Kita adalah para dokter profesional yang bekerja di bagian administrasi kesehatan yang sekiranya kita melakukan dan mempraktekkan pekerjaan-pekerjaan administratif dan perkantoran yang jauh dan sangat jauh dari spesialisasi dasar kami, dan sebagian pegawai mereka menginginkan bekerja di bidang administratif untuk menghindari sebagai pegawai profesional, sebagaimana diketahui sesungguhnya aturan yang tertuang dalam bidang kesehatan memberikan peluang kepada kami untuk menjadi pegawai yang bekerja di waktu-waktu tertentu dengan syarat kami harus bekerja secara langsung sesuai dengan spesialisasi kami ( yaitu ; sebagai dokter, profesional, perawat, suster dan lain sebagainya ). Sekarang kami bekerja dengan pekerjaan kantor dan administratif dengan durasi waktu delapan jam sehari, dengan alasan kurangnya tenaga ahli di bidang administratif padahal pihak pengawas meminta agar kami kembali kepada spesialisasi dasar kami, dan mengembalikan keahlian kami atau melepaskan diri sebagai pegawai kontrak, akan tetapi banyak para pegawai yang masih bekerja dengan pekerjaan tata usaha atau administratif dan belum kembali kepada spesialisasi dasar pekerjaan mereka dan mereka juga belum melepaskan diri sebagai pegawai kontrak. Maka apakah gaji yang kami peroleh dari hasil pegawai kontrak termasuk halal ataukah haram ? dan apabila memang haram apakah kami harus mengembalikan semua gaji yang telah kami peroleh sebelumnya ? ataukah kami harus menyedekahkannya ?
Jawaban :
Alhamdulillah.
Yang wajib dan patut dilakukan oleh para pegawai adalah melaksanakan pekerjaan mereka dengan tekun dan baik, dan mematuhi serta konsisten dengan point-point yang mengatur kelancaran pekerjaan mereka, dari sisi durasi waktunya, tempat kerjanya dan kebiasaan-kebiasaan di lingkungan kerja, dan tidak diperkenankan bagi pegawai menyalahi aturan-aturan dalam pekerjaannya karena apabila hal itu terjadi maka akan mengabaikan amanah, dan menunai kebencian.
As Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah berkata : “Adapun para pegawai yang tidak melaksanakan pekerjaan dengan amanah atau tidak saling menasihati untuk kebaikan pekerjaan mereka, maka kalian telah mendengar bahwasannya diantara ciri dan sifat iman itu adalah ; melaksanakan amanah, dan memelihara amanah sebagaimana firman Allah Swt :
(Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian agar melaksanakan amanah kepada yang berhak mendapatkannya ) An Nisaa’/58.
Maka amanah merupakan sifat dan ciri keimanan yang paling agung dan utama, dan khianat merupakan sifat nifak yang paling utama, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memberikan sifat bagi orang-orang yang beriman dalam surat Al Mukminun/ 8 :
(Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian menghianati Allah dan Utusan-Nya, dan jangan pula kalian menghianati amanah-amanah yang dibebankan kepada kalian sedang kalian mengetahui) Al Anfal/27.
Maka yang wajib dilakukan oleh seorang pegawai adalah hendaknya dia melaksanakan amanah yang dibebankan kepadanya dengan penuh kejujuran, ikhlash, memperhatikan waktu mulai kerja dan jam pulang kerja, senantiasa memohon pertolongan kepada Allah untuk kelancaran pekerjaannya, sehingga terbebas dari beban tanggungan pekerjaannya, mendapatkan kebaikan dalam penghasilannya, dan diridloi oleh Tuhannya, dengan demikian dia ikut andil dalam kebaikan negaranya, perusahaan di mana dia bekerja atau di manapun instansi dia bekerja akan mendapatkan sifat positif yang dia tonjolkan, hal seperti inilah yang patut dilaksanakan oleh para pegawai ; senantiasa bertaqwa kepada Allah, melaksanakan amanah dengan tujuan profesional dalam pekerjaannya, mengharap pahala dari Allah dan takut akan segala siksanya dan beraktifitas sesuai dengan firman Allah:
(Sesungguhnhya Allah memerintahkan kalian agar melaksanakan amanah kepada yang berhak mendapatkannya ) An Nisaa’/58.
Dan diantara ciri-ciri orang-orang Munafik adalah : khianat terhadap amanah yang dibebankan kepadanya sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam :
آية المنافق ثلاث : إذا حدَّث كذب ، وإذا وعد أخلف ، وإذا اؤتمن خان ) متفق عليه )
(Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga : Apabila dia berkata dia dusta, apabila dia membuat janji dia mengingkarinya, dan apabila dia dipercaya dia berkhianat ) HR. Bukhari dan Muslim.
Maka bagi seorang Muslim tidak diperkenankan menyerupai orang-orang munafik malah hendaknya menjahui semua sifat-sifat mereka, dan menjaga setiap amanah yang diembannya, melaksanakan semua pekerjaannya dengan penuh perhatian dan kepedulian, memperhatikan waktu mulai kerja dan jam pulang kerja, meskipun pimpinannya maupun majikannya bersikap toleran dan longgar kepadanya, tidak pernah memberikan perintah kepadanya, maka hendaknya dia tidak bersantai-santai dan mengabaikan tugas-tugas dalam pekerjaannya, bahkan patut baginya bersungguh-sungguh dalam pelaksanaan pekerjaannya sehingga menjadi kebaikan baginya dan bagi pimpinannya, tauladan dalam mengemban amanah dan tauladan bagi para pekerja yang lainnya ”. “ Fatawa As Syaikh Bin Baaz ” ( 5/39,40 ).Dan agar penghasilan kalian menjadi baik maka wajib bagi kalian konsisten terhadap kebiasaan yang berlaku di tempat kerja kalian sebagaimana yang telah dituntut kepada kalian untuk melaksanakannya, kalau kalian tidak melakukannya maka penghasilan kalian menjadi haram, dan aturan-aturan yang berlaku ditempat pekerjaan ini ; mulai dari efesiensi saat bekerja, durasi waktu kerja yang mencakup jam datang dan jam pulang, semua ini bukan hanya untuk kepentingan pegawai secara pribadi akan tetapi untuk kepentingan bersama, sebab jikalau ini semua tidak diterapkan maka masing-masing individu akan bekerja mengikuti hawa nafsunya dan akan terjadi kesemrawutan yang akan menghambat kelancaran proses kerja secara merata.
Dan barang siapa yang tidak tunduk dan konsisten terhadap aturan pekerjaan yang dia telah dituntut untuk melaksanakannya, atau dia tidak patuh dengan durasi waktu kerja yang telah ditentukan, maka dia akan mendapatkan dosa, dan upah yang akan diperoleh menjadi haram. Syaikh Shalih Al Fauzan Hafidzahullah pernah ditanya : Seseorang yang bekerja sambilan dengan jangka waktu yang telah ditentukan, dan sebagian besar waktunya dihabiskan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan kawan-kawannya hingga tersisa sehari atau dua hari lalu penanggung jawab proyek ini mengatakan kepada para pekerja : hari ini pekerjaan akan selesai dan besok bagi yang menginginkan untuk pulang dan kembali kepada keluarganya maka dipersilahkan untuk pulang, maka apakah dia diperkanankan mengambil gaji sehari atau dua hari yang dia tidak ikut serta bekerja bersama-sama dengan kawan-kawannya ?
Beliau menjawab : “ Tidak diperkenankan baginya mengambil gaji kecuali sebatas hari-hari di mana dia telah bekerja di dalamnya, adapun hari-hari yang dia tidak ikut serta dalam bekerja dan pulang kepada keluarganya maka tidak diprkenankan baginya mengambil sesuatu apapun dari gaji, karena dia mengambil upah tanpa jerih payah, dan perizinan yang diberikan oleh pihak penanggung jawab kepadanya untuk pulang kepada keluarganya tidak berarti dia berhak mengambil gaji dari hari yang dia tinggalkan dan dia tidak bekerja di dalamnya, karena ketika dia memutuskan untuk pulang kembali kepada keluarganya secara otomatis dia telah menghentikan kontrak kerjanya, meski kontrak kerjanya dihitung dari hari keberangkatannya dan hari kepulangannya jika memang tempat kerjanya jauh ”. Diambil dari “ Fatawa Syaikh Al Fauzan ” ( soal nomer 327 ).
Beliau juga pernah ditanya : Udzur atau alasan yang diberikan oleh pegawai kepada atasannya kebanyakan dusta, maka bagaimana pendapat anda ?
Beliau menjawab : “ Wajib bagi setiap Muslim untuk senantiasa bertakwa kepada Allah dan menjauhi prilaku dusta, dan tipu muslihat yang sengaja dibuat-buat agar bisa meninggalkan pekerjaan yang dibebankan kepadanya guna mendapatkan gaji yang akan diterimanya, dan bagi para penanggungung jawab pegawai ; para kepala-kepala bidang atau kepala bagian agar senantiasa bertakwa kepada Allah, dengan benar-benar jeli dan teliti dalam memberikan ijin dan cuti bagi para pegawainya agar tetap memberlakukan sesuai dengan aturan yang benar sesuai dengan aturan kepegawaian yang berlaku, dan benar-benar menutup peluang bagi para pegawai yang suka menipu dan bermain-main dengan pekerjaannya, karena sesungguhnya ini merupakan amanah yang dibebankan dipundak semuanya, yang mereka akan ditanya tentang amanahnya dihadapan Allah Subhanahu Wata’ala ”. Diambil dari “ Fatawa As Syaikh Al Fauzan ” ( soal nomer 328 ).
Dan barang siapa yang mendapatkan dosa sebagai balasan dari kelalaiannya dalam menjalankan kewajiban pekerjaannya, maka dia wajib bertaubat dan beristighfar, dan memperbaiki keadaannya, sedang gaji atau apapun yang telah dia peroleh dari atasannya atau majikannya ; maka wajib baginya untuk mengembalikannya kepada orang yang memperkerjakannya atau perusahan yang dia bekerja di sana, dengan memilih jalan atau cara yang sesuai guna menghilangkan dosa dan kesalahan, dan menyampaikan tanggungan kepada yang berhak, dan barang siapa yang merasa tidak mampu melakukan yang demikian setelah mengerahkan segenap upaya untuk menebus dosa, maka hendaklah dia membebaskan dirinya dari harta benda tersebut dengan menyalurkannya kepada jalan-jalan kebaikan yang bermacam-macam.
As Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah pernah ditanya : Saya dan teman saya diutus ke salah satu daerah selama empat hari, akan tetapi saya tidak berangkat bersama dengan teman saya , dan saya tetap tinggal melaksanakan pekerjaan utama saya, dan selang beberapa hari kemudian saya menerima imbalan atau gaji dari pekerjaan tambahan tersebut, maka pertanyaannya bolehkah saya memanfaatkan gaji tersebut ataukah tidak diperkenankan ? dan apabila jawabannya tidak halal bagi saya untuk memanfaatkannya, maka apakah saya diperbolehkan untuk membelanjakannya guna kepentingan dan kebutuhan sehari-hari kantor atau bagian administrasi di mana saya bekerja ?
Beliau menjawab : “Yang anda lakukan adalah mengembalikannya karena sesungguhnya anda tidak berhak mendapatkannya dan memanfaatkannya karena memang anda tidak melaksanakan tugas yang diamanahkan kepada anda, namun jika hal itu tidak memungkinkan dan tidak mudah mengembalikannya, maka wajib membelanjakan dan menyalurkan harta tersebut di sebagian unsur-unsur kebaikan ; seperti disedekahkan kepada para fakir miskin, ikut andil dalam sebagian proyek-proyek kebaikan dan kemaslahatan yang disertai taubat dan Istighfar dan berhati-hati untuk tidak mengulang kembali perbuatan tersebut ”. diambil dari “ Fatawa As Syaikh Bin Baz ” ( 19/343).
As Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah ditanya : Saya adalah seorang pegawai negeri dan kadang-kadang saya diminta untuk menyelesaikan pekerjaan tambahan di luar pekerjaan utama atau jam kantor saya, dan lingkungan kerja saya menugaskan dan mempercayakan kepada saya dan rekan-rekan saya untuk melaksanakan pekerjaan di luar jam kerja resmi di kantor dengan batasan waktu selama 45 hari, kemudian saya dan rekan-rekan saya yang dipilih telah berkomitmen untuk hadir dan ketika saya menanyakan kepada salah seorang yang memberikan mandat atas pekerjaan tersebut ; dia berkata kepada saya : gilaran anda belum waktunya, hingga berakhirlah batasan kontrak pekerjaan yang telah ditentukan dan saya belum melakukan apapun juga, akan tetapi pihak pemberi mandat atas pekerjaan tersebut tidak menyadarinya dan mereka tetap memberikan gaji kepada saya dan rekan-rekan saya sebagai imbalan kerja, akan tetapi saya merasa ragu dan bimbang dengan gaji yang saya terima, apakah dia termasuk halal ataukah haram ? yang perlu diketahui sesungguhnya pimpinan utama kami dan ketua penanggung jawab proyek pekerjaan tersebut mereka ridlo kepada pekerjaan saya selama ini, karena menurut pandangan mereka saya termasuk pegawai yang rajin sedang di sisi lain gaji saya terbilang kecil, dan jika gaji tersebut tidak bisa dikatakan halal maka apakah bisa dikategorikan sebagai imbalan buat saya atas ketekunan dan kebaikan kerja saya selama ini ?
Beliau menjawab : “ Pertanyaan semacam ini sering kali ditanyakan dan banyak yang bertanya tentang masalah semacam ini, saya ingin bertanya kepada kalian sekarang : Apakah ini termasuk haq ataukah batil ? dengan kata lain : Apakah gaji atau pemberian semacam ini yang diperoleh oleh seseorang atas pekerjaan tertentu, apakah dia melaksanakan pekerjaannya ataukah tidak ? jika memang dia tidak melaksanakan pekerjaannya : maka sungguh dia telah mengambil gaji dengan cara yang tidak benar dan mengambil gaji dengan cara yang tidak haq itu temasuk memakan harta dengan penuh kebatilan, yang di dalamnya terdapat unsur khianat terhadap mandat amanah yang diberikan meskipun sang pimpinan setuju akan hal tersebut karena pada waktu yang sama dia juga telah berkhianat sebab gaji atau upah yang diberikan sesungguhnya bukan dari harta dan uang miliknya sehingga dia berhak membelanjakan dan mengalokasikan sesuka hatinya, harta yang dia kelola adalah harta dan uang negara, dan sang penanya ini saya yakin dia telah bertobat dengan apa yang dia telah perbuat dan dia menginginkan terbebas dari beban semacam ini, dan berlepas diri dari persoalan semacam ini bukan berarti dengan mengembalikan gaji atau uang yang telah diterima kepihak pengelola proyek; karena hal itu akan menimbulkan permasalahan–permasalahan yang lain, kecuali jika memang pada saat dia mengembalikan gaji atau uang tersebut diketahui oleh pimpinan utama pekerjaan tersebut sehingga keputusan ada di tangan sang pimpinan, kalau memang terjadi seperti itu maka tidak jadi masalah, saya malah lebih menyukai jika para pimpinan seperti mereka yang bekerja di proyek-proyek pekerjaan semacam ini menjelaskan dihadapan mereka para pegawainya sehingga membiasakan bagi mereka proses-proses yang layak dan semestinya, adapun para pegawai yang suka bermain-main dalam lingkungan pekerjaannya maka hal yang demikian tidak diperkenankan karena pekerjaan semacam ini merupakan amanah atau kemaslahatan yang semacamnya, maka yang bisa saya katakan kepada saudara ini adalah : Jadikanlah uang yang anda terima ini sebagai infaq yang anda salurkan ke masjid; karena pendirian masjid merupakan tanggung jawab pemerintah untuk kaum muslimin, dan dengan demikian beban anda menjadi terselesaikan, dan dalam kesempatan ini saya ingin memberikan himbauan kepada para pimpinan, para direktur lembaga dan yang lainnya yang mereka bekerja di bidang-bidang semacam ini, saya berwasiat kepada mereka : Janganlah kalian berkhianat kepada pemerintah dan negara dengan memberikan apa yang tidak berhak kalian berikan, bertakwalah kalian kepada Allah terhadap apa yang kalian bertanggung jawab untuk memimpinnya, dan bertakwalah juga kepada Allah terhadap para pegawai yang berada di bawah kendali kalian, janganlah kalian memberikan kepada mereka harta benda yang tidak halal bagi mereka ”. Diambil dari “Liqoaat Al Bab Al Maftuh” ( Soal nomer 15/ 114 ). Maka yang wajib anda lakukan sekarang adalah bertaubat dari apa yang telah terjadi, dan mengembalikan harta benda kepada yang berwenang dan jika hal itu sulit kalian lakukan maka wajib bagi kalian menyedekahkannya di jalan kebaikan.
Sebagai pembersih harta, ada anggapan bahwa zakat bisa juga menjadi pembersih harta yang haram. Harta hasil korupsi, mencuri, judi, hingga riba dikatakan bisa dicuci lewat mesin zakat. Cukup membayar sebesar 2,5 persen kepada amil zakat dari total pendapatan yang sudah meraih nisab maka seorang koruptor, misalnya, bisa merasa bebas dari dosa akibat korupsi.
Hukum dasar korupsi di dalam Islam adalah haram. Alquran pun dengan tegas melarang kita untuk memakan harta dengan jalan yang batil. "Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (QS al-Baqarah 2: 188).
Sebaliknya, zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Zakat tidak bisa dikesampingkan karena bersifat wajib. Di dalam Alquran, Allah menyebutkan perintah zakat beriringan dengan perintah shalat sebanyak 82 kali. Ini menunjukkan posisi penting zakat dalam fondasi agama ini. Sebagai contoh, "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk." (QS al-Baqarah: 43).
Shaleh Al Fauzan dalam Fiqih Sehari-hari menjelaskan, kewajiban zakat demi kebaikan manusia itu sendiri. Zakat menjadi sarana untuk menyucikan dan menjaga harta. Tak hanya itu, zakat pun berfungsi sebagai sarana penghambaan kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya, doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS at-Taubah:103).
Meski zakat berfungsi untuk menyucikan harta seseorang, bukan berarti zakat seseorang sah saat dikeluarkan dari harta yang haram, baik dari sifatnya maupun cara mendapatkannya. Rasulullah SAW pun mengatakan, sedekah yang bersumber dari harta haram tidak menjadikan pahala. "Barang siapa yang mengumpulkan harta dari cara yang haram kemudian ia bersedekah darinya, maka ia tidak mendapatkan pahala apa pun, bahkan ia tetap menanggung dosa dari harta haram tersebut." (HR al-Baihaqi, al-Hakim, Ibnu Huzaimah, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).
Pendapat Imam Al Qurthubi sebagaimana dikutip dari kitab Fathu Al Baari menjelaskan bahwa sedekah atau zakat dari harta haram tidak diterima. Alasannya, karena harta haram pada hakikatnya bukan merupakan hak miliknya. Dengan demikian, pemilik harta haram dilarang menasarufkan harta tersebut dalam bentuk apa pun. Sementara, bersedekah adalah bagian dari tasaruf (penggunaan) harta. Seandainya sedekah dari harta haram dianggap sah maka seolah-olah ada satu perkara yang di dalamnya berkumpul perintah dan larangan. Itu pun menjadi hal mustahil.
Menarik jika melihat pendapat Imam Ibnu Nujaim sebagaimana dikutip dalam kitab Al-Bahru Al-Raaiq. Dia menjelaskan, tidak wajibnya membayar zakat atas harta haram sekalipun sudah sampai satu nishab. Menurut dia, seandainya ada seseorang yang memiliki harta haram seukuran nishab, maka ia tidak wajib berzakat. Karena yang menjadi kewajiban atas orang tersebut adalah membebaskan tanggung jawabnya atas harta haram itu dengan mengembalikan kepada pemiliknya atau para ahli waris–jika bisa diketahui atau disedekahkan kepada fakir miskin secara keseluruhanm harta haram tersebut dan tidak boleh sebagian saja.
Mengambil zakat dari harta yang haram pun menjadi bahasan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa MUI Nomor 13 Tahun 2011 menjelaskan, zakat wajib ditunaikan dari harta yang halal, baik hartanya maupun cara perolehannya. Harta haram tidak menjadi objek wajib pajak. Kewajiban bagi pemilik harta haram adalah bertaubat dan membebaskan tanggung jawab dirinya dari harta haram tersebut. MUI merilis, cara bertaubat. Meminta ampun kepada Allah, menyesali perbuatannya, dan ada keinginan kuat (azam) untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Menurut MUI, bagi harta yang haram karena didapat dengan cara mengambil sesuatu yang bukan haknya maka harta itu harus dikembalikan seutuhnya kepada pemiliknya. Tapi, jika pemiliknya tidak ditemukan maka digunakan untuk kemaslahatan umum. MUI kembali menjelaskan, bila harta tersebut adalah hasil usaha yang tidak halal seperti perdagangan minuman keras dan bunga bank maka hasil usaha tersebut (bukan pokok modal) secara kesuluruhan harus digunakan untuk kemaslahatan umum.
Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan Prinsip-Prinsip Syariah. Implementasi prinsip syariah inilah yang menjadi pembeda utama dengan bank konvensional. Pada intinya prinsip syariah tersebut mengacu kepada syariah Islam yang berpedoman utama kepada Al Quran dan Hadist.Islam sebagai agama merupakan konsep yang mengatur kehidupan manusia secara komprehensif dan universal baik dalam hubungan dengan Sang Pencipta (HabluminAllah) maupun dalam hubungan sesama manusia (Hablumminannas).
Ada tiga pilar pokok dalam ajaran Islam yaitu :
Aqidah : komponen ajaran Islam yang mengatur tentang keyakinan atas keberadaan dan kekuasaan Allah sehingga harus menjadi keimanan seorang muslim manakala melakukan berbagai aktivitas dimuka bumi semata-mata untuk mendapatkan keridlaan Allah sebagai khalifah yang mendapat amanah dari Allah.
Syariah : komponen ajaran Islam yang mengatur tentang kehidupan seorang muslim baik dalam bidang ibadah (habluminAllah) maupun dalam bidang muamalah (hablumminannas) yang merupakan aktualisasi dari akidah yang menjadi keyakinannya.
Sedangkan muamalah sendiri meliputi berbagai bidang kehidupan antara lain yang menyangkut ekonomi atau harta dan perniagaan disebut muamalah maliyah
Akhlaq : landasan perilaku dan kepribadian yang akan mencirikan dirinya sebagai seorang muslim yang taat berdasarkan syariah dan aqidah yang menjadi pedoman hidupnya sehingga disebut memiliki akhlaqul karimah sebagaimana hadis nabi yang menyatakan "Tidaklah sekiranya Aku diutus kecuali untuk menjadikan akhlaqul karimah"
Cukup banyak tuntunan Islam yang mengatur tentang kehidupan ekonomi umat yang antara lain secara garis besar adalah sebagai berikut:
Tidak memperkenankan berbagai bentuk kegiatan yang mengandung unsur spekulasi dan perjudian termasuk didalamnya aktivitas ekonomi yang diyakini akan mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu tetapi nilai uang untuk menukar dengan barang.
Harta harus berputar (diniagakan) sehingga tidak boleh hanya berpusat pada segelintir orang dan Allah Swt sangat tidak menyukai orang yang menimbun harta sehingga tidak produktif dan oleh karenanya bagi mereka yang mempunyai harta yang tidak produktif akan dikenakan zakat yang lebih besar dibanding jika diproduktifkan. Hal ini juga dilandasi ajaran yang menyatakan bahwa kedudukan manusia dibumi sebagai khalifah yang menerima amanah dari Allah Swt sebagai pemilik mutlak segala yang terkandung didalam bumi dan tugas manusia untuk menjadikannya sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan manusia.
Bekerja dan atau mencari nafkah adalah ibadah dan waJib dlakukan sehingga tidak seorangpun tanpa bekerja yang berarti siap menghadapi resiko dapat memperoleh keuntungan atau manfaat (bandingkan dengan perolehan bunga bank dari deposito yang bersifat tetap dan hampir tanpa resiko).
Dalam berbagai bidang kehidupan termasuk dalam kegiatan ekonomi harus dilakukan secara transparan dan adil atas dasar suka sama suka tanpa paksaan dari pihak manapun.
Adanya kewajiban untuk melakukan pencatatan atas setiap transaksi khususnya yang tidak bersifat tunai dan adanya saksi yang bisa dipercaya (simetri dengan profesi akuntansi dan notaris).
Zakat sebagai instrumen untuk pemenuhan kewajiban penyisihan harta yang merupakan hak orang lain yang memenuhi syarat untuk menerima, demikian juga anjuran yang kuat untuk mengeluarkan infaq dan shodaqah sebagai manifestasi dari pentingnya pemerataan kekayaan dan memerangi kemiskinan.
Sesungguhnya telah menjadi kesepakatan ulama, ahli fikih dan Islamic banker dikalangan dunia Islam yang menyatakan bahwa bunga bank adalah riba dan riba diharamkan.
Dalam operasionalnya, perbankan syariah harus selalu dalam koridor-koridorprinsip-prinsip sebagai berikut:
Keadilan, yakni berbagi keuntungan atas dasar penjualan riil sesuai kontribusi dan resiko masing-masing pihak
Kemitraan, yang berarti posisi nasabah investor (penyimpan dana), dan pengguna dana, serta lembaga keuangan itu sendiri, sejajar sebagai mitra usaha yang saling bersinergi untuk memperoleh keuntungan
Transparansi, lembaga keuangan Syariah akan memberikan laporan keuangan secara terbuka dan berkesinambungan agar nasabah investor dapat mengetahui kondisi dananya
Universal, yang artinya tidak membedakan suku, agama, ras, dan golongan dalam masyarakat sesuai dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Prinsip-Prinsipsyariah yang dilarang dalam operasional perbankan syariah adalah kegiatan yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
Maisir: Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang dapat memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Dalam perjudian, seseorang dalam kondisi bisa untung atau bisa rugi.Judi dilarang dalam praktik keuangan Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah sebagai berikut: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan" (QS Al-Maaidah : 90)
Pelarangan maisir oleh Allah SWT dikarenakan efek negative maisir. Ketika melakukan perjudian seseorang dihadapkan kondisi dapat untung maupun rugi secara abnormal. Suatu saat ketika seseorang beruntung ia mendapatkan keuntungan yang lebih besar ketimbang usaha yang dilakukannya. Sedangkan ketika tidak beruntung seseorang dapat mengalami kerugian yang sangat besar. Perjudian tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan keseimbangan sehingga diharamkan dalam sistem keuangan Islam.
Gharar : Menurut bahasa gharar berarti pertaruhan. Menurut istilah gharar berarti seduatu yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan atau perjudian. Setiap transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya alias di luar jangkauan termasuk jual beli gharar. Misalnya membeli burung di udara atau ikan dalam air atau membeli ternak yang masih dalam kandungan induknya termasuk dalam transaksi yang bersifat gharar. Pelarangan ghararkarena memberikan efek negative dalam kehidupan karena gharar merupakan praktik pengambilan keuntungan secara bathil. Ayat dan hadits yang melarang gharar diantaranya : "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui" (Al-Baqarah : 188)
Riba: Makna harfiyah dari kata Riba adalah pertambahan, kelebihan, pertumbuhan atau peningkatan. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Para ulama sepakat bahwa hukumnya riba adalah haram. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 130 yang melarang kita untuk memakan harta riba secara berlipat ganda. Sangatlah penting bagi kita sejak awal pembahasan bahwa tidak terdapat perbedaan pendapat di antara umat Muslim mengenai pengharaman Riba dan bahwa semua mazhab Muslim berpendapat keterlibatan dalam transaksi yang mengandung riba adalah dosa besar. Hal ini dikarenakan sumber utama syariah, yaitu Al-Qur'an dan Sunah benar-benar mengutuk riba. Akan tetapi, ada perbedaan terkait dengan makna dari riba atau apa saja yang merupakan riba harus dihindari untuk kesesuaian aktivitas-aktivitas perekonomian dengan ajaran Syariah.
Ada banyak ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang keharaman riba, diantaranya:
Surat Al-Baqarah, ayat 275:
Orang-orang yang makan (mengambil) RIBA' tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan RIBA', padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan RIBA'. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil RIBA'), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Alloh. Orang yang kembali (mengambil RIBA'), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Surat An-Nisa, ayat 161:
Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya dan karena mereka memakan harta orang dengan cara yang tidak sah (bathil). Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka azab yang pedih.
Surat Ali 'Imran, ayat 130:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Surat Ar-Rum, ayat 39:
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.
Jenis-jenis Riba
Menurut para ulama fiqih, riba dibagi menjadi 4 (empat) macam:
Riba Fadhl, yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan tidak sama timbangannya atau takarannya yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Contoh: tukar menukar dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dan sebagainya.
Riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan bagi orang yang meminjami/mempiutangi. Contoh : Andi meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Budi. Budi mengharuskan Andi mengembalikan hutangnya kepada Budi sebesar Rp. 30.000. maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
Riba Yad, yaitu berpisah dari tempat sebelum timbang diterima. Maksudnya: orang yang membeli suatu barang, kemudian sebelumnya ia menerima barang tersebut dari sipenjual, pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual beli seperti itu tidak boleh, sebab jual-beli masih dalam ikatan dengan pihak pertama.
Riba Nasi'ah, yaitu tukar menukar dua barang yang sejenis maupun tidak sejenis yang pembayarannya disyaratkan lebih, dengan diakhiri/dilambatkan oleh yang meminjam. Contoh : Rusminah membeli cincin seberat 10 Gram. Oleh penjualnya disyaratkan membayarnya tahun depan dengan cincin emas seberat 12 gram, dan jika terlambat satu tahun lagi, maka tambah 2 gram lagi menjadi 14 gram dan seterusnya.
Hikmah Pelarangan Riba
Banyak pihak yang telah menyatakan pandangan berbeda mengenai dasar rasional atau tujuan pengharaman riba oleh Syariah. Secara keseluruhan, keadilan sosio ekonomi dan distribusi, keseimbangan antargenerasi, instabilitas perekonomian, dan kehancuran ekologis dianggap sebagai dasar pengharaman riba. Mengingat semua teks dan prinsip yang relevan dalam hukum Islam, alasan satu-satunya yang meyakinkan adalah tentang keadilan distribusi karena pengharaman Riba dimaksudkan untuk mencegah akumulasi kekayaan pada segelintir orang, yaitu harta itu jangan hanya "beredar di antara orang-orang kaya" (Kitab Suci Al-Quran, 59:7). Oleh sebab itu, tujuan utama pelarangan atas Riba adalah untuk menghalangi sarana yang dapat menuntun ke akumulasi kekayaan pada segelintir pihak, baik itu bank maupun individu.
b. Pendapat Ulama tentang Bunga Bank
Pendapat para Ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (utang piutang, al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria riba yang di haramkan Allah SWT., seperti dikemukakan,antara lain,olehAl-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama mazhab Syafi'I) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur'an, atas dua pandangan.Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang dijelaskan oleh sunnah. Setiap hukum tentang riba yang dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan al Qur'an, baik riba naqad maupun riba nasi'ah.Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur'an sesungguhnya hanya mencakup riba nasai'yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihang berhutang tidak membayarnya,ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh tempo berikutnya. Itulah maksud firman Allah : "… janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda… " kemudian Sunnah menambahkan riba dalam pertukaran mata uang (naqad) terhadap bentuk riba yang terdapat dalam al-Qur'an.
Bunga uang atas pinjaman (Qardh) yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang di haramkan Allah SWT dalam Al-Quran,karena dalam riba tambahan hanya dikenakan pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam system bunga tambahan sudah langsung dikenakan sejak terjadi transaksi.
Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama' sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama' terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank. Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank.
Abu zahrah, Abu 'ala al-Maududi Abdullah al-'Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Syirbashi, menurutnya bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang yang menyimpan uang di bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun banyak. Namun yang terpaksa, maka agama itu membolehkan meminjam uang di bank itu dengan bunga.
Konsep mengenai harta dan kepemilikan merupakan salah satu pokok bahasan yang penting dalam Islam. Harta atau dalam bahasa arab disebut al-maal secara bahasa berarti condong, cenderung atau miring. Sedangkan secara istilah diartikan sebagai segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Ibnu Najm mengatakan, bahwa harta kekayaan, sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh ulama-ulama ushul fiqh, adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan tertentu dan hal itu terutama menyangkut yang kongkrit. Menurut para fuqaha, harta dalam perspektif Islam bersendi pada dua unsur; Pertama, unsur ‘aniyyah dan Kedua, unsur ‘urf. Unsur ‘aniyyah berarti harta itu berwujud atau kenyataan (a’yun). sebagai contoh, manfaat sebuah rumah yang dipelihara manusia tidak disebut harta, tetapi termasuk milik atau hak. Sedangkan unsur ‘urf adalah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau oleh sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali menginginkan manfaatnya, baik manfaat yang bersifat madiyyah maupun ma’nawiyyah.
Dalam Islam kedudukan harta merupakan hal penting yang dibuktikan bahwa terdapat lima maqashid syariah yang salah satu diantaranya adalah al-maal atau harta. Islam meyakini bahwa semua harta di dunia ini adalah milik Allah ta’ala, manusia hanya berhak untuk memanfaatkannya saja. Meskipun demikian, Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Untuk itu Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai menggadai, dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba dan mewajibkan kepada orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya, harta yang dirusak oleh anak-anak yang di bawah tanggungannya, bahkan yang dirusak oleh binatang peliharaannya sekalipun.
Perlindungan Islam terhadap harta benda seseorang tercermin dalam firmanNya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (Q.S. An-Nisa: 29-32).
Pembagian Jenis-jenis Harta
Harta Mutaqawwim dan Harta Ghair al -mutaqawwim
Harta mutaqawwim ialah segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dibolehkan syara’ untuk memanfaatkannya. Maksud pengertian harta ghair al-Mutaqawwim merupakan kebalikan dari harta mutaqawwim, yakni segala sesuatu yang tidak dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dilarang oleh syara’ untuk memanfaatkannya.
Mal Mitsli dan Mal Qimi
harta mitsli dan qimi sebagai sesatu yang memiliki persamaan atau kesetaraan di pasar, tidak ada perbedaan yang pada bagian bagiannya atau kesatuannya. harta yang ada duanya atau dapat ditukar dengan hal serupa dan sama disebut mitsli dan harta yang tidak duanya atau berbeda secara tepat disebut qimi.
Mal Istihlak dan Mal Isti’mal
harta istihlak merupakan harta yang penggunaannya hanya sekali pakai sedangkan harta isti’mal harta yang penggunaannya bisa berkali-kali pakai.
Mal Manqul dan Mal Ghair al-Manqul
harta manqul yaitu harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari tempat satu ketempat yang lain, baik tetap pada bentuk dan keadaan semula ataupun berubah bentuk dan keadaannya dengan perpindahan dan perubahan tersebut. Sedangkan harta ghair al-manqul maksudnya segala sesuatu yang tetap (harta tetap), yang tidak mungkin dipindahkan dan diubah posisinya dari satu tempat ketempat yang lain menurut asalnya, seperti kebun, rumah, pabrik, sawah dan lainnya.
Harta ‘Ain dan Dayn
harta ‘ain yaitu harta yang berbentuk. sedangkan, harta dayn harta yang menjadi tanggung jawab seperti uang yang dititipkan ke orang lain.
Harta Nafi’i
harta nafi’i yaitu harta yang tidak berbentuk
Harta Mamluk, Mubah dan Mahjur
harta mamluk yaitu harta yang statusnya memilikik kepemilikian baik individu, umum atau negara. harta mubah yaitu hukum harta pada asalnya yaitu tidak ada yang memiliki. sedangkan, harta mahjur yaitu harta yang tidak boleh dimilikioleh pribadi.
Harta Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi
pembagian harta ini didasari oleh potensi harta menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila dibagikan. harta yang dapat dibagi yaitu harta tidak menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila dibagikan seperti beras. sedangkan, harta yang tidak dapat dibagi yaitu harta menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila dibagikan seperti benda-benda mewah.
Harta Pokok dan Hasil
harta pokok ialah harta yang mungkin menumbulkan harta lain atau dalam istilah ekonomi disebut harta modal.
Harta Khas dan ‘Am
harta khas yaitu harta milik individu yang tidak boleh diambil manfaatnya jika tidak direstui pemiliknya. sedangkah harta am yaitu harta milik umum yang dibebaskan dalam mengambil manfaatnya.
Selain harta, hal penting dalam bahasan syariah islam yaitu tentang kepemilikan harta itu sendiri. kepemilikan (al-milkiyyah) adalah istilah hukum Islam yang menandakan hubungan antara manusia dan harta yang menjadikan harta itu secara khusus melekat padanya. Berdasarkan definisi ini, perolehan properti oleh seorang individu, dengan cara yang sah, memberikan hak kepadanya untuk memiliki hubungan eksklusif dengan properti itu, menggunakan atau menanganinya selama tidak ada hambatan hukum untuk berurusan seperti itu. Pada dasarnya menurut firman Allah SWT sesungguhnya seluruh harta atau kekayaan adalah milik Allah SWT seperti firmannya pada Ayat alquran surat Al-maidah:20 “Dan ingatlah ketika musa berkata kepada kaumnya: hai kaumku, ingatlah nikmat allah atasmu keika ia mengangkat nabi-nabi diantaramu, dan dijadikannya kamu orang-orang yang merdeka, dan diberikannya kepadamu apa-apa yang belum pernah diberikan kepada seseorangpun diantara umat umat yang lain.” Dalam Islam kepemilikan harta dibagia atas kepemilikan pribadi atau individu, kepemilikan bersama atau komunal/umum dan kepemilkan milik negara.
Islam mengakui kepemilikan individu asal didapatkan dan dibelanjakan dengan cara yang syar’i. harta pribadi dalam penggunaanya tidak boleh memiliki dampak negatif terhadap pihak lain. selain itu, individu bebas dalam pemanfaatan harta miliknya secara produktif, melindungi harta tersebut dan memindahkannya dengan dibatasi oleh syariat yang ada. hal ini untuk mengurangi kesia-siaan dalam kepemilikan harta.
Selain kepemilikan pribadi Islam juga mengakui kepemilikan umum dan Negara. kepemilikan umum meliputi mineral padat, cair dan gas yang asalnya dari dalam perut bumi. benda benda tersebut dimasukkan ke dalam golongan milik umum karena memiliki kebermanfaatan besar bagi masyarakat dan menyangkut hajat hidup masyarakat itu sendiri sehingga dimasukkan kedalam golongan harta milik umum dan dikelola oleh negara. sedangkan, harta milik negara yaitu segala bentuk penarikan yang dilakukan oleh negara secara syari kepada masyarakatnya seperti pajak, hasil pengelolahan pertanian, perdagangan dan industri yang masuk kedalam kas negara. harta milik negara ini kemudian dibelanjakan untuk kepentingan warganya.
Definisi harta haram dan bahayanya bagi individu. Serta motivasi untuk mencari yang halal. Insyaa Allah di kesempatan ini, kita akan membahas 3 poin:
[a] Ancaman dosa korupsi
[b] Bahaya harta haram bagi kehidupan sosial
[c] Pembagian harta haram
Bahaya Ghulul (Korupsi)
Di antara dosa besar yang dianggap sepele oleh sebagian besar masyarakat adalah al-ghulul. al-Ghulul maksudnya mengambil harta bersama untuk kepentingan pribadi, padahal bukan miliknya. Termasuk memanfaatkan barang-barang inventaris kantor untuk kepentingan pribadi atau keluarganya, dan bukan untuk kepentingan dinas. Perilaku seperti ini termasuk perbuatan zhalim yang berat bisa menyeret masyarakat pada kerusakan, terutama pelakunya. Pelaku tindak kezhaliman ini terancam hukuman yang keras dunia dan akhirat. Allah berfirman,
“Barang siapa berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.” (QS. Ali Imran : 161)
Dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menunjuk seseorang dari kabilah al-Azdi sebagai amil zakat, yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah. Setelah bekerja dia datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata,
“Ini untuk Anda dan yang ini untukku. Saya diberi hadiah.”
Mendengar hal itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar seraya bersabda,
“Ada apa dengan amil zakat yang kami utus, lalu dia datang dengan mengatakan, ‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku!’ Cobalah dia duduk di rumah ayahnya atau ibunya, dan lihat, apakah dia akan diberi hadiah ataukah tidak? Demi Allah ta’ala , jika seseorang datang dengan mengambil sesuatu dari yang tidak benar melainkan dia akan membawanya pada hari kiamat, lalu dia akan memikulnya di lehernya. (Jika yang ia ambil adalah) onta, maka akan keluar suara onta. Jika sapi, maka akan mengeluh. Jika kambing, maka akan mengembek”.
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami bisa melihat putihnya kedua ketiak beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, “Wahai Allah! Aku telah menyampaikannya?” (HR. Bukhari 7174 dan Muslim 4843)
Ketika seorang pegawai telah mendapatkan gaji sesuai tugasnya, maka dia tidak diperkenankan untuk mengambil selain gaji karena layanan yang dia berikan kepada masyarakat.
Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah), maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulul (pengkhianatan, korupsi, atau penipuan).” (HR. Abu Daud 2945 dan dishahihkan al-Albani)
Permasalahannya, bukan pada banyak atau sedikitnya barang yang diambil, akan tetapi jika virus ghulul (korupsi) dibiarkan, maka akan semakin membesar. Orang yang sudah terbiasa mengambil suatu yang kecil, dia akan berani untuk mengambil sesuatu yang lebih besar.
Kalau amanah sudah ditinggalkan maka banyak hak yang terabaikan, keadilan akan melemah, kezhaliman merajalela, rasa aman hilang, dan masyarakat dilanda ketakutan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Yang pertama kali hilang dari agamamu adalah sikap amanah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, 38740)
Bagi muslim cara yang paling efektif untuk menghilangkan hal ini adalah dengan membangun muraqabatullah (merasa selalu diawasi Allah) di saat sendirian maupun di keramaian. Yakin bahwa besok akan ada kehidupan yang kedua di akhirat, kehidupan yang isinya hanya pertanggungjawaban dan balasan.
Dampak Harta Haram terhadap Umat
Harta haram berdampak buruk terhadap pribadi pelakunya secara khusus dan umat manusia secara umum. Diantara sisi buruk mengkonsumsi harta haram bagi umat adalah,
“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan.” (QS. al-Maidah: 62)
Allah menggambarkan sebuah masyarakat yang rusak dan hancur di masa itu yaitu masyarakat Yahudi.
Mayoritas yahudi sangat suka memakan harta haram, terutama suap dan riba. Bila karakter buruk ini ditiru oleh masyarakat muslim, bisa jadi nasib mereka tidak berbeda dengan Yahudi.
[2] Ancaman neraka karena harta haram yang mereka masukkan ke dalam perutnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidaklah tumbuh setiap daging yang diberi asupan makanan yang haram melainkan nerakalah yang berhak membakarnya.” (HR. Ahmad 14441, Tarmizi 617, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
Orang yang yakin akan kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu dia tidak akan berani mengambil sekecil apapun harta haram dan dia tidak akan tega membawa secuil pun harta haram ke rumahnya lalu menyuapkannya ke mulut istri dan anak-anaknya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Sesungguhnya ada sebagian orang yang mengambil harta milik Allah bukan dengan cara yang benar. Sehingga mereka akan mendapatkan neraka pada hari Kiamat.” (HR. Bukhari 3118)
[3] Harta haram adalah penyebab kehinaan dan kenistaan umat Islam saat ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang larangan jual beli ‘inah,
“Apabila kalian berjual beli dengan cara ‘inah, sibuk memegang ekor-ekor sapi (cinta harta), sibuk bercocok tanam, dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menjadikan kalian dikuasai oleh kehinaan. Tidak akan diangkat kehinaan tersebut sampai kalian kembali kepada syari’at agama kalian.” (HR. Abu Dawud 3464, dishahihkan al-Albani)
Jual beli ‘inah adalah salah satu kamuflase riba. karena hakekatnya transaksi utang piutang yang menghasilkan keuntungan dan bukan jual beli.
[4] Harta haram yang merajalela di masyarakat menjadi sebab turunnya adzab.
“Apabila perzinahan dan riba merajalela di suatu negeri, sungguh mereka telah mengundang azab Allah untuk menimpa mereka.” (HR. al-Hakim 2261, dishahihkan ad-Dzahabi)
Pembagian Harta Haram
Harta haram terbagi menjadi 2:
[1] Harta haram karena dzatnya
Harta haram karena dzatnya ada 4 macam:
(a) Benda haram yang sama sekali tidak memiliki manfaat yang mubah, seperti khamr, berhala, alat musik, dst.
Harta semacam ini harus dibuang dan sama sekali tidak boleh disimpan. Harta haram jenis ini tidak bisa diperjualbelikan dan tidak bisa dimanfaatkan.
Ketika khamr diharamkan, Abu Thalhah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang anak yatim yang memiliki warisan berupa khamr. Beliau bersabda, “Tumpahkan!” (HR. Ahmad 12189 & Abu Daud 3677)[1]
(b) Benda haram yang memiliki manfaat mubah, namun tidak boleh diperjual belikan.
Seperti anjing, atau bangkai yang bisa disamak kulitnya, atau lemak bangkai yang bisa dimanfaatkan untuk minyak.
“Apabila Allah mengharamkan suatu kaum untuk makan sesuatu maka Allah haramkan hasil penjualannya.” (HR. Ahmad 2221, Abu Daud 3490 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
(c) Benda yang haram dimakan namun halal dimanfaatkan dan diperjualbelikan.
وكالحمر الأهلية، والبغال ونحوها مما يحرم أكلُه دونَ الانتفاع به
“Seperti keledai jinak, bighal atau semacamnya, yang haram dimakan, namun tidak haram untuk dimanfaatkan.” (Zadul Ma’ad, 5/762)
(d) Benda yang asalnya halal namun dia berpotensi digunakan untuk yang haram.
Benda semacam ini tidak boleh diberikan kepada orang yang akan menggunakannya untuk tujuan yang haram, baik dengan cara cuma-cuma atau berbayar (jual beli).
Sahabat Imran bin Hushain membenci jual beli senjata ketika suasana konflik. (HR. Bukhari secara muallaq)
[2] Harta haram karena cara mendapatkannya
Harta ini dzatnya halal, seperti uang, bahan makanan atau properti lainnya. Namun menjadi haram, karena diperoleh dengan cara yang tidak benar.
Cara mendapatkan harta haram, ada 2:
Pertama, didapatkan melalui transaksi haram yang saling ridha.
Itulah semua harta haram yang diperoleh dari transaksi saling setuju, tidak ada paksaan, dan atas dasar suka sama suka.
Misalnya harta haram dari hasil judi, atau transaksi riba atau transaksi gharar (tidak jelas). Termasuk hasil dari jual beli barang haram. Seperti hasil jual beli khamr, narkoba, rokok, atau senjata yang akan digunakan untuk membunuh kaum muslimin.
Kedua, Diperoleh melalui cara yang tidak saling ridha (kedzaliman).
Seperti harta haram hasil pemaksaan, atau hasil menipu, korupsi, atau melalui tindak kriminal lainnya. Harta haram jenis ini tidak akan berubah statusnya menjadi halal. Karena harta ini tetap menjadi milik pihak yang dizhalimi.
[1] Jumhur ulama berpendapat, harus dijauhkan dan tidak boleh dimanfaatkan.
Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,
ذهب جمهور الفقهاء إلى تحريم الانتفاع بالخمر للمداواة، وغيرها من أوجه الانتفاع، كاستخدامها في دهن، أو طعام، أو بل طين
Jumhur ulama berpendapat, haramnya memanfaatkan khamr untuk obat atau pemanfaatan lainnya, seperti digunakan untuk parfum, atau campuran makanan atau untuk membasahi adonan semen. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 5/26).
Karena Allah perintahkan agar khamr ditinggalkan, melalui firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. al-Maidah: 90)
Dalam ayat di atas, Allah perintahkan agar kita menjauhinya [jauhilah perbuatan-perbuatan itu]. al-Qurthubi mengatakan,
قوله: (فَاجْتَنِبُوهُ) يقتضي الاجتناب المطلق الذي لا ينتفع معه بشيء بوجه من الوجوه، لا بشرب، ولا بيع، ولا تخليل، ولا مداواة، ولا غير ذلك، وعلى هذا تدل الأحاديث الواردة في الباب
Firman Allah, “Jauhilah semua perbuatan itu” menuntut untuk menjauhi secara mutlak, yang melarang adanya pemanfaatan apapun. Baik diminum, dijual, dibuat cuka, atau untuk obat, atau apapun pemanfaatannya. Inilah yang sesuai dengan kandungan hadis dalam masalah ini. (Tafsir al-Qurthubi, 6/289).
Harta dan Kepemilikan dalam Islam. Konsep mengenai harta dan kepemilikan merupakan salah satu pokok bahasan yang penting dalam Islam. Harta atau dalam bahasa arab disebut al-maal secara bahasa berarti condong, cenderung atau miring. Sedangkan secara istilah diartikan sebagai segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Ibnu Najm mengatakan, bahwa harta kekayaan, sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh ulama-ulama ushul fiqh, adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan tertentu dan hal itu terutama menyangkut yang kongkrit. Menurut para fuqaha, harta dalam perspektif Islam bersendi pada dua unsur; Pertama, unsur ‘aniyyah dan Kedua, unsur ‘urf. Unsur ‘aniyyah berarti harta itu berwujud atau kenyataan (a’yun). sebagai contoh, manfaat sebuah rumah yang dipelihara manusia tidak disebut harta, tetapi termasuk milik atau hak. Sedangkan unsur ‘urf adalah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau oleh sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali menginginkan manfaatnya, baik manfaat yang bersifat madiyyah maupun ma’nawiyyah.
Dalam Islam kedudukan harta merupakan hal penting yang dibuktikan bahwa terdapat lima maqashid syariah yang salah satu diantaranya adalah al-maal atau harta. Islam meyakini bahwa semua harta di dunia ini adalah milik Allah ta’ala, manusia hanya berhak untuk memanfaatkannya saja. Meskipun demikian, Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Untuk itu Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai menggadai, dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba dan mewajibkan kepada orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya, harta yang dirusak oleh anak-anak yang di bawah tanggungannya, bahkan yang dirusak oleh binatang peliharaannya sekalipun.
Perlindungan Islam terhadap harta benda seseorang tercermin dalam firmanNya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (Q.S. An-Nisa: 29-32).
Pembagian Jenis-jenis Harta
Harta Mutaqawwim dan Harta Ghair al mutaqawwim
Harta mutaqawwim ialah segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dibolehkan syara’ untuk memanfaatkannya. Maksud pengertian harta ghair al-Mutaqawwim merupakan kebalikan dari harta mutaqawwim, yakni segala sesuatu yang tidak dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dilarang oleh syara’ untuk memanfaatkannya.
Mal Mitsli dan Mal Qimi
harta mitsli dan qimi sebagai sesatu yang memiliki persamaan atau kesetaraan di pasar, tidak ada perbedaan yang pada bagian bagiannya atau kesatuannya. harta yang ada duanya atau dapat ditukar dengan hal serupa dan sama disebut mitsli dan harta yang tidak duanya atau berbeda secara tepat disebut qimi.
Mal Istihlak dan Mal Isti’mal
harta istihlak merupakan harta yang penggunaannya hanya sekali pakai sedangkan harta isti’mal harta yang penggunaannya bisa berkali-kali pakai.
Mal Manqul dan Mal Ghair al Manqul
harta manqul yaitu harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari tempat satu ketempat yang lain, baik tetap pada bentuk dan keadaan semula ataupun berubah bentuk dan keadaannya dengan perpindahan dan perubahan tersebut. Sedangkan harta ghair al-manqul maksudnya segala sesuatu yang tetap (harta tetap), yang tidak mungkin dipindahkan dan diubah posisinya dari satu tempat ketempat yang lain menurut asalnya, seperti kebun, rumah, pabrik, sawah dan lainnya.
Harta ‘Ain dan Dayn
harta ‘ain yaitu harta yang berbentuk. sedangkan, harta dayn harta yang menjadi tanggung jawab seperti uang yang dititipkan ke orang lain.
Harta Nafi’i
harta nafi’i yaitu harta yang tidak berbentuk
Harta Mamluk, Mubah dan Mahjur
harta mamluk yaitu harta yang statusnya memilikik kepemilikian baik individu, umum atau negara. harta mubah yaitu hukum harta pada asalnya yaitu tidak ada yang memiliki. sedangkan, harta mahjur yaitu harta yang tidak boleh dimilikioleh pribadi.
Harta Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi
pembagian harta ini didasari oleh potensi harta menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila dibagikan. harta yang dapat dibagi yaitu harta tidak menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila dibagikan seperti beras. sedangkan, harta yang tidak dapat dibagi yaitu harta menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila dibagikan seperti benda-benda mewah.
Harta Pokok dan Hasil
harta pokok ialah harta yang mungkin menumbulkan harta lain atau dalam istilah ekonomi disebut harta modal.
Harta Khas dan ‘Am
harta khas yaitu harta milik individu yang tidak boleh diambil manfaatnya jika tidak direstui pemiliknya. sedangkah harta am yaitu harta milik umum yang dibebaskan dalam mengambil manfaatnya.
Selain harta, hal penting dalam bahasan syariah islam yaitu tentang kepemilikan harta itu sendiri. kepemilikan (al-milkiyyah) adalah istilah hukum Islam yang menandakan hubungan antara manusia dan harta yang menjadikan harta itu secara khusus melekat padanya. Berdasarkan definisi ini, perolehan properti oleh seorang individu, dengan cara yang sah, memberikan hak kepadanya untuk memiliki hubungan eksklusif dengan properti itu, menggunakan atau menanganinya selama tidak ada hambatan hukum untuk berurusan seperti itu. Pada dasarnya menurut firman Allah SWT sesungguhnya seluruh harta atau kekayaan adalah milik Allah SWT seperti firmannya pada Ayat alquran surat Al-maidah:20 “Dan ingatlah ketika musa berkata kepada kaumnya: hai kaumku, ingatlah nikmat allah atasmu keika ia mengangkat nabi-nabi diantaramu, dan dijadikannya kamu orang-orang yang merdeka, dan diberikannya kepadamu apa-apa yang belum pernah diberikan kepada seseorangpun diantara umat umat yang lain.” Dalam Islam kepemilikan harta dibagia atas kepemilikan pribadi atau individu, kepemilikan bersama atau komunal/umum dan kepemilkan milik negara.
Islam mengakui kepemilikan individu asal didapatkan dan dibelanjakan dengan cara yang syar’i. harta pribadi dalam penggunaanya tidak boleh memiliki dampak negatif terhadap pihak lain. selain itu, individu bebas dalam pemanfaatan harta miliknya secara produktif, melindungi harta tersebut dan memindahkannya dengan dibatasi oleh syariat yang ada. hal ini untuk mengurangi kesia-siaan dalam kepemilikan harta.
Selain kepemilikan pribadi Islam juga mengakui kepemilikan umum dan Negara. kepemilikan umum meliputi mineral padat, cair dan gas yang asalnya dari dalam perut bumi. benda benda tersebut dimasukkan ke dalam golongan milik umum karena memiliki kebermanfaatan besar bagi masyarakat dan menyangkut hajat hidup masyarakat itu sendiri sehingga dimasukkan kedalam golongan harta milik umum dan dikelola oleh negara. sedangkan, harta milik negara yaitu segala bentuk penarikan yang dilakukan oleh negara secara syari kepada masyarakatnya seperti pajak, hasil pengelolahan pertanian, perdagangan dan industri yang masuk kedalam kas negara. harta milik negara ini kemudian dibelanjakan untuk kepentingan warganya.
Definisi harta haram dan bahayanya bagi individu. Serta motivasi untuk mencari yang halal. Insyaa Allah di kesempatan ini, kita akan membahas 3 poin:
[a] Ancaman dosa korupsi
[b] Bahaya harta haram bagi kehidupan sosial
[c] Pembagian harta haram
Bahaya Ghulul (Korupsi)
Di antara dosa besar yang dianggap sepele oleh sebagian besar masyarakat adalah al-ghulul. al-Ghulul maksudnya mengambil harta bersama untuk kepentingan pribadi, padahal bukan miliknya. Termasuk memanfaatkan barang-barang inventaris kantor untuk kepentingan pribadi atau keluarganya, dan bukan untuk kepentingan dinas. Perilaku seperti ini termasuk perbuatan zhalim yang berat bisa menyeret masyarakat pada kerusakan, terutama pelakunya. Pelaku tindak kezhaliman ini terancam hukuman yang keras dunia dan akhirat. Allah berfirman,
“Barang siapa berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.” (QS. Ali Imran : 161)
Dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menunjuk seseorang dari kabilah al-Azdi sebagai amil zakat, yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah. Setelah bekerja dia datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata,
“Ini untuk Anda dan yang ini untukku. Saya diberi hadiah.”
Mendengar hal itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar seraya bersabda,
“Ada apa dengan amil zakat yang kami utus, lalu dia datang dengan mengatakan, ‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku!’ Cobalah dia duduk di rumah ayahnya atau ibunya, dan lihat, apakah dia akan diberi hadiah ataukah tidak? Demi Allah ta’ala , jika seseorang datang dengan mengambil sesuatu dari yang tidak benar melainkan dia akan membawanya pada hari kiamat, lalu dia akan memikulnya di lehernya. (Jika yang ia ambil adalah) onta, maka akan keluar suara onta. Jika sapi, maka akan mengeluh. Jika kambing, maka akan mengembek”.
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami bisa melihat putihnya kedua ketiak beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, “Wahai Allah! Aku telah menyampaikannya?” (HR. Bukhari 7174 dan Muslim 4843)
Ketika seorang pegawai telah mendapatkan gaji sesuai tugasnya, maka dia tidak diperkenankan untuk mengambil selain gaji karena layanan yang dia berikan kepada masyarakat.
Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah), maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulul (pengkhianatan, korupsi, atau penipuan).” (HR. Abu Daud 2945 dan dishahihkan al-Albani)
Permasalahannya, bukan pada banyak atau sedikitnya barang yang diambil, akan tetapi jika virus ghulul (korupsi) dibiarkan, maka akan semakin membesar. Orang yang sudah terbiasa mengambil suatu yang kecil, dia akan berani untuk mengambil sesuatu yang lebih besar.
Kalau amanah sudah ditinggalkan maka banyak hak yang terabaikan, keadilan akan melemah, kezhaliman merajalela, rasa aman hilang, dan masyarakat dilanda ketakutan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Yang pertama kali hilang dari agamamu adalah sikap amanah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, 38740)
Bagi muslim cara yang paling efektif untuk menghilangkan hal ini adalah dengan membangun muraqabatullah (merasa selalu diawasi Allah) di saat sendirian maupun di keramaian. Yakin bahwa besok akan ada kehidupan yang kedua di akhirat, kehidupan yang isinya hanya pertanggungjawaban dan balasan.
Dampak Harta Haram terhadap Umat
Harta haram berdampak buruk terhadap pribadi pelakunya secara khusus dan umat manusia secara umum. Diantara sisi buruk mengkonsumsi harta haram bagi umat adalah,
“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan.” (QS. al-Maidah: 62)
Allah menggambarkan sebuah masyarakat yang rusak dan hancur di masa itu yaitu masyarakat Yahudi.
Mayoritas yahudi sangat suka memakan harta haram, terutama suap dan riba. Bila karakter buruk ini ditiru oleh masyarakat muslim, bisa jadi nasib mereka tidak berbeda dengan Yahudi.
[2] Ancaman neraka karena harta haram yang mereka masukkan ke dalam perutnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidaklah tumbuh setiap daging yang diberi asupan makanan yang haram melainkan nerakalah yang berhak membakarnya.” (HR. Ahmad 14441, Tarmizi 617, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
Orang yang yakin akan kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu dia tidak akan berani mengambil sekecil apapun harta haram dan dia tidak akan tega membawa secuil pun harta haram ke rumahnya lalu menyuapkannya ke mulut istri dan anak-anaknya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Sesungguhnya ada sebagian orang yang mengambil harta milik Allah bukan dengan cara yang benar. Sehingga mereka akan mendapatkan neraka pada hari Kiamat.” (HR. Bukhari 3118)
[3] Harta haram adalah penyebab kehinaan dan kenistaan umat Islam saat ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang larangan jual beli ‘inah,
“Apabila kalian berjual beli dengan cara ‘inah, sibuk memegang ekor-ekor sapi (cinta harta), sibuk bercocok tanam, dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menjadikan kalian dikuasai oleh kehinaan. Tidak akan diangkat kehinaan tersebut sampai kalian kembali kepada syari’at agama kalian.” (HR. Abu Dawud 3464, dishahihkan al-Albani)
Jual beli ‘inah adalah salah satu kamuflase riba. karena hakekatnya transaksi utang piutang yang menghasilkan keuntungan dan bukan jual beli.
[4] Harta haram yang merajalela di masyarakat menjadi sebab turunnya adzab.
“Apabila perzinahan dan riba merajalela di suatu negeri, sungguh mereka telah mengundang azab Allah untuk menimpa mereka.” (HR. al-Hakim 2261, dishahihkan ad-Dzahabi)
Pembagian Harta Haram
Harta haram terbagi menjadi 2:
[1] Harta haram karena dzatnya
Harta haram karena dzatnya ada 4 macam:
(a) Benda haram yang sama sekali tidak memiliki manfaat yang mubah, seperti khamr, berhala, alat musik, dst.
Harta semacam ini harus dibuang dan sama sekali tidak boleh disimpan. Harta haram jenis ini tidak bisa diperjualbelikan dan tidak bisa dimanfaatkan.
Ketika khamr diharamkan, Abu Thalhah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang anak yatim yang memiliki warisan berupa khamr. Beliau bersabda, “Tumpahkan!” (HR. Ahmad 12189 & Abu Daud 3677)[1]
(b) Benda haram yang memiliki manfaat mubah, namun tidak boleh diperjual belikan.
Seperti anjing, atau bangkai yang bisa disamak kulitnya, atau lemak bangkai yang bisa dimanfaatkan untuk minyak.
“Apabila Allah mengharamkan suatu kaum untuk makan sesuatu maka Allah haramkan hasil penjualannya.” (HR. Ahmad 2221, Abu Daud 3490 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
(c) Benda yang haram dimakan namun halal dimanfaatkan dan diperjualbelikan.
وكالحمر الأهلية، والبغال ونحوها مما يحرم أكلُه دونَ الانتفاع به
“Seperti keledai jinak, bighal atau semacamnya, yang haram dimakan, namun tidak haram untuk dimanfaatkan.” (Zadul Ma’ad, 5/762)
(d) Benda yang asalnya halal namun dia berpotensi digunakan untuk yang haram.
Benda semacam ini tidak boleh diberikan kepada orang yang akan menggunakannya untuk tujuan yang haram, baik dengan cara cuma-cuma atau berbayar (jual beli).
Sahabat Imran bin Hushain membenci jual beli senjata ketika suasana konflik. (HR. Bukhari secara muallaq)
[2] Harta haram karena cara mendapatkannya
Harta ini dzatnya halal, seperti uang, bahan makanan atau properti lainnya. Namun menjadi haram, karena diperoleh dengan cara yang tidak benar.
Cara mendapatkan harta haram, ada 2:
Pertama, didapatkan melalui transaksi haram yang saling ridha.
Itulah semua harta haram yang diperoleh dari transaksi saling setuju, tidak ada paksaan, dan atas dasar suka sama suka.
Misalnya harta haram dari hasil judi, atau transaksi riba atau transaksi gharar (tidak jelas). Termasuk hasil dari jual beli barang haram. Seperti hasil jual beli khamr, narkoba, rokok, atau senjata yang akan digunakan untuk membunuh kaum muslimin.
Kedua, Diperoleh melalui cara yang tidak saling ridha (kedzaliman).
Seperti harta haram hasil pemaksaan, atau hasil menipu, korupsi, atau melalui tindak kriminal lainnya. Harta haram jenis ini tidak akan berubah statusnya menjadi halal. Karena harta ini tetap menjadi milik pihak yang dizhalimi.
[1] Jumhur ulama berpendapat, harus dijauhkan dan tidak boleh dimanfaatkan.
Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,
ذهب جمهور الفقهاء إلى تحريم الانتفاع بالخمر للمداواة، وغيرها من أوجه الانتفاع، كاستخدامها في دهن، أو طعام، أو بل طين
Jumhur ulama berpendapat, haramnya memanfaatkan khamr untuk obat atau pemanfaatan lainnya, seperti digunakan untuk parfum, atau campuran makanan atau untuk membasahi adonan semen. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 5/26).
Karena Allah perintahkan agar khamr ditinggalkan, melalui firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. al-Maidah: 90)
Dalam ayat di atas, Allah perintahkan agar kita menjauhinya [jauhilah perbuatan-perbuatan itu]. al-Qurthubi mengatakan,
قوله: (فَاجْتَنِبُوهُ) يقتضي الاجتناب المطلق الذي لا ينتفع معه بشيء بوجه من الوجوه، لا بشرب، ولا بيع، ولا تخليل، ولا مداواة، ولا غير ذلك، وعلى هذا تدل الأحاديث الواردة في الباب
Firman Allah, “Jauhilah semua perbuatan itu” menuntut untuk menjauhi secara mutlak, yang melarang adanya pemanfaatan apapun. Baik diminum, dijual, dibuat cuka, atau untuk obat, atau apapun pemanfaatannya. Inilah yang sesuai dengan kandungan hadis dalam masalah ini. (Tafsir al-Qurthubi, 6/289)
Definisi harta haram dan bahayanya bagi individu. Serta motivasi untuk mencari yang halal. Insyaa Allah di kesempatan ini, kita akan membahas 3 poin:
[a] Ancaman dosa korupsi
[b] Bahaya harta haram bagi kehidupan sosial
[c] Pembagian harta haram
Bahaya Ghulul (Korupsi)
Di antara dosa besar yang dianggap sepele oleh sebagian besar masyarakat adalah al-ghulul. al-Ghulul maksudnya mengambil harta bersama untuk kepentingan pribadi, padahal bukan miliknya. Termasuk memanfaatkan barang-barang inventaris kantor untuk kepentingan pribadi atau keluarganya, dan bukan untuk kepentingan dinas. Perilaku seperti ini termasuk perbuatan zhalim yang berat bisa menyeret masyarakat pada kerusakan, terutama pelakunya. Pelaku tindak kezhaliman ini terancam hukuman yang keras dunia dan akhirat. Allah berfirman,
“Barang siapa berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.” (QS. Ali Imran : 161)
Dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menunjuk seseorang dari kabilah al-Azdi sebagai amil zakat, yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah. Setelah bekerja dia datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata,
“Ini untuk Anda dan yang ini untukku. Saya diberi hadiah.”
Mendengar hal itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar seraya bersabda,
“Ada apa dengan amil zakat yang kami utus, lalu dia datang dengan mengatakan, ‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku!’ Cobalah dia duduk di rumah ayahnya atau ibunya, dan lihat, apakah dia akan diberi hadiah ataukah tidak? Demi Allah ta’ala , jika seseorang datang dengan mengambil sesuatu dari yang tidak benar melainkan dia akan membawanya pada hari kiamat, lalu dia akan memikulnya di lehernya. (Jika yang ia ambil adalah) onta, maka akan keluar suara onta. Jika sapi, maka akan mengeluh. Jika kambing, maka akan mengembek”.
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami bisa melihat putihnya kedua ketiak beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, “Wahai Allah! Aku telah menyampaikannya?” (HR. Bukhari 7174 dan Muslim 4843)
Ketika seorang pegawai telah mendapatkan gaji sesuai tugasnya, maka dia tidak diperkenankan untuk mengambil selain gaji karena layanan yang dia berikan kepada masyarakat.
Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah), maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulul (pengkhianatan, korupsi, atau penipuan).” (HR. Abu Daud 2945 dan dishahihkan al-Albani)
Permasalahannya, bukan pada banyak atau sedikitnya barang yang diambil, akan tetapi jika virus ghulul (korupsi) dibiarkan, maka akan semakin membesar. Orang yang sudah terbiasa mengambil suatu yang kecil, dia akan berani untuk mengambil sesuatu yang lebih besar.
Kalau amanah sudah ditinggalkan maka banyak hak yang terabaikan, keadilan akan melemah, kezhaliman merajalela, rasa aman hilang, dan masyarakat dilanda ketakutan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Yang pertama kali hilang dari agamamu adalah sikap amanah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, 38740)
Bagi muslim cara yang paling efektif untuk menghilangkan hal ini adalah dengan membangun muraqabatullah (merasa selalu diawasi Allah) di saat sendirian maupun di keramaian. Yakin bahwa besok akan ada kehidupan yang kedua di akhirat, kehidupan yang isinya hanya pertanggungjawaban dan balasan.
Dampak Harta Haram terhadap Umat
Harta haram berdampak buruk terhadap pribadi pelakunya secara khusus dan umat manusia secara umum. Diantara sisi buruk mengkonsumsi harta haram bagi umat adalah,
“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan.” (QS. al-Maidah: 62)
Allah menggambarkan sebuah masyarakat yang rusak dan hancur di masa itu yaitu masyarakat Yahudi.
Mayoritas yahudi sangat suka memakan harta haram, terutama suap dan riba. Bila karakter buruk ini ditiru oleh masyarakat muslim, bisa jadi nasib mereka tidak berbeda dengan Yahudi.
[2] Ancaman neraka karena harta haram yang mereka masukkan ke dalam perutnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidaklah tumbuh setiap daging yang diberi asupan makanan yang haram melainkan nerakalah yang berhak membakarnya.” (HR. Ahmad 14441, Tarmizi 617, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
Orang yang yakin akan kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu dia tidak akan berani mengambil sekecil apapun harta haram dan dia tidak akan tega membawa secuil pun harta haram ke rumahnya lalu menyuapkannya ke mulut istri dan anak-anaknya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Sesungguhnya ada sebagian orang yang mengambil harta milik Allah bukan dengan cara yang benar. Sehingga mereka akan mendapatkan neraka pada hari Kiamat.” (HR. Bukhari 3118)
[3] Harta haram adalah penyebab kehinaan dan kenistaan umat Islam saat ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang larangan jual beli ‘inah,
“Apabila kalian berjual beli dengan cara ‘inah, sibuk memegang ekor-ekor sapi (cinta harta), sibuk bercocok tanam, dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menjadikan kalian dikuasai oleh kehinaan. Tidak akan diangkat kehinaan tersebut sampai kalian kembali kepada syari’at agama kalian.” (HR. Abu Dawud 3464, dishahihkan al-Albani)
Jual beli ‘inah adalah salah satu kamuflase riba. karena hakekatnya transaksi utang piutang yang menghasilkan keuntungan dan bukan jual beli.
[4] Harta haram yang merajalela di masyarakat menjadi sebab turunnya adzab.
“Apabila perzinahan dan riba merajalela di suatu negeri, sungguh mereka telah mengundang azab Allah untuk menimpa mereka.” (HR. al-Hakim 2261, dishahihkan ad-Dzahabi)
Pembagian Harta Haram
Harta haram terbagi menjadi 2:
[1] Harta haram karena dzatnya
Harta haram karena dzatnya ada 4 macam:
(a) Benda haram yang sama sekali tidak memiliki manfaat yang mubah, seperti khamr, berhala, alat musik, dst.
Harta semacam ini harus dibuang dan sama sekali tidak boleh disimpan. Harta haram jenis ini tidak bisa diperjualbelikan dan tidak bisa dimanfaatkan.
Ketika khamr diharamkan, Abu Thalhah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang anak yatim yang memiliki warisan berupa khamr. Beliau bersabda, “Tumpahkan!” (HR. Ahmad 12189 & Abu Daud 3677)[1]
(b) Benda haram yang memiliki manfaat mubah, namun tidak boleh diperjual belikan.
Seperti anjing, atau bangkai yang bisa disamak kulitnya, atau lemak bangkai yang bisa dimanfaatkan untuk minyak.
“Apabila Allah mengharamkan suatu kaum untuk makan sesuatu maka Allah haramkan hasil penjualannya.” (HR. Ahmad 2221, Abu Daud 3490 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
(c) Benda yang haram dimakan namun halal dimanfaatkan dan diperjualbelikan.
وكالحمر الأهلية، والبغال ونحوها مما يحرم أكلُه دونَ الانتفاع به
“Seperti keledai jinak, bighal atau semacamnya, yang haram dimakan, namun tidak haram untuk dimanfaatkan.” (Zadul Ma’ad, 5/762)
(d) Benda yang asalnya halal namun dia berpotensi digunakan untuk yang haram.
Benda semacam ini tidak boleh diberikan kepada orang yang akan menggunakannya untuk tujuan yang haram, baik dengan cara cuma-cuma atau berbayar (jual beli).
Sahabat Imran bin Hushain membenci jual beli senjata ketika suasana konflik. (HR. Bukhari secara muallaq)
[2] Harta haram karena cara mendapatkannya
Harta ini dzatnya halal, seperti uang, bahan makanan atau properti lainnya. Namun menjadi haram, karena diperoleh dengan cara yang tidak benar.
Cara mendapatkan harta haram, ada 2:
Pertama, didapatkan melalui transaksi haram yang saling ridha.
Itulah semua harta haram yang diperoleh dari transaksi saling setuju, tidak ada paksaan, dan atas dasar suka sama suka.
Misalnya harta haram dari hasil judi, atau transaksi riba atau transaksi gharar (tidak jelas). Termasuk hasil dari jual beli barang haram. Seperti hasil jual beli khamr, narkoba, rokok, atau senjata yang akan digunakan untuk membunuh kaum muslimin.
Kedua, Diperoleh melalui cara yang tidak saling ridha (kedzaliman).
Seperti harta haram hasil pemaksaan, atau hasil menipu, korupsi, atau melalui tindak kriminal lainnya. Harta haram jenis ini tidak akan berubah statusnya menjadi halal. Karena harta ini tetap menjadi milik pihak yang dizhalimi.
[1] Jumhur ulama berpendapat, harus dijauhkan dan tidak boleh dimanfaatkan.
Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,
ذهب جمهور الفقهاء إلى تحريم الانتفاع بالخمر للمداواة، وغيرها من أوجه الانتفاع، كاستخدامها في دهن، أو طعام، أو بل طين
Jumhur ulama berpendapat, haramnya memanfaatkan khamr untuk obat atau pemanfaatan lainnya, seperti digunakan untuk parfum, atau campuran makanan atau untuk membasahi adonan semen. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 5/26).
Karena Allah perintahkan agar khamr ditinggalkan, melalui firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. al-Maidah: 90)
Dalam ayat di atas, Allah perintahkan agar kita menjauhinya [jauhilah perbuatan-perbuatan itu]. al-Qurthubi mengatakan,
قوله: (فَاجْتَنِبُوهُ) يقتضي الاجتناب المطلق الذي لا ينتفع معه بشيء بوجه من الوجوه، لا بشرب، ولا بيع، ولا تخليل، ولا مداواة، ولا غير ذلك، وعلى هذا تدل الأحاديث الواردة في الباب
Firman Allah, “Jauhilah semua perbuatan itu” menuntut untuk menjauhi secara mutlak, yang melarang adanya pemanfaatan apapun. Baik diminum, dijual, dibuat cuka, atau untuk obat, atau apapun pemanfaatannya. Inilah yang sesuai dengan kandungan hadis dalam masalah ini. (Tafsir al-Qurthubi, 6/289)