Saat bergaul dan berinteraksi dengan banyak orang, tanpa disadari kata-kata mengalir dari mulut kita seolah keluar tanpa beban. Tak jarang, bersamaan dengan keluarnya kata-kata, mengalir pula dosa, mulai dari menggunjingkan tetangga, membanggakan dan memamerkan diri (riya), berbohong, dan perbuatan tidak terpuji lainnya.
Semudah itu manusia melakukan dosa. Sekali, dua kali, sampai tak ingat lagi sudah beratus atau beribu kali kita melakukan kesalahan yang sama. Awalnya, hati memberontak dan nurani menolak. Namun, lambat laun tak ada lagi gedoran itu, semua berjalan seolah sudah biasa dan dilakukan tanpa beban.
Tentu saja kita tahu apa itu dosa. Terlebih, dosa yang kasat mata, misalnya meninggalkan shalat, tidak melaksanakan shaum Ramadhan, dan banyak lagi yang lainnya. Akan tetapi, apakah kita menyadari kalau dosa bukan hanya berkutat dalam hal itu? Ada banyak dosa yang sungguh halus dan tanpa disadari telah kita lakukan.
Selain itu, ada pula dosa yang sebenarnya besar, tetapi sudah tidak dianggap berbahaya. Parahnya, perbuatan tersebut sudah dianggap lumrah, bahkan sudah tidak dirasa sebagai dosa lagi.
Dalam buku ini, penulis berupaya memberikan beberapa contoh dosa-dosa yang sudah tidak kita anggap sebagai dosa lagi. Selain itu, dipaparkan pula ibadah-ibadah yang bisa menghapuskan dosa-dosa tersebut sehingga tidak akan terus terbawa dan membesar.
saat ini umat Islam sudah terlalu sering melakukan dosa dalam interaksi sehari-hari. Walaupun mereka menyadari jika perbuatannya adalah dosa, tetapi tetap dilakukan juga. Dengan pembiasaan tersebut, perbuatan dosa yang mulanya merupakan beban, sekarang sudah tidak terasa berat. Melihat banyak orang yang melakukan dosa serupa, perbuatan tersebut kemudian dianggap lumrah dan bahkan tidak dianggap sebagai dosa lagi.
Pertanyaannya, mengapa hal tersebut sampai bisa terjadi? Alasannya, tidak lain karena cahaya akidah dan hati nurani yang telah mati. Perlu diketahui, kondisi hati seorang mukmin terbagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.
Qalbun salim atau hati yang sehat. Hati dengan kondisi yang sehat memiliki ciri-ciri berorientasi akhirat, mencintai Allah dan rasul-Nya lebih dari apa pun, sedih bila kehilangan kesempatan untuk beribadah kepada-Nya, serta senantiasa rindu kepada Allah dan rasul-Nya juga pada ayat-ayat Al-Quran.
Qalbun marid atau hati yang sakit. Hati dengan kondisi ini akan kurang berfungsi dalam memahami perbedaan antara yang haq dan bathil.
Qalbun mayyit atau hati yang mati dan sudah tidak dapat digunakan untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil.
Seseorang dengan kondisi hati yang telah mati inilah yang tidak akan merasa berdosa ketika dirinya melakukan maksiat kepada Allah Swt. Seorang muslim yang telah terbiasa berbuat dosa sehingga tidak ada lagi rasa penyesalan di dalam hatinya, perlu dipertanyakan kembali keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Swt. Sebab, bisa saja dirinya telah tergolong sebagai orang munafik tanpa dia sadari. Alasannya, orang munafik menganggap perbuatan dosa yang telah dilakukannya seperti lalat yang kecil. Sedangkan, orang beriman menganggap dosanya seperti gunung besar yang diletakkan di atas kepalanya.
Ada beberapa golongan manusia yang masuk dalam kategori memiliki hati yang sudah mati. Mereka memiliki indikasi berikut ini.
Pertama, melakukan dosa terus-menerus. Dosa yang dilakukan secara berulang terjadi karena pengaruh kerasnya jiwa dan adanya bercak di dalam hati sehingga sulit menerima petunjuk (kebenaran).
Allah Swt. berfirman, “Orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau men-zalimi diri sendiri, mereka segera mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa mereka. Siapa yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu dengan penuh kesadaran.” (Q.S. Ali ‘Imran 3: 135).
Ibu Abbas pernah berkata, “Tidak ada dosa kecil apabila dilakukan dengan terus menerus dan tidak ada dosa besar apabila disertai dengan istighfar. ”
Kedua, menganggap remeh. Rasulullah Saw. telah bersabda, “Berhati-hatilah kalian terhadap dosa kecil, sebab jika berkumpul dalam diri seseorang, ia (dosa kecil itu) akan membinasakannya” (H.R. Ahmad dan Thabrani).
Ketiga, terasa menyenangkan. Perasaan senang terhadap kemaksiatan menunjukkan adanya keinginan untuk melakukannya serta tidak adanya keinginan untuk bertobat. Orang yang bangga dengan dosanya berarti sudah begitu lupa dengan bahaya dosa. Sehingga, dia malah senang tatkala dapat melampiaskan keinginannya yang terlarang. Jika kealpaan dan kelalaian semacam ini telah begitu parah, dia akan menyeret kita untuk terus menerus melakukan perbuatan dosa, merasa tenang dengan perbuatan salah, dan bertekad untuk terus melakukannya.
Kondisi ini adalah jenis lain dari dosa dan jauh lebih berbahaya daripada dosa yang dilakukan sebelumnya. Allah berfirman, “Apabila dikatakan kepadanya, ‘Bertakwalah kepada Allah,’ bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka, pantaslah baginya Neraka Jahanam. Sungguh, Jahanam itu tempat tinggal yang terburuk.” (Q.S. Al-Baqarah 2: 206).
Keempat, membongkar dan menceritakan kepada orang lain, padahal Allah Swt. telah menutupinya. Seseorang yang melakukan dosa dan telah ditutupi oleh Allah Swt. terkadang malah menampakkan dan menceritakannya. Maka, dosanya justru menjadi berlipat karena gabungan dari beberapa dosa. Dia telah mengundang orang untuk mendengarkan dosa yang dikerjakannya dan bisa jadi akan memancing orang lain untuk ikut melakukannya.
Allah Swt. berfirman, “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia, kemudian mereka kembali mengerjakan larangan itu dan mengadakan pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan, dan durhaka kepada Rasul. Apabila datang kepadamu (Muhammad), mereka mengucapkan salam dengan cara yang bukan seperti yang ditentukan Allah untukmu. Mereka berkata pada diri mereka sendiri, ‘Mengapa Allah tidak menyiksa atas ucapan kita?’ Cukuplah bagi mereka Jahanam. Neraka itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S. Al-Mujadalah 58: 8).
Kelima, melakukannya secara terang-terangan. Rasulullah Saw. bersabda, “Semua umatku akan diampuni dosanya kecuali orang yang mujaharah (terang-terangan dalam berbuat dosa) dan yang termasuk mujaharah adalah seseorang yang melakukan perbuatan dosa di malam hari, hingga pagi hari Allah telah menutupi dosa tersebut, tetapi kemudian dia berkata, ‘Wahai Fulan, semalam saya berbuat ini dan berbuat itu.’ Padahal, Allah telah menutupi dosa tersebut semalaman, tetapi di pagi hari dia buka tutup Allah tersebut” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Keenam, dilakukan oleh orang yang menjadi teladan. Hal ini jika dilakukan dengan sengaja, disertai kesombongan, atau dengan mempertentangkan antara nash yang satu dan nash yang lain. Maka, dosa kecilnya bisa berubah menjadi besar. Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang memberi contoh di dalam Islam dengan contoh yang jelek, dia akan mendapat dosanya dan dosa orang yang mengikutinya setelah dia, tanpa dikurangi dosa tersebut sedikit pun” (H.R. Muslim). Lain halnya jika dilakukan karena kesalahan dalam ijtihad, marah, atau semacamnya. Tentunya, hal itu dimaafkan.
Jadi, sudah sewajarnya kita lebih berhati-hati dalam menjalani hidup ini agar jangan sampai sudah tidak merasa bersalah lagi saat berbuat dosa sehingga berakhir menjadi siksa di neraka.
Bagian Satu: Dosa-Dosa Tak Dirasa, Sebagain besar ulama sepakat bahwa dosa dibagi menjadi dua, yaitu dosa besar dan dosa kecil. Namun, berbicara dosa yang tak dirasa tidak selalu identik dengan dosa kecil. Pun, dosa tak dirasa tidak selalu berarti sebagai kecenderungan orang yang tidak sadar akan perbuatan dosa karena kecilnya. Boleh jadi, jika kita lihat fenomena yang ada, dosa besar sekalipun tidak sedikit dianggap biasa dan tidak lagi dirasa sebagai dosa karena saking seringnya dilakukan. Tentu saja, sikap seperti itu jauh lebih berbahaya dari sekadar mengabaikan dosa yang dianggap kecil. Dengan demikian, secara prinsip, tidak ada bedanya antara dosa kecil dan dosa besar karena keduanya memiliki potensi ancaman datangnya azab Allah. Selain keduanya juga memiliki peluang yang sama untuk diampuni Allah Swt.
Sehingga, bisa dikatakan bahwa besar dan kecilnya suatu dosa tidak diukur dengan seberapa besar ancaman siksa yang akan diterima, namun diukur dari seberapa besar kesadaran orang terhadap dosa yang dilakukannya. Boleh jadi dosa itu kecil dan remeh, namun jika dilakukan dengan terus menerus dan tidak disertai istighfar, ia akan menjelma menjadi dosa besar. Pun sebaliknya, boleh jadi dosanya besar, namun karena kesadaran tinggi akan akibat yang ditimbulkan, mendorongnya untuk bertobat dan tidak mengulanginya lagi, maka dosa tersebut sebetulnya menjadi kecil bahkan terhapus di hadapan Allah.
Besar kecilnya suatu dosa juga tidak bisa sepenuhnya dilihat dari jenis dosa tersebut. Terutama untuk menentukan jenis-jenis dosa kecil. Sejauh yang dapat saya amati dari sejumlah kitab-kitab rujukan, jarang sekali para ulama yang mengungkap secara rinci apa saja yang termasuk dosa kecil. Relativitas kecilnya dosa menunjukkan bahwa sebetulnya tidak ada yang besar jika disertai tobat dan tidak ada yang kecil jika dilakukan terus menerus. Sementara, khusus mengenai jenis-jenis dosa besar, cukup gamblang diungkap dalam sejumlah ayat dan hadits.
Ibnul Qayyim pernah berkata, “Dosa-dosa besar biasanya disertai dengan rasa malu dan takut serta anggapan besar atas dosa tersebut, sedangkan dosa kecil biasanya tidak demikian. Bahkan, yang biasa terjadi adalah dosa kecil sering disertai dengan kurangnya rasa malu, tidak adanya perhatian dan rasa takut, serta anggapan remeh atas dosa yang dilakukan, padahal bisa jadi ini adalah tingkatan dosa yang tinggi. ”
Kebiasaan melakukan dosa biasanya berawal dari kecenderungan kita menganggap remeh perbuatan tersebut. Awalnya, hal itu terjadi karena kita membandingkan dosa yang dilakukan dengan dosa-dosa yang lebih besar dan berat. Padahal, dosa adalah dosa. Walaupun “ringan” dan “kecil”, jika ditumpuk terus akan berdampak buruk pada pelakunya. Selain dosa yang memang terhitung ringan dan kecil, banyak pula perbuatan dosa yang sudah masuk ke dalam skala besar, tetapi sudah dianggap lumrah dalam kehidupan modern dan sudah tidak menjadi beban berat lagi ketika melakukannya.
Sebelum sampai pada paparan untuk memberi gambaran apa saja perbuatan dosa yang tidak dirasa melalui beberapa contoh perbuatan dosa yang secara umum sudah tidak disadari telah kita lakukan, ada baiknya jika terlebih dahulu kita ketahui apa saja yang termasuk dosa besar dan dosa kecil sebagaimana dimuat dalam Al-Quran dan hadits.
Bagian Dua: Ibadah-Ibadah Penghapus Dosa
Rasulullah Saw. bersabda, “Setiap anak Adam senantiasa berbuat salah, dan sebaik-bakinya orang yang berbuat salah adalah yang senantiasa bertobat” (H.R. Tirmidzi). Hadits ini menerangkan bahwa hakikatnya manusia yang baik bukanlah yang tidak pernah berbuat kesalahan dan dosa sama sekali. Manusia terbaik adalah mereka yang senantiasa bertobat saat berbuat dosa.
Sudah menjadi tabiatnya bahwa manusia tidak lepas dari khilaf dan dosa. Manusia akan terus digoda setan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan Allah Swt. Rasulullah Saw. pernah menerangkan bahwa jalan menuju neraka itu terkesan begitu indah dan menggiurkan. Sementara itu, jalan menuju surga terkesan sulit dan tidak berjalan mulus.
Orang yang memiliki keimanan dan ketakwaan yang kuat, niscaya tidak berkenan melakukan dosa. Pribadi yang senantiasa menjaga keimanan dan ketakwaan juga niscaya akan senantiasa dekat dengan amal saleh, baik dalam hal ibadah maupun muamalah. Dipandang dari segi terhapusnya dosa, dosa kecil lebih mudah terhapus. Dosa kecil bisa terhapus dengan amal saleh. Namun, dosa besar hanya bisa dihapuskan dengan tobat yang sebenar-benarnya.
Berikut ini adalah beberapa contoh amalan yang bisa kita lakukan untuk membersihkan diri dari segala dosa yang pernah kita lakukan, terlebih dosa-dosa kecil yang kadang luput dari perhatian kita. Dosa-dosa yang tidak terasa dan jika tidak dihapus akan semakin menumpuk dan menghitamkan hati kita.
Rasulullah Saw. bersabda, “Hati-hatilah terhadap dosa kecil karena apabila sering dilakukan maka akan merusakkannya (akan menjadi dosa besar).” (H.R. Ahmad)
Suatu ketika, Anas r.a. pernah berkata kepada sebagian tabi'in, “Sesungguhnya kalian semua melakukan suatu perbuatan yang kalian pandang lebih kecil dari pada biji gandum padahal di masa Nabi Saw. kami menganggapnya sebagai sesuatu yang dapat membinasakan.” (H.R. Bukhari)
Bagian Dua: Ibadah-Ibadah Penghapus Dosa
Rasulullah Saw. bersabda, “Setiap anak Adam senantiasa berbuat salah, dan sebaik-bakinya orang yang berbuat salah adalah yang senantiasa bertobat” (H.R. Tirmidzi). Hadits ini menerangkan bahwa hakikatnya manusia yang baik bukanlah yang tidak pernah berbuat kesalahan dan dosa sama sekali. Manusia terbaik adalah mereka yang senantiasa bertobat saat berbuat dosa.
Sudah menjadi tabiatnya bahwa manusia tidak lepas dari khilaf dan dosa. Manusia akan terus digoda setan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan Allah Swt. Rasulullah Saw. pernah menerangkan bahwa jalan menuju neraka itu terkesan begitu indah dan menggiurkan. Sementara itu, jalan menuju surga terkesan sulit dan tidak berjalan mulus.
Orang yang memiliki keimanan dan ketakwaan yang kuat, niscaya tidak berkenan melakukan dosa. Pribadi yang senantiasa menjaga keimanan dan ketakwaan juga niscaya akan senantiasa dekat dengan amal saleh, baik dalam hal ibadah maupun muamalah. Dipandang dari segi terhapusnya dosa, dosa kecil lebih mudah terhapus. Dosa kecil bisa terhapus dengan amal saleh. Namun, dosa besar hanya bisa dihapuskan dengan tobat yang sebenar-benarnya.
Berikut ini adalah beberapa contoh amalan yang bisa kita lakukan untuk membersihkan diri dari segala dosa yang pernah kita lakukan, terlebih dosa-dosa kecil yang kadang luput dari perhatian kita. Dosa-dosa yang tidak terasa dan jika tidak dihapus akan semakin menumpuk dan menghitamkan hati kita.
Rasulullah Saw. bersabda, “Hati-hatilah terhadap dosa kecil karena apabila sering dilakukan maka akan merusakkannya (akan menjadi dosa besar).” (H.R. Ahmad)
Suatu ketika, Anas r.a. pernah berkata kepada sebagian tabi'in, “Sesungguhnya kalian semua melakukan suatu perbuatan yang kalian pandang lebih kecil dari pada biji gandum padahal di masa Nabi Saw. kami menganggapnya sebagai sesuatu yang dapat membinasakan.” (H.R. Bukhari)
Referensi sebagai berikut ini ;