This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Kamis, 28 Juli 2022

Cara Membersihkan Harta Haram Yang Termakan (Ke 2)

Ilustrasi : Cara Membersihkan Harta Haram Yang Termakan (Ke 2)

Cara Membersihkan Harta Haram Yang Termakan (2), Pembagian Harta Haram sebagai berikut ini ;  Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan,Harta haram ada dua macam: 

  • (1) haram karena sifat atau zatnya,
  • (2) haram karena pekerjaan atau usahanya.

  1. Harta haram karena usaha seperti hasil kezholiman, transaksi riba dan maysir (judi).
  2. Harta haram karena sifat (zat) seperti bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih atas nama selain Allah.

Harta haram karena usaha lebih keras pengharamannya dan kita diperintahkan untuk wara’ dalam menjauhinya. Oleh karenanya ulama salaf, mereka berusaha menghindarkan diri dari makanan dan pakaian yang mengandung syubhat yang tumbuh dari pekerjaan yang kotor.

Adapun harta jenis berikutnya diharamkan karena sifat yaitu khobits (kotor). Untuk harta jenis ini, Allah telah membolehkan bagi kita makanan ahli kitab padahal ada kemungkinan penyembelihan ahli kitab tidaklah syar’i atau boleh jadi disembelih atas nama selain Allah. Jika ternyata terbukti bahwa hewan yang disembelih dengan nama selain Allah, barulah terlarang hewan tersebut menurut pendapat terkuat di antara pendapat para ulama yang ada. Telah disebutkan dalam hadits yang shahih dari ‘Aisyah,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ قَوْمٍ يَأْتُونَ بِاللَّحْمِ وَلَا يُدْرَى أَسَمَّوْا عَلَيْهِ أَمْ لَا ؟ فَقَالَ : سَمُّوا أَنْتُمْ وَكُلُوا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai suatu kaum yang diberi daging namun tidak diketahui apakah hewan tersebut disebut nama Allah ketika disembelih ataukah tidak. Beliau pun bersabda, “Sebutlah nama Allah (ucapkanlah ‘bismillah’) lalu makanlah.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 56-57)

Pekerjaan yang Haram

Pertama: Karena mengandung ghoror (ketidakjelasan)

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidak jelasan)” (HR. Muslim no. 1513).

Berbagai bentuk ghoror:

a- Ghoror dalam akad

Misalnya tunai dengan harga sekian dan kredit dengan harga lebih mahal dan tidak ada kejelasan manakah akad yang dipilih. Dari Abu Hurairah, ia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua bentuk transaksi dalam satu akad” (HR. An Nasai no. 4632, Tirmidzi no. 1231 dan Ahmad 2: 174. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Jaami’ Ash Shohih no. 6943). Sedangkan jika sudah ada kejelasan, misalnya membeli secara kredit –walau harganya lebih tinggi dari harga tunai-, maka tidak termasuk dalam larangan hadits di atas. Karena saat ini sudah jelas transaksi yang dipilih dan tidak ada lagi dua bentuk transaksi dalam satu akad. Sehingga dalil di atas bukanlah dalil untuk melarang jual beli kredit. Jual beli secara kredit itu boleh selama tidak ada riba di dalamnya.

b- Ghoror dalam barang yang dijual

Ghoror dalam barang bisa jadi pada jenis, sifat, ukuran, atau pada waktu penyerahan. Ghoror bisa terjadi pula karena barang tersebut tidak bisa diserahterimakan, menjual sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dilihat.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari munabadzah, yaitu seseorang melempar pakaiannya kepada yang lain dan itulah yang dibeli tanpa dibolak-balik terlebih dahulu atau tanpa dilihat keadaan pakaiannya. Begitu pula beliau melarang dari mulamasah, yaitu pakaian yang disentuh itulah yang dibeli tanpa melihat keadaaannya” (HR. Bukhari no. 2144). Jual beli ini terdapat jahalah (ketidakjelasan) dari barang yang dijual dan terdapat unsur qimar (spekulasi tinggi) dan keadaan barang tidak jelas manakah yang dibeli.

c- Ghoror dalam bayaran (uang)

Ghoror dalam masalah bayaran boleh jadi terjadi pada jumlah bayaran yang akan diperoleh, atau pada waktu penerimaan bayaran, bisa jadi pula dalam bentuk bayaran yang tidak jelas.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang disebut dengan “habalul habalah”. Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat jahiliyah. “Habalul habalah” adalah transaksi jual beli yang bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir” (HR. Bukhari, no. 2143 dan Muslim, no. 3883). Cucu dari unta tersebut tidak jelas diperoleh kapankah waktunya. Pembayarannya baru akan diberi setelah cucu unta tadi muncul dan tidak jelas waktunya. Bisa jadi pula unta tersebut tidak memiliki cucu.

Kedua: Karena mengandung riba

Riba ada tiga macam:

  • Riba fadhel, yaitu riba yang terjadi pada barang yang sejenis karena adanya tambahan.
  • Contoh: Menukar emas 24 karat dengan emas 18 karat dengan salah satu dilebihkan dalam hal timbangan. Atau menukar uang Rp 10 ribu dengan pecahan seribu rupiah namun hanya 9 lembar.
  • Riba nasi-ah, yaitu riba yang terjadi pada barang yang sejenis atau beda jenis namun masih dalam satu sebab (‘illah) dan terdapat tambahan dalam takaran atau timbangan dikarenakan waktu penyerahan yan tertunda. Contoh: Membeli emas yaitu menukar uang dengan emas, namun uangnya tertunda, alias dibeli secara kredit atau utang.
  • Riba qordh, yaitu riba dalam utang piutangan dan disyaratkan adanya keuntungan atau timbal balik berupa pemanfaatan. Seperti, berutang namun dipersyaratkan dengan pemanfaatan rumah dari orang yang berutang.

Contoh: Si B meminjamkan uang sebesar Rp 1 juta pada si A, lalu disyaratkan mengembalikan Rp 1,2 juta rupiah, atau disyaratkan selama peminjaman, rumah si A digunakan oleh si B (pemberi utang). Hal ini  berlaku riba qordh karena para ulama sepakat, “Setiap utang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba”.

Contoh jual beli yang mengandung riba: Jual beli kredit lewat pihak ketiga (leasing)

Jual beli secara kredit asalnya boleh selama tidak melakukan hal yang terlarang. Namun perlu diperhatikan bahwa kebolehan jual beli kredit  harus melihat beberapa kriteria.  Jika tidak diperhatikan, seseorang bisa terjatuh dalam jurang riba.

Kriteria pertama, barang yang dikreditkan sudah menjadi milik penjual (bank). Kita contohkan kredit mobil. Dalam kondisi semacam ini, si pembeli boleh membeli mobil tadi secara kredit dengan harga yang sudah ditentukan tanpa adanya denda jika mengalami keterlambatan. Antara pembeli dan penjual bersepakat kapan melakukan pembayaran, apakah setiap bulan atau semacam itu. Dalam hal ini ada angsuran di muka dan sisanya dibayarkan di belakang.

Kriteria kedua, barang tersebut bukan menjadi milik si penjual (bank), namun menjadi milik pihak ketiga. Si pembeli meminta bank untuk membelikan barang tersebut. Lalu si pembeli melakukan kesepakatan dengan pihak bank bahwa ia akan membeli barang tersebut dari bank. Namun dengan syarat, kepemilikan barang sudah berada pada bank, bukan lagi pada pihak ketiga. Sehingga yang menjamin kerusakan dan lainnya adalah bank, bukan lagi pihak ketiga. Pada saat ini, si pembeli boleh melakukan membeli barang tersebut dari bank dengan kesepakatan harga. Namun sekali lagi, jual beli bentuk ini harus memenuhi dua syarat: 

  1. Harganya jelas di antara kedua pihak, walau ada tambahan dari harga beli bank dari pihak ketiga, 
  2. Tidak ada denda jika ada keterlambatan angsuran. (Faedah dari islamweb.net)

Jika salah satu dari dua syarat di atas tidak bisa dipenuhi, maka akan terjerumus pada pelanggaran. Pertama, boleh jadi membeli sesuatu yang belum diserahterimakan secara sempurna, artinya belum menjadi milik bank, namun sudah dijual pada pembeli. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ

“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim no. 1527)

Atau bisa jadi terjerumus dalam riba karena bentuknya sama dengan mengutangkan mobil pada pembeli, lalu mengeruk keuntungan dari utang. Padahal para ulama berijma’ (bersepakat) akan haramnnya keuntungan bersyarat yang diambil dari utang piutang.

3- Mengandung dhoror (bahaya) dan pengelabuan (tindak penipuan)

Contohnya adalah menimbun barang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ

“Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa” (HR. Muslim no. 1605).

Imam Nawawi berkata, “Hikmah terlarangnya menimbun barang karena dapat menimbulkan mudhorot bagi khalayak ramai.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 43). Artinya di sini jika menimbun barang tidak menyulitkan orang lain maka tidak ada masalah. Seperti misalnya kita membeli hasil panen di saat harga murah. Lalu kita simpan kemudian kita menjualnya lagi beberapa bulan berikutnya ketika harga menarik, maka seperti ini tidak ada masalah karena jual beli memang wajar seperti itu. Jadi, larangan memonopoli atau yang disebut ihtikar, maksudnya ialah membeli barang dengan tujuan untuk mempengaruhi pergerakan pasar. Dengan demikian ia membeli barang dalam jumlah besar, sehingga mengakibatkan stok barang di pasaran menipis atau langka. Akibatnya masyarakat terpaksa memperebutkan barang tersebut dengan cara menaikkan penawaran atau terpaksa membeli dengan harga tersebut karena butuh.

Contoh jual beli yang mengandung pengelabuan atau penipuan disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim no. 102). Jika dikatakan tidak termasuk golongan kami, maka itu menunjukkan perbuatan tersebut termasuk dosa besar.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ.

“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 2: 326. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1058).

4- Terlarang karena sebab lain

a- Jual beli saat shalat jum’at

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ , فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10). Perintah meninggalkan jual beli dalam ayat ini menunjukkan terlarangnya jual beli setelah dikumandangkannya azan Jum’at, yaitu azan kedua.

b- Jual beli di lingkungan masjid

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَقُولُوا: لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُم مَنْ يُنْشِدُ فِيْهِ ضَالَةً فَقُولُوا: لاَ رَدَّ الههُ عَلَيْكَ

“Bila engkau mendapatkan orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya: ‘Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu.’ Dan bila engkau menyaksikan orang yang mengumumkan kehilangan barang di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barangmu yang hilang.’” (HR. Tirmidzi, no. 1321. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Termasuk juga terlarang adalah berjualan di lingkungan masjid yang masih masuk dalam pagar masjid. Hal ini karena para ulama telah menggariskan satu kaidah yang menyatakan,

الْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيْمٌ لَهُ

Sekelilingnya sesuatu memliki hukum yang sama dengan hukum yang berlaku pada sesuatu tersebut.” (Al Asybah wan Nazha-ir, 240, As Suyuthi).

c- Jual beli barang yang nanti digunakan untuk tujuan haram

Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya (yakni Buraidah), beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَبَسَ الْعِنَبَ أَيَّامَ الْقِطَافِ حَتَّى يَبِيعَهُ حَتَّى يَبِيعَهُ مِنْ يَهُودِيٍّ أَوْ نَصْرَانِيٍّ أَوْ مِمَّنْ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَتَّخِذُهُ خَمْرًا فَقَدْ تَقَحَّمَ فِي النَّارِ عَلَى بَصِيرَةٍ

“Siapa saja yang menahan anggur ketika panen hingga menjualnya pada orang yang ingin mengolah anggur tersebut menjadi khomr, maka dia berhak masuk neraka di atas pandangannya” (HR. Thobroni). 

Referensi Sebagai berikut ini ;










Cara Membersihkan Harta Haram Yang Termakan (1)

Membersihkan Harta Haram, Sebagian kita tidak memperhatikan bagaimana makanan yang ia makan, apakah berasal dari yang halal ataukah haram. Segala cara pun ditempuh demi mendapatkan sesuap nasi. Padahal pekerjaan yang halal sangat penting sekali diperhatikan. Adapun jika kita memiliki harta yang haram, maka mesti dibersihkan. Pengaruh Harta Haram sebagai berikut ;

1). Harta haram mempengaruhi do’a

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) ». ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ».

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.'” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” (HR. Muslim no. 1015)

Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada Sa’ad,

أطب مطعمك تكن مستجاب الدعوة

“Perbaikilah makananmu, maka do’amu akan mustajab.” (HR. Thobroni dalam Ash Shoghir. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if jiddan sebagaimana dalam As Silsilah Adh Dho’ifah 1812)

Ada yang bertanya kepada Sa’ad bin Abi Waqqosh,

تُستجابُ دعوتُك من بين أصحاب رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ؟ فقال : ما رفعتُ إلى فمي لقمةً إلا وأنا عالمٌ من أين مجيئُها ، ومن أين خرجت .

“Apa yang membuat do’amu mudah dikabulkan dibanding para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya?” “Saya  tidaklah memasukkan satu suapan ke dalam mulutku melainkan saya mengetahui dari manakah datangnya dan dari mana akan keluar,” jawab Sa’ad.

Dari Wahb bin Munabbih, ia berkata,

من سرَّه أنْ يستجيب الله دعوته ، فليُطِب طُعمته

“Siapa yang bahagia do’anya dikabulkan oleh Allah, maka perbaikilah makanannya.”

Dari Sahl bin ‘Abdillah, ia berkata,

من أكل الحلال أربعين يوماً  أُجيبَت دعوتُه

“Barangsiapa memakan makanan halal selama 40 hari, maka do’anya akan mudah dikabulkan.”

Yusuf bin Asbath berkata,

بلغنا أنَّ دعاءَ العبد يحبس عن السماوات بسوءِ المطعم

“Telah sampai pada kami bahwa do’a seorang hamba tertahan di langit karena sebab makanan jelek (haram) yang ia konsumsi.”

Gemar melakukan ketaatan secara umum, sebenarnya adalah jalan mudah terkabulnya do’a. Sehingga tidak terbatas pada mengonsumsi makanan yang halal, namun segala ketaatan akan memudahkan terkabulnya do’a. Sebaliknya kemaksiatan menjadi sebab penghalang terkabulnya do’a.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Melakukan ketaatan memudahkan terkabulnya do’a. Oleh karenanya pada kisah tiga orang  yang masuk dan tertutup dalam suatu goa, batu besar yang menutupi mereka menjadi terbuka karena sebab amalan yang mereka sebut. Di mana mereka melakukan amalan tersebut ikhlas karena Allah Ta’ala. Mereka berdo’a pada Allah dengan menyebut amalan sholeh tersebut sehingga doa mereka pun terkabul.”

Wahb bin Munabbih berkata,

العملُ الصالحُ يبلغ الدعاء ، ثم تلا قوله تعالى : { إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُه }

“Amalan sholeh akan memudahkan tersampainya (terkabulnya) do’a. Lalu beliau membaca firman Allah Ta’ala, “Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10)

Dari ‘Umar, ia berkata,

بالورع عما حرَّم الله يقبلُ الله الدعاء والتسبيحَ

“Dengan sikap waro’ (hati-hati) terhadap larangan Allah, Dia akan mudah mengabulkan do’a dan memperkanankan tasbih (dzikirsubhanallah).”

Sebagian salaf berkata,

لا تستبطئ الإجابة ، وقد سددتَ طرقها بالمعاص

“Janganlah engkau memperlambat terkabulnya do’a dengan engkau menempuh jalan maksiat.” (Dinukil dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, 1: 275-276)

2). Rizki halal mewariskan amalan sholeh

Rizki dan makanan yang halal adalah bekal dan sekaligus pengobar semangat untuk beramal shaleh. Buktinya adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thoyyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mu’minun: 51). Sa’id bin Jubair dan Adh Dhohak mengatakan bahwa yang dimaksud makanan yang thoyyib adalah makanan yang halal (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 10: 126).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush sholaatu was salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal sholeh. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah pembangkit amal shaleh. Oleh karena itu, para Nabi benar-benar memperhatikan bagaimana memperoleh yang halal. Para Nabi mencontohkan pada kita kebaikan dengan perkataan, amalan, teladan dan nasehat. Semoga Allah memberi pada mereka balasan karena telah member contoh yang baik pada para hamba.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 126).

Bila selama ini kita merasa malas dan berat untuk beramal? Alangkah baiknya bila kita mengoreksi kembali makanan dan minuman yang masuk ke perut kita. Jangan-jangan ada yang perlu ditinjau ulang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْخَيْرَ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ أَوَ خَيْرٌ هُوَ

“Sesungguhnya yang baik tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan. Namun benarkah harta benda itu kebaikan yang sejati?”  (HR. Bukhari no. 2842 dan Muslim no. 1052)

3).  Rizki halal bisa sebagai pencegah dan penawar berbagai penyakit

Allah Swt berfirman,

وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang hanii’ (baik) lagi marii-a (baik akibatnya).” (QS. An Nisa’: 4).

Al Qurthubi menukilkan dari sebagian ulama’ tafsir bahwa maksud firman Allah Swt “هَنِيئًا مَرِيئًا” adalah, “Hanii’ ialah yang baik lagi enak dimakan dan tidak memiliki efek negatif. Sedangkan marii-a ialah yang tidak menimbulkan efek samping pasca dimakan, mudah dicerna dan tidak menimbulkan peyakit atau gangguan.” (Tafsir Al Qurthubi, 5:27). Tentu saja makanan yang haram menimbulkan efek samping ketika dikonsumsi. Oleh karenanya, jika kita sering mengidap berbagai macam penyakit, koreksilah makanan kita. Sesungguhnya yang baik tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.

4).  Di akhirat, neraka lebih pantas menyantap jasad yang tumbuh dari yang haram

Dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

مَنْ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ السُّحْتِ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Siapa yang dagingnya tumbuh dari pekerjaan yang tidak halal, maka neraka pantas untuknya.” (HR. Ibnu Hibban 11: 315, Al Hakim dalam mustadroknya 4: 141. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 4519).

Referensi Sebagai Berikut ini ;













Rabu, 27 Juli 2022

Pesan Alquran untuk Orang-Orang Munafik yang Berbahaya

Keberadaan orang-orang munafik sangat berbahaya untuk umat Islam. Pesan Alquran untuk Orang-Orang Munafik yang Berbahaya. Munafik dalam kamus besar bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai sikap berpura-pura percaya atau setia kepada agama dan sebagainya, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak percaya atau setia. 

Sikap selalu mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya atau bermuka dua. Dalam surat An Nisa ayat 138, Alquran memberi kabar atau pesan kepada orang-orang munafik. Bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang pedih akibat kemunafikannya.

بَشِّرِ الْمُنٰفِقِيْنَ بِاَنَّ لَهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًاۙ “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih.” (QS An Nisa 138).

ۨالَّذِيْنَ يَتَّخِذُوْنَ الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَ ۗ اَيَبْتَغُوْنَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَاِنَّ الْعِزَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًاۗ “(yaitu) orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Ketahuilah bahwa semua kekuatan itu milik Allah." (QS An Nisa 139)

Dalam penjelasan Tafsir Ringkas Kementerian Agama, ayat 138 ini menerangkan, sampaikanlah berita sebagai ejekan dan kecaman kepada orang-orang munafik, wahai Nabi Muhammad, bahwa bagi mereka di akhirat kelak siksaan yang pedih.

Bahkan mereka akan berada pada tingkat yang paling rendah, buruk, dan berat dari neraka Jahanam sebagai balasan dari perbuatan mereka.

Tafsir Kementerian Agama menerangkan ayat 138 yaitu bahwa, orang-orang munafik sangat tercela karena sikap mereka yang selalu berubah-ubah, dan tidak sesuai ucapannya dengan perbuatannya. Pada saat berkumpul dengan orang-orang Mukmin, mereka menampakkan keimanannya dan menyembunyikan kekufurannya.

Sebaliknya apabila bertemu dengan orang-orang kafir, mereka menampakkan kekafirannya dan menyembunyikan keimanannya. Mereka benar-benar akan mendapat siksaan yang pedih.

Sementara itu ayat 139 dalam penjelasan Tafsir Ringkas Kementerian Agama menerangkan, walau mengaku beriman, mereka sebenarnya tetap dalam keadaan kufur dan menyembunyikannya. 

Salah satu buktinya ialah bahwa mereka adalah orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong, yakni pemimpin-pemimpin, teman-teman penolong serta pendukung meraka. Hal itu dilakukan dengan meninggalkan orang-orang Mukmin, yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan iman yang mantap.

Mereka seharusnya menjadikan orang Mukmin itu penolong mereka, tetapi hal itu tidak mereka lakukan. Apakah mereka yaitu orang-orang munafik mencari kekuatan di sisi mereka yakni orang-orang kafir untuk memberikan pertolongan dan dukungan kepada mereka? 

Ketahuilah, wahai Muhammad dan orang-orang yang beriman, bahwa apa yang mereka lakukan itu merupakan hal yang sia-sia karena semua kekuatan itu milik Allah SWT. 

Referensi sebagai Berikut ini ;












Istilah Korupsi/Ghulul Dalam Agama Islam

Istilah Korupsi/Ghulul Dalam Agama Islam. Menurut perspektif hukum, Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

  • 1. Kerugian keuangan negara
  • 2. Suap-menyuap
  • 3. Penggelapan dalam jabatan
  • 4. Pemerasan
  • 5. Perbuatan curang
  • 6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
  • 7. Gratifikasi

Sementara itu, di bawah ini beberapa istilah yang terdapat dalam al-Quran dan Hadis sebagai bentuk ekspresi yang mengandung unsur-unsur korupsi, di antaranya seperti dikutip dari muhammadiyah.or.id :

Ghulul, Ghulul adalah pengkhianatan atas amanat yang seharusnya dijaga. Pada mulanya ghulul merupakan istilah bagi penggelapan harta rampasan perang sebelum dibagikan.

Oleh karena itu, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari mendefinisikannya dengan “al-khiyanah fi al-maghnam” (pengkhianatan pada harta rampasan perang).

Hukuman atas kejahatan ini disebutkan dalam QS. Ali Imran: 161 bahwa pelaku hanya diberi sanksi di akhirat tanpa memberkan sanksi yang jelas di dunia.

Risywah, Risywah adalah tindakan memberikan harta dan yang semisalnya untuk membatalkan hak milik lain atau mendapatkan atas hak milik pihak lain.

Al-Shan’ani dalam Subul al-Salam memberikan makna terhadap risywah sebagai “upaya memperoleh sesuatu dengan memberikan sesuatu".

Dalam hadis disebutkan, dari Sauban (diriwayatkan bahwasanya) ia berkata: Rasulullah Saw melaknat pelaku, penerima dan perantara risywah, yaitu orang yang menjadi penghubung di antara keduanya (HR. Ahmad).

Aklu Suht (Makan Hasil atau Barang Haram)

Dalam Islam, korupsi juga dapat diistilahkan dengan akl al-suht (makan yang haram). Al-suht sendiri berarti memanfaatkan unsur jabatan atau kekuasaan atau kewenangan untuk memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan menerima imbalan dari orang lain atas perbuatan itu. Hal ini berdasarkan pada QS. Al Maidah ayat 42 dan 62-63.

Prilaku korupsi sudah banyak ditemukan dimana-mana, baik itu pejabat pemerintah pusat hingga berbagai tingkatan daerah.

Dalam islam, kata korupsi disebut sebagai ghulul, artinya khianat. Adapu secara istilah disebut sebagai mengambil sesuatu dari ghanimah (harta rampasan perang) sebelum pembagian, lansir dari situs Almanhaj.

Rasulullah telah menyebutkan bahwa prilaku menyembunyikan sesuatu yang bukan haknya disebut sebagai ghulul (korupsi).

“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembuyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat,” (HR. Muslim no. 3415)

Baginda Nabi Muhammad menegaskan larangan untuk tidak mengambil harta di luar hak yang sudah ditetapkan.

“Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi).” (HR. Abu Dawud no. 2943)

Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar, menafsirkan hadits tersebut bahwa terdapat dalil keharaman bagi pekerja mengambil tambahan di luar upah yang sudah ditetapkan oleh pihak yang menugaskannya.

Selain itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan peringatan bahwa pelaku yang mendapat harta secara haram tidak akan masuk surga.

“Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta yang haram. Neraka lebih pantas untuknya.” (HR. Ahmad dan ad-Darimi, dalam Shahihut Targhib no. 1728)

Bahkan Allah pun tidak akan menerima amalan dari pelaku yang menggunakan harta korupsinya sebagai sedekah atau infaq. Amalannya hanya akan sia-sia di hadapan Allah.

“Barangsiapa mengumpulkan harta haram kemudian ia menyedekahkannya maka ia tidak memperoleh pahala darinya dan dosanya terbeban atas dirinya.” (HR. Ibnu Hibban no. 3367)

Bersedekah dengan harta haram tidak akan diterima, bagaikan sholat tanpa berwudhu sama halnya tidak akan diterima serta tidak sah.

“Sholat tanpa bersuci tidak akan diterima, demikian juga sedekah dari ghulul (tidak akan diterima).” (HR. Muslim no. 224)

Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-Kaba’ir menjelaskan bahwa ghulul merupakan salah satu dosa besar.

“Dosa besar yang ke-22 adalah ghulul dari ghanimah, yaitu dari baitul mal kaum muslim, atau harta zakat.”

Tidak berbeda jauh dengan kondisi saat ini, para pejabat telah melakukan korupsi dengan mengambil uang masyarakat yang jelas bukan haknya, maka justru mendapat dosa yang amat besar.

Allah akan memberikan balasan bagi siapa saja saat hidup di dunia telah melakukan perbuatan ghulul (korupsi).“Barangsiapa berkhianat dalam urusan rampasan perang itu (ghulul), maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya, kemudian tiap-tiap jiwa akan diberi pembalasan tentang apa yang dia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (TQS. Ali Imran: 161). Orang yang melakukan korupsi Allah sebut sebagai pengkhianat dan akan diberikan neraka untuknya. Oleh karena itu jauhilah perbuatan korupsi karena begitu berat pertanggungjawabannya di akhirat kelak

Referensi sebagai Berikut ini ;











Beratnya Tanggungan Dosa Bagi Pelaku Korupsi/Ghulul di Hadapan Allah Swt

Ilustrasi : Beratnya Tanggungan Dosa Bagi Pelaku Korupsi/Ghulul di Hadapan Allah Swt

Beratnya Tanggungan Dosa Bagi Pelaku Korupsi di Hadapan Allah Swt. Prilaku korupsi sudah banyak ditemukan dimana-mana, baik itu pejabat pemerintah pusat hingga berbagai tingkatan daerah.  Dalam islam, kata korupsi disebut sebagai ghulul, artinya khianat. Adapu secara istilah disebut sebagai mengambil sesuatu dari ghanimah (harta rampasan perang) sebelum pembagian, lansir dari situs Almanhaj. Rasulullah telah menyebutkan bahwa prilaku menyembunyikan sesuatu yang bukan haknya disebut sebagai ghulul (korupsi).

“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembuyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat,” (HR. Muslim no. 3415). Baginda Nabi Muhammad menegaskan larangan untuk tidak mengambil harta di luar hak yang sudah ditetapkan.

“Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi).” (HR. Abu Dawud no. 2943).

Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar, menafsirkan hadits tersebut bahwa terdapat dalil keharaman bagi pekerja mengambil tambahan di luar upah yang sudah ditetapkan oleh pihak yang menugaskannya. Selain itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan peringatan bahwa pelaku yang mendapat harta secara haram tidak akan masuk surga. “Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta yang haram. Neraka lebih pantas untuknya.” (HR. Ahmad dan ad-Darimi, dalam Shahihut Targhib no. 1728)

Bahkan Allah pun tidak akan menerima amalan dari pelaku yang menggunakan harta korupsinya sebagai sedekah atau infaq. Amalannya hanya akan sia-sia di hadapan Allah. “Barangsiapa mengumpulkan harta haram kemudian ia menyedekahkannya maka ia tidak memperoleh pahala darinya dan dosanya terbeban atas dirinya.” (HR. Ibnu Hibban no. 3367). Bersedekah dengan harta haram tidak akan diterima, bagaikan sholat tanpa berwudhu sama halnya tidak akan diterima serta tidak sah. “Sholat tanpa bersuci tidak akan diterima, demikian juga sedekah dari ghulul (tidak akan diterima).” (HR. Muslim no. 224).

Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-Kaba’ir menjelaskan bahwa ghulul merupakan salah satu dosa besar. “Dosa besar yang ke-22 adalah ghulul dari ghanimah, yaitu dari baitul mal kaum muslim, atau harta zakat.” Tidak berbeda jauh dengan kondisi saat ini, para pejabat telah melakukan korupsi dengan mengambil uang masyarakat yang jelas bukan haknya, maka justru mendapat dosa yang amat besar. Allah akan memberikan balasan bagi siapa saja saat hidup di dunia telah melakukan perbuatan ghulul (korupsi).

“Barangsiapa berkhianat dalam urusan rampasan perang itu (ghulul), maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya, kemudian tiap-tiap jiwa akan diberi pembalasan tentang apa yang dia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (TQS. Ali Imran: 161). 

Orang yang melakukan korupsi Allah sebut sebagai pengkhianat dan akan diberikan neraka untuknya. Oleh karena itu jauhilah perbuatan korupsi karena begitu berat pertanggungjawabannya di akhirat kelak

Referensi sebagai Berikut ini ;

Definisi dan Istilah Korupsi dalam Islam

Definisi dan Istilah Korupsi dalam Islam. Korupsi selalu mengacu pada beberapa praktik kecurangan dalam transaksi antara manusia untuk kepentingan diri atau kelompok.

Berikut ini beberapa istilah yang terdapat dalam Alquran dan Hadis sebagai bentuk ekspresi yang mengandung unsur-unsur korupsi, di antaranya:

1. Ghulul

Ghulul adalah pengkhianatan atas amanat yang seharusnya dijaga. Pada mulanya ghulul merupakan istilah bagi penggelapan harta rampasan perang sebelum dibagikan. Oleh karena itu, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari mendefinisikannya dengan “al-khiyanah fi al-maghnam” (pengkhianatan pada harta rampasan perang).

Hukuman atas kejahatan ini disebutkan dalam QS. Ali Imran: 161 bahwa pelaku hanya diberi sanksi di akhirat tanpa memberkan sanksi yang jelas di dunia.

2. Aklu Suht (Makan Hasil atau Barang Haram)

Dalam Islam, korupsi juga dapat diistilahkan dengan akl al-suht (makan yang haram). Al-suht sendiri berarti memanfaatkan unsur jabatan atau kekuasaan atau kewenangan untuk memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan menerima imbalan dari orang lain atas perbuatan itu. Hal ini berdasarkan pada QS. Al Maidah ayat 42 dan 62-63.

3. Risywah

Risywah adalah tindakan memberikan harta dan yang semisalnya untuk membatalkan hak milik lain atau mendapatkan atas hak milik pihak lain. Al-Shan’ani dalam Subul al-Salam memberikan makna terhadap risywah sebagai “upaya memperoleh sesuatu dengan memberikan sesuatu”.

Dalam hadis disebutkan, dari Sauban (diriwayatkan bahwasanya) ia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melaknat pelaku, penerima dan perantara risywah, yaitu orang yang menjadi penghubung di antara keduanya (HR. Ahmad).

Sungguh sangat menyedihkan bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama, namun sampai dengan saat ini Indonesia masih menyandang jawara dalam hal korupsi. Korupsi dilarang dalam ajaran agama apa pun termasuk agama Islam.

Meskipun terjadinya praktek korupsi di berbagai sektor tidak serta merta berdampak langsung kepada kehidupan kita, namun jika kita semua tidak peduli dan turut serta pada upaya pemberantasan tindak pidana korupsi maka lambat laun kita semua akan hancur berantakan. Hal ini diibaratkan sebagai sebuah kapal besar yang bernama Indonesia, berlayar menyeberangi samudera nan luas dan mengangkut sarat penumpang dengan berbagai kepentingan. Agar tujuan dapat dicapai dengan selamat maka kapten kapal harus menegakkan aturan main seperti yang telah mereka sepakati.

Peristiwa demikian telah di jelaskan dalam salah satu hadist sebagai berikut:

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim telah menceritakan kepada kami Zakariyya’ berkata, aku mendengar ‘Amir berkata, aku mendengar An-Nu’man bin Basyir radliallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Perumpamaan orang yang menegakkan hukum Allah dan orang yang diam terhadapnya seperti sekelompok orang yang berlayar dengan sebuah kapal, lalu sebagian dari mereka ada yang mendapat tempat di atas dan sebagian lagi di bagian bawah perahu. Lalu orang yang berada di bawah perahu bila mereka mencari air untuk minum mereka harus melewati orang-orang yang berada di bagian atas seraya berkata;

“Seandainya boleh kami lubangi saja perahu ini untuk mendapatkan bagian kami sehingga kami tidak mengganggu orang yang berada di atas kami”. Bila orang yang berada di atas membiarkan saja apa yang diinginkan orang-orang yang di bawah itu maka mereka akan binasa semuanya. Namun bila mereka mencegah dengan tangan mereka maka mereka akan selamat semuanya.”(HR. Bukhari).

Korupsi dalam syariat Islam diatur dalam fiqh Jinayah. Jinayah adalah sebuah tindakan atau perbuatan seseorang yang mengancam keselamatan fisik dan tubuh manusia serta berpotensi menimbulkan kerugian pada harga diri dan harta kekayaan manusia sehingga tindakan atau perbuatan itu dianggap haram untuk dilakukan bahkan pelakunya harus dikenai sanksi hukum, baik diberikan di dunia maupun hukuman Allah kelak di akhirat.

Menggelapkan uang Negara dalam Syari’at Islam disebut Al-ghulul, yakni mencuri ghanimah (harta rampasan perang) atau menyembunyikan sebagiannya (untuk dimiliki) sebelum menyampaikannya ke tempat pembagian, meskipun yang diambilnya sesuatu yang nilainya relatif kecil bahkan hanya seutas benang dan jarum.

Adapun dasar hukum dari Al-ghulul, adalah dalil-dalil baik yang terdapat dalam Al-Quran maupun Hadits sebagai berikut:

“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barang siapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang) maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”.(QS. Ali-Imran ayat 161)

Mencuri atau menggelapkan uang dari baitul maal (kas Negara) dan zakat dari kaum muslimin juga disebut dengan Al-ghulul. Berdasarkan hadits-hadits dari Rasulullah maka yang termasuk Al-ghulul, adalah sebagai berikut:

a. Larangan Mengambil yang bukan haknya meskipun seutas benang dan sebuah jarum

Nabi Muhammad Saw pernah bersabda,”Serahkanlah benang dan jarum. Hindarilah Al-ghulul, sebab ia akan mempermalukan orang yang melakukannya pada hari kiamat kelak”. Beginilah anjuran dari Rasulullah, melarang mengambil sesuatu yang bukan haknya walaupun hanya seutas benang dan sebuah jarum.

b. Bagikan segala sesuatu kepada yang berhak

Dari Ibnu Jarir dari Al-Dahhak, bahwa nabi mengirimkan beberapa orang pengintai kepada suatu daerah musuh. Kemudian daerah itu diperangi dan dikalahkan serta harta rampasan dibagi-bagi. Tetapi para pengintai tidak hadir ketika rampasan itu dibagi-bagi. Lalu ada diantara mereka menyangka, bahwa mereka tidak akan dapat bagian. Kemudian setelah mereka datang ternyata bagian untuk mereka telah disediakan. Maka turunlah ayat ini yang menegur sangkaan mereka yang buruk, sekaligus menyatakan bahwa nabi tidaklah berbuat curang dengan pembagian harta rampasan perang dan sekali-kali tidaklah nabi akan menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan diri beliau sendiri.

c. Larangan untuk mengambil sesuatu tanpa izin dari yang berhak

Bersumber dari Mu’adz bin Jabal yang berkata, “Rasulullah Saw telah mengutus saya ke Negeri Yaman. Ketika saya baru berangkat, ia mengirim seseorang untuk memanggil saya kembali, maka saya pun kembali.” Nabi bersabda, “Apakah engkau mengetahui mengapa saya mengirim orang untuk menyuruhmu kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu apa pun tanpa izin saya, karena hal itu adalah Ghulul (korupsi). Barang siapa melakukan ghulul, ia akan membawa barang ghulul itu pada hari kiamat. Untuk itu saya memanggilmu, dan sekarang berangkatlah untuk tugasmu.” (HR. At-Tirmidzi).

d. Pada hari kiamat orang akan memikul terhadap barang yang diambil secara tidak sah

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, “Suatu hari Rasulullah saw berdiri ditengah-tengah kami. Beliau menyebut tentang ghulul, menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat besar. Lalu beliau bersabda, “Sungguh aku akan mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul unta yang melenguh-lenguh. “ Ia berkata, “Wahai Rasulullah tolonglah aku. “Maka aku menjawab, “Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu. Aku juga mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul kambing yang mengembik-embik. “Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya. Aku juga mendapati seseorang di antara lain pada hari kiamat datang dengan memikul binatang yang mengeluarakan suara-suara keras. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘ Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu. Aku juga akan mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul kain dan baju-baju yang berkibar-kibar.’ Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu. Aku mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul barang-barang yang berharga.’ Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘aku tidak memiliki sesuatu apapun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu.’” (HR. Bukhari)

e. Larangan Pejabat Publik untuk mengambil semua kekayaan publik secara tidak sah

Hadits ini menunjukkan bahwa pengertian ghulul tidak terbatas pada lingkup korupsi harta rampasan perang saja, melainkan mencakup semua kekayaan publik, yang diambil seorang pejabat secara tidak sah. Seperti tertuang dalam peringatan Rasulullah Saw kepada Mu’adz yang diangkat menjadi Gubernur Yaman, agar tidak mengambil sesuatu apa pun dari kekayaan negara yang ada di bawah kekuasaannya tanpa izin Rasulullah. Jika hal ini tetap dilakukan maka ia melakukan tindakan korupsi.

Telah menceritakan kepada kami Ubaid bin Isma’il, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Hisyam dari ayahnya, dari Abu Humaid As Sa’idi mengatakan, Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam pernah mempekerjakan seorang laki-laki untuk mengelola zakat bani Sulaim yang sering dipanggil dengan nama Ibnu Al Latabiyah, tatkala dia datang, dia menghitungnya dan berkata;

‘Ini adalah hartamu dan ini hadiah.’

Spontan Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam berujar: “kenapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah ayahmu atau ibumu sampai hadiahmu datang kepadamu jika kamu jujur.”

Kemudian beliau berpidato di hadapan kami, memuja dan memuji Allah terus bersabda: “Amma ba’d. Sesungguhnya saya mempekerjakan salah seorang diantara kalian untuk mengumpulkan zakat yang telah Allah kuasakan kepadaku, lantas ia datang dan mengatakan; ‘ini hartamu dan ini hadiah yang diberikan kepadaku, ‘ kenapa dia tidak duduk-duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya sampai hadiahnya datang kepadanya? Demi Allah, tidaklah salah seorang diantara kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, selain ia menjumpai Allah pada hari kiamat dengan memikul hak itu, aku tahu salah seorang diantara kalian menjumpai Allah dengan memikul unta yang mendengus, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik.”

Kemudian beliau mengangkat tangannya hingga terlihat putih ketiaknya seraya mengatakan: “Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan apa yang kulihat dengan mataku dan kudengar dengan dua telingaku?” (HR. Bukhari).

Ghulul, Dosa Besar yang Diremehkan.DI antara dosa besar yang dianggap sepele oleh sebagian besar masyarakat adalah al-ghulûl . Al-Ghulûl maksudnya mengambil sesuatu yang bukan miliknya dari harta bersama, atau memanfaatkan barang-barang inventaris kantor untuk kepentingan pribadi atau keluarganya bukan untuk kepentingan umum. (Baca juga: Korupsi Pembangunan Jembatan di Kampar, KPK Telisik Penggunaan VWSG ) Perilaku seperti ini termasuk perbuatan zalim yang berat bisa menyeret masyarakat pada kerusakan, terutama pelakunya. Pelaku tindak kezaliman ini terancam hukuman yang keras di dunia dan juga di akhirat. وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَغُلَّ ۚ وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ "Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, pada hari kiamat, ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal sedangkan mereka tidak dianiaya." (QS Ali Imran [3]: 161). Dalam ayat di atas, makna ghulul adalah mengambil sesuatu dari harta rampasan perang yang tidak boleh dimanfaatkan sebelum pembagian. Ghulul masuk kategori pengkhianatan dan dosa besar.

Kemudian, istilah ghulul dipakai untuk pengkhianatan dalam masalah harta sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah saw, hadiah yang diterima oleh seorang pejabat atau pemimpin karena jabatannya itu termasuk ghulul yang diharamkan Allah SWT. Rasulullah saw bersabda, "Hadiah untuk pekerja (pegawai) itu adalah ghulul (khianat)." (HR. Ahmad, dan disahihkan oleh Syekh Albani). Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda, "Hadiah untuk pemimpin itu adalah ghulul (khianat)." (HR Thabrani dan Baihaqi). Dari Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah mempekerjakan seseorang dari kabilah al-Azdi yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah untuk mengurus zakat . Setelah bekerja ia datang menghadap Rasulullah seraya berkata, “Ini untuk Anda dan yang ini untukku, aku diberi hadiahkan. Mendengar ini, Rasulullah berdiri di atas mimbar seraya bersabda: ‘Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, ‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku!’ Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan melihat, apakah ia diberi hadiah ataukah tidak? Demi Allah, tidaklah seseorang datang dengan mengambil sesuatu dari yang tidak benar melainkan ia akan datang dengannya pada hari Kiamat , lalu dia akan memikulnya di lehernya. (Jika yang ia ambil adalah) unta, maka akan keluar suara unta. Jika sapi, maka akan keluar suara sapi; Jika kambing, maka akan keluar suara kambing. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami bisa melihat putih kedua ketiak beliau SAW dan mengatakan, ‘Wahai Allâh! Aku telah menyampaikannya?’ (HR al-Bukhâri dan Muslim)

Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar (773 H- 852 H) menjelaskan, Nabi saw menerangkan pekerjaan yang dia lakukan (sebagai pemungut zakat) itulah yang menjadi penyebab orang lain memberi hadiah kepadanya. Dan jika dia hanya berdiam diri di rumahnya, orang tidak akan memberi hadiah kepadanya. Karena itu, dia tidak boleh menghalalkan pemberian itu hanya karena merupakan hadiah dari orang lain. Imam Nawawi (631 H-676 H), dalam kitab Syarah Muslim menjelaskan, hadis ini merupakan penegasan hadiah bagi pejabat adalah haram. Ia juga mengatakan kaum Muslimin bersepakat atas beratnya keharaman ghulul dan merupakan dosa besar. Mereka juga sepakat, wajib bagi yang menerimanya untuk mengembalikannya. Dari Buraidah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW barsabda, “Barangsiapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah), maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulul (pengkhianatan, korupsi atau penipuan)’. [HR. Abu Daud]

Syaikh Shalih bin Muhammad Alu Thalib menjelaskan permasalahannya bukan pada banyak atau sedikitnya barang yang diambil, akan tetapi ini merupakan asas atau sendi, juga merupakan aturan agama yang mereka anut, serta akhlak yang menghiasi diri mereka serta amanah yang wajib mereka tunaikan. Jika virus ghulul (korupsi) dibiarkan, menurutnya, maka dia akan membesar. Orang yang sudah terbiasa mengambil suatu yang kecil, suatu ketika dia akan berani mengambil sesuatu yang lebih besar. Jika ghulul sudah menjadi hal jamak atau lumrah pada sebuah masyarakat, dimana si pelaku tanpa rasa sungkan dan malu mengambil harta yang bukan haknya, itu artinya akhlak yang hina ini telah tersebar di kalangan mereka. Padahal setiap akhlak tercela itu menyeret pelakunya pada prilaku yang lebih buruk sehingga terjebak dalam sebuah rangkaian perbuatan maksiat yang terus-menerus merusak hati dan menghancurkan moral serta membangkitkan egois.

Semua ini akan menyeret seseorang untuk berbuat zalim, menyulut rasa dengki dan mengakibatkan perpecahan. Kerusakan pada managemen kantor dan keuangan bisa juga memberikan dampak negatif pada masyarakat, keterpurukan akhlak, kemiskinan serta kerusakan agama mereka, juga membuka peluang untuk berbuat korup dan merebaknya budaya sogok. Sehingga sering terdengar, banyak orang yang tidak bisa mendapatkan hak kecuali dengan sogok. Kalau amanah sudah ditinggalkan maka banyak hak yang terabaikan, keadilan akan melemah, kezaliman merajalela, rasa aman hilang dan masyarakat dilanda ketakutan. Rasulullah SAW bersabda dalam hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu: Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’. Dan Ibn Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Yang pertama kali hilang dari agamamu adalah amanah.” Wallahu'alam.

Referensi sebagai Berikut ini ;








Pandangan Islam soal Korupsi, dan Hukumannya di Akhirat Kelak

Sungguh sangat menyedihkan bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama, namun sampai dengan saat ini Indonesia masih menyandang jawara dalam hal korupsi. Korupsi dilarang dalam ajaran agama apa pun termasuk agama Islam. Meskipun terjadinya praktek korupsi di berbagai sektor tidak serta merta berdampak langsung kepada kehidupan kita, namun jika kita semua tidak peduli dan turut serta pada upaya pemberantasan tindak pidana korupsi maka lambat laun kita semua akan hancur berantakan. Hal ini diibaratkan sebagai sebuah kapal besar yang bernama Indonesia, berlayar menyeberangi samudera nan luas dan mengangkut sarat penumpang dengan berbagai kepentingan. Agar tujuan dapat dicapai dengan selamat maka kapten kapal harus menegakkan aturan main seperti yang telah mereka sepakati.

Peristiwa demikian telah di jelaskan dalam salah satu hadist sebagai berikut:

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim telah menceritakan kepada kami Zakariyya’ berkata, aku mendengar ‘Amir berkata, aku mendengar An-Nu’man bin Basyir radliallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Perumpamaan orang yang menegakkan hukum Allah dan orang yang diam terhadapnya seperti sekelompok orang yang berlayar dengan sebuah kapal, lalu sebagian dari mereka ada yang mendapat tempat di atas dan sebagian lagi di bagian bawah perahu. Lalu orang yang berada di bawah perahu bila mereka mencari air untuk minum mereka harus melewati orang-orang yang berada di bagian atas seraya berkata;

“Seandainya boleh kami lubangi saja perahu ini untuk mendapatkan bagian kami sehingga kami tidak mengganggu orang yang berada di atas kami”. Bila orang yang berada di atas membiarkan saja apa yang diinginkan orang-orang yang di bawah itu maka mereka akan binasa semuanya. Namun bila mereka mencegah dengan tangan mereka maka mereka akan selamat semuanya.”(HR. Bukhari).

Korupsi dalam syariat Islam diatur dalam fiqh Jinayah. Jinayah adalah sebuah tindakan atau perbuatan seseorang yang mengancam keselamatan fisik dan tubuh manusia serta berpotensi menimbulkan kerugian pada harga diri dan harta kekayaan manusia sehingga tindakan atau perbuatan itu dianggap haram untuk dilakukan bahkan pelakunya harus dikenai sanksi hukum, baik diberikan di dunia maupun hukuman Allah kelak di akhirat.

Menggelapkan uang Negara dalam Syari’at Islam disebut Al-ghulul, yakni mencuri ghanimah (harta rampasan perang) atau menyembunyikan sebagiannya (untuk dimiliki) sebelum menyampaikannya ke tempat pembagian, meskipun yang diambilnya sesuatu yang nilainya relatif kecil bahkan hanya seutas benang dan jarum.

Adapun dasar hukum dari Al-ghulul, adalah dalil-dalil baik yang terdapat dalam Al-Quran maupun Hadits sebagai berikut:

“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barang siapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang) maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”.(QS. Ali-Imran ayat 161)

Mencuri atau menggelapkan uang dari baitul maal (kas Negara) dan zakat dari kaum muslimin juga disebut dengan Al-ghulul. Berdasarkan hadits-hadits dari Rasulullah maka yang termasuk Al-ghulul, adalah sebagai berikut:

a. Larangan Mengambil yang bukan haknya meskipun seutas benang dan sebuah jarum

Nabi Muhammad Saw pernah bersabda,”Serahkanlah benang dan jarum. Hindarilah Al-ghulul, sebab ia akan mempermalukan orang yang melakukannya pada hari kiamat kelak”. Beginilah anjuran dari Rasulullah, melarang mengambil sesuatu yang bukan haknya walaupun hanya seutas benang dan sebuah jarum.

b. Bagikan segala sesuatu kepada yang berhak

Dari Ibnu Jarir dari Al-Dahhak, bahwa nabi mengirimkan beberapa orang pengintai kepada suatu daerah musuh. Kemudian daerah itu diperangi dan dikalahkan serta harta rampasan dibagi-bagi. Tetapi para pengintai tidak hadir ketika rampasan itu dibagi-bagi. Lalu ada diantara mereka menyangka, bahwa mereka tidak akan dapat bagian. Kemudian setelah mereka datang ternyata bagian untuk mereka telah disediakan. Maka turunlah ayat ini yang menegur sangkaan mereka yang buruk, sekaligus menyatakan bahwa nabi tidaklah berbuat curang dengan pembagian harta rampasan perang dan sekali-kali tidaklah nabi akan menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan diri beliau sendiri.

c. Larangan untuk mengambil sesuatu tanpa izin dari yang berhak

Bersumber dari Mu’adz bin Jabal yang berkata, “Rasulullah Saw telah mengutus saya ke Negeri Yaman. Ketika saya baru berangkat, ia mengirim seseorang untuk memanggil saya kembali, maka saya pun kembali.” Nabi bersabda, “Apakah engkau mengetahui mengapa saya mengirim orang untuk menyuruhmu kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu apa pun tanpa izin saya, karena hal itu adalah Ghulul (korupsi). Barang siapa melakukan ghulul, ia akan membawa barang ghulul itu pada hari kiamat. Untuk itu saya memanggilmu, dan sekarang berangkatlah untuk tugasmu.” (HR. At-Tirmidzi).

d. Pada hari kiamat orang akan memikul terhadap barang yang diambil secara tidak sah

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, “Suatu hari Rasulullah saw berdiri ditengah-tengah kami. Beliau menyebut tentang ghulul, menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat besar. Lalu beliau bersabda, “Sungguh aku akan mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul unta yang melenguh-lenguh. “ Ia berkata, “Wahai Rasulullah tolonglah aku. “Maka aku menjawab, “Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu. Aku juga mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul kambing yang mengembik-embik. “Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya. Aku juga mendapati seseorang di antara lain pada hari kiamat datang dengan memikul binatang yang mengeluarakan suara-suara keras. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘ Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu. Aku juga akan mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul kain dan baju-baju yang berkibar-kibar.’ Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu. Aku mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul barang-barang yang berharga.’ Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘aku tidak memiliki sesuatu apapun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu.’” (HR. Bukhari)

e. Larangan Pejabat Publik untuk mengambil semua kekayaan publik secara tidak sah

Hadits ini menunjukkan bahwa pengertian ghulul tidak terbatas pada lingkup korupsi harta rampasan perang saja, melainkan mencakup semua kekayaan publik, yang diambil seorang pejabat secara tidak sah. Seperti tertuang dalam peringatan Rasulullah Saw kepada Mu’adz yang diangkat menjadi Gubernur Yaman, agar tidak mengambil sesuatu apa pun dari kekayaan negara yang ada di bawah kekuasaannya tanpa izin Rasulullah. Jika hal ini tetap dilakukan maka ia melakukan tindakan korupsi.

Telah menceritakan kepada kami Ubaid bin Isma’il, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Hisyam dari ayahnya, dari Abu Humaid As Sa’idi mengatakan, Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam pernah mempekerjakan seorang laki-laki untuk mengelola zakat bani Sulaim yang sering dipanggil dengan nama Ibnu Al Latabiyah, tatkala dia datang, dia menghitungnya dan berkata;

‘Ini adalah hartamu dan ini hadiah.’

Spontan Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam berujar: “kenapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah ayahmu atau ibumu sampai hadiahmu datang kepadamu jika kamu jujur.”

Kemudian beliau berpidato di hadapan kami, memuja dan memuji Allah terus bersabda: “Amma ba’d. Sesungguhnya saya mempekerjakan salah seorang diantara kalian untuk mengumpulkan zakat yang telah Allah kuasakan kepadaku, lantas ia datang dan mengatakan; ‘ini hartamu dan ini hadiah yang diberikan kepadaku, ‘ kenapa dia tidak duduk-duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya sampai hadiahnya datang kepadanya? Demi Allah, tidaklah salah seorang diantara kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, selain ia menjumpai Allah pada hari kiamat dengan memikul hak itu, aku tahu salah seorang diantara kalian menjumpai Allah dengan memikul unta yang mendengus, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik.”

Kemudian beliau mengangkat tangannya hingga terlihat putih ketiaknya seraya mengatakan: “Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan apa yang kulihat dengan mataku dan kudengar dengan dua telingaku?” (HR. Bukhari)


Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub yang disyari’atkan seperti do’a, nadzar, kurban, raja’ (pengharapan), takut, tawakkal, raghbah (senang), rahbah (takut) dan inabah (kembali/taubat).

Dan jenis tauhid ini adalah inti dakwah para rasul, mulai rasul yang pertama hingga yang terakhir. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَۖ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu’.” (An-Nahl: 36)

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِيٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ ٢٥

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.” (Al-Anbiya’: 25)

Setiap rasul selalu melalui dakwahnya dengan perintah tauhid uluhiyah. Sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, dan lain-lain:

فَقَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥٓ

“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagi-mu selainNya.” (Al-A’raf: 59, 65, 73, 85)

وَإِبۡرَٰهِيمَ إِذۡ قَالَ لِقَوۡمِهِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱتَّقُوهُۖ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٦

“Dan ingatlah Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya, ‘Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepadaNya’.” (Al-Ankabut: 16)

Dan diwahyukan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam :

قُلۡ إِنِّيٓ أُمِرۡتُ أَنۡ أَعۡبُدَ ٱللَّهَ مُخۡلِصٗا لَّهُ ٱلدِّينَ ١١

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama’.” (Az-Zumar: 11)

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sendiri bersabda:

“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada ilah (sesembahan) yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Kewajiban awal bagi setiap mukallaf adalah bersaksi laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah), serta mengamalkannya. Allah Subhannahu wa Ta’ala

berfirman:

فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۢبِكَ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مُتَقَلَّبَكُمۡ وَمَثۡوَىٰكُمۡ ١٩

“Maka ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disem-bah) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu…”. (Muhammad: 19)

Dan kewajiban pertama bagi orang yang ingin masuk Islam ada- lah mengikrarkan dua kalimah syahadat. Jadi jelaslah bahwa tauhid uluhiyah adalah maksud dari dakwah para rasul. Disebut demikian, karena uluhiyah adalah sifat Allah yang ditunjukkan oleh namaNya, “Allah”, yang artinya dzul uluhiyah (yang memiliki uluhiyah). Juga disebut “tauhid ibadah”, karena ubudiyah adalah sifat ‘abd (hamba) yang wajib menyembah Allah secara ikhlas, karena keter-gantungan mereka kepadanya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ketahuilah, kebutuhan seorang hamba untuk menyembah Allah tanpa menyekutukanNya dengan sesuatu pun, tidak memiliki bandingan yang dapat dikias-kan, tetapi dari sebagian segi mirip dengan kebutuhan jasad kepada makanan dan minuman. Akan tetapi di antara keduanya ini terdapat perbedaan mendasar.

Karena hakikat seorang hamba adalah hati dan ruhnya, ia tidak bisa baik kecuali dengan Allah yang tiada Tuhan selainNya. Ia tidak bisa tenang di dunia kecuali dengan mengingat-Nya. Seandainya hamba memperoleh kenikmatan dan kesenangan tanpa Allah, maka hal itu tidak akan berlangsung lama, tetapi akan berpindah-pindah dari satu macam ke macam yang lain, dari satu orang kepada orang lain. Adapun Tuhannya maka Dia dibutuhkan setiap saat dan setiap waktu, di mana pun ia berada maka Dia selalu bersamanya.”

Tauhid ini adalah inti dari dakwah para rasul, karena ia adalah asas dan pondasi tempat dibangunnya seluruh amal. Tanpa mereali-sasikannya, semua amal ibadah tidak akan diterima. Karena kalau ia tidak terwujud, maka bercokollah lawannya, yaitu syirik. Sedangkan Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik. (An-Nisa’: 48, 116) 

ۚ وَلَوۡ أَشۡرَكُواْ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٨٨

“…seandainya mereka mempersekutukan Alah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)

لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٦٥

“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)

Dan tauhid jenis ini adalah kewajiban pertama segenap hamba. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

۞وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak …”. (An-Nisa’: 36)

۞وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan kamu supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya …” (Al-Isra’: 23) 

۞قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗاۖ

“Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu dari Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan kamu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu-bapak …’.” (Al-An’am: 151)

Ghulul, Dosa Besar yang Diremehkan.DI antara dosa besar yang dianggap sepele oleh sebagian besar masyarakat adalah al-ghulûl . Al-Ghulûl maksudnya mengambil sesuatu yang bukan miliknya dari harta bersama, atau memanfaatkan barang-barang inventaris kantor untuk kepentingan pribadi atau keluarganya bukan untuk kepentingan umum. (Baca juga: Korupsi Pembangunan Jembatan di Kampar, KPK Telisik Penggunaan VWSG ) Perilaku seperti ini termasuk perbuatan zalim yang berat bisa menyeret masyarakat pada kerusakan, terutama pelakunya. Pelaku tindak kezaliman ini terancam hukuman yang keras di dunia dan juga di akhirat. وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَغُلَّ ۚ وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ "Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, pada hari kiamat, ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal sedangkan mereka tidak dianiaya." (QS Ali Imran [3]: 161). Dalam ayat di atas, makna ghulul adalah mengambil sesuatu dari harta rampasan perang yang tidak boleh dimanfaatkan sebelum pembagian. Ghulul masuk kategori pengkhianatan dan dosa besar.

Kemudian, istilah ghulul dipakai untuk pengkhianatan dalam masalah harta sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah saw, hadiah yang diterima oleh seorang pejabat atau pemimpin karena jabatannya itu termasuk ghulul yang diharamkan Allah SWT. Rasulullah saw bersabda, "Hadiah untuk pekerja (pegawai) itu adalah ghulul (khianat)." (HR. Ahmad, dan disahihkan oleh Syekh Albani). Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda, "Hadiah untuk pemimpin itu adalah ghulul (khianat)." (HR Thabrani dan Baihaqi). Dari Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah mempekerjakan seseorang dari kabilah al-Azdi yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah untuk mengurus zakat . Setelah bekerja ia datang menghadap Rasulullah seraya berkata, “Ini untuk Anda dan yang ini untukku, aku diberi hadiahkan. Mendengar ini, Rasulullah berdiri di atas mimbar seraya bersabda: ‘Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, ‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku!’ Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan melihat, apakah ia diberi hadiah ataukah tidak? Demi Allah, tidaklah seseorang datang dengan mengambil sesuatu dari yang tidak benar melainkan ia akan datang dengannya pada hari Kiamat , lalu dia akan memikulnya di lehernya. (Jika yang ia ambil adalah) unta, maka akan keluar suara unta. Jika sapi, maka akan keluar suara sapi; Jika kambing, maka akan keluar suara kambing. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami bisa melihat putih kedua ketiak beliau SAW dan mengatakan, ‘Wahai Allâh! Aku telah menyampaikannya?’ (HR al-Bukhâri dan Muslim)

Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar (773 H- 852 H) menjelaskan, Nabi saw menerangkan pekerjaan yang dia lakukan (sebagai pemungut zakat) itulah yang menjadi penyebab orang lain memberi hadiah kepadanya. Dan jika dia hanya berdiam diri di rumahnya, orang tidak akan memberi hadiah kepadanya. Karena itu, dia tidak boleh menghalalkan pemberian itu hanya karena merupakan hadiah dari orang lain. Imam Nawawi (631 H-676 H), dalam kitab Syarah Muslim menjelaskan, hadis ini merupakan penegasan hadiah bagi pejabat adalah haram. Ia juga mengatakan kaum Muslimin bersepakat atas beratnya keharaman ghulul dan merupakan dosa besar. Mereka juga sepakat, wajib bagi yang menerimanya untuk mengembalikannya. Dari Buraidah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW barsabda, “Barangsiapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah), maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulul (pengkhianatan, korupsi atau penipuan)’. [HR. Abu Daud]

Syaikh Shalih bin Muhammad Alu Thalib menjelaskan permasalahannya bukan pada banyak atau sedikitnya barang yang diambil, akan tetapi ini merupakan asas atau sendi, juga merupakan aturan agama yang mereka anut, serta akhlak yang menghiasi diri mereka serta amanah yang wajib mereka tunaikan. Jika virus ghulul (korupsi) dibiarkan, menurutnya, maka dia akan membesar. Orang yang sudah terbiasa mengambil suatu yang kecil, suatu ketika dia akan berani mengambil sesuatu yang lebih besar. Jika ghulul sudah menjadi hal jamak atau lumrah pada sebuah masyarakat, dimana si pelaku tanpa rasa sungkan dan malu mengambil harta yang bukan haknya, itu artinya akhlak yang hina ini telah tersebar di kalangan mereka. Padahal setiap akhlak tercela itu menyeret pelakunya pada prilaku yang lebih buruk sehingga terjebak dalam sebuah rangkaian perbuatan maksiat yang terus-menerus merusak hati dan menghancurkan moral serta membangkitkan egois.

Semua ini akan menyeret seseorang untuk berbuat zalim, menyulut rasa dengki dan mengakibatkan perpecahan. Kerusakan pada managemen kantor dan keuangan bisa juga memberikan dampak negatif pada masyarakat, keterpurukan akhlak, kemiskinan serta kerusakan agama mereka, juga membuka peluang untuk berbuat korup dan merebaknya budaya sogok. Sehingga sering terdengar, banyak orang yang tidak bisa mendapatkan hak kecuali dengan sogok. Kalau amanah sudah ditinggalkan maka banyak hak yang terabaikan, keadilan akan melemah, kezaliman merajalela, rasa aman hilang dan masyarakat dilanda ketakutan. Rasulullah SAW bersabda dalam hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu: Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’. Dan Ibn Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Yang pertama kali hilang dari agamamu adalah amanah.” Wallahu'alam.

Referensi sebagai Berikut ini ;











Ghulul/Korupsi Dan Bahayanya Hingga Harus Kita Hindari

Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub yang disyari’atkan seperti do’a, nadzar, kurban, raja’ (pengharapan), takut, tawakkal, raghbah (senang), rahbah (takut) dan inabah (kembali/taubat). Dan jenis tauhid ini adalah inti dakwah para rasul, mulai rasul yang pertama hingga yang terakhir. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَۖ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu’.” (An-Nahl: 36)

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِيٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ ٢٥

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.” (Al-Anbiya’: 25)

Setiap rasul selalu melalui dakwahnya dengan perintah tauhid uluhiyah. Sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, dan lain-lain:

فَقَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥٓ

“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagi-mu selainNya.” (Al-A’raf: 59, 65, 73, 85)

وَإِبۡرَٰهِيمَ إِذۡ قَالَ لِقَوۡمِهِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱتَّقُوهُۖ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٦

“Dan ingatlah Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya, ‘Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepadaNya’.” (Al-Ankabut: 16)

Dan diwahyukan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam :

قُلۡ إِنِّيٓ أُمِرۡتُ أَنۡ أَعۡبُدَ ٱللَّهَ مُخۡلِصٗا لَّهُ ٱلدِّينَ ١١

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama’.” (Az-Zumar: 11)

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sendiri bersabda:

“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada ilah (sesembahan) yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Kewajiban awal bagi setiap mukallaf adalah bersaksi laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah), serta mengamalkannya. Allah Subhannahu wa Ta’ala

berfirman:

فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۢبِكَ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مُتَقَلَّبَكُمۡ وَمَثۡوَىٰكُمۡ ١٩

“Maka ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disem-bah) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu…”. (Muhammad: 19)

Dan kewajiban pertama bagi orang yang ingin masuk Islam ada- lah mengikrarkan dua kalimah syahadat. Jadi jelaslah bahwa tauhid uluhiyah adalah maksud dari dakwah para rasul. Disebut demikian, karena uluhiyah adalah sifat Allah yang ditunjukkan oleh namaNya, “Allah”, yang artinya dzul uluhiyah (yang memiliki uluhiyah). Juga disebut “tauhid ibadah”, karena ubudiyah adalah sifat ‘abd (hamba) yang wajib menyembah Allah secara ikhlas, karena keter-gantungan mereka kepadanya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ketahuilah, kebutuhan seorang hamba untuk menyembah Allah tanpa menyekutukanNya dengan sesuatu pun, tidak memiliki bandingan yang dapat dikias-kan, tetapi dari sebagian segi mirip dengan kebutuhan jasad kepada makanan dan minuman. Akan tetapi di antara keduanya ini terdapat perbedaan mendasar.

Karena hakikat seorang hamba adalah hati dan ruhnya, ia tidak bisa baik kecuali dengan Allah yang tiada Tuhan selainNya. Ia tidak bisa tenang di dunia kecuali dengan mengingat-Nya. Seandainya hamba memperoleh kenikmatan dan kesenangan tanpa Allah, maka hal itu tidak akan berlangsung lama, tetapi akan berpindah-pindah dari satu macam ke macam yang lain, dari satu orang kepada orang lain. Adapun Tuhannya maka Dia dibutuhkan setiap saat dan setiap waktu, di mana pun ia berada maka Dia selalu bersamanya.”

Tauhid ini adalah inti dari dakwah para rasul, karena ia adalah asas dan pondasi tempat dibangunnya seluruh amal. Tanpa mereali-sasikannya, semua amal ibadah tidak akan diterima. Karena kalau ia tidak terwujud, maka bercokollah lawannya, yaitu syirik. Sedangkan Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik. (An-Nisa’: 48, 116) 

ۚ وَلَوۡ أَشۡرَكُواْ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٨٨

“…seandainya mereka mempersekutukan Alah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)

لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٦٥

“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)

Dan tauhid jenis ini adalah kewajiban pertama segenap hamba. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

۞وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak …”. (An-Nisa’: 36)

۞وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan kamu supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya …” (Al-Isra’: 23) 

۞قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗاۖ

“Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu dari Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan kamu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu-bapak …’.” (Al-An’am: 151)

Ghulul, Dosa Besar yang Diremehkan.DI antara dosa besar yang dianggap sepele oleh sebagian besar masyarakat adalah al-ghulûl . Al-Ghulûl maksudnya mengambil sesuatu yang bukan miliknya dari harta bersama, atau memanfaatkan barang-barang inventaris kantor untuk kepentingan pribadi atau keluarganya bukan untuk kepentingan umum. (Baca juga: Korupsi Pembangunan Jembatan di Kampar, KPK Telisik Penggunaan VWSG ) Perilaku seperti ini termasuk perbuatan zalim yang berat bisa menyeret masyarakat pada kerusakan, terutama pelakunya. Pelaku tindak kezaliman ini terancam hukuman yang keras di dunia dan juga di akhirat. وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَغُلَّ ۚ وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ "Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, pada hari kiamat, ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal sedangkan mereka tidak dianiaya." (QS Ali Imran [3]: 161). Dalam ayat di atas, makna ghulul adalah mengambil sesuatu dari harta rampasan perang yang tidak boleh dimanfaatkan sebelum pembagian. Ghulul masuk kategori pengkhianatan dan dosa besar.

Kemudian, istilah ghulul dipakai untuk pengkhianatan dalam masalah harta sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah saw, hadiah yang diterima oleh seorang pejabat atau pemimpin karena jabatannya itu termasuk ghulul yang diharamkan Allah SWT. Rasulullah saw bersabda, "Hadiah untuk pekerja (pegawai) itu adalah ghulul (khianat)." (HR. Ahmad, dan disahihkan oleh Syekh Albani). Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda, "Hadiah untuk pemimpin itu adalah ghulul (khianat)." (HR Thabrani dan Baihaqi). Dari Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah mempekerjakan seseorang dari kabilah al-Azdi yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah untuk mengurus zakat . Setelah bekerja ia datang menghadap Rasulullah seraya berkata, “Ini untuk Anda dan yang ini untukku, aku diberi hadiahkan. Mendengar ini, Rasulullah berdiri di atas mimbar seraya bersabda: ‘Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, ‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku!’ Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan melihat, apakah ia diberi hadiah ataukah tidak? Demi Allah, tidaklah seseorang datang dengan mengambil sesuatu dari yang tidak benar melainkan ia akan datang dengannya pada hari Kiamat , lalu dia akan memikulnya di lehernya. (Jika yang ia ambil adalah) unta, maka akan keluar suara unta. Jika sapi, maka akan keluar suara sapi; Jika kambing, maka akan keluar suara kambing. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami bisa melihat putih kedua ketiak beliau SAW dan mengatakan, ‘Wahai Allâh! Aku telah menyampaikannya?’ (HR al-Bukhâri dan Muslim)

Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar (773 H- 852 H) menjelaskan, Nabi saw menerangkan pekerjaan yang dia lakukan (sebagai pemungut zakat) itulah yang menjadi penyebab orang lain memberi hadiah kepadanya. Dan jika dia hanya berdiam diri di rumahnya, orang tidak akan memberi hadiah kepadanya. Karena itu, dia tidak boleh menghalalkan pemberian itu hanya karena merupakan hadiah dari orang lain. Imam Nawawi (631 H-676 H), dalam kitab Syarah Muslim menjelaskan, hadis ini merupakan penegasan hadiah bagi pejabat adalah haram. Ia juga mengatakan kaum Muslimin bersepakat atas beratnya keharaman ghulul dan merupakan dosa besar. Mereka juga sepakat, wajib bagi yang menerimanya untuk mengembalikannya. Dari Buraidah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW barsabda, “Barangsiapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah), maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulul (pengkhianatan, korupsi atau penipuan)’. [HR. Abu Daud]

Syaikh Shalih bin Muhammad Alu Thalib menjelaskan permasalahannya bukan pada banyak atau sedikitnya barang yang diambil, akan tetapi ini merupakan asas atau sendi, juga merupakan aturan agama yang mereka anut, serta akhlak yang menghiasi diri mereka serta amanah yang wajib mereka tunaikan. Jika virus ghulul (korupsi) dibiarkan, menurutnya, maka dia akan membesar. Orang yang sudah terbiasa mengambil suatu yang kecil, suatu ketika dia akan berani mengambil sesuatu yang lebih besar. Jika ghulul sudah menjadi hal jamak atau lumrah pada sebuah masyarakat, dimana si pelaku tanpa rasa sungkan dan malu mengambil harta yang bukan haknya, itu artinya akhlak yang hina ini telah tersebar di kalangan mereka. Padahal setiap akhlak tercela itu menyeret pelakunya pada prilaku yang lebih buruk sehingga terjebak dalam sebuah rangkaian perbuatan maksiat yang terus-menerus merusak hati dan menghancurkan moral serta membangkitkan egois.

Semua ini akan menyeret seseorang untuk berbuat zalim, menyulut rasa dengki dan mengakibatkan perpecahan. Kerusakan pada managemen kantor dan keuangan bisa juga memberikan dampak negatif pada masyarakat, keterpurukan akhlak, kemiskinan serta kerusakan agama mereka, juga membuka peluang untuk berbuat korup dan merebaknya budaya sogok. Sehingga sering terdengar, banyak orang yang tidak bisa mendapatkan hak kecuali dengan sogok. Kalau amanah sudah ditinggalkan maka banyak hak yang terabaikan, keadilan akan melemah, kezaliman merajalela, rasa aman hilang dan masyarakat dilanda ketakutan. Rasulullah SAW bersabda dalam hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu: Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’. Dan Ibn Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Yang pertama kali hilang dari agamamu adalah amanah.” Wallahu'alam.

Referensi sebagai Berikut ini ;