This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Kamis, 04 Agustus 2022

Berperang Melawan Was-Was Setan

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu menuturkan, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَأْتِي الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ كَذَا مَنْ خَلَقَ كَذَا حَتَّى يَقُولَ مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ فَإِذَا بَلَغَهُ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ وَلْيَنْتَهِ

“Setan mendatangi salah seorang dari kalian, lalu bertanya, ‘Siapakah yang menciptakan ini? Siapakah yang menciptakan itu?’ Hingga dia bertanya, ‘Siapakah yang menciptakan Rabb-mu?’ Oleh karena itu, jika telah sampai kepadanya hal tersebut, maka hendaklah dia berlindung kepada Allah dan hendaklah dia menghentikan (was-was tersebut)”.

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini muttafaqun ‘alaihi (Al-Bukhari dalam Shahih-nya di kitab “Bad’ul-Khalqi”, bab “Shifatu Iblisa wa Junudihi”, hadits no. 3276 [6/387 – Fathul-Bari]; dan Muslim dalam Shahih-nya di kitab “Al Iman”, bab “Bayan al Waswasati fil-Iman wa ma Yaquluhu man Wajadaha”, hadits no. 134 [2/132 – Syarhu Shahih Muslim]).

BIOGRAFI PERIWAYAT HADITS

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , beliau bernama Abdur-Rahman bin Shakhr Ad-Dausi, inilah pendapat yang masyhur. Pada masa Jahiliyyah, beliau bernama Abdu Syams, dan ada pula yang berpendapat lain. Panggilan kunyahnya Abu Hurairah, dan inilah yang masyhur. Kunyah lainnya yaitu Abu Hir, karena beliau Radhiyallahu anhu memiliki seekor kucing kecil yang selalu diajaknya bermain-main pada siang hari. Dalam Shahih Al-Bukhari, disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanggilnya “Wahai Abu Hir”.

Ahli hadits telah bersepakat, Abu Hurairah merupakan sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Abu Muhammad Ibnu Hazm mengatakan di dalam Musnad Baqiy bin Makhlad, terdapat 5.300-an hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.

Selain meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Radhiyallahu anhu juga meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, al-Fadhl bin al-Abbas, Ubaiy bin Ka’ab, Usamah bin Zaid, ‘Aisyah, Bushrah al-Ghifari, dan Ka’ab al-Ahbar Radhiyallahu anhum..

Ada sekitar 800 ahli ilmu dari kalangan sahabat maupun tabi’in yang meriwayatkan hadits dari beliau Radhiyallahu anhu, dan beliau adalah orang yang paling hafal dalam meriwayatkan beribu-ribu hadits. Namun, bukan berarti beliau yang paling utama di antara para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam asy-Syafi’i berkata,”Abu Hurairah adalah orang yang paling hafal dalam meriwayatkan hadits pada zamannya (masa sahabat).”

Beliau Radhiyallahu anhu masuk Islam antara setelah perjanjian Hudaibiyyah dan sebelum perang Khaibar. Datang ke Madinah sebagai muhajir dan tinggal di Shuffah.Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan ibu Abu Hurairah untuk masuk Islam.

Amr bin Ali al-Fallas mengatakan, Abu Hurairah Radhiyallahu anhu datang ke Madinah pada tahun terjadinya perang Khaibar pada bulan Muharram tahun ke-7 H.

Humaid al-Himyari berkata,”Aku menemani seorang sahabat yang pernah menemani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama empat tahun sebagaimana halnya Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.”

Menurut pendapat yang lebih kuat, beliau Radhiyallahu anhu wafat pada tahun 57 H.

Makna hadist

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan, setan dapat mendatangi seseorang untuk menghembuskan was-was (gangguan) dan syubhat (keraguan) ke dalam hatinya ; di antaranya dengan membisikkan kalimat-kalimat yang dapat menimbulkan keragu-raguan secara halus, hingga menggiringnya kepada kalimat kufur.

Contohnya, seperti disebutkan dalam hadits diatas. Yaitu berupa pertanyaan-pertanyaan yang semula merupakan pertanyaan biasa, lalu setan berusaha menggiring pada pertanyaan yang membuat keraguan, yaitu “siapa yang menciptakan Rabb-mu?”

Bila was-was setan ini telah merasuk ke dalam hati dan benak pikiran seseorang, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar orang tersebut segera meminta perlindungan kepada Allah dan mengakhiri (was-was setan tersebut) dari benak pikirannya. Walahu a’lam.

Setan Musuh Yang Nyata Bagi Bani Adam

Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengusir Iblis dari surga karena keengganannya menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk bersujud kepada Adam alaihis sallam, ia meminta tangguh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala seraya menyatakan tekadnya untuk menggoda dan menjerumuskan Adam alaihis sallam dan anak cucunya ke dalam lembah kehinaan, menyimpangkan mereka dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lurus.

Untuk pertama kalinya Iblis berhasil membujuk Adam Alaihis sallam dan isterinya melanggar larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala , sehingga keduanya dihukum oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan diturunkan ke bumi, meskipun kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat Adam Alaihis sallam dan isterinya, dan mengampuni keduanya.

Tidak berhenti sampai di situ, Iblis kemudian mengajak bala tentaranya dari kalangan setan untuk terus memerangi anak cucu Adam, menggelincirkannya dari jalan Allah yang lurus, dan menjatuhkannya ke dalam kesesatan yang menghinakan. Maka Iblis dan bala tentaranya menjadi musuh yang paling nyata dan paling sengit bagi manusia. Oleh karena itu berhati-hatilah dari tipu daya dan langkah-langkah setan yang menyesatkan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan hal itu dalam firman-Nya:

وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya syithan itu musuh yang nyata bagimu. (Al-Baqarah/2:168. Al An’âm/6:142).

Setan Menghembuskan Was-was Dan Syubhat

Sejak awal permusuhan, setan telah mempersiapkan jurus-jurus dan langkah-langkah muslihat untuk menggelincirkan dan melumpuhkan manusia agar tidak taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antaranya dengan meluncurkan was-was dan syubhat (keraguan) dalam diri manusia.

Perhatikan perkataan setan (Iblis). Dengan muslihatnya, ia berlagak sebagai penasihat, dan bahkan dengan mengangkat sumpah kepada Adam Alaihis sallam dan isterinya –sebelum diturunkan ke bumi- setelah sebelumnya Allah memperingatkan keduanya untuk tidak mendekati pohon terlarang.

فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مِنْ سَوْءَاتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلاَّ أَنْ تَكُوناَ مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُوناَ مِنَ الْخَالِدِينَ. وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ. فَدَلاَّهُمَا بِغُرُورٍ …

Maka setan membisikkan pikiran jahat (was-was) kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata, “Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga)”. Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya,”Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua,’ maka setan membujuk keduanya dengan tipu daya. … [Al-A’râf/7:20-22]

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menceritakan hal serupa.

فَوَسْوَسَ لَهُ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لاَ يَبْلَى

Kemudian setan membisikkan pikiran jahat (was-was) kepadanya, dengan berkata,”Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi (kekekalan) dan kerajaan yang tidak akan binasa?” [Thâhâ/20:120].

Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang ketergelinciran Adam Alaihis sallam dan isterinya oleh was-was dan tipu daya setan, yang membuat Adam Alaihis sallam lupa dengan peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Ketergelinciran ini untuk menjadi pelajaran bagi anak cucunya.

Bentuk-bentuk Was was Setan

Banyak cara yang dilancarkan setan dalam menghembuskan was-was (pikiran jahatnya) kepada bani Adam. Di antaranya dapat dicontohkan sebagai berikut.

1. Setan menghiasi kemaksiatan.

Setan menghiasi kemaksiatan dengan hiasan-hiasan indah, sehingga kemaksiatan tersebut tidak nampak lagi sebagai kemaksiatan di mata manusia. Seperti perkataannya kepada Adam Alaihis sallam dan isterinya dalam dua ayat di atas, ternyata merupakan tipuan berhias nasihat. Begitu pula ketika menghiasi perbuatan kaum musyrikin pada perang Badar. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan:

وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بَطَراً وَرِئَـاءَ النَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ، وَاللهُ بِمَا يَعْمَلوُنَ مُحِيطٌ. وَإِذْ زَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ وَقَالَ لاَ غَالِبَ لَكُمُ الْيَوْمَ مِنَ النَّاسِ وَإِنِّي جَارٌّ لَّكُمْ، فَلَمَّا تَرَاءَتِ الْفِئَتَانِ نَكَصَ عَلَى عَقِبَيْهِ وَقَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِّنْكْم إِنِّي أَرَى مَا لاَ تَرَونَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ، وَاللهُ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud ria kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan. Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan,”Tidak ada seorang manusiapun yang dapat menang terhadap kamu pada hari ini dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu,” maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling melihat (berhadapan), setan itu balik ke belakang seraya berkata,”Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu; sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya takut kepada Allah”. Dan Allah sangat keras siksa-Nya. [Al-Anfâl/8:47-48].

Begitulah hiasan setan yang berisikan janji-janji palsu dan angan-angan kosong.

يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِم وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلاَّ غُرُوراً

Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. [An-Nisâ’/4: 120]

2. Setan menakut-nakuti manusia.

Tatkala ada sebagian manusia tidak mempan dengan hiasan-hiasan setan, maka setan menggunakan cara lain, yaitu menakut-nakuti mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلاَ تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُم مُؤْمِنِينَ

Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman. [Ali Imran/3:175].[6]

MENANGKAL WAS-WAS SETAN

Keberadaan setan sebagai musuh yang nyata bagi manusia merupakan salah satu ujian terberat buat manusia; karena setan dapat melihat keberadaan manusia, sedangkan manusia tidak dapat melihat setan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا مِن سَوْءَاتِهِمَا، إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِن حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُم، إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ.

Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. [Al-A’râf/7:27].

Namun begitu, Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmatNya memberikan petunjuk kepada para hamba-Nya melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu kiat-kiat untuk menangkal dan mengusir setiap serangan yang dilancarkan setan. Di antaranya sebagai berikut :

1. Ikhlas

Hamba-hamba yang ikhlas akan dijaga dan diselamatkan dari gangguan setan, sebagaimana menurut pengakuan setan sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan dalam firman-Nya:

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ ﴿٣٩﴾ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

Iblis berkata, “Ya Rabb-ku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.” [Al-Hijr/15:39-40].

Dalam ayat yang lain:

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ ﴿٨٢﴾ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

Iblis menjawab, “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.” [Shâd/38:82-83].

Dan dengan jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana dalam firman-Nya:

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ

Sesungguhnya hamba-hamba-Ku (yang mukhlis) tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat. [Al-Hijr/15:42].[7]

2. Iman

Dalam sebagian riwayat hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang kita bahas di atas, ada disebutkan dengan lafazh berikut.

((إِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْتِي أَحَدَكُمْ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ السَّمَاءَ فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ الْأَرْضَ فَيَقُولُ اللَّهُ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ اللَّهَ فَإِذَا أَحَسَّ أَحَدُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ هَذَا فَلْيَقُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ وَبِرُسُلِهِ)).

Sesungguhnya setan mendatangi salah seorang dari kalian, lalu bertanya (kepadanya),”Siapa yang menciptakan langit?” Ia menjawab,”Alah Azza wa Jalla ,” lalu setan bertanya lagi,”Siapa yang menciptakan bumi?” Ia menjawab,”Allah,” hingga setan bertanya,”Siapa yang menciptakan Allah? Maka apabila salah seorang dari kalian merasakan suatu (was-was) seperti ini, hendaklah dia mengucapkan,”Aku beriman kepada Allah dan para rasul-Nya“.[8]

Dan dalam riwayat Aisyah Radhiyallahu anhuma dengan lafazh:

((… فَلْيَقْرَأْ آمَنْتُ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ فَإِنَّ ذَلِكَ يُذْهِبُ عَنْهُ)).

… maka bacalah “Aku beriman kepada Allah dan para rasul-Nya,” karena hal itu akan menghilangkannya (was-was tersebut).[9]

3. Berlindung Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hal ini sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu di atas:

((… فَإِذَا بَلَغَهُ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ وَلْيَنْتَهِ))

… jika telah sampai kepadanya hal tersebut, maka hendaklah dia berlindung kepada Allah dan hendaklah dia menghentikan/memutuskan (was-was tersebut).

Dan hal ini sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al-A’râf/7:200].

Sedangkan dalam riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan lafazh:

((فَإِذَا قَالُوا ذَلِكَ، فَقُولُوا: اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ، ثُمَّ لِيَتْفُلْ عَنْ يَسَارِهِ ثَلَاثًا وَلْيَسْتَعِذْ مِنْ الشَّيْطَانِ)).

Jika mereka mengucapkan hal itu (kalimat-kalimat was-was), maka ucapkanlah “Allah itu Maha Esa, Allah itu tempat bergantung, Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan,” kemudian meludahlah ke kiri (3x) dan berlindunglah kepada Allah.[10]

4. Dzikrullah

Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (menyadari) kesalahan-kesalahannya. [Al-A’râf/7:201].

Referensi : Berperang Melawan Was-Was Setan









Dunia Itu Manis dan Indah

Dunia Itu Manis dan Indah. اَلدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، مَنِ اكْتَسَبَ فِيْهَا مَالاً مِنْ حِلِّهِ وَأَنْفَقَهُ فِيْ حَقِّهِ، أَثَابَهُ اللهُ عَلَيْهِ، وَأَوْرَدَهُ جَنَّتَهُ، وَمَنِ اكْتَسَبَ فِيْهَا مَالاً مِنْ غَيْرِ حِلِّهِ، وَأَنْفَقَهُ فِيْ غَيْرِ حَقِّهِ، أَحَلَّهُ اللهُ دَارَ اْلهَوَانِ، وَرُبَّ مُتَخَوِّضٍ فِيْ مَالِ اللهِ وَرَسُوْلِهُ لَهُ النَّارُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ. – رواه البيهقى عن ابن عمر

Dunia itu manis lagi hijau; barangsiapa yang memperoleh harta dari usaha halal­nya, lalu ia membelanjakannya sesuai dengan hak-haknya, niscaya Allah akan memberinya pahala dari nafkahnya itu, dan niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam surga-Nya. Dan barangsiapa memperoleh harta dari usaha yang haram, lalu ia membelajakannya bukan pada hak-haknya, niscaya Allah akan menjerumus­kannya ke dalam tempat yang menghinakan (neraka). Dan banyak orang yang menangani harta Allah dan Rasul-Nya kelak di hari kiamat mendapat siksa ne­raka (HR. Baihaqi melalu ibnu Umar r.a.).

Merupakan kekeliruan yang sangat besar bila ada umat Islam beranggapan bahwa harta benda (materi) bukanlah hal penting sehingga kita tidak perlu bersungguh-sungguh mendapatkannya.

Padahal, banyak ayat dalam Al-Qur’an dan hadits yang menekankan pentingnya bekerja keras untuk mendapatkan karunia Allah, dalam konteks ini harta benda, bagi setiap muslim. Salah satu ayat yang menegaskan pentingnya mencari dan memperoleh karunia tersebut adalah:

– فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرً۬ا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ -١٠

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS.Al-Jumu’ah : 10).

Berdasarkan ayat ini, perintah mencari karunia Allah termasuk harta benda, ternyataberiringan setelah menjalankan perintah shalat. Hal ini semakin mempertegas betapa pentingnya mencari karunia Allah tersebut bagi kehidupan kita sebagai muslim. Bahkan seorang mukmin yang dibunuh/terbunuh karena mempertahankan harta bendanya, kematiannya tergolong syahid. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru r.a. katanya; Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda; “Barangsiapa yang dibunuh karena mempertahankan hartanya maka matinya adalah syahid (HR. Bukhari).

Mencari Harta Halal itu Wajib

Allah berfirman:

….يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَـٰتِ مَا ڪَسَبۡتُمۡ

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik….” (QS. Al-Baqarah : 267)

Perintah untuk menafkahkan harta di jalan Allah hanya dapat dilakukan apabila kita memiliki harta. Tanpa harta, bagaimana mungkin kita mampu menjalankan perintah-Nya itu. Semakin banyak harta yang dimiliki, semakin maksimal potensi bagi kita untuk bisa membelanjakan harta tersebut di jalan Islam seperti yang diperintahkan-Nya. Rasulullah Saw juga bersabda;

“Dunia itu manis lagi hijau; barang siapa yang memperoleh harta dari usaha halalnya, lalu ia membelanjakannya sesuai dengan hak-haknya, niscaya Allah akan memberinya pahala dari nafkahnya itu, dan niscaya Dia akan memasukannya ke dalam surga-Nya. Dan barang siapa memperoleh harta dari usaha yang haram, lalu ia membelanjakannya bukan pada hak-haknya, niscaya Allah akan menjerumuskannya ke dalam tempat yang menghinakan. Dan banyak orang yang menangani harta Allah dan Rasul-Nya kelak di Hari Kiamat mendapat siksa neraka.” (Riwayat Baihaqi melalui Ibnu Umar. r.a).

Selain menekankan agar memperoleh harta dan membelanjakannya di jalan Allah, hadits ini menegaskan pula keharusan mendapatkan harta melalui ikhtiar yang baik dan halal. Jadi, memperoleh harta yang halal itulah yang wajib dilakukan kemudian membelanjakan di jalan-Nya. Sedangkan mencari dan mendapatkan harta melalui cara-cara yang haram seperti korupsi, kolusi, serta sisi-sisi lain yang mengeksploitasi nafsu destruktif, bukan hanya dilarang Allah melainkan juga diancam dengan azab yang pedih di neraka kelak. Bahkan kejayaannya hidup di dunia yang ditempuh melalui penumpukan harta secara dzalim, sesungguhnya berlangsung sesaat. Kehidupan mereka tidak tenang karena ada pihak-pihak yang dirugikan lalu menunjukkan sikap permusuhan terhadapnya. Mereka yang didzalimi mendoakan keburukan bagi para pelaku kejahatan itu. Bahkan, dengan kehendak Allah, akhirnya mereka harus menerima hukuman di dunia, sedangkan di akhirat pun pasti Allah juga akan membalasnya dengan hukuman yang lebih berat.

Belanjakan Harta Sesuai Perintah Allah dan Rasul-Nya

Dalam kehidupan sehari-hari, beragam kebutuhan kita dan seluruh anggota keluarga memangtidak terlepas dari kebutuhan materi (harta). Mulai dari kebutuhan tempat tinggal yang terjaga kelayakannya untuk dihuni, kebutuhan pakaian dan makanan yang memenuhi standar gizi, terpenuhinya pelayanan kesehatan/pengobatan ketika sakit, pendidikan yang baik sebagai bekal kehidupananak-anak di masa depan, hingga kebutuhan tersier seperti kendaraan dan yang lain. Asalkan hartanya diperoleh secara halal lalu digunakan untuk meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan keluarga yang lebih baik demi meraih keridhaan Allah, maka semuanya bernilai ibadah. Mengenai hal ini, mari kita cermati sebuah hadits berikut:

“Harta yang dinafkahkan oleh seorang laki-laki untuk keperluan rumah tangganya, istrinya, anak-anaknya, dan pembantunya, maka hal tersebut merupakan sedekah baginya.” (Riwayat Thabrani melalui Abi Umamah)

Keutamaan Memiliki Harta dan Membelanjakannya di Jalan Allah

Memiliki harta yang cukup, langsung atau tidak langsung, akan membuat ibadah menjadi lebih optimalbahkan memungkinkan untuk dilakukan. Makan makanan halal dan baik yang diperoleh dengan membelinya secara halal (menggunakan uang atau harta), misalnya, dapat menyehatkan/menguatkan tubuh sehingga ritual ibadah seperti shalat dan puasa, baik sunnah maupun wajib, bisa lebih khusyuk. Begitu pula ibadah shalat dan puasa akan lebih berkualitas dan berkuantitas, jikabadansudah kembali sehat dari sakit setelah memperoleh pelayanan kesehatan/pengobatan. Guna mendapat pelayanan/pengobatan terbaik dari dokter/rumah sakit tentunya juga ada biaya (harta) yang dikeluarkan.

Untuk memenuhi rukun Islam lainnya seperti zakat, keberadaan harta kembali menjadi syarat utama. Bahkan untuk menunaikan rukun Islam kelima yaitu ibadah haji, kita pun harus memiliki harta (ongkos) yang jumlahnya tidak sedikit.

Dengan memiliki harta berlebih, kita bisa menunjukkan kepedulian yang lebih besar terhadap sesama dan kepentingan umat Islam daripada sebatasmemenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga sendiri, atau sekadar berdoa/mendoakan saudara seiman yang mengalami kelaparan atau musibah. Selain berzakat, dengan harta, kita pun bisa berinfaq, sedekah, atau mewakafkan sesuatu yang bermanfaat sehingga kita mampu membuktikan kepedulian secara lebih ril terhadap kebutuhan anak-anak yatim, anak-anak telantar, fakir miskin, maupun terhadap kegiatan keislaman dan keumatan seperti pembangunan masjid, sekolah gratis untuk anak-anak muslim yang miskin, rumah sakit gratis bagi kalangan tak mampu, pembinaan dan pemberian keterampilan bagi remaja dan kaum muda muslim yang menganggur, sekaligus menyediakan pekerjaan yang baik untuk mereka. Semua itu hanya bisa diwujudkan melalu kemampuan pemanfaatan sumberdaya materi, yaitu harta yang kita miliki.

Apabila setiap pembelanjaan harta di jalan kebaikan tersebut didasari niat mengharap keridhaan Allah, maka sesungguhnya orang-orang yang melakukannya berada di jalan termulia dari kehidupan ini, yaitu berjihad di jalan Allah. Mereka juga disebut-sebut oleh Rasulullah Saw sebagai manusia yang paling utama.

Pernah Rasulullah Saw ditanya tentang manusia yang paling utama, beliau menjawab, “Orang mukmin yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta bendanya….” (HR. Bukhari melalui Abu Said)

Dengan berorientasi pada tujuan-tujuan mulia yang dilandasi niat karena Allah, maka semakin banyak harta yang dimiliki akan semakin baiklah diri setiap muslim. Rasulullah Saw bersabda; “Sebaik–baik manusiadi antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” (HR. Thabrani)

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٲلَهُمۡ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنۢبُلَةٍ۬ مِّاْئَةُ حَبَّةٍ۬‌ۗ وَٱللَّهُ يُضَـٰعِفُ لِمَن يَشَآءُ‌ۗ وَٱللَّهُ وَٲسِعٌ عَلِيمٌ -٢٦١

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ialah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 261)

Keutamaan lain dari membelanjakan harta di jalan Allah seperti zakat, misalnya, sebenarnya untuk memelihara harta kita dari potensi adanya harta haram karena dari banyaknya harta yang diperoleh itu terdapat hak-hak orang miskin dan kepentingan umat. Kemudian, dengan membelanjakan harta di jalan Allah seperti bersedekah, ternyata merupakan obat/penawar dari sakit (sarana penyembuhan) sekaligus pencegah dari bencana/bala. Rasulullah Saw bersabda;

“Peliharalah harta kalian dengan (membayar) zakat; obatilah orang-orang sakit dengan banyak sedekah, dan bersiap-siaplah kalian dengan cara berdoa untuk menghadapi cobaan.” (Riwayat Al-Khatib melalui Ibnu Mas’ud r.a)

Membelanjakan harta sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya memang tidak harus menunggu setelah kita memiliki harta yang banyak. Tetapi dengan banyak harta, kita akan lebih banyak dan sering menjalankan perintah-perintah tersebut, tanpa harus merasa khawatir bahwa harta kita akan habis atau menunggu setelah usia semakin senja dan tubuh mulai sakit-sakitan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. katanya; Seorang lelaki datang menemui Rasulullah dan bertanya apakah sedekah yang paling utama itu. Rasulullah Saw bersabda, “Engkau bersedekah ketika engkau masih sehat dan harta tersebut masih disayangi. Engkau bimbang menjadi fakir dan bercita-cita untuk menjadi kaya. Jangan engkau tangguhkan (bersedekah) hingga ruh sampai di kalkum (menjelang kematian). Dalam keadaan tersebut barulah engkau berkata, ‘Berikanlah kepada si fulan ini dan si fulan itu, karena memang itu adalah hak mereka.’” (HR. Bukhari).

Di samping terkandung berbagai keutamaan mengenai pentingnya memiliki harta dan membelanjakannya di jalan Allah, memiliki cukup harta dan mengeluarkannya sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya juga merupakan upaya untuk menjaga kehormatan diri dan keluarga. Rasulullah Saw bersabda; “Lindungilah kehormatan kalian dengan harta benda kalian.” (Riwayat Al-Khatib)

Kalaulah Islam menekankan umatnyaagarberusaha memperoleh cukup harta melalui cara-cara yang baik lalu memanfaatkannya di jalan Islam, karena memang fungsi harta dalam Islam sangat penting sebagaimana diuraikan di atas. Bahkan, seperti telah dikemukakan pula, untuk menjalankan rukun Islam secara sempurna harus disertai dengan cukupnya harta benda yang kita miliki.

Cobaan Kemiskinan Tidak Lebih Baik dari Cobaan Kekayaan

Ingat, meskipun kekayaan dan kemiskinan sesungguhnya merupakan cobaan, tetapi cobaan hidup dalam kemiskinantidak lebih baik daripada cobaan dalam kekayaan. Sebab Rasulullah Saw sendiri bersabda;

“Kemiskinan hampir-hampir mendekatkan orang kepada pengingkaran terhadap Islam (kekufuran).”Beliau berdoa,“Aku berlindung kepada-Mu dan kefakiran dan kekufuran”. (HR. Abu Daud).

Cobaan kemiskinan, tidak hanya berpotensi mendekatkan seseorang menjadi kafir, bahkan terbukti banyak umat Islam yang kemudian benar-benar menjadi kafir (murtad). Selain itu, kemiskinan juga menimbulkan dampak sosial yang merugikan banyak orang seperti pencurian, perampokan, penipuan, bahkan hingga pembunuhan.

Mari kita berdoa, sebagaimana doa yang diajarkan Rasululaah Saw;“Aku berlindung kepada-Mu (ya Allah) dan kefakiran dan kekufuran”. (HR. Abu Daud).

Referensi ; Dunia Itu Manis dan Indah











Penjelasan mengenai Ayat tentang Riba dalam Al Qur'an

Penjelasan mengenai Ayat tentang Riba dalam Al Qur'an. Riba dalam Islam hukumnya haram. Ada beberapa ayat dalam Alquran yang menerangkan tentang riba. 1. QS Ar-Rum: 39:

Allah berfirman:

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا

آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ

Artinya: "Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)". (QS Al-Rum: 39).

2. QS An-Nisa Ayat 160-161:

فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَن سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًاوَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

Artinya: "Maka disebabkan kedhaliman orang Yahudi, maka kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka. Dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Dan Kami telah menjadikan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih." (QS an-Nisa: 160-161)

3.QS Ali Imron Ayat 130:

Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir." (Qs. Ali Imron [3]: 130).

4. Al Baqarah Ayat 278-280:

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَاإِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَفَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَوَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba, jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak meninggalkan, maka umumkanlah perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika kalian bertaubat, maka bagi kalian adalah pokok harta kalian. Tidak berbuat dhalim lagi terdhalimi. Dan jika terdapat orang yang kesulitan, maka tundalah sampai datang kemudahan. Dan bila kalian bersedekah, maka itu baik bagi kalian, bila kalian mengetahui." (QS Al-Baqarah: 278-280).

Referensi ; Penjelasan mengenai Ayat tentang Riba dalam Al Qur'an









Mengenal Bahaya Riba Pelaku & Keluarga

Mengenal Bahaya Riba Pelaku & Keluarga. Riba (ربا يربو) secara bahasa artinya bertambah/tambahan, bisa juga diartikan mengembang atau lebih banyak. Menurut syariat, pengertian riba lebih luas, yaitu penambahan atau penundaan (meskipun tidak ada penambahan). Hukum riba adalah haram, berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah serta ijma’ umat Islam. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

ء يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ  تَفْعَلُوا   فَأْذَنُوا   بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ   وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا  تُظْلَمُونَ(279) فَإِنْ لَمْ 279

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang benar benar beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (Q.S. Al Baqarah: 278-279).

Dosanya adalah mendapat ancaman peperangan dari Allah dan Rasul-Nya. Hanya ini (riba, pen) yang mendapat ancaman dari dua itu (Allah dan Rasul-Nya). Hal lain yang mendapat ancaman peperangan dari Allah, yaitu seperti yang tercantum di Hadits Arba’in: “Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya…”

Riba itu aniaya/zalim (dzolim) secara realitasnya, meskipun yang terzalimi merasa  terbantu dan merasa terbantu ini dalah subjektif. Bagaimanapun juga, mengambil tambahan (dalam perutangan, red) itu adalah zalim, meskipun sukarela. Riba memang sukarela, kalau tidak sukarela, maka itu perampokan/perampasan.

Sungguh suatu kemurahan dan kasih sayang dari Allah, jika bertaubat dari riba, boleh mengambil pokok tanpa peranakannya/bunganya. Kita tidak diwajibkan memutihkan utang tersebut. Kita tidak perlu membuang semua dari perutangan yang mengandung riba, masih diperbolehkan mengambil harta yang pokok/asli.

Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ(275)(الاؤسش275

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275).

(يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ(276

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Q.S. Al-Baqarah: 276).

Memakan riba maksudnya adalah mengambil dan menerima riba, tidak hanya terbatas pada menggunakannya untuk makan, tetapi juga untuk membeli pakaian dan lainnya. Ulama mengatakan bahwa pemakan riba nanti ketika bangkit dari kubur, jalannya sempoyongan.

Allah berkata berkebalikan dengan pikiran manusia. Allah memusnahkan/menghancurkan keuntungan riba, padahal dianggap baik oleh manusia. Pikiran manusia, jika meribakan uangnya, maka akan mendapat tambahan, akan tetapi Allah mengatakan akan menghancurkannya. Pikiran manusia, jika menyedekahkan hartanya maka akan membuat berkurang, akan tetapi Allah mengatakan akan menyuburkan sedekah.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ قَالَ « الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ » .

Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan!”. Para shahabat bertanya, “Apa saja tujuh dosa itu wahai rasulullah?”Jawaban Nabi, “Menyekutukan Allah, sihir, menghabisi nyawa yang Allah haramkan tanpa alasan yang dibenarkan, memakan riba, memakan harta anak yatim, meninggalkan medan perang setelah perang berkecamuk dan menuduh berzina wanita baik baik(yang menjaga dirinya)” [Muttafaq ‘alaih].

Menjauhi itu lebih dari sekadar meninggalkan, yakni juga meninggalkan setiap sarana yang mengantarkan ke hal itu.

Memakan riba larangannya adalah mutlak. Memakan harta anak yatim terlarang jika zalim. Misalkan orang tuanya miskin, maka hal ini boleh terutama bagi ibu, jika suaminya meninggal, lalu pembagian warisnya tidak tepat (ibu mendapat warisan berlebih, red), ibu itu berarti (berpotensi) memakan harta anak yatim. Hal ini juga menunjukkan pentingnya pembagian waris dengan tepat.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Dari Jabir, Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, nasabah riba, juru tulis dan dua saksi transaksi riba. Nabi bersabda, “Mereka itu sama[1]” [H.R. Muslim].

Laknat artinya adalah dijauhkan dari kasih sayang Allah subhanahu wata’ala (tidak Allah sayangi). Kaidah dalam masalah ini yaitu setiap perbuatan yang ditakut-takuti/diancam dengan laknat adalah dosa besar.

عن عبد الله : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : الربا ثلاثة و سبعون بابا أيسرها مثل أن ينكح الرجل أمه

Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi bersabda, “Riba itu memiliki 73 pintu. Dosa riba yang paling ringan itu semisal dosa menzinai/menyetubuhi ibu sendiri” [H.R. Hakim].

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْظَلَةَ غَسِيلِ الْمَلاَئِكَةِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « دِرْهَمُ رِباً يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً

Dari Abdullah bin Hanzholah[2], Rasulullah bersabda, “Satu dirham uang riba yang dinikmati seseorang dalam keadaan tahu bahwa itu riba dosanya lebih jelek dari pada berzina 36 kali” [HR Ahmad].

عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنْ الرِّبَا إِلَّا كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ

Dari Ibnu Mas’ud, Nabi bersabda, “Tidaklah seorang itu memperbanyak harta dari riba kecuali kondisi akhirnya adalah kekurangan/kemiskinan” [H.R. Ibnu Majah].

Macam-macam Riba

Pada dasarnya, riba terbagi menjadi dua macam: riba karena penundaan dan riba karena selisih/kelebihan.

Riba karena penundaan=nasi’ah (النّسيئه) dapat diartikan dengan tambahan yang disyaratkan yang diambil/diterima dari orang yang diutangi sebagai kompensasi dari penundaan pelunasan (termasuk di dalamnya riba jahiliyah). Riba ini bisa terjadi karena penundaan saja atau penundaan sekaligus dengan tambahan.

Riba jahiliyah adalah salah satu model riba, yaitu ketika jatuh tempo, tidak bisa melunasi, lalu jatuh tempo ini diundur, dengan syarat ada penambahan pembayaran. Namun, jika dapat dilunasi pada saat jatuh tempo yang pertama, maka tidak ada penambahan. Ini model rentenir jahiliyah.

Riba modern lebih kejam daripada riba jahiliyahnya orang jahiliyah. Riba modern, dari jatuh tempo pertama sudah diwajibkan membayar tambahan. Kalau riba jahiliyah, jatuh tempo pertama gratis dari uang administrasi dan semacamnya. Riba modern, belum terima uang sudah harus bayar. Misal, pinjam lima juta rupiah, dapatnya empat juta lima ratus ribu. Baru menerima, sudah langsung terkena ribanya, dianggapnya utang lima juta rupiah.

Riba jenis ini haram berdasarkan Quran, Sunnah, dan ijma’ umat Islam.

Riba karena selisih=riba fadhl ((الفضل), ini terdapat dalam dunia perdagangan, tepatnya pada barter, akan tetapi tidak semua barter, hanya barter pada barang-barang tertentu saja (komoditas ribawi). Yakni barter uang dengan uang atau bahan makanan dengan bahan makanan, dengan ada penambahan.

Riba ini haram berdasarkan hadits dan ijma’. Pada awalnya ada ikhtilaf, yakni Ibnu Abbas membolehkannya, tetapi akhirnya beliau rujuk dan meralat pendapatnya, dan hasilnya ulama sepakat bahwa ini tidak boleh, riba ini dinilai menjadi sarana menuju riba nasi’ah.

Tidak terjadi riba dalam dunia barter kecuali dengan enam benda ribawi. Dalam hadits hanya ada enam benda ribawi. Ada perselisihan apakah riba hanya pada enam benda tersebut atau bisa dilebarkan ke benda yang lainnya. Pendapat yang lebih kuat adalah enam benda tersebut bisa dilebarkan kepada benda yang sejenis dan semisal.

Enam jenis benda ribawi tersebut adalah emas, perak, gandum bur, gandum sa’ir, kurma, dan garam. Hal ini sebagaimana hadits:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah bersabda, “Jika emas dibarter dengan emas, perak dibarter dengan perak, gandum burr dibarter dengan gandum burr, gandum sya’ir dibarter dengan gandum sya’ir, kurma dibarter dengan kurma, garam dibarter dengan garam maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya sesuka hati kalian asalkan tunai.” [H.R. Muslim].

Maka emas jika dibarter dengan emas, tidak boleh melihat karat, tidak boleh melihat kualitas, yang dilihat hanya takaran/timbangan, dan menurut pendapat yang paling kuat, tidak juga melihat bentuk, entah berbentuk batangan ataupun perhiasan. Kalau ingin dibarter, menurut aturan syariat, harus rela seperti itu. Lima gram emas dibarter dengan lima gram emas, meskipun kualitas berbeda. Jika tidak rela, mungkin karena harganya berbeda, maka jangan dibarter. Silakan jual emas tersebut, lalu uang yang didapat gunakan untuk membeli seperti apa yang diinginkan.

Demikian juga perak dengan perak. Namun jika emas dengan perak, maka boleh berbeda takaran/timbangannya, tetapi keduanya tetap harus diserahkan pada saat itu juga. Maka jika terdapat barter, bendanya sejenis, maka ada dua yang dilarang, yaitu haram adanya selisih dan haram adanya penundaan. Maka tidak boleh tidak, harus ada kesamaan dalam timbangan dan waktu penyerahan dengan menutup mata terhadap kualitas. Meskipun beda karat itu dianggap beda dalam pandangan manusia, akan tetapi hal itu tidak dianggap dalam pandangan syariat.

عَنْ أَبِى سَعِيد الخُدري – رضى الله عنه – أنَّ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيعُوا الوَرِقَ بِالوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas, kecuali beratnya sama (semisal dengan semisal). Jangan melebihkan berat yang satu melebihi berat lainnya. Janganlah kalian menjual perak dengan perak, kecuali beratnya sama. Jangan melebihkan berat yang satu melebihi berat lainnya. Dan janganlah menukar emas-perak yang satu tunai sementara yang satu terutang/tertunda.” [HR. Bukhari].

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ الْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ

Dari ‘Umar radhiyallaahu ‘anhumaa, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Emas ditukar dengan emas adalah riba kecuali dengan kontan, gandum bur ditukar dengan gandum bur adalah riba kecuali secara kontan, gandum sya’iir/jewawut ditukar dengan gandum sya’iir adalah riba kecuali secara kontan, dan kurma ditukar dengan krma adalah riba kecuali secara kontan” [Muttafaq ‘alaih].

Dari Abu Sa’id, ia berkata, “Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kami pernah diberi kurma jama’ (yaitu) kurma campuran (antara yang bagus dengan yang jelek), maka kami menjualnya dua sha’ dengan satu sha’. Berita tersebut sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda:

لاَ صَاعَيْ تَمْرٍ بِصَاعٍ وَلاَ صَاعَيْ حِنْطَةٍ بِصَاعٍ وَلاَ دِرْهَمَ بِدِرْهَمَيْنِ.

“Janganlah menjual dua sha’ kurma dengan satu sha’ dan jangan pula menjual dua sha’ gandum dengan satu sha’ dan jangan pula satu dirham dengan dua dirham.” [Muttafaq ‘alaih]

Namun jika jenis dari enam benda ribawi ini dibarter dengan yang tidak sejenis, misalnya emas dengan perak, gandum bur dengan gandum sya’iir, maka boleh ada selisih takaran/timbangan dengan syarat semuanya harus diserahkan dalam majelis/kontan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hadits ‘Ubadah yang telah lewat: “Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya sesuka hati kalian asalkan tunai.”

Hal ini juga karena sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Ubadah yang terdapat dalam riwayat Abu Dawud dan yang lainnya:

وَلاَ بَأْسَ بِبَيْعِ الذَّهَبِ بِالْفِضَّةِ، وَالْفِضَّةُ أَكْثَرُهُمَا, يَدًا بِيَدٍ, أَمَّا نَسِيْئَةُ فَلاَ, وَلاَ بَأْسَ بِبَيْعِ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ، وَالشَّعِيْرُ أَكْثَرُهُمَا يَدًا بِيَدٍ، وَأَمَّا نَسِيْئَةُ فَلاَ.

“Tidak mengapa menjual emas dengan perak dengan jumlah perak lebih banyak (apabila) langsung serah terima/kontan, adapun dengan cara nasi’ah (ditangguhkan serah terimanya), maka tidak boleh. Dan tidak mengapa menjual gandum bur dengan sya’ir dengan jumlah sya’ir lebih banyak (apabila) langsung serah terima, adapun dengan cara nasi’ah maka tidak boleh.” [H.R. Abu Dawud]

Dari enam benda ribawi tadi dapat dikelompokkan menjadi dua. Kelompok pertama terdiri dari emas dan perak. Kelompok kedua terdiri dari bahan makanan. Beda kelompok dalam istilah fiqih dikenal dengan beda illat.

Kelompok 1:

Emas

Perak

Kelompok 2:

Gandum bur

Gandum sya’ir

Kurma

Garam

Jika barter beda kelompok, maka dua aturan tadi tidak berlaku. Timbangannya boleh berbeda dan tidak harus semuanya saat itu juga, boleh salah satu diserahkan belakangan.namun tidak boleh dua-duanya tidak ada, dan ini adalah aturan jual beli secara umum, baik benda ribawi maupun bukan benda ribawi. Jika keduanya diserahkan tertunda maka jual belinya batal/tidak sah, dengan sepakat para ulama. Hal ini disebut bai’ dain bid dain (jual beli tertunda dengan tertunda), jual beli ini haram dan transaksi tidak sah.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ.

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan (yakni gandum) dari seorang Yahudi dengan (pembayaran) tempo, dan beliau menggadaikan baju perangnya kepadanya.” [H.R. Bukhari]

Maka, benda ribawi yang ada dalilnya hanya enam. Menurut pendapat yang kuat, enam benda ini bisa kita lebarkan kepada yang lain. Untuk kelompok pertama kita lebarkan kepada mata uang dan masing-masing mata uang itu jenis sendiri, rupiah sendiri, dolar sendiri.  Untuk kelompok yang kedua, kita lebarkan kepada semua yang dimakan dan cara transaksinya ditakar atau ditimbang. Maka ponsel, motor, dan sebagainya itu bukan benda ribawi.

Aturan mainnya ada tiga kaidah:

Jika satu jenis, maka harus tutup mata dari kualitas, harus sama takaran dan timbangannya, dan harus saling menyerahkan saat transaksi dilakukan (tunai). Contoh: beras menthik wangi dengan raja lele, rupiah dengan rupiah.

Lain jenis tapi satu kelompok, maka berbeda takaran tidak mengapa, tetapi semuanya harus diserahkan saat transaksi berlangsung. Contoh: rupiah dengan real, rupiah dengan emas, beras dengan jagung.

Beda jenis dan antar kelompok, maka tidak harus sama takaran, dan boleh kredit atau salah satunya tertunda. Contoh: rupiah dengan beras.

Tidak diperbolehkan membarter kurma basah (ruthob) dengan kurma kering (tamr), kecuali untuk suatu transaksi yang bernama ‘aroya (العرايا). ‘Aroya adalah orang-orang miskin yang tidak punya pohon kurma. Maka boleh saja mereka membeli kurma dari pemilik kebun kurma dalam kondisi basah dengan cara mereka menukarnya dengan kurma kering dengan taksiran. Pada asalnya, kurma adalah benda ribawi, barternya harus dengan takaran sama dan penyerahannya tunai, namun pada masalah ini ada pengecualian.

Kurma basah biasanya dijadikan sebagai makanan pencuci mulut, sedangkan kurma kering dijadikan sebagai makanan pokok. Orang miskin yang hanya mempunyai kurma kering, tidak punya pohon kurma, tidak punya uang, dan ingin membeli kurma basah maka diperbolehkan membarterkan kurma keringnya dengan kurma basah dengan taksiran. Kurma basah, kalau nanti kering, ditaksir jadi berapa. Misalkan kurma basah lima kilogram jika kering menjadi tiga kilogram, maka boleh membarter kurma basah lima kilogram dengan kurma kering tiga kilogram pada kasus ini.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma :

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الْمُزَابَنَةِ، وَالْمُزَابَنَةُ بَيْعُ الثَّمَرِ بِالتَّمْرِ كَيْلاً وَبَيْعُ الْكَرْمِ بِالزَّبِيبِ كَيْلاً.

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang muzabanah (yaitu) menjual kurma basah dengan tamr (kurma kering) dengan takaran dan menjual anggur basah dengan anggur kering dengan takaran.” [Muttafaq ‘alaih]

Muzabanah adalah barter kurma basah dengan kurma kering, demikian juga barter anggur dengan kismis, dengan memakai takaran. Maka pada dasarnya, barter kurma basah dengan kurma kering adalah dilarang, tetapi ada keringanan untuk kasus ‘aroya.

Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu :

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ لِصَاحِبِ الْعَرِيَّةِ أَنْ يَبِيعَهَا بِخَرْصِهَا مِنْ التَّمْرِ

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan bagi shohibul ariyah untuk membeli kurma basah dengan memperkirakan (takarannya) dengan tamr (kurma kering).” [Muttafaq ‘alaih]

Dari Sa’id bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu :

سُئِلَ عَنْ بَيْعِ الرُّطَبِ بِالتَّمْرِ فَقَالَ أَيَنْقُصُ الرُّطَبُ إِذَا يَبِسَ؟ قَالُوْا: نَعَمْ فَنَهَى عَنْ ذلِكَ أَنَّ النَّبِيَّ.

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang menjual ruthab dengan tamr, maka beliau menjawab, ‘Bukankah ruthab akan menyusut apabila mengering?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Maka beliau melarangnya.” [H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, an-Nasai, at-Tirmidzi]

Transaksi ‘aroya diperbolehkan dengan besaran yang dibatasi. Maksimal lima wasaq.

Tidak diperbolehkan barter benda ribawi dengan benda ribawi namun bersama keduanya  atau salah satunya terdapat jenis atau benda yang lain.

عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ قَالَ اشْتَرَيْتُ يَوْمَ خَيْبَرَ قِلَادَةً بِاثْنَيْ عَشَرَ دِينَارًا فِيهَا ذَهَبٌ وَخَرَزٌ فَفَصَّلْتُهَا فَوَجَدْتُ فِيهَا أَكْثَرَ مِنْ اثْنَيْ عَشَرَ دِينَارًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَا تُبَاعُ حَتَّى تُفَصَّلَ

Dari Fadhaalah bin ‘Ubaid, ia berkata : “Aku pernah membeli sebuah kalung di hari (penaklukan) Khaibar seharga 12 dinar. Pada kalung tersebut terdapat emas dan permata. Lalu aku pisahkan ia (emas dan permata dari kalung), dan ternyata aku dapatkan nilainya lebih dari 12 dinar. Kemudian aku ceritakan hal itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pun bersabda: “Janganlah kamu menjualnya sehingga kamu memisahkannya (emas dari kalungnya)” (H.R. Muslim).

Ringkasnya, riba itu ada riba dalam utang piutang dan riba dalam perdagangan. Riba dalam utang piutang adalah dengan bentuk riba jahiliyah atau yang lebih jelek dari riba jahiliyah, seperti yang tadi didefiniskan dengan tambahan yang disyaratkan yang diambil/diterima dari orang yang diutangi sebagai kompensasi dari penundaan. Berkaitan dengan definisi “tambahan yang disyaratkan”, artinya jika tidak disyaratkan atau tambahan itu sukarela (inisiatif yang diutangi, red), maka tidak mengapa. Sama saja antara disyaratkan secara lisan maupun secara kebiasaan. Tambahan tersebut diperbolehkan jika diserahkan di hari pelunasan atau setelah hari pelunasan. Tambahan tersebut tidak boleh saat belum lunas. Jika belum lunas, tetapi memberi tambahan, maka itu riba. Ada riba investasi, tanam saham, penyertaan modal. Investasi itu menjadi riba manakala orangnya mempersyaratkan uang diinvestasikan harus aman. Kata “harus aman” menjadikan itu bukan investasi, melainkan mengutangi. Mengutangi itu harus aman. Riba dalam perdagangan, menggunakan kaidah-kaidah seprti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Referensi : 













Allah SWT Mengharamkan Riba

Syaikh Abu Bakar Jabir al Jaza'iri di dalam Kitab Minhajul Muslim menjelaskan pengertian riba. Menurut mantan pengajar tetap di Masjid Nabawi, Madinah itu, Riba adalah penambahan sejumlah harta yang bersifat khusus. Secara bahasa Riba artinya, penambahan. Sementara Sayyid Quthb dalam buku 'Tafsir Ayat-ayat Riba: Mengupas Persoalan Riba Sampai ke Akar-akarnya' mengatakan tradisi Arab klasik memberi pengertian riba secara spesifik yaitu penambahan utang akibat jatuh tempo. Pengertian riba secara umum adalah penambahan nilai barang tertentu dan penambahan jumlah pembayaran pada utang.

Di dalam Islam pelarangan riba dilakukan secara bertahap, sama seperti ketika pemberlakukan haram atas khamr. Sebab di zaman jahiliah, praktik riba sudah dilakukan secara terang-terangan. Apabila ketika itu dilarang secara langsung tentu akan menimbulkan penolakan secara frontal. Dan seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya riba benar-benar dilarang secara tegas.

Jabir bin Abdullah Ra berkata:

"Rasulullah SAW melaknat pemakan riba dan yang memberi makan riba, juga saksi dan penulisnya. Semua sama saja." (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud dan At Tirmidzi).

Macam-macam riba secara umum ada tiga jenis yaitu riba fadhl, riba nasi'ah dan riba al-yadh. Ini penjelasannya:

1. Riba fadhl

Riba fadhl adalah tambahan yang ada pada pertukaran barang riba dengan barang riba sejenisnya. Misalnya: Menjual satu kuintal gandum dengan satu seperempat kuintal gandum.

2. Riba nasi'ah

Riba nasi'ah merupakan penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang riba yang dipertukarkan dengan jenis barang riba lainnya.

3. Riba al-yadh

Riba al-yadh ialah riba yang terjadi akibat jual beli barang riba yang disertai dengan penundaan serah terima kedua barang yang ditukar atau ditunda terhadap penerima riba.

Di dalam al-qur'an, riba hukumnya haram. Ahmad Sarwat, Lc., MA dalam buku 'Kiat-kiat Syar'i Hindari Riba' menuliskan pelaku riba akan diperangi Allah SWT di dalam al-qur'an. Bahkan menjadi satu-satunya pelaku dosa yang dimaklumatkan perang di dalam al-qur'an adalah mereka yang menjalankan riba.

Berikut alasan mengapa riba diharamkan dalam Islam:

1. Termasuk tujuh dosa besar

Riba disebut menjadi salah satu dari tujuh dosa besar yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits:

Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Jauhilah dari kalian tujuh hal yang mencelakakan". Para sahabat bertanya,"Apa saja ya Rasulullah?". "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatin, lari dari peperangan dan menuduh zina." (HR. Muttafaq alaihi).

2. Diperangi Allah SWT

Doa harta riba telah diperingatkan dalam al-qur'an. Dalam surat Al-Baqarah ayat 278-279 disebutkan bahwa dosa riba sangat berat. Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا۟ فَأْذَنُوا۟ بِحَرْبٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَٰلِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan, maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya." (Qs. Al-Baqarah: 278-279).

3. Mendapat Laknat dari Rasulullah SAW

Allah SWT telah memberikan perumpamaan kepada orang-orang semacam ini dengan perumpamaan yang mengerikan. Siapa saja yang memakan riba seperti orang yang kerasukan setan yang terkena penyakit gila. Allah SWT berfirman,

ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ

Artinya: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) , maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.". (QS. Al-Baqarah 2 : 275).

Referensi : Allah SWT Mengharamkan Riba










Dampak Makanan dari Uang Haram di dalam Tubuh ( Ustadz Adi Hidayat: Tidak Ada Keberkahan)

Dampak Makanan dari Uang Haram di dalam Tubuh ( Ustadz Adi Hidayat: Tidak Ada Keberkahan). Berkah dalam mencari rezeki didapat dari kehalalan rezeki tersebut. Pekerjaan seperti apa yang kita kerjakan. Tapi bagaimana dengan pekerjaan yang tidak halal atau haram, apa saja dampaknya pada tubuh kita ? Ustadz Adi Hidayat menjelaskan dalam Youtube Adi Hidayat Official bahwa dampak dari uang haram yang masuk ke dalam tubuh akan sangat menyiksa. “Siksaannya gak langsung sakit yang terlihat, tapi perlahan namun pasti semuanya mulai terasa,” jelas Ustadz Adi Hidayat. Mulai dari terlinga yang tersumbat mendengar ayat-ayat Allah, mata yang tertutup dari hal-hal kebaikan.

Sampai dengan masuk ke dalam hati yang menjadi keras bahkan sakit karena tidak pernah tersentuh mendengar kalimat-kalimat Allah. “Itu artinya tidak ada keberkahan yang masuk karena uangnya haram,” lanjutnya. Jika diantara kita terlibat dalam satu pekerjaan yang haram, kata Ustadz Adi segera jauhkan diri dengan keluar dari pekerjaan tersebut. Allah banyak memberikan kesempatan bekerja yang halal tapi kenapa kita malah memilih haram dan keberkahan hilang karenanya. “Lihat mereka yang sudah cukup hartanya, jika mendengar adzan tidak tergerak menuju masjid,” lanjutnya lagi. Padahal Allah sudah berikan dia kendaraan menuju masjid, semua keadaan tubuhnya pun sehat. Itu ciri hilangnya berkah dari rezeki yang haram

Jika diantara kita terlibat dalam satu pekerjaan yang haram, kata Ustadz Adi segera jauhkan diri dengan keluar dari pekerjaan tersebut. Allah banyak memberikan kesempatan bekerja yang halal tapi kenapa kita malah memilih haram dan keberkahan hilang karenanya.

“Lihat mereka yang sudah cukup hartanya, jika mendengar adzan tidak tergerak menuju masjid,” lanjutnya lagi. Padahal Allah sudah berikan dia kendaraan menuju masjid, semua keadaan tubuhnya pun sehat. Itu ciri hilangnya berkah dari rezeki yang haram.

Referensi ; Dampak Makanan dari Uang Haram di dalam Tubuh ( Ustadz Adi Hidayat: Tidak Ada Keberkahan)










Penyebab Orang yang Makan Uang Haram Bebal Kalau Dinasehati Yang Baik (Ustadz Abdul Somad)

Ilustrasi : Orang yang Makan Uang Haram Bebal Kalau Dinasehati (Ustadz Abdul Somad)

Orang yang Makan Uang Haram Bebal Kalau Dinasehati (Ustadz Abdul Somad). Dalam salah satu ceramahnya Ustadz Abdul Somad pernah menjelaskan sebab mengapa orang yang makan uang haram susah dinasehati. Memakan uang haram artinya memasukkan benda haram ke dalam darah yang akan mengalir di dalam tubuh, sehingga berpengaruh kepada jiwa raga.

Lantas, sejauh apa dan bagaimana pengaruh uang haram kepada orang yang memakannya. Penyebab kenapa Orang yang Biasa Makan Uang Haram Susah Dinasehati, Menurut Ustadz Abdul Somad. Ustadz Abdul Somad jelaskan penyebab kenapa orang yang suka makan uang haram susah dinasehati.

Ada tiga tahapan hingga membuat orang seperti itu, yaitu susah diberi petunjuk meski sudah ikut kajian. Orang seperti itu bukan berarti tidak bisa kembali ke jalan yang benar, namun harus benar-benar niat bertobat. Saat ada orang yang suka dan akrab dengan hal yang haram, baik makanan, minuman, pakaian, atau memberikan keluarga nafkah hidup dari uang haram, otaknya bisa gelap. "Nanti kalau dia makan yang haram otaknya gelap. Tak nampaknya jalan mana bengkok mana lurus, mana hak mana batil," kata Ustadz Abdul Somad.

Tahapan otak menjadi gelap terjadi dengan 3 proses.

1. Hati

Pertama hati atau perasaannya akan rusak. Makanan haram yang masuk ke tubuh orang tersebut mempengaruhi hati nuraninya.

2. Telinga

Telinga seseorang yang sudah biasa makan uang haram sulit untuk menerima kebenaran akibat hati yang sudah terkunci. Bahkan saat dinasehati akan susah untuk menangkapnya lalu mengabaikannya

3. Mata Tertutup

Tahap terakhir yaitu mata tertutup. Dia tidak bisa melihat mana yang benar dan mana yang salah karena sudah tidak bisa mendengar kebenaran dan hati yang juga sudah tertutup.

"Hati terkunci, telinga tersumbat, mata tertutup, maka otak tak lagi bisa bekerja. Itulah jangan heran kenapa ceramah tak masuk ke telinganya," jelas Ustadz Abdul Somad.

Referensi : Orang yang Makan Uang Haram Bebal Kalau Dinasehati (Ustadz Abdul Somad).






Ciri-Ciri Rezeki yang Berkah dari Allah SWT yang Harus Dipahami Umat Muslim

Ilustrasi ; Ciri-Ciri Rezeki yang Berkah dari Allah SWT yang Harus Dipahami Umat Muslim

Ciri-Ciri Rezeki yang Berkah dari Allah SWT yang Harus Dipahami Umat Muslim. Dalam pandangan Islam, rezeki yang berkah bukan dilihat dari banyaknya harta yang dimiliki. Sesuatu yang dianggap memberi manfaat atau hal yang dapat diambil manfaatnya, semuanya adalah rezeki.  Sebagaimana dijelaskan oleh Moh. Ali Usman dalam bukunya Rezeki dalam Al-Qur’an. Menurutnya, rezeki ialah sesuatu yang memberi manfaat bagi makhluk hidup, seperti makanan, minuman, pakaian dan lain sebagainya.

Rezeki itu seperti air bah. Turun dari atas langit kepada semua makhluk hidup yang ada di muka bumi. Begitulah cara datangnya rezeki dari Allah SWT. Hal ini telah dijelaskan dalam hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Majah, Rasulullah SAW bersabda:

“Sungguh seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana rezeki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Oleh karena itu, umat Muslim jangan sampai tidak bisa membedakan mana rezeki yang haram dan halal. Sesuatu yang haram tidak akan memberikan manfaat. Lebih baik rezeki sedikit tapi halal dan berkah.

Bagaimana ciri-ciri rezeki yang berkah itu? Untuk mengetahuinya, simak ulasan berikut ini.

Ciri-ciri Rezeki yang Berkah

Rezeki yang berkah merupkan hal yang penting bagi umat Muslim. Adapun ciri-cirinya menurut Anatoli Dzikri Al Indragiri dalam bukunya Cerdas Uang Zaman Sekarang adalah sebagai berikut:

1.Merasa cukup dan bersyukur atas nikmat yang Maha Pemurah

Umat Muslim diwajibkan untuk selalu bersyukur atas nikmat Allah SWT yang telah diberikan, mulai dari nikmat harta hingga hidup. Masih bisa bangun dan bernapas di pagi hari merupakan salah satu bentuk nikmat yang tidak ada bandingannya.

Hal ini telah disebutkan dalam Alquran, salah satunya yaitu pada Surat Al-Baqarah ayat 172, yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu. Dan bersyukurlah kepada Allah jika memang hanya Dia yang kamu sembah.” (QS. Al-Baqarah:172)

2.Hati tenang dan semakin dekat dengan Allah

Dengan hati yang tenang dan selalu menyertakan Allah SWT dalam setiap niat dan ikhtiar melakukan pekerjaannya, InsyaAllah selalu dicukupkan rezeki oleh Allah SWT. 

Selain itu, Allah akan selalu memberi jalan keluar dari setiap persoalan hidup dan memberi rezeki dari jalan yang tak terduga.

Allah SWT berfirman:

"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluanya.” (QS. At-Thalaq:2-3)

Ilustrasi berkahnya rezeki yang diberikan oleh Allah SWT. Foto:Pixabay

3.Kaya dengan bersedekah

Harta tidak akan berkurang jika selalu digunakan untuk bersedekah. Karena dengan bersedekah harta menjadi berkah. Semakin banyak yang disedekahkan, semakin banyak juga yang Allah berikan.

Salah satu ciri dari rezeki yang berkah adalah bertambahnya rezeki, seperti yang telah dijelaskan dalam Alquran pada Surat Saba, yang berbunyi:

“Katakanlah, sesungguhnya Tuhanmu melapangan rezeki dan membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba Nya. Apapun infak yang kalian infakan maka Allah pasti akan menggantikannya, dan Dia adalah sebaik-baiknya pemberi rezeki.” (QS. Saba:39)

Referensi : Ciri-Ciri Rezeki yang Berkah dari Allah SWT yang Harus Dipahami Umat Muslim














Pentingnya Makanan Halal dan Thayyib/Baik

Ilustrasi : Pentingnya Makanan Halal dan Thayyib/Baik

Dalam Islam, Allah Subhanahu wa ta'ala memerintahkan hamba-hambaNya untuk memilih makanan halal dan thayyib (baik dikonsumsi), serta menghindari makanan haram. Selain untuk kebaikan, menghindari makanan haram merupakan bukti keimanan ketakwaan hamba kepada Penciptanya. Allah Swt berfirman;

 وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ 

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepada kalian, dan bertakwalah kepada Allah yang kalian beriman kepada-Nya.” (QS Al Maidah-88)

Makan dan minum yang halal akan memberikan manfaat bagi tubuh manusia. Selain itu, makan dan minum yang halal akan memberikan manfaat, yakni tubuh yang sehat, terhindar dari murka Allah Ta'ala dan mengundang keberkahan. Ciri- ciri Makanan Halal Dikutip dari berbagai sumber, dijelaskan bahwa untuk mengetahui halal haramnya jenis barang (dzat) tersebut dan layak dikonsumsi atau tidaknya, kita bisa mengetahui dengan cara berikut ini: 

  1. Pertama dari penjelasan dalam Al Qur'an dan hadis. 
  2. Kedua, tentang kemanfaatannya bagi pertumbuhan kesehatan manusia. 
  3. Ketiga,makanan dan minuman itu tidak merusak badan, akal maupun pikiran. 
  4. Keempat, tidak kotor, najis dan tidak menjijikkan. 

Syarat makanan dan minuman yang halal tidak hanya ditinjau dari jenis barangnya (dzat) saja, tetapi juga dilihat cara memperolehnya. Agama Islam juga mensyaratkan makanan dan minuman yang halal dilihat dari cara memperolehnya sebagai berikut: 

1. Jika diperoleh tidak dengan cara yang batil atau tidak sah Sebagaimana firman Allah Ta'ala :

 وَلَا تَاۡكُلُوۡٓا اَمۡوَالَـكُمۡ بَيۡنَكُمۡ بِالۡبَاطِلِ وَتُدۡلُوۡا بِهَآ اِلَى الۡحُـکَّامِ لِتَاۡکُلُوۡا فَرِيۡقًا مِّنۡ اَمۡوَالِ النَّاسِ بِالۡاِثۡمِ وَاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ 

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.” ( QS. Al Baqarah : 188). 

Artinya, jika uang yang dihasilkan dari cara yang haram, lalu dibelanjakan untuk makanan, akan membuat makanan itu menjadi haram. 2. Jika makanan diperoleh dengan cara riba juga akan menjatuhkannya ke status haram. Sebagaimana dijelaskan dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 276, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah…”( QS. Al Baqarah : 276). 

Adapun penggolongannya, makanan dan minuman yang dihalalkan dalam Islam adalah sebagai berikut: 

  • Yaitu semua rezeki yang diberikan oleh Allah berupa makanan yang baik dan halal, seperti padi, jagung, sagu, kedelai, sayuran, buah-buahan, dan lain-lain. Selain itu, semua makanan yang berasal dari laut (air). Semua binatang ternak, kecuali babi dan anjing (ayam, itik, kambing sapi, kerbau, unta, dll), adalah halal. 
  • Selain itu, hasil buruan yang ditangkap oleh binatang yang telah dididik untuk berburu juga halal. Semua jenis madu, halal. Yang termasuk makanan halal lainnya adalah semua jenis minuman yang terbuat dari bahan yang halal (Air kopi, air teh, sirup, jus buah, dll).

Selain halal, makanan serta minuman tersebut juga harus thayyib atau baik untuk dikonsumsi. Hanya saja, tentang ke'thayyib'an, makanan dan minuman ini, ada perbedaan pendapat. Dikutip dari kitab 'Ma’ayirul Halal wal Haram', Kiai Ali Mustafa Yaqub menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat terkait kriteria suatu makanan disebut thayyib. Setidaknya ada tiga pendapat ulama terkait kriteria suatu makanan disebut thayyib, yaitu: 

  1. Makanan disebut thayyib atau baik dikonsumsi ketika makanan tersebut tidak membahayakan fisik dan akal. Pendapat ini disampaikan Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsirul Quranil ‘Adzim berikut; “Sesungguhnya Allah membolehkan kepada makhluk-Nya untuk mengkonsumsi apa saja yang terdapat di bumi selama dalam kondisi halal dari Allah dan thayyib, artinya makanan tersebut dinilai baik dan tidak membahayakan fisik dan akal.” 
  2. Makanan disebut thayyib apabila makanan tersebut mengundang selera Pendapat ini disampaikan oleh Imam Syafii dan ulama lainnya. 
  3. Makanan disebut thayyib apabila makanan tersebut halal, tidak najis dan tidak diharamkan. Pendapat ini disampaikan oleh Imam Malik dan Imam Atthabari. Dari tiga pendapat ulama di atas, kriteria makanan disebut thayyib apabila makanan tersebut halal, tidak najis dan tidak diharamkan serta mengundang selera dan tidak membahayakan fisik serta akal. Selain kriteria ini, maka suatu makanan tidak disebut thayyib sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.

Referensi : Pentingnya Makanan Halal dan Thayyib/Baik