roj’i. maka sudah tidak ada kuasa lagi bagi suami atasnya. Maka dia (istri) diperbolehkan keluar dan menginap yang dia sukai. Kalau masih dalam masa iddah. Maka wanita yang masih dalam iddah raj’I, dia diperbolehkan keluar dari rumahnya, hal itu tidak dilarang sebagaimana orang yang ditinggal wafat suaminya. Akan tetapi jangan keluar dari rumahnya kecuali seizin dari suaminya karena dia masih dalam perlindungannya. Dia juga masih mendapatkan nafkah, tempat tinggal, bermalam dan hak-hak istri lainnya. Sebagaimana yang diberikan kepada istri-istrinya.

Begitu juga dahulu Abdullah bin Umar radhiallanhu’anhuma mengatakan, “Kalau seorang suami menceraikan istrinya satu atau dua kali perceraian, maka (Istrinya) tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali seizinnya. HR. Ibnu Abi Syaibah di kitab ‘Mushonnafnya, (4/142).

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang terkuat bahwa wanita yang diceraikan kalau masih talak raj’iyyah, maka dia seperti istrinya sebelum diceraikan. Maksudnya dia diperbolehkan keluar ke tetangganya atau kerabatnya. Atau ke Masjid untuk mendengarkan ceramah dan semisal itu. Tapi tidak seperti yang ditinggal mati suaminya.

Sementara firman Allah :

لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ  

“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar.” QS. At-Talaq: 1

Maksudnya adalah keluar dengan berpisah maksudnya jangan berpisah dari rumah kemudian keluar dan tinggal di rumah lainnya.” Selesai dari ‘Fatawa Nurun ‘Alad Darbi.

Silahkan melihat jawaban soal no. (136998 ).

Ketiga:

Sementara untuk menghadiri muktamar di daerah lain tapi masih satu negara.. kalau maksudnya bahwa wanita ini melakukan bepergian dari tempat tinggalnya, maka dia tidak dihalalkan hal itu kecuali kalau ditemani dengan salah seorang mahramnya.

Diriwayatkan oleh Bukhori, (3006) dan Muslim (1341) dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma sesungguhnya beliau mendengar Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا، وَخَرَجَتِ امْرَأَتِي حَاجَّةً، قَال: اذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ، وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فقام رجل

“Jangan sekali-kali seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita. Dan seorang wanita jangan bepergian kecuali bersamanya ada mahram. Ada seorang laki-laki berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah saya diwajibkan dalam peperangan ini dan itu. Sementara istriku keluar akan menunaikan haji. Maka beliau bersabda: “Pergilah dan tunaikan haji bersama istrimu.

Referensi : Perbedaan Antara Bain Sugro Dan Kubro Serta Hukum Keluarnya Roj’iyyah Pada Waktu Iddah






Mengatasi Trauma Pasca Perceraian dengan Hipnoterapi

Ilustrasi : Mengatasi Trauma Pasca Perceraian dengan Hipnoterapi

Perceraian menjadi hal yang paling tidak diinginkan para pasangan. Namun terkadang, ada permasalahan yang terpaksa membuat perceraian menjadi solusi terbaik.  Masa-masa untuk melewati perceraian memang cukup sulit. Tak sedikit bahkan yang menggunakan jasa konseling untuk membantu memulihkan trauma pascacerai. Dalam hal ini, teknik hipnosis menjadi salah satu terapi untuk memulihkan kondisi psikologis.

Ns. Imelda Yanti selaku terapis hipnoterapi dan Instruktur dari Indonesia Board of Hypnoteraphy (IBH) menjelaskan, untuk mengatasi terapi pasca perceraian, pasien akan dibawa ke dalam kondisi rileks untuk menceritakan kembali apa yang di rasakan, bagaimana perasaannya terkait dengan perceraian yang dia alami.

"Jika kita belajar ilmu jiwa kan itu pasti ada fase-fase berduka ya. Yaitu masa denial (menyangkal), angry  (marah), bargaining (negosiasi). Nah pada saat hipnoterapi itu kita bawa pasien melalui tahapan-tahapan itu sampai ke tahap acceptance (menerima). Sampai tahap dia menerima kondisi perceraiannya tersebut."

Biasanya digunakan metode forgivement therapy, yaitu memaafkan mantan pasangannya itu, memaafkan diri sendiri, memaafkan situasi yang harus dialaminya, yaitu perceraian itu sendiri.

"Jadi hipnoterapi dalam terapi pasca perceraian ini bukan untuk melupakan tapi membuat perasaan pasien menjadi netral terhadap kejadian itu. Karena kan tidak bijak ya kalau menghapus ingatan. Tetap ingat akan perceraiannya tersebut, tetapi perasaannya biasa-biasa saja," ujar Imelda.

Jika sudah bisa mengatasi perasaannya terhadap perceraian, artinya pasien sudah bisa berdamai dengan keadaan sehingga terapis pun bisa memberikan sugesti motivasi kepada pasien mengenai cara memberdayakan diri pascacerai.

Namun, jika ternyata teknik hipnoterapi belum berhasil membuat pasien bersikap netral terhadap perceraiannya, sebaiknya tidak memaksakan. Hal ini karena, teknik hipnoterapi sendiri merupakan self hypnosis, dimana pasien sendiri lah yang memberikan sugesti kepada dirinya sendiri. Terapis hanya bertugas untuk memandu proses hipnoterapi tersebut.

Itu semua kembali kepada diri pasien masing-masing apakah ia mau berusaha menerima situasi tersebut dengan ikhlas atau masih ada hal-hal yang mengganjal dalam proses perceraiannya tersebut.

Biasanya saat seperti ini, terapis memberikan nasehat kepada para pasien, misalnya dari sisi spiritualnya, agar pasien mau memaafkan situasi yang dialaminya tersebut. Terapis biasanya akan memberikan kesadaran bahwa dengan memaafkan bisa terlepas dari beban masa lalu.

"Jadi memaafkan bukan untuk mengizinkan kejadian seperti ini terulang kembali, memaafkan bukan berarti membenarkan apa yang dilakukan orang itu. Memaafkan lebih kepada melepaskan diri kita dari efek negatif kejadian itu. Biasanya dengan kesadaran seperti itu pasien baru mau memaafkan," tukas Imelda.

Referensi : Mengatasi Trauma Pasca Perceraian dengan Hipnoterapi












Dampak Perceraian pada Anak secara Psikologis dan Menurut Islam

Dampak Perceraian pada Anak secara Psikologis dan Menurut Islam. Perceraian memang melibatkan korelasi antara suami dan istri. namun, ternyata ada lho akibat perceraian di anak asal sisi psikologi dan Islam. Sebetulnya perceraian artinya hal yg paling dihindari sang pasangan yang sudah menikahdan dilarang oleh kepercayaan Islam. Namun, tidak selamanya harapan menjadi kenyataan. Terkadang, pada tengah perjalanan sebagai sebuah famili, badai tiba serta mengakibatkan perceraian.

umumnya, keputusan ini diambil waktu sudah tidak terdapat lagi jalan keluar yang bisa merampungkan pertarungan ke 2. Tidak hanya orangtua yang tersakiti, perceraian pula menyisakan trauma pada anak yg mungkin akan terus dibawanya sampai dewasa. Apa saja dampak perceraian terhadap anak dalam psikologis serta kepercayaan Islam? mari simak penjelasannya pada bawah ini.

dampak Perceraian di Psikologis Anak

ketika terjadi perceraian, anak-anak pasti akan mengalami imbas psikologis. akan tetapi, stres yg dirasakan anak broken home, tergantung pada usia, serta temperamen.

imbas psikologis perceraian di anak kerap menjadi kekhawatiran orang tua, bahkan sebelum merogoh keputusan buat berpisah. Hal ini sebab tidak menutup kemungkinan ada beberapa akibat perceraian terhadap psikologis yg dialami sang anak, antara lain:

Prestasi Akademik Menurun

Sebuah penelitian ilmiah Lowa State University menunjukkan bahwa, usia anak waktu menghadapi masa perceraian orang tua ternyata menyampaikan imbas tidak sinkron di pencapaian akademisnya lho, Moms.

Diketahui bahwa anak yang masih berusia pada bawah 18 tahun waktu orang tua bercerai memiliki kemungkinan meraih gelar sarjana 35% lebih rendah, Jika dibandingkan dengan anak yg telah berusia di atas 18 tahun ketika melalui masa perceraian.

Selain sebab berkurangnya ketika berkualitas dan bimbingan berasal salah satu orang tua, perubahan syarat finansial keluarga sesudah perceraian juga sebagai faktor lain yang tak jarang menjadi hambatan anak dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Kehilangan harapan buat Berinteraksi Sosial

akibat perceraian pula bisa memengaruhi hubungan sosial anak dengan lingkungan sekitarnya.

akibat perceraian atau kiprah orangtua yang hilang, sebagian anak akan melepaskan rasa kegelisahan mereka menggunakan bertindak proaktif.

Tindakan proaktif yg bisa anak lakukan ialah sikap bullying (perundungan). Bila orangtua membiarkannya, hal ini bisa memengaruhi korelasi anak menggunakan sahabat sebayanya.

tiga. Anak akan Merasa Bersalah

akibat perceraian selanjutnya artinya anak akan selalu merasa bersalah selama hidupnya.

Pikiran anak-anak memang kerap kali belum matang, sehingga ketika orang tua memutuskan buat bercerai mereka akan merasa bahwa hal ini terjadi karenanya.

Mereka akan merasa sangat bersalah, apalagi Jika anak masih berusia pada bawah 12 tahun. Mereka tergolong sangat rapuh pada menghadapi hal ini.

Anak akan merasa Bila dunia mereka menjadi berantakan sehabis ke 2 orang tua bercerai.

simpel Terpengaruh Hal Negatif

dampak perceraian juga menyebabkan anak yg bergerak remaja praktis terpengaruh oleh hal-hal buruk yang ditemuinya pada pergaulan. mirip merokok, minum alkohol, serta narkoba.

Hal ini disebabkan anak merasa tidak lagi diperhatikan oleh orang tuanya yang sibuk menggunakan problem tempat tinggal tangga.

Terlebih, Jika perceraian melalui proses yg tidak mudah sebagai akibatnya masing-masing orangtua membutuhkan ketika buat memulihkan dirinya sendiri sehingga mereka mengabaikan anak-anaknya.

menjadi Lebih Posesif

dampak perceraian terhadap anak akan membawa mereka lebih posesif dalam lingkungan pertemanan atau percintaan.

Hal ini karena anak broken home secara emosional lebih haus kasih sayang sebab tidak mereka dapatkan berasal keluarganya. Selain itu, anak broken home pula cenderung memiliki rasa cemburu yg hiperbola di orang di sekitarnya.

Sulit Percaya menggunakan Orang Lain

Melansir International E-journal of Advances in Social Sciences memberikan bawah, anak broken home akan sulit percaya dengan orang lain serta akan selalu merasa bahwa dia sedang dibohongi.

Perasaan sulit memberikan agama pada orang lain ini bisa menyebabkan anak mudah frustrasi dan sering berkecil hati ketika berafiliasi dengan orang lain.

dampak Perceraian pada Anak menurut Islam

dalam agama Islam, pernikahan adalah ikatan suci tak hanya di manusia tetapi jua menggunakan Allah SWT. karenanya pernikahan diklaim sebagai bagian dari ibadah pada Allah SWT.

namun, tidak seluruh mahligai rumah tangga berjalan sesuai rencana. poly pernikahan yg berakhir menggunakan perceraian karena aneka macam alasan.

Padahal, Allah SWT sangat membenci perceraian 2 orang muslim, seperti yg diriwayatkan sang Abdullah ibn Umar. Dikutip asal Azislam, Rasulullah SAW mengatakan,

“asal seluruh tindakan yg sah, yang paling dibenci oleh Allah artinya perceraian.”

Allah SWT membenci perceraian karena banyak alasan. Bukan hanya merugikan bagi suami dan istri yang bercerai, melainkan bagi anak-anak yang mengalaminya.

Orang yang paling menderita sebab perceraian merupakan anak-anak. Perceraian orang tua dapat memengaruhi mereka hingga dewasa, serta bukan tidak mungkin anak memiliki rasa trauma.

berikut adalah dampak negatif perceraian di anak berdasarkan Islam.

menghasilkan Anak Stres

Tanpa disadari anak akan merasa bahwa dia merupakan penyebab orang tuanya bercerai serta mereka juga merasakan tanggung jawab buat membuat orang tuanya pulang lagi. Selain itu, akan akan merasa orang tuanya tak lagi menyayanginya.

Perasaan inilah yang akhirnya menghasilkan anak sebagai stres, yang akhirnya menunjuk di pikiran negatif.

Mengalami Kesedihan Akut

Jika anak sudah cukup dewasa untuk tahu apa arti perceraian, mereka akan merasakan kesedihan yg akut, sesudah mengetahui bahwa orang tua mereka tidak lagi bersama.

Perasaan ini bahkan bisa berujung pada depresi dini, dan mengakibatkan kesedihan pada ketika yg lama .

Perubahan Suasana Hati yg Parah

Anak yg mengalami perceraian tidak lagi mencicipi kehangatan dan kebahagiaan. karena itu, perubahan suasana hati cenderung dialami sang anak.

Mereka jua menarik diri berasal lingkungannya serta memilih buat tidak berbicara dengan siapapun. Meskipun terdapat jua anak yg menjadi overacting buat mencari perhatian orang disekitarnya.

Kehilangan fokus pada Beraktivitas

karena anak lebih bergantung pada orang tuanya, perceraian membentuk mereka praktis kehilangan fokus buat melakukan kegiatan apapun. Anak akan praktis cemas, tegang, gugup, serta merasa sulit buat berkonsentrasi pada hampir seluruh hal, terutama dalam belajar.

menyebabkan persoalan perilaku

Anak mungkin akan sebagai eksklusif yg emosional, antisosial, simpel kehilangan kesabaran, dan mempunyai sikap menyerang. Ini jua menjadi dampak perceraian orang tua.

Depresi

Depresi tidak mengenal usia. Bahkan anak-anak kecil bisa mencicipi depresi waktu mereka merasa sangat sedih atas perceraian orang tuanya. Risiko depresi ini lebih tinggi di anak yg menyaksikan perceraian dan mengerti apa artinya.

dari banyak penelitian, perceraian orang tua adalah ialah satu faktor penyebab seseorang memiliki gangguan bipolar.

Selain itu, pada balita serta anak-anak prasekolah antara usia 18 bulan dan 6 tahun membagikan rasa depresi dengan kembali ke perilaku mirip melekat, mengompol, mengisap jempol, dan amarah.

asal penjelasan pada atas, telah kentara bahwa poly akibat perceraian bagi anak. Jangan abaikan anak mencicipi dampak yang lebih jelek lagi berasal syarat tersebut. 

Referensi : Dampak Perceraian pada Anak secara Psikologis dan Menurut Islam










Agar Anak Tidak Trauma Perceraian Orang Tua

Ilustrasi : Agar Anak Tidak Trauma Perceraian Orang Tua

Agar Anak Tidak Trauma Perceraian Orang Tua. Perceraian bisa jadi salah satu hal yang paling mempengaruhi perkembangan anak. Apa pun reaksi anak terhadap perceraian orang tuanya, perkembangan emosional merupakan aspek yang paling terganggu. Selain itu, perkembangan konsep diri anak dapat saja terganggu karena menyaksikan orang tua yang kerap bertengkar. Meski konsep diri berkembang di masa remaja, bibit dari konsep diri tumbuh pada masa balita. Ditambah buruknya hubungan orang tua setelah perceraian, dapat saja di kemudian hari membuat performance anak di sekolah buruk atau mengembangkan sikap negatif terhadap perkawinan. Namun, situasi demikian kasuistik sifatnya. Anak-anak dari keluarga bercerai tampaknya menanggung beban tertentu. Mereka dituntut lebih bertoleransi karena banyaknya perubahan. Mereka pun jadi lebih cepat matang. Bagaimana anak yang terbiasa dibelikan mainan harus mengerti dan menerima bila mendapat jawaban seperti, "Kamu harus mengerti. Mama kan tidak punya uang seperti dulu lagi."

Sisi baiknya, beban berat membuat anak lebih cepat mandiri dan bertanggung jawab. Meski sisi emosionalnya, mungkin saja, dalam hati si anak berteriak merasa tidak rela dengan apa yang dialami.

Namun tak semua anak mesti sengsara karena perceraian ayah-ibunya. Ada juga anak dari keluarga bercerai tapi dapat bahagia dan tidak lagi menyimpan kemarahan pada orang tua. Ini mungkin terjadi jika orang tua cepat menyadari apa yang diperbuat dan tidak mengubah perlakuan mereka terhadap anak-anaknya. Kesalahan mungkin dilakukan ayah dan ibu, tapi anak-anak tetap patut mendapat kehidupan yang layak.

Yang penting, anak tetap berkesempatan bertemu ayah dan ibunya. Selain itu, menghilangkan dendam diantara orang tua amat perlu dilakukan. Apalagi, tanpa disadari, orang tua tak jarang menjelek-jelekkan pasangannya di depan anak. Atau, mengatakan anak memiliki kualitas negatif yang sama dengan ayah atau ibunya. Jauh lebih baik Anda memfokuskan diri pada perkembangan anak

Referensi : Agar Anak Tidak Trauma Perceraian Orang Tua