Memakan Yang Halal dan Baik, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”.
(QS. Al Baqarah: 172)
Diantara tuntutan kesabaran yang Allah serukan pada ayat ketiga ialah sabar dari memakan harta haram, syubhat maupun makanan yang tidak baik. Oleh karenanya, Allah perintahkan orang-orang beriman dalam ayat ini untuk mencukupkan diri dengan makanan yang halal. Hal itu dikarenakan makanan halal sangat menentukan kualitas keimanan dan keberhasilan mereka menjadi penolong agama Allah serta penegak syariat di muka bumi.
Ayat ini terletak diantara ayat-ayat yang ditujukan kepada orang-orang kafir yang enggan mengikuti perintah Allah serta mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan. Maka Allah Ta’ala melarang orang-orang beriman mengikuti orang-orang kafir dengan memerintahkan mereka memakan yang halal dan baik.
Kandungan ayat ini mengulangi apa yang Allah perintahkan kepada seluruh manusia pada ayat 168 untuk memakan yang halal dan thayyib (baik), sebagai bentuk kekhususan bagi orang-orang beriman. Meski dalam ayat ini tidak digunakan lafadh “halal” dikarenakan dengan keimanannya, mereka -seharusnya- tidak memakan yang haram dan syubhat karena Allah menghalalkan semua yang baik-baik untuk mereka.
Hal itu ditegaskan pada ayat setelahnya, dimana Allah mengharamkan empat hal -pada saat ayat itu turun- yaitu : bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih untuk selain Allah. Dapat kita fahami bahwa apa yang Allah haramkan lebih sedikit daripada semua yang Allah halalkan, sehingga semua nikmat tersebut menuntut mereka untuk bersyukur kepada Allah Ta’ala sebagai bentuk menyempurnakan ibadah kepada-Nya. Dan Allah berfirman kepada orang-orang beriman: “Wahai orang-orang beriman, makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah kami rizkikan kepada kalian.”
Mematuhi perintah memakan yang halal merupakan sebuah kemuliaan bagi orang-orang beriman, karena perintah yang sama Allah tujukan kepada para Nabi dan Rasul, sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sabdakan: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Dia perintahkan kepada orang-orang beriman sebagaimana perintah-Nya kepada para Rasul.
Allah berfirman: “Hai para Rasul, makanlah di antara rezeki yang baik-baik dan berbuat amal sholehlah, sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”. (QS. Al Mukminun : 51).
Dan Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah.” Kemudian beliau menceritakan seorang laki-laki yang banyak bepergian, rambutnya kusut, berdebu, dia menegadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ‘Wahai Rabb, Wahai Rabb, sementara makanan, minuman dan pakaiannya dari harta haram dan diapun diberikan asupan gizi dari yang haram, maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan”. (HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah).
Tatkala tuntutan menegakkan syariat membutuhkan kesabaran yang besar, Allah serukan dalam ayat ini agar orang-orang beriman hanya memakan harta yang halal. Perintah ini bukanlah menambah beban maupun membatasi sumber daya dan pendapatan orang-orang beriman, akan tetapi dengannya Allah menghibur mereka, memberikan kebahagiaan karena harta yang halal menjadikan hati bahagia, membawa kelapangan dan mashlahat.
Dan orang beriman memiliki hati yang baik, tidak memilih kecuali harta yang baik, teman yang baik, perkataan yang baik dan perbuaatan yang baik. Sedangkan harta haram hanya menimpakan kecemasan, kesempitan dan banyak mendatangkan kerusakan. Orang yang mencari harta haram maupun syubhat, hakekatnya dia mengikuti langkah-langkah syetan yang dia hiasi seakan-akan terlihat indah, lebih mudah dan menjanjikan kesusksesan.
Seorang tabi’in bernama Yusuf bin Asbat rahimahullah berkata: “Ketika seorang pemuda terlihat beribadah, Iblis berkata kepada pasukannya: lihatlah dari mana sumber makanannya! Apabila makanannya bersumber dari harta haram, dia berkata: biarkan dia, jangan sibukkan kalian dengannya, biarkan dia bersungguh-sungguh dan lelah beribadah, sungguh harta haram telah menolong kalian mengalahkannya”.
Dan langkah-langkah syetan hakekatnya hanyalah langkah pendek, sempit, penuh dengan jebakan maut dibandingkan luasnya langit dan bumi, luasnya daratan dan lautan sebagai sumber rezeki seluruh makhluk Allah di bumi dan jauh lebih sedikit ketimbang “thayyibaat” (rezeki yang baik-baik) yang Allah sediakan tidak hanya untuk orang-orang beriman akan tetapi untuk seluruh manusia karena Allah memerintahkan semuanya memakan yang halal dan baik, yang artinya Allah sediakan untuk mereka jumlah yang cukup.
Setelah memerintah orang-orang beriman memakan harta yang halal, Allah wajibkan mereka bersyukur kepada-Nya atas semua nikmat dan rezeki yang Dia karuniakan. Mensyukurinya tidak hanya dengan menyebut kata syukur dengan lisan, namun dengan menjadikannya sebagai sarana meningkatkan ketaatan kita kepadanya, karena nikmat yang tidak digunakan untuk taat akan berbuah bencana dan laknat.
Para salaf menafsirkan syukur dalam hal ini dengan beramal, artinya mensyukuri nikmat haruslah dengan beramal. Dan karena Allah perintahkan kepada para Rasul setelah memakan yang halal untuk beramal shaleh.
Hal ini menegaskan bahwa mensyukuri nikmat haruslah dengan beramal dan makanan yang halal menjadi salah satu sebab yang mendorong seseorang berbuat taat dan beramal shaleh serta sebab keberhasilan dan diterimanya amal ibadahnya terlebih melakukan amal ibadah yang besar seperti berdakwah, berjihad, beramar makruf nahi munkar dan menegakan Islam di muka bumi.
Kewajiban ini ditegaskan dengan penyebutan lafadh “Allah” secara langsung dan tidak menggantinya dengan dhamir (kata ganti) nahnu (kami) sebagaimana dalam kalimat sebelumnya yaitu “Rezeki baik-baik yang kami berikan”. Dapat kita fahami kalimat ini menegaskan akan Uluhiyyah Allah Ta’ala, bahwa tidak ada yang memberikan rezeki, memudahkan semua urusan, memberikan sarana kepada orang-orang beriman untuk menjaga keimanan mereka dan menolong mereka dalam menegakkan agama-Nya selain dari Allah Ta’ala.
Terlebih bahwa bersyukur adalah ibadah dan ibadah hanyalah kita persembahkan kepada Allah. Oleh karena itu, Allah tegaskan di akhir ayat ini dengan mengatakan “dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu beribadah”. Sehingga orang yang tidak bersyukur, dia tidak memurnikan ibadahnya hanya kepada Allah. Dan akhir ayat ini semakin menegaskan bahwa memakan yang halal dan ibadah syukur haruslah menjadi karakter yang melekat pada orang-orang beriman dengan menggunakan kata iyyahu (hanyalah) dan ta’budun (kata kerja sekarang dan akan datang yang artinya beribadah).
Seorang mukmin yang berusaha melaksanakan syariat dan meninggikan agama Allah dan keluarga yang memiliki visi masuk surga bersama, hendaknya meneladani Nabi dan para salaf dalam menjaga diri dan keluarga dari harta haram dan syubhat.
Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu menceritakan: “Sesungguhnya aku pulang menemui keluargaku, terkadang mendapati sebutir kurma terjatuh di atas tempat tidur atau di dalam rumah, lalu aku mengambilnnya untuk memakannya, namun timbul kekhawatiran barangkali itu bagian dari kurma zakat, maka aku letakkan kembali kurma itu.” (HR. Imam Bukhari).
Subhanallah! kurma yang barangkali kita akan memaklumi orang yang memakannya karena hanya sebutir kurma, namun tidak dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Ayahnya Imam Abdullah bin Al Mubarak yaitu Mubarak tidak dapat membedakan mana delima yang manis dan masam karena meski bekerja di kebun delima namun beliau tidak pernah berani memakan satupun buah delima karena dilarang mengambil kecuali diizinkan pemiliknya. Lalu pemilik kebun menikahkannya dengan putri yang kemudian lahirlah imam Abdullah bin Al Mubarak yang kita kenal dengan keilmuan, kewara’annya dan jihadnya fi sabilillah.
Demikian halnya dengan ayahnya Imam Bukhari yang bernama Ismail. Ahmad bin Hafsh bercerita: Aku menjenguk Abul Hasan Ismail -ayahnya imam Bukhari- menjelang wafatnya, lantas beliau berkata : “Tidak ada satu dirhampun dari hartaku yang berasal dari harta haram maupun harta syubhat”.
Mendengar itu akupun merasa betapa rendahnya diri ini sambil berkata: sungguh kesholehan seorang ayah berpengaruh kepada kesholehan anaknya, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dahulu bapak keduanya adalah orang yang sholeh” (QS. Al Kahfi : 82).
Mudah-mudahan Allah menjaga kita dari mengambil harta haram dan syubhat, agar dalam beramal tidak hanya mendapat lelah namun sejatinya telah kalah oleh syetan dengan tipu daya langkah-langkahnya (khuthuwaat syaithan).
Referensi:
Al Jami’ Li Ahkamil Quran – Imam Al Qurthubi.
Tafsir Al Quran Al Adhim – Imam Ibnu Katsir.
Taisir Al Karim Ar Rahman – Syekh Abdurrahman Al Sa’di.
At Tahrir wa At Tanwir – Syekh Ath Thahir bin ‘Asyur.
Al Quran Tadabbur wa Amal – Tim Pakar Al quran Syirkah Khibrat Adz Dzakiyyah
At Tafsir wal Bayan li Ahkamil Quran – Syekh Abdul Aziz Ath Thuraifi.
Islam merupakan agama yang telah disempurnakan oleh Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al Maa-idah Ayat 3 yang artinya “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [Al-Maa-idah: 3]. Islam sebagai agama yang sempurna telah mencangkup segala aspek kehidupan manusia, sebagai pedoman hidup manusia agar dapat memperoleh kebahagian dunia dan akhierat. Salah satu aspek yang diatur dalam Islam adalah yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi. Manusia melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan. Salah satu kegiatan ekonomi yang sering dilakukan oleh manusia adalah kegiatan jual beli.
Allah SWT telah menghalalkan praktek jual beli yang sesuai dengan ketentuan dan syari’atNya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 275 yang artinya:” …Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…(Q.S. al-Baqarah: 275). Rasullullah SAW bersabda: Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim). Maka berdasarkan hadits ini, jual beli merupakan aktivitas yang disyariatkan. Namun disisi lain, Rasullullah SAW juga bersabda “Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah Asy Syamilah. Oleh karena itu seseorang muslim yang melaksanakan transaksi jual beli, sebaiknya mengetahui syarat-syarat praktek jual beli berdasarkan ketentuan Al Qur’an dan Hadits, agar dapat melaksanakannya sesuai dengan syari’at sehingga tidak terjerumus kedalam tindakan-tindakan yang dilarang dan diharamkan.
Syarat-syarat praktek jual beli yang sesuai dengan syariat Islam yaitu:
Transaksi jual beli dilakukan dengan Ridha dan sukarela
Transaksi jual beli yang dilakukan oleh kedua belah pihak, hendaknya dilaksanakan berdasarkan kebutuhan, dan dilakukan dengan ridha dan sukarela tanpa ada paksaan dari pihak manapun, sehingga salah satu pihak (baik penjual maupun pembeli) tidak ada yang dirugikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat An-Nisaa ayat 29 yang artinya : ““… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (Q.S. An-Nisaa: 29). Berdasarkan ayat ini juga, maka diketahui bahwa transaksi jual beli harus dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten yaitu orang-orang yang paham mengenai jual beli, dan mampu menghitung atau mengatur uang. Sehingga tidak sah transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil yang tidak pandai atau tidak mengetahui masalah jual beli.
Objek jual beli bukan milik orang lain
Objek jual beli merupakan hak milik penuh salah satu pihak yang terlibat dalam transaksi jual beli. Seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila telah mendapatkan ijin dari pemilik barang. Rasullullah SAW bersabda: Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud)
Transaksi jual beli dilakukan secara jujur
Transaksi jual beli hendaknya dilakukan dengan jujur. Rasullulah SAW bersabda: “Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban).
Salah satu contoh transaksi jual beli yang jujur adalah dengan cara penjual menyempurnakan takaran. Hal ini dapat diketahui dalam Allah berfirman asy Syu’araa ayat 181-183 yang artinya adalah ”Sempurnakanlah takaran jangan kamu termasuk orang-orang yang merugi, dan timbanglah dengan timbangan yang lurus, dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan”(Q.S. Asy Syu’araa: 181-183). Allah SWT juga berfirman dalam surat Al Muthaffifiin ayat 1-6 yang artinya: ”Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan di bangkitkan, pada suatu hari yang besar (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam ini” (Q. S. Al Muthaffifiin; 1-6). Transaksi jual beli juga dikatakan dilakukan dengan jujur apabila seorang penjual menjelaskan dengan jujur kondisi barang yang dijualnya kepada pembeli. Penjual akan memberitahukan kepada pembeli apabila terdapat cacat pada barang yang dia jual. Hal ini sesuai dengan sabda Rasullullah SAW yang artinya: Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah)
Transaksi jual beli barang yang halal
Transaksi jual beli yang dilakukan haruslah barang atau jasa yang halal dan atau tidak di larang oleh syariat Islam, seperti jual beli narkoba, dan minuman keras. Rasullullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatu kaum memakan sesuatu, maka diharamkan pula hasil penjualannya” (HR Abu Daud dan Ahmad).
Objek jual beli dapat diserahterimakan
Barang yang menjadi objek jual beli, haruslah barang yang dapat diserah terimakan segera dari penjual kepada pembeli. Rasullullah bersabda: Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim). Sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, hasil sawah yang belum dipanen, dan lain-lain. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena mengandung spekulasi atau judi. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 219 dan Surat Al Maidah ayat 90-91 yang artinya “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, katakanlah bahwa pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” (Al-Baqarah: 219). Hai orang–orang yang beriman sesungguhnya arak, judi, berhala dan mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian dengan khamr dan judi, menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Al Maidah: 90-91)
Sedangkan jual beli yang dilarang menurut syari’at Islam adalah:
Transaksi jual beli yang menjauhkan dari ibadah
Transaksi jual beli yang dilakukan, hendaklah tidak melupakan kewajiban manusia untuk menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Jumuah ayat 9-10 yang artinya” “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al Jumuah : 9-10). Allah SWT juga berfirman dalam Surat Annur ayat 37 yang artinya: laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.
Transaksi jual beli barang yang haram
Transaksi jual beli yang dilarang menurut syari’at Islam adalah jual beli barang yang diharamkan seperti jual beli minuman keras, narkoba, barang hasil pencurian dan lain-lain. Karena hal ini juga berarti ikut serta melakukan dan menyebarluaskan keharaman di muka bumi. Rasullullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatukaum memakan sesuatu, maka diharamkan pula hasil penjualannya” (HR Abu Daud dan Ahmad)
Transaksi jual beli harta riba
“Rasulullah SAW melaknat orang yang makan riba, yang memberi makannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau bersabda : “Mereka itu sama”. (HR. Muslim). Dalam hadits tersebut dapat kita ketahui bahwa Islam melarang transaksi jual beli harta riba.
Transaksi jual beli hasaath
Rasulullah SAW bersabda: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim). Transaksi jual beli hasaath dilarang karena jual beli dengan kerikil yang dilempar untuk menentukan barang. Membuat pembeli tidak bisa memilih, memilah barang yang sesuai keinginan dan sesuai kualitas barangnya. Sehingga ada salah satu pihak (pembeli) yang dirugikan dalam transaksi jual beli ini. Itulah mengapa jual beli hasaath tidak diharamkan dalam Islam.
Mengajarkan yang Haram Termasuk Dosa Jariyah
Pertanyaan :
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Semoga Allah senantiasa memberikan nikmat dan rahmat-Nya kepada ustadz dan keluarga.. Aamiin
‘Afwan ustadz izin bertanya.
Apabila seseorang mengenalkan hal tidak baik kepada orang lain , misalkan memainkan alat musik, atau kesenian lainnya, apakah bisa disebut dosa jariyah jika orang yang diajarkan tetap memainkan alat musik ?
Bagaimana cara untuk menghapus dosa jariyah tersebut ?
جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم
Jawaban :
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du
Semoga Allah memberikan rahmatNya kepada kita semua.
Seorang akan mendapatkan akibat dari setiap perbuatannya, kalau seandainya dia mengajarkan kebaikan, maka dia akan mendapat pahala jariyah, kalau seandainya dia mengajarkan keburukan, maka dia akan mendapatkan dosa jariyah selama orang yang diajarkan melakukannya. Sebagaimana sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ , وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang memulai mengerjakan perbuatan baik dalam Islam, maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai kebiasaan buruk, maka dia akan mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”
(Muslim : 1691)
Cara berlepas diri dari dosa tersebut adalah, dengan bertaubat nasuha kepada Allah, memperbanyak istighfar serta amalan – amalan sunnah, beramar ma’ruf nahi munkar, kemudian berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah orang yang telah dia ajarkan dahulu dari perbuatan tersebut. Dan jikalau seandainya setelah dia berusaha namun orang tersebut (yang dahulunya diajari keburukan) tidak mau berhenti, maka lepaslah tanggung jawabnya.
Sebagaimana firman Allah ta’ala:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Allah tidak membebani seorang hamba kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (QS Al-Baqarah : 286)