Merasa ngeri melihat apa yang dilakukan oleh Ibn Marsad, mereka yang tidak sabar berlompatan terjun ke sungai, dan banyak di antara mereka yang tenggelam. Musanna khawatir akan terjadi kekacauan. Setelah Ibn Marsad dijemput dan dibawa ia mendapat pukulan sebagai hukuman. Kapal yang sudah pecah dihimpun dan dijadikan jembatan penyeberangan. Mereka mulai kembali ke tempat semula dengan menyeberanginya. Di belakang mereka Musanna terus bertempur.
Keberanian Salit bin Qais tidak kurang dari Musanna. Dengan demikian pasukan Muslimin yang masih ada dapat menyeberang ke Marwahah. Musanna tidak beranjak di tempatnya tanpa menghiraukan luka-luka yang dideritanya.
Banyak yang Terbunuh
Musanna tetap waspada adanya kemungkinan pasukan Bahman Jadhuweh, komandan perang tentara Persia, masih akan membuntutinya. Oleh karenanya, cepat-cepat ia dan pasukannya meluncur turun dari Marwahah ke Hirah, kemudian terus menyusur ke selatan menuju Ullais. Pengejarannya ini sudah diperhitungkannya seribu kali.
Tetapi mata Abu Ubaid yang sudah tertutup oleh kedudukan dan oleh besarnya jumlah orang, sehingga ia terdorong ingin menyeberangi sungai itu sampai akhirnya dia sendiri menemui ajalnya dan sekaligus menjerumuskan Muslimin ke dalam malapetaka, rupanya masih akan melindungi Musanna.
Kedua pasukan inilah yang mengejar Musanna dengan anggapan bahwa mereka mampu menghadapinya. Mengenai berita-berita sekitar Persia oleh penduduk Ullais disampaikan kepada Musanna. la dan pasukannya disertai sejumlah besar penduduk Ullais segera bergerak, dan berhasil menawan Javan dan Mardan Syah. Mereka semua akhirnya dibunuh.
Dengan demikian Javan menemui ajalnya sebagai akibat pengkhianatannya kepada Abu Ubaid ketika ditawan di Namariq, ia pun dilindungi setelah meminta perlindungan kepada yang menawannya. Bahwa kemudian Javan berkhianat dan menyalahi janji
dengan memerangi kembali pihak Muslimin, maka hukuman mati ini sungguh adil sekali.
Sikap Umar
Pertama sekali pasukan Muslimin yang terlibat Perang Jembatan memasuki Madinah ialah Abdullah bin Zaid. Khalifah Umar bin Khattab melihatnya ketika ia memasuki Masjid. "Ada apa, Abdullah?" tanya Khalifah Umar kemudian. Abdullah melaporkan semua berita itu kepada Umar, tetapi Umar menerima berita itu dengan sikap tenang, tidak tampak sedih.
Kemudian menyusul datang mereka yang lari dari medan pertempuran itu ke Madinah dengan kepala menekur karena rasa malu atas kekalahan yang mereka alami sampai mereka melarikan diri itu. Yang lain, yang juga lari, mereka turun ke lembah-lembah karena malu akan menemui keluarga, yang akan menganggap mereka pengecut.
Melihat keadaan mereka Umar merasa kasihan. Ia berusaha menghibur dan membela mereka dari kritik dan kemarahan orang, dengan mengatakan: "Setiap Muslim sudah dibebaskan dari sumpahnya kepadaku. Saya adalah pasukan setiap Muslim. Barang siapa menjumpai musuh lalu merasa ngeri maka sayalah pasukannya. Saudara-saudara Muslimin, janganlah kalian bersedih hati! Saya termasuk pasukanmu dan kalian telah bergabung kembali kepada saya. Semoga Allah mengampuni Abu Ubaid! Sekiranya dia bergabung kepada saya niscaya sayalah pasukannya."
Ketika itu Mu'az penghafal Qur'an dari Banu Najjar termasuk yang melarikan diri ke Madinah dari pertempuran di jembatan itu. Dia menangis setiap membaca firman Allah ini: Barang siapa berbalik ke belakang hari itu kecuali untuk suatu muslihat perang atau mundur ke pasukan sendiri ia akan mendapat kemurkaan Allah, dan tempatnya adalah neraka, tempat kembali yang terburuk.
Untuk itu Umar berkata: "Mu'az, janganlah menangis. Saya pasukan Anda, Anda mundur berarti kembali kepada saya."
Sikap Umar terhadap mereka yang lari dan kembali ke Madinah sesudah mengalami kekalahan di jembatan, mengingatkan kita kepada sikap Rasulullah terhadap pasukan Muslimin yang kembali dari ekspedisi Mu'tah setelah perwira-perwira mereka terbunuh. Khalid bin Walid mulai menyusun siasat perangnya dengan anggota pasukan yang masih ada, -kemudian kembali ke Madinah tanpa dapat mengalahkan musuh. Penduduk Madinah berdatangan menaburkan tanah kepada pasukan itu seraya mengatakan: "Hai orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah!"
Tetapi Rasulullah berkata: "Mereka bukan pelarian, tetapi orang-orang yang akan tampil kembali, insya Allah."
Tetapi mundurnya Muslimin di Mu'tah tidak seperti kehancuran Muslimin di jembatan itu, sangat mengerikan dan akibatnya buruk sekali. Juga sikap Umar tidak seperti sikap Rasulullah yang penuh kasih sayang dan lembah lembut. Sungguhpun begitu, Umar cukup belas kasihan kepada yang sudah mengalami malapetaka di jembatan itu, bahkan ia menempatkan diri sebagai pasukan mereka, di pihak mereka dan membela mereka.
Menurut Haekal, dengan memperlihatkan sikap kasih sayang itu, mereka dapat dibuat lebih tenang dan beban aib karena kekalahan itu terasa lebih ringan. Tidak heran, dia sudah menjadi pemimpin mereka, menjadi Amirulmukminin, ia harus bersikap penuh kasih dan lebih menyantuni mereka. Lebih-lebih belas kasihannya kepada kaum yang lemah, kendati terhadap kaum yang kuat ia tetap tegar dan keras, dan memperlihatkan tangan besi terhadap orang-orang yang zalim.
Demikian keadaan Umar dan mereka yang berbalik dari pertempuran Jembatan itu. Tetapi Musanna selama beberapa waktu masih bertahan di Ullais setelah Javan, Mardan Syah dan pasukannya dihancurkan. Sesudah beristirahat dan mengumpulkan pasukannya, pikirannya tercurah mengenai posisinya terhadap Irak dan nasib umat Islam di sana. Sudah tentu ini merupakan hal yang sungguh rumit.
Referensi : Tragedi Perang Jembatan dan Sikap Umar bin Khattab yang Lembut
Seorang Istri Menghadapi Kezaliman Dari Suaminya Dalam Hal Pemberian Nafkah, Tempat Tinggal. Suami Tega Memakan Mahar Yang Diberikannya, Lalu Suami Berkeyakinan Bahwa Tidak Ada Salahnya Dia Memukuli Istrinya Selama Masih Menghindari Bagian Wajah?
Pertanyaan
Pertama:
Ketika terjadi permasalahan dan perselisihan antara saya dan suami saya, suami saya selalu meminta saya agar pulang kembali ke rumah orang tua saya dengan dalih saya telah berbuat pembangkangan dan memberitahukan kepada saya bahwa saya telah kehilangan hak-hak saya yang wajib dipenuhinya sebab pembangkangan saya tadi. Menurut dia, orang tua sayalah yang wajib menanggung dan bertanggungjawab atas kehidupan saya. Bagaimana bisa demikian padahal jangankan di saat-saat kehidupan normal, saat dalam kondisi perceraian pun seorang suami masih berkewajiban memberikan dan menyediakan tempat tinggal dan lain sebagainya dari kewajiban-kewajiban suami bagi istrinya ?
Kedua:
Suami saya baru memberikan nafkah kepada saya setelah pernikahan kami berjalan setahun lebih tiga bulan. Namun begitu selama jangka waktu tersebut dia telah membelanjakan harta yang banyak untuk kepentingan dirinya pribadi, dan ketika terjadi suatu permasalahan – sebagaimana kondisi saat ini – suami saya menghimbau agar saya meminta uang kepada ayah saya.
Ketiga:
Pada saat akad nikah suami saya hanya membayarkan maharnya kepada saya separuhnya saja. Beberapa bulan yang lalu suami saya bertanya kepada saya tentang mahar saya dan saya masih tetap menginginkan sisa dari mahar saya. Pada saat itu saya mengatakan bahwa saya tidak menolak mahar dan tidak juga mengatakan iya maupun tidak, dan saat ini dia mengaku dan menuduhkan bahwa saya telah membatalkan mahar saya. Padahal saya sama sekali tidak menyatakan sebagaimana yang dituduhkan. Bagaimanakah hukumnya menurut syariat?
Keempat:
Suami saya merencanakan melakukan perjalanan ke Barcelona untuk menghadiri rapat yang mestinya tidak begitu mendesak untuk dihadiri, dan tidak ada seorang mahram pun yang menemani saya di negara di mana saya tingal selain mertua lelaki saya yang kondisinya sudah tua dan sangat lemah. Apakah wajib atas suami saya membawa serta saya dalam perjalanan tersebut ataukah tidak. Karena dia berpikiran akan mengirimkan saya kepada ayah saya selama masa kepergiannya?
Kelima:
Suami saya selalu menghina, mencemooh dan mengejek saya dan dia mengatakan Bahwa saya gila dan mengidap gangguan kejiwaan.
Keenam:
Suami memberitahukan kepada saya bahwa dia harus memiliki handphone yang baru, dan dia telah merencanakan untuk membeli handphone merk iphone terbaru, dia berdalih bahwa handphone tersebut akan dipergunakannya untuk bekerja meskipun kenyataannya dia telah memiliki “Notebook” yang setiap harinya dibawa dan dipergunakan untuk bekerja.
Ketujuh:
Suami saya selalu memukul saya terus-menerus, dan dia berprinsip selama tidak memukul bagian wajah maka hal tersebut dibolehkan dan tidak ada masalah.
Teks Jawaban
Alhamdulillah.
Pertama :
Yang dimaksud dengan Nusyuz seorang istri adalah jika dia melakukan kemaksiatan kepada suaminya terhadap sesuatu yang wajib diberikan kepada suaminya dan istri tidak memenuhinya.
Disebutkan dalam kitab Ar Raudl Al Murbi Syarh Zaadul Mustaqni, hal. 356;
وهو ( أي : النشوز ) : معصيتها إياه فيم يجب عليها , مأخوذ من النشز ، وهو ما ارتفع من الأرض , فكأنها ارتفعت وتعالت عما فرض عليها من المعاشرة بالمعروف "
Yang dimaksud Nusyuz adalah: “Kemaksiatan seorang istri terhadap suaminya dalam hal yang wajib dilakukannya untuk suaminya, yang diambil dari kata An Nasyaz, yaitu sesuatu yang tinggi dari permukaan bumi, seakan-akan ia menjadi semena-mena dan menyalahi apa yang diwajibkan kepadanya dari interaksi antara suami-istri secara baik.”
Dari sini bisa diketahui, bahwa nusyuz atau pembangkangan istri adalah keangkuhan seorang istri kepada suaminya dan kemaksiatannya terhadap sesuatu hak yang wajib dipenuhinya untuk suaminya serta keluar dari ketaatan kepadanya dalam hal yang wajib atas istri untuk mentaatinya.
Tidak semua perbedaan pendapat atau keributan lalu sang isteri dianggap nusyuz. Tidak termasuk sebagai pelaku nusyuz kecuali dengan ketentuan yang telah disebutkan yaitu melakukan kemaksiatan dalam hak suami yang wajib ditunaikan. Maka hendaklah memastikan pokok permasalahan sebelum memberikan vonis kepada istri bahwa dia telah melakukan nusyuz.
Karena kebanyakan suami mudah dan cepat memberikan predikat Nusyuz kepada istrinya hanya karena perselisihan yang remeh yang terjadi antara keduanya dan ini merupakan tindakan yang otoriter, lebih khusus lagi sesungguhnya menghukumi istri dengan predikat Nusyuz akan menimbulkan perkara-perkara yang besar, berupa ; hukuman dan pemukulan yang tidak sampai menimbulkan bengkak serta digugurkannya hak-hak istri seperti tidak diberikan nafkah dan lain sebagainya.
Al Qur’anulkarim telah memberikan batasan tentang obat dari Nusyuz sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :
"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar." (QS An Nisaa: 34)
Untuk mendapatkan manfaat yang lebih banyak hendaklah melihat secara detail pendapat para ulama dalam memberikan solusi dari pembangkangan seorang istri ini dalam fatwa no. 22216.
Aas dasar ini, suami yang terburu-buru mengusir istrinya dari rumah tempat tinggalnya, maka perkaranya tidak terlepas dari dua kondisi berikut ini :
Ø Adakalanya istrinya tersebut dizalimi dan tidak terjadi pembangkangan serta prilaku penyelewengan darinya dan saat itu maka suami telah melakukan kezaliman kepadanya ; karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman berkaitan dengan hak istri-istri yang diceraikan :
"Bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (di izinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.: (QS At Thalaaq: 1)
Yang dimaksud oleh Allah Ta'ala dalam ayat ini adalah : di saat mereka sedang menjalani masa iddah. Jika seorang suami dilarang mengusir istri yang diceraikannya dari rumah tempat tinggalnya di saat masa iddahnya, maka apalagi dengan isteri yang saat itu masih dalam ikatan suami-istri yang sah dan istri masih berada dalam perlindungannya.
Ø Adapun jika memang seorang istri telah nyata-nyata melakukan Nusyuz, kemudian suami melakukan tindakan pengusiran dari rumahnya, maka yang demikian tersebut telah melanggar manhaj Al Qur’an al Karim ; karena sesungguhnya maksud al Qur’an al Karim dari langkah-langkah solutif perbuatan nusyuz adalah: Suami mendidik dan meluruskan prilaku istri serta memperbaikinya, Yaitu dengan memberinya nasehat kepadanya. Namun apabila istri enggan menerima nasehatnya, maka suami memisahkannya dari tempat tidur. Jika dia belum sadar juga maka hendaklah suami memukulnya dengan pukulan yang tidak meninggalkan bengkak dan bekas.
Kedua :
Kewajiban suami terhadap istrinya adalah memberikan nafkah dengan cara yang baik, dan dalil dari yang demikian itu adalah firman Allah Ta’ala :
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. QS Al Baqarah : 233.
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dalam khuthbah beliau pada saat haji wada:
وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (رواه مسلم، رقم 1218)
"Dan kewajiban atas kalian terhadap mereka – para istri – nafkah-nafkah mereka serta pakian mereka secara baik." (HR. Muslim, no. 1218)
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kepada Hindun istri Abu Sufyan radhiallahu anha,
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ (رواه البخاري، رقم 5364 ، ومسلم، رقم 3233)
"Ambillah sesuatu yang mencukupi buatmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik." (HR. Bukhari, no. 5364 dan Muslim, no. 3233)
Hal ini telah dijelaskan secara detail dalam fatwa no. 103885.
Kesimpulannya, barangsiapa yang tidak memberikan nafkah yang wajib kepada istrinya pada rentang waktu tertentu, maka sesungguhnya nafkah tersebut masih tetap dalam tanggungannya dan istrinya berhak menuntutnya darinya.
Terdapat dalam kitab Al Mughni, karangan Ibnu Qudamah Rahimahullah, 8/207 :
“Barangsiapa tidak memberikan nafkah yang wajib kepada istrinya pada jangka waktu tertentu, maka yang demikian itu tidak serta-merta gugur dari tanggung jawabnya. Bahkan merupakan hutang yang harus dilunasi, baik meninggalkan hal ini karena uzur maupun bukan karena uzur.”
Dan didalam kitab Syarh Muntahal Iradaat, 3/230 disebutkan:
“Barangsiapa yang meninggalkan istrinya dalam kurun waktu yang tiada batasnya dan pada masa-masa tersebut dia tidak memberikan nafkah kepadanya, maka wajib atas suami memberikan nafkah kepada istri selama kurun waktu yang ia tinggalkan; Sebab ketetapan statusnya sebagai seorang istri tetap menjadi tanggungannya meskipun hakim tidak mewajibkannya. Karena Umar bin Khathab menulis dan mewajibkan kepada bagian yang mengatur urusan pasukan kaum muslimin agar mereka mencatat kaum lelaki yang meninggalkan istri-istri mereka, serta memerintahkan agar mereka memberikan nafkah kepada istrinya atau menceraikan mereka. Maka jika mereka menceraikan istrinya, mereka diperintahkan mengirimkan nafkah kepadanya selama waktu-waktu yang ditinggalkan karena hal itu merupakan hak istri yang wajib dipenuhi, baik dalam kondisi lapang maupun sulit, dan tanggungan tersebut tidak gugur dengan berlalunya zaman, sebagaimana kewajiban yang tetap menjadi tanggungan bagi orang yang menyewa rumah atau apartemen di tempati ataupun tidak maka dia tetap harus membayar sewanya."
Sebagai bahan perhatian bahwa sesungguhnya kewajiban dalam memberikan nafkah adalah menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh istri berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal, pengobatan atau membayarkan harga kebutuhan tersebut kepada istri, dan jika suami telah menyediakan semua kebutuhan tersebut, maka tidak ada lagi kewajiban atasnya untuk memberikan kepada istri berupa uang.
Ketiga :
Mahar merupakan hak paten bagi seorang istri atas suaminya, dan hendaknya ia membayarkan lunas semuanya tanpa ada kekurangan, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan." (QS An Nisa :4)
Akan tetapi jika seorang istri menggugurkan mahar yang wajib atas suami dari keinginan baik darinya dan dari kerelaannya semata, maka suami boleh mengambilnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
"Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." (QS An Nisaa: 4)
Atas dasar inilah, maka yang wajib atas suami anda adalah membayarkan separo lagi dari mahar yang masih menjadi tanggungannya selama anda tidak membatalkannya. Adapun ungkapan anda ketika dia bertanya kepada anda bahwa anda masih menginginkannya : Saya tidak menggugurkannya, hal ini menunjukkan bahwa anda masih mempertahankan mahar tersebut, dan anda tidak menggugurkannya.
Akan tetapi jika telah terjadi kesepakatan bahwa suami akan menunda pembayarannya pada batas waktu tertentu, maka anda tidak berhak memintanya kecuali apabila memang sudah sampai pada waktu yang ditentukan. Karena menuntut hak dipenuhinya sisa dari pembayaran mahar hanya boleh dilakukan pada saat terjadi perceraian atau sebab-sebab yang lain, atau terjadi kematian salah satu dari kedua belah pihak.
Jika suami meninggal terlebih dahulu, sang istri berhak mengambil dari peninggalan suami sebagai ganti dari mahar yang tertunda pembayarannya sebelum dikeluarkan wasiatnya atau dibagikan harta bendanya kepada ahli warisnya, kemudian baru mengambil bagian dari peninggalan suaminya secara utuh, jika memang masih tersisa dalam peninggalannya.
Apabila istri yang meninggal terlebih dahulu sebelum suaminya : maka ahli warisnyalah yang berhak mengambil bagian mereka dari mahar yang belum terbayarkan sebagaimana mereka mewarisi dari harta benda sang istri, dan dibagikan secara merata kepada mereka sesuai dengan pembagian hak waris mereka, dan pembahasan tersebut telah dijelaskan dalam fatwa no. 145955.
Keempat :
Tidak wajib bagi suami anda untuk mengajak serta anda dalam perjalanannya jika memang perjalanan dan kepergiannya tidak memakan waktu yang cukup lama, selama anda tinggal ditempat yang aman yang bisa menjamin keamanan diri dan harta benda anda. Adapun tidak adanya mahram yang bersama anda di mana anda tinggal bukanlah suatu syarat, sebab keberadaan seorang mahram itu disyaratkan hanya ketika sedang menempuh perjalanan, dan bukan pada saat sedang mukim di rumah.
Syaikh Bin Baaz Rahimahullah berkata, “Dan berdiamnya seorang wanita di suatu negara (di rumahnya) tanpa disertai mahramnya, tidak ada mudharat dan tidak ada yang patut dimasalahkan, apalagi apabila tidak ada bahaya yang mengancamnya.” (Fatawa Islamiyyah, 3/82)
Kelima:
Apa yang dilakukan oleh suami anda dengan mengolok-olok dan menghina anda serta menyebut anda sebagai orang gila dan lain sebagainya; merupakan hal yang diharamkan. Karena sesungguhnya tidak dibolehkan mengolok-olok dan menghina sesama manusia, tidak juga menyebutkan aib dan kekurangan atau dosa-dosa mereka, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
"Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim." (QS Al Hujurat : 11)
Telah disebutkan penjelasannya tentang bagaimana hukumnya menghina dan memperolok-olok itu pada Fatwa no. 125973.
Keenam:
Suami anda tidak berhak melarang anda untuk memiliki handphone, ponsel atau alat komunikasi yang modern lainnya, jika anda membelinya dengan harta benda anda sendiri. Adapun suami anda, dia tidak wajib membelikannya untuk anda semua sarana komunikasi tersebut ; karena bukanlah termasuk nafkah yang wajib dipenuhi oleh suami. Akan tetapi secara syari’at sangat dianjurkan baginya untuk menjaga perasaan anda dan membuat nyaman hati anda dengan apa yang mampu ia lakukan atau melakukan hal lain yang bermanfaat dan dibolehkan. Karena hal ini termasuk dari bagian hubungan baik dengan sesama, dan cermin dari bagusnya budi pekerti yang merupakan bentuk kebaikan yang dianjurkan oleh syari’at Islam kepada seluruh umat manusia khususnya hubungan antara suami-istri.
Ketujuh:
Secara asal suami yang memukul istrinya tidak dibolehkan dalam Islam, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan menyakiti kaum mukminin baik laki-laki maupun perempuan dengan tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Allah Ta’ala berfirman :
"Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS Al Ahzab : 58)
Ibnu Jarir At Thobari Rahimahullah mengatakan: “Pendapat yang benar dalam hal ini menurut kami adalah, tidak boleh bagi seorang pun memukul orang lain apalagi menyakitinya melainkan dengan alasan yang dibenarkan, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
"Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS Al Ahzab: 58)
Meskipun yang dipukul adalah seorang istri dan yang memukulnya adalah suaminya sendiri, atau seorang budak lelaki atau perempuan dan yang memukulnya adalah tuannya, atau anak kecil yang dipukul oleh ayahnya, atau orang yang diberikan wasiat oleh seorang ayah yang telah berwasiat kepadanya (tetap tidak boleh).” (Tahdzibul Aatsar, 1/418)
Akan tetapi syari’at Islam memperbolehkan bagi seorang suami memukul istrinya jika memang nampak pembangkangan darinya, yang sebelumnya telah diberikan wejangan namun belum diindahkan seperti di jauhi dari tempat tidur, namun dia (isteri) tidak jera, maka pada saat itu diperkenankan bagi suami memukulnya dengan syarat-syarat :
1. Hendaknya pukulannya tidak membekas, sebagaimana hadist berikut,
Dari Jabir Radliyallahu Anhu sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda pada saat haji wada’
اتَّقُوا اللَّهَ في النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذلك فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غير مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (رواه مسلم، رقم 1218)
"Bertakwalah kalian kepada Allah dalam hal wanita karena sesungguhnya kalian semua menyunting dan mengambil mereka dengan jaminan Allah dan dihalalkan bagi kalian kehormatan mereka dengan kalimat Allah, dan hak kalian atas mereka adalah hendaknya mereka tidak memasukkan seorang lelakipun yang kalian benci ke dalam bilik kasur-kasur kalian, dan jika mereka melakukan hal tersebut maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menimbulkan bekas, dan bagi mereka hak-hak atas kalian berupa rizqi-rizqi mereka dan pakian-pakaian mereka secara baik." (HR. Muslim, no. 1218)
2. Hendaknya menghindari pukulan yang di arahkan ke wajah dan tempat-tempat yang membahayakan, sebagaimana penjelasan yang telah dijelaskan pada fatwa no. 150762.
3. Hendaknya suami memiliki keyakinan bahwa pemukulan yang diberikan akan memperbaiki prilakunya. Apabila tidak mendatangkan manfaat maka pemukulan tersebut tidak boleh dilakukan.
Terdapat dalam “ Syarhul Kabier wa Hasyiyatu Ad Dasuqi, 343/2: “Adapun pemukulan, maka hal tersebut tidak boleh dilakukan apabila tidak yakin akan mendatangkan manfaat.”
Dari sini bisa diketahui, "Sesungguhnya apa yang dikatakan oleh suami anda bahwa sah-sah saja baginya memukul anda selama menjauhi area wajah, adalah ucapan yang semena-mena dan menyalahi syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang di dalam ucapannya terdapat kebohongan terhadap Allah Ta’ala sekaligus terhadap agamanya dan tuduhan terhadap Allah yang Maha Suci dengan tanpa ilmu dan hal ini termasuk bagian dari dosa-dosa besar.
Kami nasehatkan kepada anda ; hendaknya anda menjaga kasih sayang kepada suami anda dan tetap berusaha memperbaiki hubungan anda dengannya. Apabila anda ingin menyelesaikan perkara anda dengan suami anda, hendaklah anda meminta mediator yang akan memberikan nasihat yang bijak kepada kalian berdua, baik dari anggota keluarga anda maupun dari keluarga suami, agar memperbaiki hubungan antara kalian berdua. Dan apabila anda membatalkan sesuatu dari mahar yang merupakan hak-hak anda yang berupa harta benda, jika hal itu akan memperbaiki hubungan antara kalian berdua, dan tidak ada masalah, juga sebaiknya anda melaksanakannya. Semoga Allah memberikan kemudahan terhadap urusan kalian berdua dan semoga Allah menghimpunkan kebaikan bagi kalian berdua.
“Maka Allah sekali-kali tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri sendiri,” (QS. Ar Ruum: 9). Sahabat, pernahkah melihat orang yang menganiaya dirinya sendiri? Mungkin kita langsung membayangkan seseorang yang memotong urat nadinya dengan cutter, atau menjatuhkan dirinya dari lantai sekian gedung tinggi, atau menenggak racun. Akan tetapi sebenarnya dalam Islam, arti dari menganiaya diri sendiri tidak hanya itu. Bukan sekadar menyakiti fisik sendiri, melainkan segala kezaliman yang dilakukan terhadap diri sendiri, menjadikannya berhak mendapat siksa di akhirat kelak.
Berikut beberapa hal yang termasuk menganiaya diri sendiri :
1. Bersikap sombong atau angkuh
Bagaimana mungkin bersikap sombong maupun angkuh masuk dalam kategori ‘menganiaya’ diri sendiri?
Kita bisa memahami konsep ini jika menggunakan kacamata kehidupan abadi, bukan kacamata dunia semata. Bukankah sifat sombong yang dimiliki oleh makhluk hanya pantas bertempat tinggal di neraka?
Oleh sebab itu, seorang manusia yang mendongakkan kepalanya dan bersikap angkuh pada manusia lain, menyombongkan hartanya, menyombongkan jabatannya, membanggakan ilmunya, maka hakikatnya dia tengah menganiaya diri sendiri.
“Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya,” (QS. Al Kahfi: 35)
Jika seseorang melakukan pencurian, kebohongan, pemfitnahan, perzinaan, mungkin ia merasa diuntungkan dari tindak kejahatannya tersebut, namun sebenarnya ia tidak menyadari, sebenarnya tak ada seorang pun yang paling merugi akibat kejahatan yang diperbuatnya melainkan dirinya sendiri.
Mengapa demikian? Karena Allah telah menjelaskan bahwa kejahatan dan kebaikan yang diperbuat seseorang akan kembali pada dirinya sendiri.
Satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri adalah dengan bertaubat dari segala perbuatan jahat yang dikerjakan.
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. Annisa: 110)
3. Menyembah selain Allah
Menganiaya diri sendiri yang paling parah dan bahkan tidak lagi bisa
diselamatkan adalah jika seseorang memiliki sembahan selain Allah.
Sembahan yang dimaksud bukan sekadar dewa-dewa atau Tuhan lain yang benar-benar disembah selain Allah, melainkan apapun yang lebih dicintai dan lebih ditakuti oleh diri kita melebihi kecintaan dan ketakutan kita pada kuasa Allah.
Misalnya, ketika kita mencintai dan takut kepada pasangan hidup lebih dari kadar cinta dan takut kita pada Allah, maka pasangan hidup kita hakikatnya merupakan sesuatu yang kita jadikan sebagai “sembahan” tandingan Allah.
Demikian juga jika cinta dan takut yang kita rasakan pada bos di kantor melebihi cinta dan takut pada Allah, maka bos kita tersebut merupakan sembahan yang kita miliki selain Allah. Sungguh, tiadalah beruntung orang-orang yang memiliki sesembahan selain Allah.
“Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka,” (QS. Huud : 101)
Sahabat, semoga kita bukanlah orang-orang bodoh yang menganiaya diri sendiri dengan mengutamakan kehidupan duniawi di atas segalanya.
Mudah-mudahan kita terjauh dari segala perbuatan zalim yang dapat menganiaya diri kita di akhirat
kelak. Adapun cara mengatasinya adalah melakukan hal sebaliknya. Mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. Terlebih dengan melakukan kebaikan yang kebermanfaatannya jangka panjang.
Referensi : Bentuk Sikap yang Menganiaya Diri Sendiri
Kezaliman Terhadap Diri Sendiri?Siapapun yang kita panggil dengan Nama apapun, kita akan selalu melibatkan yang Esa yang ditunjuk sebagai Allah Swt. Yang Esa yang ditunjuk dengan nama Allah adalah Dia yang mustahil untuk membicarakan sesuatu yang lain selain Dia. Baik itu dengan sifat-sifat pokoknya, makna-makna yang Dia manifestasikan, atau aktivitas yang dibentuk oleh makna-makna ini di setiap saat dan dengan cara apapun, hanya Dia yang ada dalam pikiran dan sebutan. Di setiap saat kita berpikir atau berbicara mengenai bentuk keberadaan lain dengan beranggapan bahwa kita ada di luar Allah, maka kita jatuh kedalam dualitas. Inilah yang dirujuk Al-Qur’an sebagai Syirik!
“Janganlah berpaling kepada sosok tuhan (perwujudan kekuatan luar) selain Allah.” (Al-Qur’an 28:88). “… Sungguh, syirik (mempersekutukan Allah, yakni dualitas) itu kezaliman yang sangat besar.” (Al-Qur’an 31:13). Mengapa syirik itu termasuk perbuatan keji/zalim, dan kepada siapa hal ini tertuju?
Ini merupakan kezaliman terhadap diri sendiri karena, dengan menyembah tuhan/dewa di luar diri kita sendiri dalam keadaan terhijab dari esensi kita, kita sedang mempersekutukan Allah, yakni berbuat syirik. Hal ini kemudian menghilangkan kemampuan kita untuk mencapai fitur-fitur tak-hingga yang terkandung di dalam esensi sejati kita. Oleh karena itulah kita sedang melakukan kezaliman terbesar kepada diri sendiri.
Terlepas dari realitas diri kita sendiri merupakan perbuatan paling keji yang dapat dilakukan terhadap diri kita. Sayangnya, kita sedang melakukan hal ini terhadap diri kita sendiri ketika kita gagal untuk berselaras dengan system ini. Aturan ‘Dia yang tidak mengenal dirinya, tidak mengenal Rabb-nya’ berasal dari peringatan ‘Dia yang mengenal dirinya, mengenal realitas Nama-nama yang menyusun esensinya (Rabb). Untuk mengenal Allah, orang mesti memahami Yang Esa yang ditunjuk dengan nama Allah. Pemahaman ini hanya dapat diperoleh melalui ilmu mengenai Allah yang disingkapkan oleh Nabi Muhammad (saw).
Saya telah membahas topik mengenai diri dalam buku Mengenal Diri, namun saya ingin menyinggung sedikit mengenai hal itu di sini. Karena tidak ada wujud yang lain selain Allah, lalu siapakah atau apakah wujud yang kita rujuk sebagai diri atau aku ini? Bagaimana wujud ini terbentuk?
Petunjuk apa yang telah diberikan untuk membantu kita memecahkan masalah ini? Kita akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini selaras dengan pemahaman terhadap Allah yang telah dibicarakan sejauh ini. Jika kita mengatakan hal apapun yang bertentangan dengan apa yang telah dibicarakan sejauh ini, secara otomatis kita telah tersesat dan terperosok kedalam perangkap dualitas; manusia dan tuhannya. Al-Qur’an menyatakan dalam ayat berikut berkenaan dengan tujuan diciptakannya manusia:
“… Dan ketika Rabb-mu berkata kepada para malaikat, ‘Sungguh, Aku akan membuat di atas bumi (tubuh) seorang khalifah (mahluk sadar yang akan tinggal dengan kesadaran terhadap Nama-nama).’” (Al-Qur’an 2:30).
Menarik untuk dicatat bahwa manusia telah dijadikan sebagai khalifah di muka bumi dan bukannya di jagat raya atau kosmos. Tapi bagaimana manusia menjadi khalifah? Al-Qur’an menjawab ini dengan ayat: “Dan Dia mengajari Adam (komposisi Nama-nama yang diwujudkan dan diprogram) semua Nama-nama (semua ilmu yang berkenaan dengan Nama-nama dan perwujudannya) …” (Al-Qur’an 2:31)
Yang dimaksud oleh ayat ini adalah:
Manusia dikaruniai kapasitas dan kemampuan untuk mewujudkan Nama-nama Allah yang tak-hingga, sebatas yang dikehendakiNya. Karunia inilah yang dirujuk ayat di atas sebagai Dia mengajari Adam, yakni, Dia menganugerahi manusia dengan kapasitas bawaan dan kemampuan untuk mewujudkan Nama-nama Allah.
Tapi bagaimanakah manusia, yang dilengkapi dengan kapasitas demikian, dan alam semesta yang dia tinggali muncul pertama kali?
Jika Allah tidak bertajali dan tidak ada sesuatu apapun berasal dari Allah, maka bagaimanakah dan dari manakah asal wujud yang dipersepsi oleh kelima indera kita? Juga para malaikat, jin, surga dan neraka? Dan Alam Perantara (barzakh) yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan bentuk-bentuk keberadaan lainnya… Bagaimanakah kejadiannya sehingga semuanya menjadi ada
Kezaliman Terhadap Diri Sendiri dalam Al-Qur’an. Ada beberapa bentuk kezaliman terhadap diri sendiri yang digambarkan oleh al-Qur’an. Fenomena zalim terhadap diri sendiri tersebut begitu khas dengan frasa ظلم dan نفس. Melalui pelacakan dengan menggunakan kedua frasa ini, penulis menemukan beberapa contoh kasus yang dapat dikategorikan sebagai tindakan merugikan/ zalim terhadap diri sendiri. Kemudian melakukan filter dengan mengambil secara spesifik beberapa kasus yang mengandung ekspresi penyesalan berupa doa di dalamnya.
Q.S. al-A’raf (7): 23
Fenomena pertama ditemukan pada Q.S. al-A’raf (7): 23:
“Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.”
Ayat ini mengisahkan doa yang dipanjatkan oleh Adam As. dan Hawa sebagai pernyataan penyesalan yang telah mereka perbuat. Dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Tabari, dikisahkan bahwa penyesalan ini terjadi akibat ketidaktaatan mereka terhadap perintah Tuhan untuk tidak mendekati salah satu pohon terlarang di surga. Hal ini diakibatkan oleh keduanya yang tak mampu menahan godaan Iblis yang menjerumuskan mereka.
Maka dalam kasus Adam as. dan Hawa ini, yang menjadi bentuk kezaliman terhadap diri sendiri ialah berupa ketidakmampuan melawan hawa nafsu yang berujung pada tindakan ketidaktaatan kepada Allah. Namun dalam kehidupan saat ini representasi kasus sebagaimana pada tipologi pertama ini, tidak mungkin dijumpai. Oleh sebab itu, filosofi terjadinya kejadian ini yang menjadi tolak ukurnya yaitu ketidaktaatan yang disebabkan oleh ketidakmampuan mengendalikan hawa nafsu. Jadi bentuk kasus yang terjadi mungkin berbeda namun secara filosofis memiliki pola sebab-akibat yang sama.
Poin menarik dalam mengkaji ayat ini ialah bahwa doa ini merupakan doa yang diajarkan langsung oleh Allah kepada Adam As. sebagai apresiasi atas penyesalannya atas perbuatan yang telah dilakukan. Maka jika merasa telah melakukan tindakan zalim terhadap diri sendiri, ayat ini dapat dijadikan sebagai wasilah dalam bertobat.
Dikatakan kepadanya (Balqis), “Masuklah ke dalam istana.” Maka ketika dia (Balqis) melihat (lantai istana) itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya (penutup) kedua betisnya. Dia (Sulaiman) berkata, “Sesungguhnya ini hanyalah lantai istana yang dilapisi kaca.” Dia (Balqis) berkata, “Ya Tuhanku, sungguh, aku telah berbuat zalim terhadap diriku. Aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan seluruh alam.”
Pada kasus kedua ini ada kisah menarik yang perlu diketahui. Ratu Balqis yang terkenal sebagai pemegang tahta tertinggi di kerajaan Saba’ berniat diislamkan oleh Sulaiman As. Beberapa cara dilakukan oleh Sulaiman dalam upaya mewujudkan niatannya tersebut. Sebab Saba’ adalah negeri yang makmur namun masih menyembah matahari dan merasa cukup angkuh akan kemegahan kerajaannya.
Dalam Tafsir Kemenag dijelaskan bahwa ayat ini kemudian menjadi saksi bahwa salah satu upaya Sulaiman As. berhasil meluluhkan Ratu Balqis. Upaya yang dilakukan oleh Sulaiman As. kala itu ialah mendirikan sebuah istana yang megah dan tak tertandingi keindahannya tatkala ia mengetahui bahwa Balqis akan mengunjungi negerinya. Maka saat sesampainya Balqis ke istana Sulaiman As. ia begitu terpukau dengan interior yang nampak di depan matanya, terutama pada lantai yang terlihat seperti sungai namun sebenarnya berupa kristal tembus pandang.
Melihat kemegahan yang tak tertandingi itu, Balqis pun mengakui bahwa istananya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan oleh istana Sulaiman As. Ia pun luluh dan keangkuhannya pun sirna, lalu ia pun mau menerima penjelasan Sulaiman As. mengenai ajaran tauhid yang benar dan menyatakan bahwa dirinya akan tunduk kepada Allah berkat Sulaiman As. Dalam Tafsir Kemenag juga dijelaskan bahwa alasannya selama ini menolak ialah kekhawatirannya akan dikucilkan oleh masyarakat kerajaannya (Q.S. al-Naml: 43).
Maka dari uraian penafsiran tersebut didapati bahwa bentuk kezaliman terhadap diri sendiri yang dirasakan oleh Balqis ialah berupa keangkuhannya yang berimbas pada ketidakinginannya untuk mendengarkan ajaran yang benar. Hal itulah yang membuatnya sangat susah keluar dari kekafiran, setelah akhirnya berhasil disadarkan oleh Sulaiman As.
Dia (Musa) berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku.” Maka Dia (Allah) mengampuninya. Sungguh, Allah, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Ayat menceritakan tragedi pembunuhan yang dilakukan Nabi Musa As. terhadap seorang Qibti. Tragedi itu terjadi tatkala Musa ingin menolong kawannya dari pem-bully-an seorang Qibti yang merupakan salah satu utusan Fir’aun. Musa pun memukulnya hingga tewas dan kemudian ia pun begitu menyesali perbuatannya sehingga ia pun memanjatkan doa sebagai bentuk pertaubatannya.
Dalam Tafsir al-Munir karya Wahbah Zuhaili dituliskan bahwa Musa As. juga mengutarakan bahwa suatu kezaliman yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain hakikatnya merupakan bentuk kezaliman pada diri sendiri. Maka doa ini juga seakan memberikan pesan bahwa tindakan kezaliman apapun kepada orang lain haruslah dijauhi sebab apabila dilakukan maka sejatinya tindakan itu juga merusak diri sendiri.
Dari ketiga kasus dalam al-Qur’an yang telah diuraikan di atas didapati bahwa ada tiga tipologi bentuk kezaliman terhadap diri sendiri. Ketiga tipologi tersebut ialah 1) ketidaktaatan terhadap perintah Tuhan akibat tidak mampu mengendalikan hawa nafsu; 2) kekafiran yang disebabkan oleh keangkuhan dalam menerima kebenaran; 3) menzalimi orang lain.
Ketiga tipologi tersebut memperlihat bahwa Islam merupakan ajaran yang seimbang. Islam tidak menginginkan umatnya menzalimi dirinya sendiri baik dengan merusak hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia. Sebab keduanya merupakan elemen terpenting yang harus dijaga dalam menjalani kehidupan
Referensi sbb ini ; Kezaliman Terhadap Diri Sendiri dalam Al-Qur’an
Berbuat Zalim pada Diri Sendiri, Merupakan Dosa Besar. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan (berbuat) dosa? Awam mengartikannya sebagai perbuatan melanggar atau melawan semua yang dilarang oleh Allah atau tidak mengerjakan apa yang diwajibkan olehNya. Bagi orang beriman, definisi ini tidak salah.
Namun Allah memberi definisi lain. Dosa dalam Al-Quran dikatakan sebagai perbuatan menzalilimi diri sendiri.
Ada banyak ayat dalam Al-Quran yang menyebut bahwa Allah tidak menzalimi manusia tetapi manusialah yang telah menzalimi dirinya sendiri. Bahkan beberapa nabi seperti Nabi Musa, Yunus, dan lainnya memohon ampun kepada Tuhan karena telah "menzalimi dirinya".
Adil adalah salah satu nilai tertinggi dalam Islam. Lawan dan segala sesuatu yang bertentangan dengan keadilan disebut kezaliman. Adil adalah menempatkan segala seauatu di tempatnya yang pas. Mengambil atau tidak memberi hak orang atau makhluk lain adalah tidak adil atau zalim. Islam menentang segala bentuk kezaliman.
Lalu apa yang dimaksud dengan menzalimi diri sendiri?
Kita salah mengartikan kata haram dengan dosa. Arti haram sebenarnya adalah larangan. Diharamkan artinya dilarang. Haram juga bisa dirartikan suci atau mulia seperti haramain Ka'bah di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Diharamkan artinya dilarang mengotori kesucian atau merendahkan kemuliaan.
Sedang dosa dalam Al-Quran disebut dengan berbagai istilah. Dhanb (dhunub), khati'ah, ithm, jurm (mujrim), junah, dan haraj. Dalam salah satu ayat, ithm disebut sebagai lawan naf'a (manfaat) seperti ayat tentang minuman keras yang disebut keburukannya (ithm) lebih besar dari manfaatnya. Artinya ithm sejajar dengan keburukan atau mudharat. Lawan dari manfaat.
Banyak hal yang diharamkan dalam Islam seperti minuman keras, zina, berjudi, makan daging babi atau bangkai, dan lain-lain. Sebahagian kita tahu atau bisa memperkirakan sebab dari larangan dan sisanya merupakan misteri Tuhan. Yang pasti kita percaya bahwa semua larangan itu buruk bagi kita bila dilanggar.
Manusia memerlukan makanan jasmani dan masukan rohani untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Makanan jasmani yang tidak sehat akan merusak tubuh kita dan menimbulkan penyakit. Begitu pula masukan kejiwaan yang salah bagai memasukkan racun ke rohani kita.
Itulah barangkali yang dimaksud dengan menzalimi diri ketika berbuat dosa. Yakni tidak adil dan zalim kepada diri sendiri dengan melanggar hak diri untuk mendapat isi yang baik. Diharamkan artinya kita dilarang untuk melukai diri sendiri.
Begitu pula ketika kita menipu atau mencuri atau mengambil hak orang lain maka sebenarnya kita juga sedang menzalimi atau mencederai diri kita sendiri karena bagaimanapun dan sejahat apapun kita, hati kita tetap mengatakan bahwa perbuatan kita adalah perbuatan yang tidak benar.
Berdosa kepada Tuhan adalah perbuatan mengotori kesucianNya dan merendahkan kemuliaanNya. Inipun menzalimi diri sendiri karena membebani diri kita dengan beban berat, menaruh diri kita diatas Tuhan oleh sebab keangkuhan kita.
Dalam salah satu hadis diriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah ditanya apa sebenarnya yang dimaksud dengan dosa. Beliau menjawab bahwa dosa adalah perbuatan yang ditutup-tutupi dan kita segan atau malu bila diketahui orang lain.
Bila hadis itu benar dan sahih maka dosa artinya perbuatan yang melanggar norma masyarakat. Sebagian ulama mengatakan bahwa dosa dalam Islam adalah segala sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan hati nurani kita.
Pendefinisian dosa yang demikian itu bukan tanpa masalah karena hati nurani kita seringkali mengikuti norma-norma masyarakat yang berlaku. Sedang norma masyarakat bisa berubah atas dasar kesepakatan bersama. Di Amerika minuman keras pernah dihalalkan kemudian dilarang dengan undang-undang dan kemudian dihalalkan dengan mencabut undang-undang itu.
Apa yang diharamkan oleh agama belum tentu diikuti oleh larangan dalam hukum dan undang-undang negara. Bukan saja di negeri-negeri yang penduduknya minoritas muslim bahkan di negara yang mayoritas penduduknya muslim bisa terjadi perbedaan antara apa yang dibolehkan dan dilarang oleh agama dengan hukum nasional yang berlaku.
Dalam kasus seperti ini maka khususnya muslim yang tinggal di negara yang penduduknya mayoritas muslim harus tetap menghormati hukum dan undang-undang yang berlaku sambil berupaya agar apa yang dianggap baik atau buruk oleh agama yang kita yakini tercermin di dalam hukum negeri melalui upaya-upaya yang tidak melanggar aturan main.
Dengan demikian maka menghindarkan diri dari dosa adalah menjauhi hal-hal yang merugikan kejiwaan kita dan merugikan orang lain, dan dimulai dengan patuh kepada hukum yang berlaku di negeri di mana kita tinggal, diikuti dengan patuh kepada larangan agama meski bila hukum yang berlaku membolehkannya.
Referensi : Berbuat Zalim pada Diri Sendiri, Merupakan Dosa Besar
Barangkali Kita Termasuk Munafik (Koreksi Diri Sendiri/hisablah Diri Sendiri). Barangkali Kita Termasuk Munafik. Munafik adalah orang yang memiliki sifat nifak (kemunafikan). Kemunafikan sendiri ada dua macam yaitu nifak i’tiqodi dan nifak ‘amali.
Kemunafikan dalam I’tiqod
Nifak i’tiqodi maksudnya adalah bentuk nifak dalam hati, di mana seseorang menampakkan keislaman namun menyembunyikan kekafiran.
Sedangkan nifak ‘amali adalah bentuk nifak pada jawarih (anggota badan).
Nifak bentuk pertama nifak i’tiqodi- mengeluarkan seseorang dari Islam dan kemunafikan seperti ini akan membuat seseorang berada pada dasar neraka di bawah orang kafir, Yahudi dan Nashrani.
Sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin, yang menunjukkan bahayanya orang munafik. Dalam awal-awal surat Al Baqarah, disebutkan tiga golongan manusia. Orang beriman disebutkan dalam empat ayat, orang kafir disebutkan dalam dua ayat, sedangkan orang munafik disebutkan dalam 13 ayat.
Contoh nifak i’tiqodi:
Mendustakan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mendustakan sebagian ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Benci pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Benci pada sebagian ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Senang melihat agama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam direndahkan.
Tidak senang jika agama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan kemenangan.
Adakah sifat-sifat seperti itu di zaman modern saat ini yang ditampakkan oleh orang yang mengaku muslim?
Ada, tentu ada.
Coba perhatikan sifat-sifat tersebut pada orang yang berpahaman liberal atau berada dalam Jaringan Islam Liberal. Wal ‘iyadzu billah, kita berlindung pada Allah dari kejelekan dan kesesatan mereka.
Kemunafikan dalam Sifat Lahiriyah
Sedangkan nifak yang kedua adalah nifak ‘amali atau nifak ashgor (nifak kecil atau ringan) yang tidak mengeluarkan seseorang dari Islam. Karena bentuk nifak atau kemunafikan ini nampak dalam sifat lahiriyah dan tidak nampak pada batinnya. Seperti misalnya seseorang yang menampakkan dirinya shalih ketika berada di khalayak ramai. Namun ketika tidak berada di keramaian, ia jauh berbeda.
“Di antara tanda kemunafikan adalah berbeda antara hati dan lisan, berbeda antara sesuatu yang tersembunyi dan sesuatu yang nampak, berbeda antara yang masuk dan yang keluar.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 490)
Intinya sebagaimana kata Ibnu Rajab, kemunafikan ringan adalah adanya perbedaan antara yang nampak dan yang tersembunyi.
Kemunafikan Ringan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ada empat tanda, jika seseorang memiliki empat tanda ini, maka ia disebut munafik tulen. Jika ia memiliki salah satu tandanya, maka dalam dirinya ada tanda kemunafikan sampai ia meninggalkan perilaku tersebut, yaitu: (1) jika diberi amanat, khianat; (2) jika berbicara, dusta; (3) jika membuat perjanjian, tidak dipenuhi; (4) jika berselisih, dia akan berbuat zalim.” (HR. Muslim no. 58)
Kalau dirinci, tanda kemunafikan ringan tersebut ada lima:
Tanda Pertama: “Jika berbicara, dusta”.
Di antara hadits yang menunjukkan dicelanya perbuatan dusta adalah hadits ‘Abdullah bin Mas’ud. Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2607)
Asalnya berbohong itu terlarang dikecualikan dalam tiga hal. Ketika itu berbohong jadi rukhsoh atau keringanan karena ada maslahat yang besar. Ada hadits yang menyebutkan hal ini,
Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin ‘Abi Mu’aythin, ia di antara para wanita yang berhijrah pertama kali yang telah membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengabarkan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak disebut pembohong jika bertujuan untuk mendamaikan dia antara pihak yang berselisih di mana ia berkata yang baik atau mengatakan yang baik (demi mendamaikan pihak yang berselisih, -pen).”
Ibnu Syihab berkata, “Aku tidaklah mendengar sesuatu yang diberi keringanan untuk berdusta di dalamnya kecuali pada tiga perkara, “Peperangan, mendamaikan yang berselisih, dan perkataan suami pada istri atau istri pada suami (dengan tujuan untuk membawa kebaikan rumah tangga).” (HR. Bukhari no. 2692 dan Muslim no. 2605, lafazh Muslim).
Tanda Kedua: “Jika berjanji, tidak menepati”.
Ibnu Rajab menyebutkan bahwa mengingkari janji itu ada dua macam :
a- Berjanji dan sejak awal sudah berniat untuk tidak menepatinya. Ini merupakan pengingkaran janji yang paling jahat.
b- Berjanji, pada awalnya berniat untuk menepati janji tersebut, lalu di tengah jalan berbalik, lalu mengingkarinya tanpa adanya alasan yang benar.
Adapun jika dia berniat untuk memenuhi janji tersebut, tetapi karena alasan tertentu atau ada hal lainnya yang dapat dibenarkan, maka dia tidak termasuk dalam sifat tercela ini.
Ada perkataan dari ‘Ali, namun dalam sanad perkataan ini ada perawi yang majhul,
العِدَةُ دَينٌ ، ويلٌ لمن وعد ثم أخلف
“Janji adalah utang. Celakalah orang yang berjanji namun tidak menepati.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 483)
Contoh sederhananya, kalau janji pada anak kecil (seorang bocah) tetap harus ditepati. Az Zuhri mengatakan dari Abu Hurairah, ia berkata,
من قال لِصبيٍّ : تَعَالَ هاك تمراً ، ثم لا يُعطيه شيئاً فهي كذبة
“Siapa yang mengatakan pada seorang bocah: “Mari sini, ini kurma untukmu”. Kemudian ia tidak memberinya, maka ia telah berdusta.” Namun riwayat ini, sanadnya terputus karena Az Zuhriy tidak mendengar dari Abu Hurairah. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 485)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian, sedang kalian mengetahui” (QS. Al Anfal : 27).
Jika seseorang dipercaya untuk memegang suatu amanah, maka dia wajib untuk menjaga amanah tersebut sebaik mungkin, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Tunaikanlah amanat pada orang yang memberikan amanat padamu dan janganlah mengkhianati orang yang mengkhianatimu” (HR. Abu Daud no. 3535, Tirmidzi no. 1264 dann Ahmad 3: 414. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Hadits ini shahih menurut Syaikh Al Albani lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah no. 423).
Tanda Keempat: “Jika berselisih, dia akan berbuat zalim”.
Yang dimaksud dengan al-fujuur di sini adalah keluar dari kebenaran secara sengaja, sehingga dia menjadikan yang benar menjadi keliru dan yang keliru menjadi benar. Ini yang membawanya kepada dusta.
“Sesungguhnya orang yang paling dibenci oleh Allah adalah penantang yang paling keras”. (HR. Bukhari no. 2457 dan Muslim no. 2668)
Jik seseorang mempunyai kemampuan bersilat lidah pada saat berdebat -baik perselisihan itu berkenaan dengan masalah agama atau masalah dunia- untuk mempertahankan kebatilan, dia menyuarakan kepada orang-orang bahwa kebatilan itu sebagai suatu yang benar, serta menyamarkan yang benar dan menampilkannya sebagai suatu kebathilan, seperti itu merupakan keharaman yang paling buruk serta kemunafikan yang paling busuk.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا
“Sesungguhnya di antara penjelasan (al-bayan) itu adalah sihir (yang membawa daya tarik)”. (HR. Bukhari no. 5767)
Tanda Kelima: “Jika membuat perjanjian, tidak dipenuhi”.
Allah ta’ala telah memerintahkan supaya menepati janji, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala,
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu)….” (QS. An Nahl: 91).
Dari Ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Bagi setiap pengkhianat memliki bendera pada hari Kiamat kelak. Lalu dikatakan kepadanya: “Inilah pengkhianat si Fulan”. (HR. Bukhari no. 3187 dan Muslim no. 1735)
Tanda Munafik: Beda Lahiriyah dan Batin
Itulah tanda munafik, beda antara yang lahir dan batin. Oleh karenanya sebagian ulama salaf mengatakan,
“Yang aku khawatirkan pada kalian adalah orang berilmu yang munafik. Para sahabat lantas bertanya: “Bagaimana bisa ada orang berilmu yang munafik?” Umar menjawab, “Ia berkata perkataan hikmah, namun sayangnya ia melakukan kemungkaran.” (Idem)
Hudzaifah ditanya mengenai apa itu munafik, ia menjawab,
الَّذِي يَصِفُ الإِيْمَانَ وَلاَ يَعْمَلُ بِهِ
“Ia menyifati diri beriman namun tak ada amalan.” (Idem)
Dari sini, para ulama menyebutkan bahwa pria yang mengaku muslim namun tidak pernah terlihat shalat berjama’ah di masjid, dinyatakan sebagai munafik.
“Aku telah melihat bahwa orang yang meninggalkan shalat jama’ah hanyalah orang munafik, di mana ia adalah munafik tulen. Karena bahayanya meninggalkan shalat jama’ah sedemikian adanya, ada seseorang sampai didatangkan dengan berpegangan pada dua orang sampai ia bisa masuk dalam shaf.” (HR. Muslim no. 654).
Bahkan tetangga masjid yang tak pernah terlihat di masjid, juga disebut munafik. Ibrahim An Nakha’i rahimahullah mengatakan,
“Cukup disebut seseorang memiliki tanda munafik jika ia adalah tetangga masjid namun tak pernah terlihat di masjid” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab 5: 458 dan Ma’alimus Sunan 1: 160. Lihat Minhatul ‘Allam, 3: 365).
Dari Hanzholah Al Usayyidiy -beliau adalah di antara juru tulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam-, ia berkata, “Abu Bakr pernah menemuiku, lalu ia berkata padaku, “Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah?” Aku menjawab, “Hanzhalah kini telah jadi munafik.” Abu Bakr berkata, “Subhanallah, apa yang engkau katakan?” Aku menjawab, “Kami jika berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami teringat neraka dan surga sampai-sampai kami seperti melihatnya di hadapan kami. Namun ketika kami keluar dari majelis Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami bergaul dengan istri dan anak-anak kami, sibuk dengan berbagai urusan, kami pun jadi banyak lupa.” Abu Bakr pun menjawab, “Kami pun begitu.”
Kemudian aku dan Abu Bakr pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, jika kami berada di sisimu, kami akan selalu teringat pada neraka dan surga sampai-sampai seolah-olah surga dan neraka itu benar-benar nyata di depan kami. Namun jika kami meninggalkan majelismu, maka kami tersibukkan dengan istri, anak dan pekerjaan kami, sehingga kami pun banyak lupa.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya kalian mau kontinu dalam beramal sebagaimana keadaan kalian ketika berada di sisiku dan kalian terus mengingat-ingatnya, maka niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidurmu dan di jalan. Namun Hanzhalah, lakukanlah sesaat demi sesaat.” Beliau mengulanginya sampai tiga kali. (HR. Muslim no. 2750).
Mereka masih khawatir diri mereka munafik, padahal keduanya adalah sahabat yang mulia, bagaimana lagi dengan kita-kita.
Demikianlah sifat para sahabat, mereka takut tertimpa kemunafikan.
وقال ابنُ أبي مُلَيْكَة : أَدْرَكْتُ ثَلاَثِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ .
“Ibnu Abi Mulaikah pernah berkata: Aku telah mendapati 30 orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya khawatir pada dirinya tertimpa kemunafikan.” (HR. Bukhari no. 36)
Imam Ahmad pernah ditanya, “Apa yang kau katakana pada orang yang tidak khawatir pada dirinya kemunafikan?” Beliau menjawab, “Apa ada yang merasa aman dari sifat kemunafikan?”
Al Hasan Al Bashri sampai menyebut orang yang Nampak padanya sifat kemunafikan dari sisi amal (bukan i’tiqod atau keyakinan), maka ia disebut munafik. Sebagaimana ada perkataan Hudzaifah dalam hal itu. Seperti ada perkataan Asy Sya’bi semisal itu pula,
مَنْ كَذَبَ ، فَهُوَ مُنَافِقٌ
“Siapa yang berdusta, maka ia adalah munafik.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 493)
“Orang yang khawatir terjatuh pada kemunafikan, itulah orang mukmin. Yang selalu merasa aman dari kemunafikan, itulah senyatanya munafik.”(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 491)
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah. Semoga Allah menyelamatkan kita dari kemunafikan.