This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Rabu, 27 Juli 2022

Apakah Dosa yang Dilakukan Berulang Kali Tidak Diampuni Allah Swt?

Dosa yang Dilakukan Berulang Kali Tidak Diampuni Tuhan? Kalau kita melakukan dosa berulang-ulang, maka jangan sampai dosa yang terakhir kita lakukan itu menjadi sebab keterputus-asaan kita daripada bertaubat kepada Allah. Kalau kita menyerah dan berputus asa begitu saja, maka itulah yang dimaukan syaitan, agar kita terus menemaninya di dalam adzab, tertipulah kita dengan tipu daya syaitan, selama-lamanyalah kita berkubang dalam maksiat dan berlipat gandalah musibah yang menimpa. 

Padahal bisa jadi itu adalah dosa yang terakhir, yang ditakdirkan Allah kepada kita. Sebagaimana ketika melakukan amal ibadah kita disuruh untuk husnuzhon kepada Allah, begitupula ketika kita melakukan perbuatan dosa. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:   

قل يا عبادي الذين أسرفوا على أنفسهم لا تقنطوا من رحمة الله 

"Katakanlah hai Hambaku yang telah terlampau terhadap dirinya, janganlah kalian berputus asa daripada kasih-sayang Allah…" (Az-Zumar: 53)

و من يقنط من رحمة ربه إلا الضالون

"Dan siapakah yang berputus asa dari kasih-sayang Tuhannya melainkan orang-orang yang sesat." (Al Hijr: 56)

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

كل ابن آدم خطاء و خير الخاطائين التوابون

"Setiap anak Adam berbuat kesalahan dan sebaik-baik orang bersalah adalah orang yang bertaubat." (Hadits Riwayat Imam Tirmidzi)

إن الله يحب كل مفتن تواب

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang banyak dosa, tapi banyak bertaubat." (Hadits riwayat Imam Ahmad)

Makanya Imam Ghazali bilang, "Sebagaimana kamu buat dosa berulang-ulang sudah menjadi pekerjaanmu, maka seperti itu pulalah kamu meminta ampun kepada Allah berulang-ulang harus menjadi pekerjaanmu."

Jangan disalahpahami bahwa Imam Ghazali hendak menyuruh kita untuk mengulang-ngulang perbuatan dosa. Tidak, bukan seperti itu pemahamannya. Tetapi maksud beliau adalah hendak menyuruh kita untuk terus mengulang-ngulang taubat kita kepada Allah. Artinya: Tujuh puluh kali kita berbuat dosa, maka tujuh puluh kali pulalah kita meminta ampun.

Inilah pemahaman daripada hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah hadits qudsi, Allah Ta'ala berfirman:: 

“Jikalau seseorang hamba itu melakukan sesuatu dosa lalu dia berkata: “Ya Allah, ampunilah dosaku,” maka berfirmanlah Allah Tabaraka wa Ta’ala: “HambaKu melakukan sesuatu yang berdosa, lalu dia mengerti bahwa dia mempunyai Tuhan yang dapat mengampuni dosa dan dapat pula memberikan hukuman sebab adanya dosa itu. ”Kemudian hamba itu mengulangi untuk berbuat dosa lagi, lalu dia berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah dosaku,” maka Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “HambaKu melakukan sesuatu yang berdosa lagi, tetapi dia tetap mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang dapat mengampuni dosa dan dapat pula memberikan hukuman sebab adanya dosa itu.” Seterusnya hamba mengulangi dosa lagi lalu berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah dosaku,” maka Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “HambaKu berbuat dosa lagi, tetapi dia mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang dapat mengampuni dosa dan dapat pula memberikan hukuman sebab adanya dosa itu. Aku telah mengampuni dosa hambaKu itu, maka hendaklah dia berbuat sekehendak hatinya.” (Muttafaq ‘alaih)

Berbuat sekehendak hatinya di situ jangan diartikan secara zhohir  (leterlek) bahwa Allah menyuruh kita terus melakukan maksiat, bukan, bukan seperti itu maknanya. Tetapi itu adalah gaya bahasa Allah yang memberitahukan kita bahwa sebanyak apapun perbuatan dosa kita, maka Allah adalah Tuhan yang maha pengampun maha penerima taubat. Artinya, di situ ada isyarat dari Allah bahwa begitu kita melakukan dosa maka segeralah meminta ampun dan begitu kita kembali melakukan dosa maka segeralah lagi meminta ampun dan begitu seterusnya. Inilah mafhum darpada hadits qudsi tersebut.

Jangan seperti Fir'aun yang terus melakukan perbuatan dosa tapi tak pernah sekalipun mau meminta ampun kepada Allah, toh itupun Allah masih saja menyuruh Nabi Musa dan Nabi Harun Alaihima salam untuk:

فقولا له قولا لينا لعله يتذكر أو يخشى

”…maka sampaikanlah nasehat kepadanya dengan perkataan yang lemah-lembut agar dia mengingat dan  takut kepada-Ku" (Thoha: 44)

Betapa penyayangnya Allah, penjahat sekelas Fir'aun saja Allah masih terus menunggu taubatnya, apatah lagi kita?! Ingat, kita bukan Fir'aun.

Inilah yang dipahami Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bahwa begitu besar dan dalamnya samudera ampunan Allah, hingga Rasulullah mensyukuri itu, dan duluan selalu meminta ampun kepada Allah tanpa terlebih dahulu melakukan perbuatan dosa, bahkan setiap hari beliau meminta ampun hingga tujuh puluh kali dan ada riwayat yang mengatakan seratus kali. (Itu yang terdata di dalam riwayat, yang tidak terdata; wallahu a'lam…)

Jadi istighfarnya Rasulullah bukan karena beliau melakukan maksiat tetapi karena maqam syukur. Sayidah Aisyah radhiyallahu anha bertanya kepada Rasulullah; "Untuk apakah engkau berbuat sedemikian, wahai Rasulullah, sedangkan engkau telah benar-benar diampuni dosa-dosamu yang telah lampau dan yang akan datang?' Rasulullah bersabda: "Tak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur." (Riwayat Bukhari dan Muslim)Hasil pengajian di majelis dzikir berjama'ah tadi malam, terhadap Hikam ulama sufi Ibnu Atho'illah As-Sakandari:

إذا وقع منك ذنب فلا يكن سببا يؤيسك من حصول الإستقامة مع ربك فقد يكون ذلك آخر ذنب قدر عليك

"Jika kamu terjatuh ke dalam dosa maka janganlah itu menjadi sebab engkau berputus asa daripada istiqomah bersama Allah, bisa jadi itu adalah dosa terakhir yang ditakdirkan kepadamu."

Referensi sebagai Berikut ini ;











Berkat Cacian, Syekh Khalid Menjadi Seorang Ulama

Berkat Cacian, Syekh Khalid Menjadi Seorang Ulama. Kita tidak pernah tahu tentang masa depan yang akan datang. Terkadang kita berada di atas, terkadang pula kita berada di bawah. Semudah itu Allah membolak-balikkan takdir dan nasib hamba-Nya. Namun selama kita berjuang dengan sungguh-sungguh dan beristikamah di jalan Allah, kita tak akan pernah menyesal. Sebab takdir Allah benar-benar spesial.

Khalid bin Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin Ahmad al-Jarjawi atau masyhur dikenal dengan nama Syekh Khalid al-Azhari memiliki kisah yang menakjubkan dalam hidupnya. Perjalanannya menjadi ulama begitu menginspirasi. Beragam kesulitan dan tantangan berhasil dilewati. Hingga suatu ketika, satu kejadian memalukan berhasil mengubah hidupnya.

Syekh Khalid lahir di Jarjah, sebuah kota kecil di kawasan Mesir Hulu. Syekh Khalid lahir dari keluarga yang kurang mampu. Hingga saat masih usia kanak-anak, ia bersama kedua orang tuanya pindah ke Kairo untuk mencari penghidupan.

Meskipun lahir dari keluarga yang kurang mampu, Syekh Khalid tak patah semangat untuk belajar. Kepindahannya ke Kairo pun membawa hikmah tersendiri. Di sana, ia menghafal al-Qur’an dan belajar ilmu-ilmu agama dari ulama-ulama terkemuka. Di antara kitab-kitab yang ia pelajari ialah al-Umdah dan Mukhtasar Abi Syuja’.

Saat remaja Syekh Khalid pindah ke al-Azhar untuk bekerja. Sebenarnya Syekh Khalid tak mau bekerja dan ingin sekali belajar al-Qur’an, bahasa Arab, dan ilmu agama di sana, namun karena kondisi ekonomi keluarga yang tak memungkinkan, ia pun terpaksa harus bekerja menghidupi keluarganya. Di al-Azhar Syekh Khalid bekerja sebagai waqqad. Waqqad bertugas menyalakan lentera atau lampu gantung yang menghiasi langit-langit masjid al-Azhar saat petang tiba.

Namun siapa sangka, pekerjaannya tersebut menjadi wasilah Allah mengangkat derajatnya dan memuliakannya. Suatu ketika Syekh Khalid sedang bekerja, menyalakan lentera yang tergantung di langit-langit masjid. Tanpa sengaja, saat menyalakan lentera, sebagian kecil sumbu terjatuh dan mengenai sebuah buku milik salah seorang pelajar al-Azhar.

Melihat bukunya ternodai, pelajar tersebut naik pitam dan mencaci Syekh Khalid. Ia mengatakan, “Kau bodoh, seaindainya kau mau belajar (alih-alih bekerja) kau tidak akan sebodoh ini.” Syeikh Khalid pun merasa sedih dan menyesal. Akhirnya ia pun meminta maaf kepada pemuda tersebut dan memberikan uang delapan dinar sebagai ganti, tetapi pemuda itu hanya mengambil setengahnya.

Akhirnya, setelah kejadian tersebut Syekh Khalid memutuskan untuk berhenti bekerja dan memulai kehidupan baru sebagai pelajar di Masjid al-Azhar. Ia menggunakan sisa 4 dinar miliknya untuk mendaftarkan diri. Ia benar-benar yakin dan istikamah di usianya yang tak lagi muda untuk mulai belajar. Usianya saat itu 36 tahun, jauh di atas pelajar-pelajar lainnya.

Meskipun demikian, usia tak menghalangi kegigihan Syekh Khalid dalam menuntut ilmu. Ia dikenal sebagai murid yang sangat cerdas dan rajin. Padahal di usia yang hampir menginjak kepala empat, biasanya orang-orang akan kesulitan menghafal dan belajar. Namun Syekh Khalid membuktikan bahwa selama berusaha tidak akan ada yang mustahil.  Bahkan perkembangan belajarnya begitu cepat dibandingkan murid-murid lainnya. Hingga kemudian, lahirlah Syekh Khalid sebagai seorang ulama.

Syekh Khalid pun kemudian diamanatkan untuk memberikan kuliah di al-Azhar. Tak hanya itu, ia juga ditunjuk untuk mengajar di berbagai madrasah dan khanqah (tempat belajar para sufi). Bahkan masyhur tersemat di belakang namanya al-Azhari. Hal ini tak lain dikarenakan tingginya keilmuan yang dimilikinya serta ditunjuknya ia sebagai salah satu ulama al-Azhar, dimana tak sembarang orang disematkan julukan al-Azhari dibelakang namanya.

Syekh Khalid merupakan sesosok ulama yang berbakat dan multitalent. Beliau menguasai beragam disiplin keilmuan, utamanya Bahasa dan Sastra Arab, hingga mendapatkan julukan an-Nahwi (Ahli Nahwu atau Gramatikal Arab). Beliau juga merupakan pakar dalam ilmu Mantiq (Logika), ilmu Usul Fikih, dan ilmu Qira’at. Beliau juga merupakan seorang ulama yang wara’ dan rendah hati. Bahkan hal ini telah ditunjukkannya sedari ia masih kecil, berkat didikan orang tuanya.

Hingga masa wafatnya, Syekh Khalid telah mengarang beberapa karya tulis yang saat ini masih dikaji dan dipelajari oleh para murid yang sedang meniti ilmu di negeri para nabi. Diantaranya yang paling terkenal ialah Syarh al-Ajurumiyyah, Muqaddimah al-Azhariyyah, dan Syarh Burdah. Ketiganya bahkan hingga saat ini masih terus dicetak ulang. Total, tak kurang dari 17 karya tulis telah ia buat.

Sebelum wafat, Syekh Khalid pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Hingga akhirnya selepas kembali ke tanah airnya, Mesir, ia wafat dan dimakamkan di sana. Syekh Khalid wafat pada tanggal 19 Muharram 905 H / 20 Agustus 1499 M.

Dari Syekh Khalid kita belajar, bahwa tak sepantasnya cercaan orang menjadi alasan bagi kita untuk menyerah dan berputus asa. Sebaliknya, hinaan dan cacian adalah batu pijakan bagi kita untuk melangkah menuju kesuksesan.

Kisah Syekh Khalid ini juga secara tidak langsung merupakan teguran bagi kita untuk terus belajar kapan pun dan di mana pun, meskipun tubuh telah digerogoti usia. Sebab dengan belajar kita akan lebih bijak. Dan dengan terus belajar, hari esok akan selalu baik dari hari ini dan kemarin.

Kisah ini disarikan dari mukaddimah kitab “Syarh al-Ajurumiyyah” karangan Syeikh Khalid al-Azhari dan disertasi berjudul “asy-Syaikh Khalid al-Azhari wa Juhuduhu an-Nahwiyyah” oleh Amani Abdul Rahim Abdullah Halwani.

Referensi sebagai Berikut ini ;











Dosa Ini Tidak Bakal Diampuni Allah SWT Walaupun Sudah Bertaubat

Dosa Ini Tidak Bakal Diampuni Allah SWT Walaupun Sudah Bertaubat. alam bahasa Arab, Dosa disebut itsm dan ‘ishyaan. Dosa merupakan perangkap setan di mana bagian dalamnya adalah api dan bagian luarnya itu disertai dengan rasa nikmat dan keinginan syahwat.

Seorang pendosa tentunya tidak mengikuti akalnya tapi justru mengekori kepada syahwat dan amarahnya.

Semua sifatnya itu spontanitas membuat orang lalai terlena dan tenggelam bahwa balasan siksa ilahi tengah menantinya.

Pernahkan kita berpikir tentang dosa-dosa kita? Baik dosa besar maupun dosa kecil. Kita meminta diampuni dosa-dosa kita kepada Allah SWT.

Namun tahu

1. Makan harta anak yatim secara haram

Untuk menghapuskan dosa tersebut, pemakan harta anak yatim mesti membayar kembali harta yang telah digunakan serta memohon maaf kepada anak yatim.

Jika anak yatim tersebut memaafkan perbuatannya, barulah boleh bertaubat kepada Allah. Seandainya anak yatim itu tidak memaafkan perbuataannya maka semua dosanya tidak terhapus.

2. Menuduh wanita solehah berzina

Orang yang menuduh wanita shalehah, hendaklah meminta maaf kepada wanita shalehah tersebut. Jika wanita shalehah itu memaafkan, maka terhapuslah dosa dan diperbolehkan bertaubat kepada Allah.

Namun bila wanita shalehah itu tidak memaafkan maka dosa tidak terhapus dan tidak boleh bertaubat kepada Allah SWT.

3. Lari dari medan jihad yang mempejuangkan kalimah Allah SWT

Mereka yang lari dari medan jihad adalah mereka yang dayus dan tidak layak memasuki surga. Dalam sejarah Islam hukuman bagi mereka lari dari medan jihad sehingga Rasulullah SAW terpaksa menunggu arahan Allah SWT untuk memaafkan kesalahan tersebut.

4. Melakukan sihir

Mereka yang melakukan sihir dan pengamal sihir adalah mereka yang syirik kepada Allah SWT, memang tidak layak bertaubat kepada Allah melainkan mengucap kembali kalimat syahadah dan mesti menyerah kepada kerajaan Islam untuk melaksanakan hukuman yang sewajarnya.

5. Bersyirik kepada Allah SWT atau menyamakan kedudukan Allah SWT dengan makhluk

Dosa syirik atau menyamakan kedudukan Allah SWT dengan makhluk, seadanya melalui niat, percakapan dan perbuatan yang tidak disadari atau disadari.

Maka dosa ini tidak boleh bertaubat, kecuali dengan mengucap kembali kedua kalimat syahadah dan pemerintah Islam mesti melaksanakan hukuman hudud barulah Allah rela menerima kembali amal ibadah seseorang hamba yang telah menduakan, menyamakan, atau menyekutukan Allah.

6. Membunuh para nabi yang diutus oleh Allah SWT

Mereka yang membunuh para Nabi hendaklah dihukum bunuh dan berserah diri kepada Allah SWT untuk mengazab mereka.

Rasulullah SAW pernah mengutuskan utusan untuk membunuh mereka yang menghina atau mengejek Allah dan Rasulullah semasa Negara Islam Madinah.

Itulah enam dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah, sebelum Anda ingin membayarnya. Semoga kita dihindari dari dosa besar tersebut.


Setiap muslim pasti selalu mengharapkan ampunan Allah, bahkan seburuk-buruk pendosa pun, kalau ditanya, “Mau gak semua dosamu Allah ampuni?” Jawabannya pasti mau. ⁣⁣⁣

⁣⁣⁣Siapa yang tidak mau badannya dibersihkan dari keringat, kotoran, bahkan bau busuk yang melekat pada dirinya, begitupun pendosa, dia selalu mengharapkan ampunan Allah Swt. Tapi sayangnya, seseorang kadang lupa untuk menutup aib, dan keburukannya sendiri, berbuat maksiat lalu diceritakan kepada kawan-kawannya dengan tanpa malu dan perasaan bersalah. Kalau seperti itu jangan harap Allah Swt. akan menutup aibmu dan mengampuni dosamu, karena kau sendirilah yang telah merobek hijab-Nya. ⁣⁣⁣

⁣⁣⁣Kalau kita memberikan baju pada orang yang telanjang, tapi dia malah merobek dan membuangnya maka pasti kita akan kesal dan marah. Maka Allah Swt. juga akan murka kepada kita ketika Allah Swt. menutup kesalahan kita, lalu dengan santai kita membicarakannya kepada orang-orang? Jika seperti itu jangan harap Allah Swt. akan mengampuni dosa kita.

Apabila setiap orang tidak merasa malu untuk menceritakan dosanya, biasanya ia menjadikan maksiat sebagai perkara yang biasa, sehingga semua orang menganggap enteng berbuat dosa, maka di sanalah bahayanya.⁣⁣⁣

⁣⁣⁣Karena itu dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:⁣⁣⁣

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ، فَيَقُولَ : يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا. وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ⁣⁣⁣

⁣⁣⁣“Semua umatku diampuni kecuali orang-orang pengumbar (aib sendiri), sungguh buruk seseorang yang melakukan kesalahan dimalam hari, lalu di pagi hari setelah Allah Swt. menutup kesalahannya, dia mengatakan: Wahai Fulan, aku telah berbuat (dosa) begini dan begitu semalam tadi. Padahal Tuhannya telah menutup aibnya, sedangkan dia malah membuka hijab yang Allah Swt. berikan padanya.⁣⁣⁣

Cukuplah kau dan Tuhanmu yang tahu atas aibmu selama dosa itu tidak berdampak mudarat bagi orang lain. Jangan hiraukan mereka yang mengatakan kamu munafik lah, sok alim lah, karena memang begitulah seharusnya, kalau kita mengharapkan ampunan Allah Swt. Munafik adalah orang yang menyembunyikan kekufuran dalam jubah keislaman, sedangkan orang yang menyembunyikan dosanya karena malu pada Allah Swt. lalu menyesal dan bertobat maka dia bukanlah munafik.⁣⁣⁣

⁣⁣⁣Semoga di sepuluh terakhir Ramadan ini Allah Swt. ampuni semua dosa kita, sehingga tidaklah kita meninggalkan bulan mulia ini melainkan dengan keadaan bersih dari dosa. Amin.

Referensi sebagai Berikut ini ;









Penyebab Dosa Tidak Diampuni Allah Swt


Setiap muslim pasti selalu mengharapkan ampunan Allah, bahkan seburuk-buruk pendosa pun, kalau ditanya, “Mau gak semua dosamu Allah ampuni?” Jawabannya pasti mau. ⁣⁣⁣⁣⁣⁣Siapa yang tidak mau badannya dibersihkan dari keringat, kotoran, bahkan bau busuk yang melekat pada dirinya, begitupun pendosa, dia selalu mengharapkan ampunan Allah Swt. Tapi sayangnya, seseorang kadang lupa untuk menutup aib, dan keburukannya sendiri, berbuat maksiat lalu diceritakan kepada kawan-kawannya dengan tanpa malu dan perasaan bersalah. Kalau seperti itu jangan harap Allah Swt. akan menutup aibmu dan mengampuni dosamu, karena kau sendirilah yang telah merobek hijab-Nya. ⁣⁣⁣

⁣⁣⁣Kalau kita memberikan baju pada orang yang telanjang, tapi dia malah merobek dan membuangnya maka pasti kita akan kesal dan marah. Maka Allah Swt. juga akan murka kepada kita ketika Allah Swt. menutup kesalahan kita, lalu dengan santai kita membicarakannya kepada orang-orang? Jika seperti itu jangan harap Allah Swt. akan mengampuni dosa kita.

Apabila setiap orang tidak merasa malu untuk menceritakan dosanya, biasanya ia menjadikan maksiat sebagai perkara yang biasa, sehingga semua orang menganggap enteng berbuat dosa, maka di sanalah bahayanya.⁣⁣⁣

⁣⁣⁣Karena itu dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:⁣⁣⁣

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ، فَيَقُولَ : يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا. وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ⁣⁣⁣

"Semua umatku diampuni kecuali orang-orang pengumbar (aib sendiri), sungguh buruk seseorang yang melakukan kesalahan dimalam hari, lalu di pagi hari setelah Allah Swt. menutup kesalahannya, dia mengatakan: Wahai Fulan, aku telah berbuat (dosa) begini dan begitu semalam tadi. Padahal Tuhannya telah menutup aibnya, sedangkan dia malah membuka hijab yang Allah Swt. berikan padanya".⁣⁣⁣

Cukuplah kau dan Tuhanmu yang tahu atas aibmu selama dosa itu tidak berdampak mudarat bagi orang lain. Jangan hiraukan mereka yang mengatakan kamu munafik lah, sok alim lah, karena memang begitulah seharusnya, kalau kita mengharapkan ampunan Allah Swt. Munafik adalah orang yang menyembunyikan kekufuran dalam jubah keislaman, sedangkan orang yang menyembunyikan dosanya karena malu pada Allah Swt. lalu menyesal dan bertobat maka dia bukanlah munafik.⁣⁣⁣

⁣⁣⁣Semoga di sepuluh terakhir Ramadan ini Allah Swt. ampuni semua dosa kita, sehingga tidaklah kita meninggalkan bulan mulia ini melainkan dengan keadaan bersih dari dosa. Amin.

Hari akhir amal perbuatan manusia selama di dunia akan diperhitungkan. Ada di antara mereka yang beruntung, namun ada yang mengalami kerugian.

مَثَلُ مَا يُنْفِقُوْنَ فِيْ هٰذِهِ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رِيْحٍ فِيْهَا صِرٌّ اَصَابَتْ حَرْثَ قَوْمٍ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ فَاَهْلَكَتْهُ ۗ وَمَا ظَلَمَهُمُ اللّٰهُ وَلٰكِنْ اَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ

“Perumpamaan harta yang mereka infakkan di dalam kehidupan dunia ini, ibarat angin yang mengandung hawa sangat dingin, yang menimpa tanaman (milik) suatu kaum yang menzalimi diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak menzalimi mereka, tetapi mereka yang menzalimi diri sendiri.” (QS Ali Imran 117).

Sebagian orang kafir mungkin menghabiskan uang miliknya di jalan kebaikan. Akan tetapi karena kekafiran mereka, hal itu tidak bermanfaat baginya di kehidupan akhirat. Allah berfirman: 

وَقَدِمْنَآ اِلٰى مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنٰهُ هَبَاۤءً مَّنْثُوْرًا "Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan." (QS Al Furqan 23).

Allah ﷻ tidak menerima perbuatan baik yang telah mereka kerjakan. Hal ini karena iman merupakan syarat diterimanya amal. Allah ﷻ tidak menerima amal kecuali semata-mata karena-Nya. Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:

قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

"Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman, 'Aku adalah sekutu yang paling tidak memerlukan sekutu, barangsiapa melakukan suatu amalan dengan menyekutukanKu dengan selainKu, Aku meninggalkannya dan sekutunya'." (HR Muslim).

Hal ini juga berpengaruh pada mereka yang beriman, akan tetapi melakukan kemaksiatan. Dari Tsauban dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: 

لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا

"Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari Kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih, lantas Allah menjadikannya sia-sia." 

Tsauban berkata, "Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka kepada kami, dan jelaskanlah tentang mereka kepada kami, supaya kami tidak menjadi seperti mereka sementara kami tidak mengetahuinya." 

Beliau bersabda, "Sesungguhnya mereka adalah saudara-saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka sholat malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka adalah kaum yang jika kembali kepada apa yang diharamkan Allah, maka mereka terus mengerjakannya." (HR Ibnu Majah).

Referensi sebagai Berikut ini ;








Maksiat bisa berakibat buruk terhadap amal ibadah orang beriman

Dampak Maksiat terhadap Amal Ibadah Orang-Orang Beriman. ada hari akhir amal perbuatan manusia selama di dunia akan diperhitungkan. Ada di antara mereka yang beruntung, namun ada yang mengalami kerugian.

مَثَلُ مَا يُنْفِقُوْنَ فِيْ هٰذِهِ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رِيْحٍ فِيْهَا صِرٌّ اَصَابَتْ حَرْثَ قَوْمٍ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ فَاَهْلَكَتْهُ ۗ وَمَا ظَلَمَهُمُ اللّٰهُ وَلٰكِنْ اَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ

“Perumpamaan harta yang mereka infakkan di dalam kehidupan dunia ini, ibarat angin yang mengandung hawa sangat dingin, yang menimpa tanaman (milik) suatu kaum yang menzalimi diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak menzalimi mereka, tetapi mereka yang menzalimi diri sendiri.” (QS Ali Imran 117).

Sebagian orang kafir mungkin menghabiskan uang miliknya di jalan kebaikan. Akan tetapi karena kekafiran mereka, hal itu tidak bermanfaat baginya di kehidupan akhirat. Allah berfirman: 

وَقَدِمْنَآ اِلٰى مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنٰهُ هَبَاۤءً مَّنْثُوْرًا "Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan." (QS Al Furqan 23).

Allah ﷻ tidak menerima perbuatan baik yang telah mereka kerjakan. Hal ini karena iman merupakan syarat diterimanya amal. Allah ﷻ tidak menerima amal kecuali semata-mata karena-Nya. Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:

قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

"Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman, 'Aku adalah sekutu yang paling tidak memerlukan sekutu, barangsiapa melakukan suatu amalan dengan menyekutukanKu dengan selainKu, Aku meninggalkannya dan sekutunya'." (HR Muslim).

Hal ini juga berpengaruh pada mereka yang beriman, akan tetapi melakukan kemaksiatan. Dari Tsauban dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: 

لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا

"Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari Kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih, lantas Allah menjadikannya sia-sia." 

Tsauban berkata, "Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka kepada kami, dan jelaskanlah tentang mereka kepada kami, supaya kami tidak menjadi seperti mereka sementara kami tidak mengetahuinya." 

Beliau bersabda, "Sesungguhnya mereka adalah saudara-saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka sholat malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka adalah kaum yang jika kembali kepada apa yang diharamkan Allah, maka mereka terus mengerjakannya." (HR Ibnu Majah).


Suatu ketika Rasulullah SAW pernah menyampaikan kepada sahabat tentang kaum yang tampak alim ketika berkumpul, namun dzalim pada diri sendiri tatkala sendirian dan sepi. Kaum ini muncul pada akhir zaman, menjelang hari kiamat. 

Mereka melakukan maksiat yang dianggap sepele, namun faktanya justru menghancurkan pahala dari amalan yang sudah dilakukan. Bahkan, meskipun amalan yang dimiliki sudah setinggi gunung Tihamah, namun pahalanya tetap akan musnah.

Tindakan maksiat ini dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan dalam keadaan berani serta menganggap remeh dosa. Lalu, apakah kita termasuk dalam kaum yang dikatakan Sang Nabi? Berikut ulasannya.

Manusia kerap kali menganggap remeh dosa, sehingga mengabaikan tindakan-tindakan yang dianggap tidak merugikan orang lain. Padahal, meskipun tidak terhitung menyakiti orang lain, namun apa saja yang melanggar larangan Allah SWT tetap saja berbuah dosa.

Termasuk melakukan maksiat dikala sepi. Di era kini, saat-saat sepi justru memiliki potensi yang besar bagi diri untuk melakukan tindakan melanggar perintah Ilahi. Misalnya dengan kecanggihan teknologi, manusia bisa searching hal-hal yang yang sangat dilarang agama.

Seperti menonton film p*rn*, melihat gambar-gambar yang tidak senonoh, membaca artikel yang menimbulkan syahwat dan lain sebagainya. Ini hanya beberapa contoh tindakan yang melanggar tersebut. Masih banyak tindakan lain yang juga bisa menghancurkan pahala yang sudah dikumpulkan selama ini.

Keadaan seperti ini disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari.

Dari Tsauban, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan banyak kebaikan semisal Gunung Tihamah. Namun Allah menjadikan kebaikan tersebut menjadi debu yang bertebaran.” Tsauban berkata, “Wahai Rasulullah, coba sebutkan sifat-sifat mereka pada kami supaya kami tidak menjadi seperti mereka sedangkan kami tidak mengetahuinya.”

Rasulullah SAW lalu menjawab. “Adapun mereka adalah saudara kalian. Kulit mereka sama dengan kulit kalian. Mereka menghidupkan malam (dengan ibadah) seperti kalian. Akan tetapi mereka adalah kaum yang jika bersepian mereka merobek tirai untuk bisa bermaksiat pada Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 4245. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Bagaimana, apakah kita termasuk dalam kaum yang menggunakan sepi untuk bermaksiat. Tidak hanya tindakan, bermaksiat dengan pikiran-pikiran yang melanggar aturan juga mampu memusnahkan pahala. Karena faktanya, sesama manusia memang tidak mengetahuinya, namun Allah SWT senantiasa mengawasi kita. Seperti dalam  QS. An-Nisa’: 108 yang artinya:

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 108).

Semoga setiap waktu  dan segala kondisi, kita tetap meneguhkan iman untuk setia hanya mengingat Allah SWT. Sehingga niat bertindak untuk bermaksiat dikala sepi dapat terhindari. Aamiin.

Referensi sebagai Berikut ini ;










Pahala/Amalan Sebesar Gunung Hancur Akibat Bermaksiat Disaat Sendiri/Sepi

Ilustrasi : Pahala/Amalan Sebesar Gunung Hancur Akibat Bermaksiat Disaat Sendiri/Sepi

Pahala/Amalan Sebesar Gunung Hancur Akibat Bermaksiat Disaat Sendiri/Sepi. Suatu ketika Rasulullah SAW pernah menyampaikan kepada sahabat tentang kaum yang tampak alim ketika berkumpul, namun dzalim pada diri sendiri tatkala sendirian dan sepi. Kaum ini muncul pada akhir zaman, menjelang hari kiamat. Mereka melakukan maksiat yang dianggap sepele, namun faktanya justru menghancurkan pahala dari amalan yang sudah dilakukan. Bahkan, meskipun amalan yang dimiliki sudah setinggi gunung Tihamah, namun pahalanya tetap akan musnah.

Tindakan maksiat ini dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan dalam keadaan berani serta menganggap remeh dosa. Lalu, apakah kita termasuk dalam kaum yang dikatakan Sang Nabi? Berikut ulasannya.

Manusia kerap kali menganggap remeh dosa, sehingga mengabaikan tindakan-tindakan yang dianggap tidak merugikan orang lain. Padahal, meskipun tidak terhitung menyakiti orang lain, namun apa saja yang melanggar larangan Allah SWT tetap saja berbuah dosa.

Termasuk melakukan maksiat dikala sepi. Di era kini, saat-saat sepi justru memiliki potensi yang besar bagi diri untuk melakukan tindakan melanggar perintah Ilahi. Misalnya dengan kecanggihan teknologi, manusia bisa searching hal-hal yang yang sangat dilarang agama.

Seperti menonton film p*rn*, melihat gambar-gambar yang tidak senonoh, membaca artikel yang menimbulkan syahwat dan lain sebagainya. Ini hanya beberapa contoh tindakan yang melanggar tersebut. Masih banyak tindakan lain yang juga bisa menghancurkan pahala yang sudah dikumpulkan selama ini.

Keadaan seperti ini disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari.

Dari Tsauban, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan banyak kebaikan semisal Gunung Tihamah. Namun Allah menjadikan kebaikan tersebut menjadi debu yang bertebaran.” Tsauban berkata, “Wahai Rasulullah, coba sebutkan sifat-sifat mereka pada kami supaya kami tidak menjadi seperti mereka sedangkan kami tidak mengetahuinya.”

Rasulullah SAW lalu menjawab. “Adapun mereka adalah saudara kalian. Kulit mereka sama dengan kulit kalian. Mereka menghidupkan malam (dengan ibadah) seperti kalian. Akan tetapi mereka adalah kaum yang jika bersepian mereka merobek tirai untuk bisa bermaksiat pada Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 4245. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Bagaimana, apakah kita termasuk dalam kaum yang menggunakan sepi untuk bermaksiat. Tidak hanya tindakan, bermaksiat dengan pikiran-pikiran yang melanggar aturan juga mampu memusnahkan pahala. Karena faktanya, sesama manusia memang tidak mengetahuinya, namun Allah SWT senantiasa mengawasi kita. Seperti dalam  QS. An-Nisa’: 108 yang artinya:

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 108).

Semoga setiap waktu  dan segala kondisi, kita tetap meneguhkan iman untuk setia hanya mengingat Allah SWT. Sehingga niat bertindak untuk bermaksiat dikala sepi dapat terhindari. Aamiin.


Dalam sebuah acara kajian ilmu, Ustadz Ahmad Zainuddin menjelaskan tentang salah satu dosa yang dapat menghapuskan pahala.

Beliau bahkan mengatakan, maksiat yang dikerjakan pada waktu ini membuat pahala sebesar gunung Tihamah pun akan hangus.

Allah akan membuat pahala yang sebesar gunung Tihamah tersebut beterbangan layaknya debu karena perbuatan maksiat yang dilakukan.

kapan waktu bermaksiat yang dimaksud Ustadz Ahmad Zainuddin yang dapat menghapuskan pahala tersebut?

Ustadz Ahmad Zainuddin menerangkan materi ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadist dari Tsauban radhiyallah hu anhu.

"Aku sangat mengetahui orang-orang dari umatku datang pada hari kiamat, dengan pahala bergunung-gunung pahala Tihamah," kata Ustadz Ahmad Zainuddin.

"Kenapa disebutkan gunung Tihamah? Karena gunungnya sangat terkenal tinggi dan besarnya, di Negeri Yaman," ujar beliau menerangkan.

"Kemudian Allah menjadikan pahala bergunung-gunung tersebut seperti debu-debu yang beterbangan," kata beliau melanjutkan.

Apa alasannya Allah menjadikan pahala yang begitu besar seakan tidak berarti layaknya debu kecil yang hempas diterpa angin?

Lebih jelasnya, Ustadz Ahmad Zainuddin mengatakan bahwa Rasulullah SAW menyampaikan kepada para sahabat.

Bahwa ciri orang yang pahalanya sebesar gunung Tihamah dihapuskan oleh Allah SWT adalah orang yang bermaksiat tatkala ia sedang sendirian.

Rasulullah SAW mengatakan, mereka orang Islam sama seperti kalian (para sahabat), mereka bangun malam sebagaimana para sahabat menjalankan ibadah malam.

"Tetapi, mereka jika sudah sendirian dengan hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Mereka langgar, mereka libas semua larangan tersebut," kata Ustadz Ahmad Zainuddin.

"Maksiat tatkala sendirian penghapus pahala, hati-hati. Iman yang jujur, Allah maha melihat," ujar beliau menegaskan


Seseorang yang ketika di hadapan orang banyak terlihat alim dan shalih. Namun kala sendirian, saat sepi, ia menjadi orang yang menerjang larangan Allah.

Inilah yang dapat dilihat dari para penggiat dunia maya. Ketika di keramaian atau dari komentar ia di dunia maya, ia bisa berlaku sebagai seorang alim dan shalih. Namun bukan berarti ketika dalam kesepian, ia seperti itu pula. Ketika sendirian browsing internet, ia sering bermaksiat. Pandangan dan pendengarannya tidak bisa ia jaga.

Keadaan semacam itu telah disinggung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari. Dalam hadits dalam salah satu kitab sunan disebutkan,

عَنْ ثَوْبَانَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ : « لأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِى يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا ». قَالَ ثَوْبَانُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لاَ نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لاَ نَعْلَمُ. قَالَ : « أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا »

Dari Tsauban, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan banyak kebaikan semisal Gunung Tihamah. Namun Allah menjadikan kebaikan tersebut menjadi debu yang bertebaran.” Tsauban berkata, “Wahai Rasulullah, coba sebutkan sifat-sifat mereka pada kami supaya kami tidak menjadi seperti mereka sedangkan kami tidak mengetahuinya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun mereka adalah saudara kalian. Kulit mereka sama dengan kulit kalian. Mereka menghidupkan malam (dengan ibadah) seperti kalian. Akan tetapi mereka adalah kaum yang jika bersepian mereka merobek tirai untuk bisa bermaksiat pada Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 4245. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Ibnu Majah membawakan hadits di atas dalam Bab “Mengingat Dosa”.

Hadits di atas semakna dengan ayat,

يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 108). Walaupun dalam ayat tidak disebutkan tentang hancurnya amalan.

Ada beberapa makna dari hadits Tsauban yang kami sebutkan di atas:

Pertama:

Hadits tersebut menunjukkan keadaan orang munafik, walaupun kemunafikan yang ia perbuat adalah kemunafikan dari sisi amal, bukan i’tiqad (keyakinan). Sedangkan hadits Abu Hurairah berikut dimaksudkan pada kaum muslimin.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan dalam bermaksiat. Yaitu seseorang yang telah berbuat dosa di malam hari lantas di pagi harinya ia berkata bahwa ia telah berbuat dosa ini dan itu padahal Allah telah menutupi dosanya. Pada malam harinya, Allah telah menutupi aibnya, namun di pagi harinya ia membuka sendiri aib yang telah Allah tutupi.” (HR. Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 2990)

Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan dalam Az-Zawajir ‘an Iqtiraf Al-Kabair (2: 764) mengenai dosa besar no. 356, “Termasuk dosa besar adalah dosa yang dilakukan oleh orang yang menampakkan keshalihan, lantas ia menerjang larangan Allah. Walau dosa yang diterjang adalah dosa kecil dan dilakukan di kesepian. Ada hadits dari Ibnu Majah dengan sanad berisi perawi tsiqah (kredibel) dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan banyak kebaikan …” Karena kebiasaan orang shalih adalah menampakkan lahiriyah. Kalau maksiat dilakukan oleh orang shalih walaupun sembunyi-sembunyi, tentu mudharatnya besar dan akan mengelabui kaum muslimin. Maksiat yang orang shalih terjang tersebut adalah tanda hilangnya ketakwaan dan rasa takutnya pada Allah.”

Kedua:

Yang dimaksud dalam hadits Tsauban dengan bersendirian dalam maksiat pada Allah tidak berarti maksiat tersebut dilakukan di rumah seorang diri, tanpa ada yang melihat. Bahkan boleh jadi maksiat tersebut dilakukan dengan jama’ahnya atau orang yang setipe dengannya.

Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa yang dimaksud dalam hadits bukanlah melakukan maksiat sembunyi-sembunyi. Namun ketika ada kesempatan baginya untuk bermaksiat, ia menerjangnya. (Silsilah Al-Huda wa An-Nuur no. 226)

Ketiga:

Makna hadits Tsauban adalah bagi orang yang menghalalkan dosa atau menganggap remeh dosa tersebut.

Syaikh Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi berkata, ada orang yang melakukan maksiat sembunyi-sembunyi namun penuh penyesalan. Orang tersebut bukanlah orang yang merobek tabir untuk menerjang yang haram. Karena asalnya orang semacam itu mengagungkan syari’at Allah. Namun ia terkalahkan dengan syahwatnya. Adapun yang bermaksiat lainnya, ia melakukan maksiat dalam keadaan berani (menganggap remeh dosa, pen.). Itulah yang membuat amalannya terhapus. (Syarh Zaad Al-Mustaqni) Semoga kita dapat menjauhi dosa dan maksiat di kala sepi dan kala terang-terangan. Jadikan, nasihat ini terutama untuk setiap diri kita pribadi.

Referensi sebagai Berikut ini ;







Maksiat Pada Waktu Ini akan Menghapuskan Pahala Sebesar Gunung Tihamah Kata (Ustadz Ahmad Zainuddin)

Ilustrasi gambar : Maksiat Pada Waktu Ini akan Menghapuskan Pahala Sebesar Gunung Tihamah Kata (Ustadz Ahmad Zainuddin)

Maksiat Pada Waktu Ini akan Menghapuskan Pahala Sebesar Gunung Tihamah Kata (Ustadz Ahmad Zainuddin). Dalam sebuah acara kajian ilmu, Ustadz Ahmad Zainuddin menjelaskan tentang salah satu dosa yang dapat menghapuskan pahala. Beliau bahkan mengatakan, maksiat yang dikerjakan pada waktu ini membuat pahala sebesar gunung Tihamah pun akan hangus. Allah akan membuat pahala yang sebesar gunung Tihamah tersebut beterbangan layaknya debu karena perbuatan maksiat yang dilakukan. kapan waktu bermaksiat yang dimaksud Ustadz Ahmad Zainuddin yang dapat menghapuskan pahala tersebut? Ustadz Ahmad Zainuddin menerangkan materi ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadist dari Tsauban radhiyallah hu anhu.

"Aku sangat mengetahui orang-orang dari umatku datang pada hari kiamat, dengan pahala bergunung-gunung pahala Tihamah," kata Ustadz Ahmad Zainuddin. "Kenapa disebutkan gunung Tihamah? Karena gunungnya sangat terkenal tinggi dan besarnya, di Negeri Yaman," ujar beliau menerangkan.

"Kemudian Allah menjadikan pahala bergunung-gunung tersebut seperti debu-debu yang beterbangan," kata beliau melanjutkan. Apa alasannya Allah menjadikan pahala yang begitu besar seakan tidak berarti layaknya debu kecil yang hempas diterpa angin? Lebih jelasnya, Ustadz Ahmad Zainuddin mengatakan bahwa Rasulullah SAW menyampaikan kepada para sahabat.

Bahwa ciri orang yang pahalanya sebesar gunung Tihamah dihapuskan oleh Allah SWT adalah orang yang bermaksiat tatkala ia sedang sendirian. Rasulullah SAW mengatakan, mereka orang Islam sama seperti kalian (para sahabat), mereka bangun malam sebagaimana para sahabat menjalankan ibadah malam. "Tetapi, mereka jika sudah sendirian dengan hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Mereka langgar, mereka libas semua larangan tersebut," kata Ustadz Ahmad Zainuddin. "Maksiat tatkala sendirian penghapus pahala, hati-hati. Iman yang jujur, Allah maha melihat," ujar beliau menegaskan

Seseorang yang ketika di hadapan orang banyak terlihat alim dan shalih. Namun kala sendirian, saat sepi, ia menjadi orang yang menerjang larangan Allah.

Inilah yang dapat dilihat dari para penggiat dunia maya. Ketika di keramaian atau dari komentar ia di dunia maya, ia bisa berlaku sebagai seorang alim dan shalih. Namun bukan berarti ketika dalam kesepian, ia seperti itu pula. Ketika sendirian browsing internet, ia sering bermaksiat. Pandangan dan pendengarannya tidak bisa ia jaga.

Keadaan semacam itu telah disinggung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari. Dalam hadits dalam salah satu kitab sunan disebutkan,

عَنْ ثَوْبَانَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ : « لأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِى يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا ». قَالَ ثَوْبَانُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لاَ نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لاَ نَعْلَمُ. قَالَ : « أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا »

Dari Tsauban, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan banyak kebaikan semisal Gunung Tihamah. Namun Allah menjadikan kebaikan tersebut menjadi debu yang bertebaran.” Tsauban berkata, “Wahai Rasulullah, coba sebutkan sifat-sifat mereka pada kami supaya kami tidak menjadi seperti mereka sedangkan kami tidak mengetahuinya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun mereka adalah saudara kalian. Kulit mereka sama dengan kulit kalian. Mereka menghidupkan malam (dengan ibadah) seperti kalian. Akan tetapi mereka adalah kaum yang jika bersepian mereka merobek tirai untuk bisa bermaksiat pada Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 4245. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Ibnu Majah membawakan hadits di atas dalam Bab “Mengingat Dosa”.

Hadits di atas semakna dengan ayat,

يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 108). Walaupun dalam ayat tidak disebutkan tentang hancurnya amalan.

Ada beberapa makna dari hadits Tsauban yang kami sebutkan di atas:

Pertama:

Hadits tersebut menunjukkan keadaan orang munafik, walaupun kemunafikan yang ia perbuat adalah kemunafikan dari sisi amal, bukan i’tiqad (keyakinan). Sedangkan hadits Abu Hurairah berikut dimaksudkan pada kaum muslimin.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan dalam bermaksiat. Yaitu seseorang yang telah berbuat dosa di malam hari lantas di pagi harinya ia berkata bahwa ia telah berbuat dosa ini dan itu padahal Allah telah menutupi dosanya. Pada malam harinya, Allah telah menutupi aibnya, namun di pagi harinya ia membuka sendiri aib yang telah Allah tutupi.” (HR. Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 2990)

Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan dalam Az-Zawajir ‘an Iqtiraf Al-Kabair (2: 764) mengenai dosa besar no. 356, “Termasuk dosa besar adalah dosa yang dilakukan oleh orang yang menampakkan keshalihan, lantas ia menerjang larangan Allah. Walau dosa yang diterjang adalah dosa kecil dan dilakukan di kesepian. Ada hadits dari Ibnu Majah dengan sanad berisi perawi tsiqah (kredibel) dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan banyak kebaikan …” Karena kebiasaan orang shalih adalah menampakkan lahiriyah. Kalau maksiat dilakukan oleh orang shalih walaupun sembunyi-sembunyi, tentu mudharatnya besar dan akan mengelabui kaum muslimin. Maksiat yang orang shalih terjang tersebut adalah tanda hilangnya ketakwaan dan rasa takutnya pada Allah.”

Kedua:

Yang dimaksud dalam hadits Tsauban dengan bersendirian dalam maksiat pada Allah tidak berarti maksiat tersebut dilakukan di rumah seorang diri, tanpa ada yang melihat. Bahkan boleh jadi maksiat tersebut dilakukan dengan jama’ahnya atau orang yang setipe dengannya.

Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa yang dimaksud dalam hadits bukanlah melakukan maksiat sembunyi-sembunyi. Namun ketika ada kesempatan baginya untuk bermaksiat, ia menerjangnya. (Silsilah Al-Huda wa An-Nuur no. 226)

Ketiga:

Makna hadits Tsauban adalah bagi orang yang menghalalkan dosa atau menganggap remeh dosa tersebut.

Syaikh Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi berkata, ada orang yang melakukan maksiat sembunyi-sembunyi namun penuh penyesalan. Orang tersebut bukanlah orang yang merobek tabir untuk menerjang yang haram. Karena asalnya orang semacam itu mengagungkan syari’at Allah. Namun ia terkalahkan dengan syahwatnya. Adapun yang bermaksiat lainnya, ia melakukan maksiat dalam keadaan berani (menganggap remeh dosa, pen.). Itulah yang membuat amalannya terhapus. (Syarh Zaad Al-Mustaqni’, no pelajaran 332)

Semoga kita dapat menjauhi dosa dan maksiat di kala sepi dan kala terang-terangan. Jadikan, nasihat ini terutama untuk setiap diri kita pribadi.

Referensi sebagai Berikut ini ;



Orang-orang/Manusia yang Bermaksiat Kala Sepi/Sendiri


Orang-orang/Manusia yang Bermaksiat Kala Sepi/Sendiri. Seseorang yang ketika di hadapan orang banyak terlihat alim dan shalih. Namun kala sendirian, saat sepi, ia menjadi orang yang menerjang larangan Allah.

Inilah yang dapat dilihat dari para penggiat dunia maya. Ketika di keramaian atau dari komentar ia di dunia maya, ia bisa berlaku sebagai seorang alim dan shalih. Namun bukan berarti ketika dalam kesepian, ia seperti itu pula. Ketika sendirian browsing internet, ia sering bermaksiat. Pandangan dan pendengarannya tidak bisa ia jaga.

Keadaan semacam itu telah disinggung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari. Dalam hadits dalam salah satu kitab sunan disebutkan,

عَنْ ثَوْبَانَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ : « لأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِى يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا ». قَالَ ثَوْبَانُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لاَ نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لاَ نَعْلَمُ. قَالَ : « أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا »

Dari Tsauban, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan banyak kebaikan semisal Gunung Tihamah. Namun Allah menjadikan kebaikan tersebut menjadi debu yang bertebaran.” Tsauban berkata, “Wahai Rasulullah, coba sebutkan sifat-sifat mereka pada kami supaya kami tidak menjadi seperti mereka sedangkan kami tidak mengetahuinya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun mereka adalah saudara kalian. Kulit mereka sama dengan kulit kalian. Mereka menghidupkan malam (dengan ibadah) seperti kalian. Akan tetapi mereka adalah kaum yang jika bersepian mereka merobek tirai untuk bisa bermaksiat pada Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 4245. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Ibnu Majah membawakan hadits di atas dalam Bab “Mengingat Dosa”.

Hadits di atas semakna dengan ayat,

يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 108). Walaupun dalam ayat tidak disebutkan tentang hancurnya amalan.

Ada beberapa makna dari hadits Tsauban yang kami sebutkan di atas:

Pertama:

Hadits tersebut menunjukkan keadaan orang munafik, walaupun kemunafikan yang ia perbuat adalah kemunafikan dari sisi amal, bukan i’tiqad (keyakinan). Sedangkan hadits Abu Hurairah berikut dimaksudkan pada kaum muslimin.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan dalam bermaksiat. Yaitu seseorang yang telah berbuat dosa di malam hari lantas di pagi harinya ia berkata bahwa ia telah berbuat dosa ini dan itu padahal Allah telah menutupi dosanya. Pada malam harinya, Allah telah menutupi aibnya, namun di pagi harinya ia membuka sendiri aib yang telah Allah tutupi.” (HR. Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 2990)

Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan dalam Az-Zawajir ‘an Iqtiraf Al-Kabair (2: 764) mengenai dosa besar no. 356, “Termasuk dosa besar adalah dosa yang dilakukan oleh orang yang menampakkan keshalihan, lantas ia menerjang larangan Allah. Walau dosa yang diterjang adalah dosa kecil dan dilakukan di kesepian. Ada hadits dari Ibnu Majah dengan sanad berisi perawi tsiqah (kredibel) dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan banyak kebaikan …” Karena kebiasaan orang shalih adalah menampakkan lahiriyah. Kalau maksiat dilakukan oleh orang shalih walaupun sembunyi-sembunyi, tentu mudharatnya besar dan akan mengelabui kaum muslimin. Maksiat yang orang shalih terjang tersebut adalah tanda hilangnya ketakwaan dan rasa takutnya pada Allah.”

Kedua:

Yang dimaksud dalam hadits Tsauban dengan bersendirian dalam maksiat pada Allah tidak berarti maksiat tersebut dilakukan di rumah seorang diri, tanpa ada yang melihat. Bahkan boleh jadi maksiat tersebut dilakukan dengan jama’ahnya atau orang yang setipe dengannya.

Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa yang dimaksud dalam hadits bukanlah melakukan maksiat sembunyi-sembunyi. Namun ketika ada kesempatan baginya untuk bermaksiat, ia menerjangnya. (Silsilah Al-Huda wa An-Nuur no. 226)

Ketiga:

Makna hadits Tsauban adalah bagi orang yang menghalalkan dosa atau menganggap remeh dosa tersebut.

Syaikh Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi berkata, ada orang yang melakukan maksiat sembunyi-sembunyi namun penuh penyesalan. Orang tersebut bukanlah orang yang merobek tabir untuk menerjang yang haram. Karena asalnya orang semacam itu mengagungkan syari’at Allah. Namun ia terkalahkan dengan syahwatnya. Adapun yang bermaksiat lainnya, ia melakukan maksiat dalam keadaan berani (menganggap remeh dosa, pen.). Itulah yang membuat amalannya terhapus. (Syarh Zaad Al-Mustaqni’, no pelajaran 332)

Semoga kita dapat menjauhi dosa dan maksiat di kala sepi dan kala terang-terangan. Jadikan, nasihat ini terutama untuk setiap diri kita pribadi.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.

UStadz, mau tanya.. ada hadist yang menyatakan bahwa jika  kita melakukan maksiat di kala sepi… maka terhapus semua pahala.. nah yang saya tanyakan adalah.. apakah pahala itu Allah kembalikan jika hambanya bertobat dan berdoa di sepertiga malam (tahajud)?

Karena sebagai hamba.. bisa kalah dengan syahwatnya di kala sepi..

Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Jika hadits yang anda maksud adalah hadits yang berasal dari riwayat sahabat Tsauban radhiallahu ‘anhu di mana Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam pernah bersabda,

لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا

“Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih. Kemudian Allah menjadikannya debu yang berterbangan.”

Tsauban bertanya, “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka dan jelaskanlah perihal mereka agar kami tidak menjadi seperti mereka tanpa disadari.”

Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka shalat malam sebagaimana kalian, tetapi mereka adalah kaum yang jika bersendirian mereka menerjang hal yang diharamkan Allah.”

(HR. Ibnu Majah, no. 4245. Dan Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Maka maksud hadits di atas tidak terlepas dari 3 penjelasan para ahli ilmu;

1. Yang dimaksud mereka menerjang larangan Allah Ta’ala dikala sepi yaitu orang-orang yang memiliki sifat kemunafikan, inilah yang menunjukkan keadaan orang-orang munafik, walaupun kemunafikan yang ia perbuat adalah kemunafikan dari sisi amal, bukan i’tiqad (keyakinan), hanya saja mereka menyembunyikan keburukan mereka dari hadapan manusia agar tidak diingkari. Mereka pun pada akhirnya mengakui hal tersebut kelak pada hari kiamat, karena Allah Yang Maha Kuasa mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang ada di dalam hati mereka.

2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam “إذَا خَلوا بِمَحَارِمِ الله” tidak hanya berarti bahwa pelaku dalam hadits Tsauban melakukan apa yang dilarang Allah tatkala bersendirian di rumah!

Namun dapat diartikan bahwa mereka terkadang melakukan hal tersebut bersama dengan kawan-kawan dan orang yang semisal dengannya. Dengan demikian, dalam hadits ini terkandung penjelasan perihal mereka bersama-sama bersembunyi dari pandangan manusia, bersepakat secara rahasia, saling memaklumi keadaan untuk melakukan apa yang dilarang Allah Ta’ala, bukan berarti bahwa setiap dari mereka menyendiri di rumah masing-masing menerjang larangan Allah.

3. Mereka yang disebutkan dalam hadits ini disifati dengan kalimat “ينتهكون محارم الله” (menerjang larangan Allah). Sifat ini menunjukkan akan penghalalan mereka terhadap larangan Allah Ta’ala tersebut atau menunjukkan bahwa mereka sangat melampaui batas dalam melakukannya dalam kondisi tersebut. Melampaui batas karena mereka merasa aman dari makar dan siksa Allah Yang Maha Kuasa, serta absennya perhatian mereka bahwa sebenarnya Allah Yang Maha Tahu pasti mengetahui perbuatan mereka. Oleh karena itu, mereka berhak memperoleh hukuman berupa gugurnya amalan shalih yang telah dikerjakan oleh mereka.

Poinnya adalah terdapat perbedaan antara kemaksiatan yang mendatangkan penyesalan dengan kemaksiatan yang tidak mendatangkan penyesalan bagi pelakunya.

Ada orang yang melakukan maksiat sembunyi-sembunyi namun penuh penyesalan. Orang tersebut bukanlah orang yang merobek tabir untuk menerjang yang haram. Karena asalnya orang semacam itu mengagungkan syari’at Allah Ta’ala. Namun ia terkalahkan dengan syahwatnya.

Adapun yang bermaksiat lainnya, ia melakukan maksiat dalam keadaan berani, congkak, sombong tanpa tunduk dan rendah diri kepada peraturan Allah Yang Maha Tinggi, Itulah yang membuat amalannya terhapus. (lihat penjelasannya dalam Syarh Zaad Al-Mustaqni’, no. pelajaran 332, oleh Syaikh Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi)

Maka jika anda terus menerus istighfar dan bertaubat, setiap berbuat salah selalu berusaha kembali kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun di tengah malam dengan shalat tahajud mengharap kasih sayang dan ampunan Nya Yang Maha Luas, maka Allah Yang Maha Mulia akan mendatangkan pahala yang berlimpah, menghapus dosa, pahala amalan yang telah dilakukan dengan ikhlas akan kembali, karena Dia lah Yang Maha Pengasih Dan Penyayang bagi para hamba Nya. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan taufiqNya, agar kita dapat menjauhi dosa dan maksiat di kala sepi dan kala terang-terangan. Aamiin Ya Rabbal Aalamin.

Referensi sebagai Berikut ini ;














Pahala Hilang Karena Maksiat Saat Sendiri, Apakah Bisa Kembali Amal tersebut setelah bertaubat?

Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga. UStadz, mau tanya.. ada hadist yang menyatakan bahwa jika  kita melakukan maksiat di kala sepi… maka terhapus semua pahala.. nah yang saya tanyakan adalah.. apakah pahala itu Allah kembalikan jika hambanya bertobat dan berdoa di sepertiga malam (tahajud)? Karena sebagai hamba.. bisa kalah dengan syahwatnya di kala sepi..

Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Jika hadits yang anda maksud adalah hadits yang berasal dari riwayat sahabat Tsauban radhiallahu ‘anhu di mana Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam pernah bersabda,

لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا

“Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih. Kemudian Allah menjadikannya debu yang berterbangan.”

Tsauban bertanya, “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka dan jelaskanlah perihal mereka agar kami tidak menjadi seperti mereka tanpa disadari.”

Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka shalat malam sebagaimana kalian, tetapi mereka adalah kaum yang jika bersendirian mereka menerjang hal yang diharamkan Allah.”

(HR. Ibnu Majah, no. 4245. Dan Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Maka maksud hadits di atas tidak terlepas dari 3 penjelasan para ahli ilmu;

1. Yang dimaksud mereka menerjang larangan Allah Ta’ala dikala sepi yaitu orang-orang yang memiliki sifat kemunafikan, inilah yang menunjukkan keadaan orang-orang munafik, walaupun kemunafikan yang ia perbuat adalah kemunafikan dari sisi amal, bukan i’tiqad (keyakinan), hanya saja mereka menyembunyikan keburukan mereka dari hadapan manusia agar tidak diingkari. Mereka pun pada akhirnya mengakui hal tersebut kelak pada hari kiamat, karena Allah Yang Maha Kuasa mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang ada di dalam hati mereka.

2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam “إذَا خَلوا بِمَحَارِمِ الله” tidak hanya berarti bahwa pelaku dalam hadits Tsauban melakukan apa yang dilarang Allah tatkala bersendirian di rumah!

Namun dapat diartikan bahwa mereka terkadang melakukan hal tersebut bersama dengan kawan-kawan dan orang yang semisal dengannya. Dengan demikian, dalam hadits ini terkandung penjelasan perihal mereka bersama-sama bersembunyi dari pandangan manusia, bersepakat secara rahasia, saling memaklumi keadaan untuk melakukan apa yang dilarang Allah Ta’ala, bukan berarti bahwa setiap dari mereka menyendiri di rumah masing-masing menerjang larangan Allah.

3. Mereka yang disebutkan dalam hadits ini disifati dengan kalimat “ينتهكون محارم الله” (menerjang larangan Allah). Sifat ini menunjukkan akan penghalalan mereka terhadap larangan Allah Ta’ala tersebut atau menunjukkan bahwa mereka sangat melampaui batas dalam melakukannya dalam kondisi tersebut. Melampaui batas karena mereka merasa aman dari makar dan siksa Allah Yang Maha Kuasa, serta absennya perhatian mereka bahwa sebenarnya Allah Yang Maha Tahu pasti mengetahui perbuatan mereka. Oleh karena itu, mereka berhak memperoleh hukuman berupa gugurnya amalan shalih yang telah dikerjakan oleh mereka.

Poinnya adalah terdapat perbedaan antara kemaksiatan yang mendatangkan penyesalan dengan kemaksiatan yang tidak mendatangkan penyesalan bagi pelakunya.

Ada orang yang melakukan maksiat sembunyi-sembunyi namun penuh penyesalan. Orang tersebut bukanlah orang yang merobek tabir untuk menerjang yang haram. Karena asalnya orang semacam itu mengagungkan syari’at Allah Ta’ala. Namun ia terkalahkan dengan syahwatnya.

Adapun yang bermaksiat lainnya, ia melakukan maksiat dalam keadaan berani, congkak, sombong tanpa tunduk dan rendah diri kepada peraturan Allah Yang Maha Tinggi, Itulah yang membuat amalannya terhapus.

(lihat penjelasannya dalam Syarh Zaad Al-Mustaqni’, no. pelajaran 332, oleh Syaikh Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi)

Maka jika anda terus menerus istighfar dan bertaubat, setiap berbuat salah selalu berusaha kembali kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun di tengah malam dengan shalat tahajud mengharap kasih sayang dan ampunan Nya Yang Maha Luas, maka Allah Yang Maha Mulia akan mendatangkan pahala yang berlimpah, menghapus dosa, pahala amalan yang telah dilakukan dengan ikhlas akan kembali, karena Dia lah Yang Maha Pengasih Dan Penyayang bagi para hamba Nya.

Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan taufiqNya, agar kita dapat menjauhi dosa dan maksiat di kala sepi dan kala terang-terangan. Aamiin Ya Rabbana.

Referensi sebagai Berikut ini ;