Agar Supaya Memiliki Akhlak Yang Mulia, Ketika umat manusia sudah bobrok akhlaknya, maka Allah akan mengutus para nabi dan rasulnya untuk mengubah manusia menjadi insan yang berakhlak mulia. Dan khususnya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi, memiliki visi dan misi yaitu memahamkan tauhid kepada Allah, menyucikan jiwa, mengajarkan Al-quran, dan menyempurnakan akhlak.
Allah berfirman : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab :21)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat kedudukannya denganku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi)
Pada dasarnya manusia memiliki akhlak jabaliyah (akhlak sejak lahir) dan akhlak muktasabah (akhlak diperoleh melalui usaha). Karena bisa jadi seseorang sejak lahir memiliki akhlak keturunan dari kedua orang tuanya. Yang diwariskan melalui gen, jika orang tuanya suka menolong orang lain dan suka membantu, maka bisa jadi anaknya memiliki sifat yang sama tanpa perlu usaha.
Sedangkan akhlak yang melalui usaha dan perjuangan yaitu seseorang memiliki sifat pelit dan kikir serta tidak memiliki kepedulian kepedulian kepada orang lain. Lalu dia belajar ilmu agama, hingga akhirnya ia paham tentang keutamaan sifat dermawan, sifat menolong, dan sifat yang lainnya. Kemudian dia berusaha dengan sekuat tenaga agar bisa berubah menjadi orang yang lebih baik.
Allah berfirman : “Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumuah : 2)
Sifat apa sajakah yang dapat memperbaiki diri kita.
Dalam memperbaiki perilaku bangsa Arab jahiliah, Rasulullah menggunakan beberapa cara mujarab. Yang dimana akan menjadi contoh orang sesudahnya. Adapun caranya sebagai berikut :
Aqidah Keimanan Kepada Allah
Dasar pondasi yang pertama dibangun adalah aqidah tauhid dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Dengan Keimanan ini akan menghasilkan ketenangan jiwa dan bertawakal kepadanya, dan hal ini merupakan sendi untuk menjadikan hidup dalam kerangka ibadah hanya kepadanya. Serta corak kehidupan Muslim.
Seperti ini dijelaskan dalam Alquran : “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, rabb seluruh alam.” (QS.Al-An’am : 162).
Ketaqwaan
menanamkan ketakwaan dan memperbanyak zikrullah. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada.” (HR. Ahmad & Turmudzi)
Juga bersabda : “Dan beliau menjelaskan bahwa tempat takwa adalah hati.” (HR.Muslim).
Ketika manusia diperintahkan menjaga dan memelihara Ketakwaan maka akan mengingatkan manusia yang beriman, untuk waspada kepada jeratan iblis. Bila ketakwaan sudah menguasai hati, akhlak seseorang akan menjadi sangat mulia
Allah berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan- kesalahannya). (QS. Al-A’raf : 201)
keikhlasan
menanamkan keikhlasan dalam semua perbuatan merupakan hal yang harus diusahakan dalam memperbaiki akhlak. Sebagaimana Allah berfirman : “Kitab (Al-Qur’an) ini diturunkan oleh Allah Yang Mahamulia, Maha Bijaksana.” (QS. Az-zumar : 1)
Dan Allah pun telah mewanti-wanti agar kita terhindar dari sifat riya. Yang telah disebutkan dalam Al-quran : “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).” (QS. Al-Bayyinah : 5)
Ilmu
Rasulullah SAW mendidik para sahabat untuk mencintai ilmu dan mempelajarinya.
Memberikan Contoh Yang Baik
Memberikan teladan yang baik dan selalu paling terdepan mempraktikkan akhlak mulia. Menanamkan kebebasan dan Sikap Yang Positif.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kamu menjadi orang plin-plan lalu berkata, ‘Bila orang-orang baik, kami ikut baik, dan bila mereka zalim, kami pun ikut.’ Akan tetapi, bentengilah dirimu, bila orang-orang baik, kamu harus berbuat baik, dan bila mereka jahat, janganlah ikuti kejahatan mereka.’’ (HR. At-Turmudzi).
Mengikutsertakan Orang lain
Dalam melakukan perubahan dan menyiapkan ahli di bidang tertentu. Atau bisa dibilang dengan cara menyampaikan kebaikan tanpa memandang derajatnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.’’ (HR.Al-Bukhari).Dalam Hadis ini menegaskan bahwa setiap orang memiliki kewajiban menyampaikan ajaran Alquran bukan hanya bagi Rasulullah, melainkan setiap Muslim wajib menyampaikannya.
Bervariasi dalam cara menyampaikan
Ketika menyampaikan ayat atau hadits harus ada yang membuat perumpamaan, bercerita, diskusi, ataupun hal lainnya agar tidak muncul kebosanan dalam diri para sahabat.Menjadi pribadi yang mulia Menjadi muslim yang berakhlak baik bukan sekedar menjadi orang baik saja. Namun juga menghendaki kebaikan tersebut tersebar dan dirasakan oleh orang-orang yang di sekitarnya. Karena itulah, menjadi baik sendiri saja tidak cukup jika kebaikan tersebut tidak dapat dirasakan oleh orang dan lingkungan dimana seorang muslim berada.
Etika Bermedia Sosial dalam Islam. Perkembangan teknologi yang semakin pesat memberikan kemudahan dalam mengakses informasi dari berbagai penjuru. Keberadaan media sosial pun tidak bisa terlepas dari segala sisi kehidupan masa kini. Bagaimana mengelolanya agar ruang-ruang privasi tetap terjaga dari fitnah dan tidak bebas dikonsumsi publik? Sepertinya keberadaan media sosial sebagai pengikat tali silaturahmi perlu lebih ditingkatkan esensinya agar kita senantiasa tidak lepas kendali dalam mengeluarkan opini.
Islam sebagai agama yang menuntun umatnya untuk selalu mengutamakan berbuat baik dalam setiap sisi kehidupan memiliki batasan-batasan bagi umatnya dalam menggunakan media sosial secara bijak. Islam tidak memiliki pandangan antimainstream dengan perkembangan teknologi. Islam mendukung dengan tetap memperhatikan etika yang mengawal moral dan akhlak pada jalur yang benar.
Berikut adalah beberapa etika yang harus diperhatikan dalam menggunakan jejaring sosial:
1) Jadikan Sebagai Sarana untuk Menebar Kebaikan
Informasi yang tersebar di media sosial sedikit banyak mendeskripsikan kejernihan akhlak penulisnya. Mereka yang memiliki pandangan menyebarkan manfaat melalui tulisan dan berwawasan luas tidak akan tergesa-gesa dalam mem-posting berita. Ladang pahala justru akan mengalir apabila setiap hal yang kita beritakan berkhazanah Islam dan menebar faedah. Layaknya seekor lebah yang hanya akan mencari madu, jika insting kebaikan telah terparti, indra kita tidak akan tertarik untuk menciptakan hal-hal atau tulisan yang akan menimbulkan fitnah.
2) Mengingat Hisab atas Segala Perbuatan
Menyadari sepenuhnya akan adanya hisab atau perhitungan atas tiap detail yang kita perbuat dapat menjadi pengontrol utama dalam mengendalikan perbuatan. Akan ada hari akhir di ujung kehidupan dunia yang menjadikan manusia sadar akan keterbatasan usia yang dimilikinya. Timbangan baik dan buruk menjadi titik penentu keberadaan manusia di akhirat: surga atau neraka. Kesadaran akan hisab ini pun semestinya kita pegang saat menggunakan media sosial karena apa pun yang kita lakukan dengan media sosial juga akan menjadi catatan amal yang dipertanggungjwabkan kelak.
3) Lakukan Kroscek Sebelum Berpendapat (Tabayun)
Apabila berita yang ditampilkan hanya untuk mencari popularitas dan “like” dari pembaca tanpa mengindahkan kebenaran dan fitnah yang akan ditimbulkan, hal ini bisa menjadi awal kesalahpahaman. Fenomena "jemari berbicara", yaitu kebiasaan untuk asal share tanpa mencari kebenaran beritanya, kerap kali terjadi. Berita hoaks tersebar karena andil kedua ibu jari kita. Untuk itulah, mencari kebenaran berita menjadi hal wajib sebelum menyebarkannya.
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang paling baik (benar). Sesungguhnya, setan menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi manusia” (Q.S Al-Israa' Ayat 53)
4) “CCTV” di Kedua Bahu
Merasa selalu diawasi oleh malaikat utusan Allah di bahu kanan dan kiri semestinya menjadikan tubuh dan akal berpikir sebelum melakukan tindakan. Pengawasan 24 jam semasa detak jantung masih berdebar bukankah cukup untuk menjadi pengendali di setiap perbuatan? Begitu pula dengan aktivitas di jejaring sosial. Like, komen, atau share kita akan disaksikan dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
5) Ruang Keikhlasan Tanpa Mengumbar Riya
Misi atau niat hanya terjadi satu arah, yaitu kejujuran hati kepada Sang Pemilik Kehidupan. Kita tidak bisa melihat, apalagi memberikan penilaian terhadap niat seseorang. Tetapkan misi untuk memanen kelimpahan pahala-Nya tanpa beharap pujian yang melambungkan popularitas. Hal ini akan menjadi hal yang mendasari kita untuk terus melakukan segala hal yang positif.
Dengan tetap memperhatikan kelima etika dalam menggunakan media sosial ini, diharapkan persaudaraan akan terjadi walaupun hanya di dunia maya. Tali silaturahmi tetap terjalin dan manfaat perkembangan teknologi sebagai sarana mengkaji ilmu pun dapat terwujud. Mari jaga etika sebagai predikat muslim terpuji dalam bermedia sosial.
sahabat orang-orang shalih merupakan suatu kenikmatan dan karunia dari Allah yang sangat besar. Dalam Kitab Qutul Qulub Fii Muamalatil Mahbub, Khalifah Umar bin Khattab berkata, “Tidaklah seseorang diberikan kenikmatan setelah Islam, yang lebih baik daripada kenikmatan memiliki saudara (semuslim) yang saleh. Apabila engkau dapati salah seorang sahabat yang saleh maka peganglah erat-erat.”
Sebagai makhluk sosial, tentu tidak lepas dari berinteraksi dengan orang lain. Akhlak dan perilaku yang dimiliki seseorang sangat dipengaruh oleh akhlak dan perilaku lingkungan sekitarnya. Dalam Islam, agama yang kita imani sebagai nafas kehidupan seorang muslim, memberikan panduan untuk selalu bergaul dengan orang-orang shalih agar akhlak dan perilaku orang-orang tersebut dapat mempengaruhi kita menjadi pribadi yang lebih baik. Dengan bersama orang-orang shalih, kita akan senantiasa termotivasi untuk melakukan hal-hal yang baik. Begitu juga ketika dalam keadaan lemah atau ingin berbuat sesuatu yang buruk, maka setidaknya ada pengingat yang selalu mengembalikan diri ke jalan yang benar. Rasulullah bersabda:
“Perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk seperti seorang penjual minyak wangi dan seorang peniup alat untuk menyalakan api (pandai besi). Adapun penjual minyak wangi, mungkin dia akan memberikan hadiah kepadamu, atau engkau membeli darinya, atau engkau mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau yang buruk”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Ketika sering melihat kebaikan-kebaikan orang shalih, maka dapat memicu adanya rasa cemburu. Sehingga hal ini menumbuhkan motivasi untuk bisa melakukan amal shalih seperti yang mereka lakukan. Karena salah satu kecemburuan yang diperbolehkan dalam agama ini adalah cemburu pada amalan kebaikan. Rasulullah SAW bersabda,لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقْرَؤُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ
“Tidak boleh hasad kecuali dalam dua perkara: kepada seseorang yang Allah berikan harta kemudian dia menginfakannya di sebagian malam dan siangnya, dan kepada seseorang yang Allah berikan Al-Qur’ an dan dia membacanya di sebagian besar malam dan siangnya” (H.R. Muslim).
Terkadang sedikit banyak dapat menilai kebaikan seseorang dengan melihat pergaulan antar sesama temannya, karena kebaikan seseorang memberikan pengaruh baik lingkungan sekitarnya. Begitupun sebaliknya, keburukan seseorang juga bisa memberikan pengaruh buruk terhadap lingkungan disekitarnya. Oleh karena itu, seorang muslim haruslah senantiasa berusaha untuk bergaul dengan orang baik dan orang shalih, dengan harapan kebaikan itu akan mempengaruhi dirinya. Rasulullah memberikan teladan dengan menjadikan pergaulan sebagai salah satu faktor yang digunakan dalam menilai seseorang. Rasulullah SAW bersabda;
“Seseorang bisa dilihat dari perilaku beragama sahabatnya. Hendaklah kalian memperhatikan bagaimana sahabatmu dalam beragama. (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Di sisi lain, Allah menjelaskan bahwa memiliki hubungan pertemanan di dunia menjadi sangat penting, karena menjadi salah satu langkah dan ikhtiar yang seharusnya dilakukan dalam rangka mempersiapkan kehidupan di akhirat. Ketika masih di dunia dan salah dalam memilih teman yang justru mengajak pada keburukan dan semakin menjauhkan diri dari Allah, maka hanya akan menjadikan penyesalan di akhirat nanti. Allah berfirman:
“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul”. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur`an itu telah datang kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia. (Q.S. al-Furqan [25] : 27-29).
Para mufasir menjelaskan kalimat “menggigit dua tangannya” diartikan sebagai penyesalan yang amat sangat dalam, tetapi sia-sia karena sudah tidak mungkin lagi untuk bisa kembali. Karena saat di dunia sebenarnya sudah diingatkan dan diperintahkan. Namun justru tidak mengikuti anjuran kebenaran tersebut. Salah memilih teman justru semakin menjauhkan diri dari pedoman hidup yang hakiki yaitu Al Qur’ an, dan menjauhkan dari kebaikan dan petunjuk hidup yang lurus dan benar. Artinya manusia akan terpisah semakin jauh dari rombongan Rasulullah SAW yang melewati jalan kebenaran menuju kearah kebaikan yang haq yaitu Allah SWT.
Mengapa kita harus selektif dalam memilih teman di dunia? Karena di dunia ada golongan manusia yang terlihat baik kepada seseorang, tetapi justru semakin menjauhkan dan menyesatkan dari jalan kebenaran yang lurus. Oleh karena itu, seseorang perlu untuk senantiasa membekali diri dengan ilmu. Sehingga ketika dalam beramal memiliki dasar dan prinsip dalam menjalani kehidupan di dunia. Mempelajari ilmu menjadi penting dan tidak ada batasan waktunya, baik anak-anak maupun orangtua, pria maupun wanita. Hal tersebut berguna untuk membedakan dalam memilih golongan dan teman yang sesuai untuk kehidupan di akhirat.
Hasan Al-Bashri dalam Kitab Ma’alimut Tanzil berkata, “Perbanyaklah berteman dengan orang-orang yang beriman. Karena mereka memiliki syafaat pada hari kiamat.”[2] Rasulullah SAW bersabda terkait dengan syafaat yang diberikan diantara para sahabat dihari kiamat, “Setelah orang-orang mukmin itu dibebaskan dari neraka, demi Allah, Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian begitu gigih dalam memohon kepada Allah untuk memperjuangkan hak untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka pada hari kiamat. Mereka memohon: “Wahai Tuhan kami, mereka itu (yang tinggal di neraka) pernah berpuasa bersama kami, shalat, dan juga haji.” Dijawab: ”Keluarkan (dari neraka) orang-orang yang kalian kenal.” Hingga wajah mereka diharamkan untuk dibakar oleh api neraka. Para mukminin inipun mengeluarkan banyak saudaranya yang telah dibakar di neraka, ada yang dibakar sampai betisnya dan ada yang sampai lututnya. Kemudian orang mukmin itu lapor kepada Allah, ”Ya Tuhan kami, orang yang Engkau perintahkan untuk dientaskan dari neraka, sudah tidak tersisa.” Allah berfirman, ”Kembali lagi, keluarkanlah yang masih memiliki iman seberat dinar.” Maka dikeluarkanlah orang mukmin banyak sekali yang disiksa di neraka. Kemudian mereka melapor, ”Wahai Tuhan kami, kami tidak meninggalkan seorangpun orang yang Engkau perintahkan untuk dientas.” (H.R. Muslim).
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesempatan untuk dapat berteman, berinteraksi, dan menjalani hidup bersama dengan golongan orang-orang shalih. Harapannya supaya saling mendukung dan memotivasi untuk beramal baik karena Allah semata. Dan juga saling menjaga agar meninggalkan segala sesuatu yang buruk dan dilarang oleh Allah. Sehingga nantinya dapat kembali berkumpul di akhirat bersama-sama dengan golongan orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, yang berada di dalam barisan Rasulullah Muhammad SAW, yang merupakan pewaris dan penghuni surga yang kekal. Aamiin ya robbal’aalamiin.
Ahkhak Mulia tanda Kesempurnaan Iman, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR Tirmidzi). Berdasarkan hadist tersebut terlihat bahwa akhlak mulia muncul dari iman yang sempurna. Agar individu memiliki akhlak yang baik, maka ia harus memiliki keimanan yang baik. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah manusia yang paling sempurna akhlaknya karena beliau adalah manusia yang paling sempurna keimanannya.
Kesempurnaan keimanan seorang muslim dapat dilihat dari enam rukun iman, yaitu iman pada Swt, iman pada malaikat Swt, iman pada kitab-kitab Swt, Iman pada rasul-rasul Swt, iman pada hari akhir,dan iman pada takdir. Muslim yang beriman pada Swt memiliki keyakinan kuat pada Swt karena ia mengenal Swt dengan sangat baik, setidaknya ia mengenal 20 sifat wajib Swt beserta maknanya. Misalnya dengan mengenal sifat iradat Swt, maka ia akan meyakini bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Allah. Saat ia dicaci maki oleh orang lain, dia akan memandang cacian tersebut sebagai perbuatan Swt, atas kehendak Allahlah orang tersebut mencaci, sehingga ia tidak akan sakit hati dan kemudian mendendam pada orang tersebut. Pada sisi yang lain ia memandang cacian tersebut sebagai bentuk kasih sayang Swt dimana Swt mungkin ingin menegurnya melalui orang atau bentuk kasih sayang Allah agar ia mendapatkan banyak pahala dengan bersabar dan memaafkan orang yang mencacinya.
Kemudian, keimanan pada Swt mengantarkan seorang muslim untuk iman kepada malaikat Swt. Dengan mengenal para malaikat sebagai makhluk ciptaan Swt yang masing-masing mendapatkan tugas dari Allah Subhanahu Wa Swt , seorang muslim akan termotivasi untuk melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan buruk. Misalnya, dengan meyakini bahwa ada malaikat yang bertugas untuk senantiasa mengawasi manusia, mencatat amal baik dan amal buruk maka seorang muslim akan berhati-hati dalam berperilaku. Contoh yang lain, seorang muslim tidak akan mendoakan hal buruk kepada orang lain karena ia paham dan yakin bahwa ketika ia mendoakan hal buruk untuk orang lain maka ada malaikat yang akan mendoakan hal yang sama untuk dirinya.
Rukun iman yang selanjutnya adalah iman kepada kitab-kitab Swt. Dengan memahami dan mempelajari Al Qur’an sebagai kitab Allah yang masih dijaga kemurniannya sampai akhir zaman, maka seorang muslim akan memiliki keyakinan yang kuat terhadap isi ajaran dalam Al Qur’an. Keyakinan tersebut menjadikannya bersungguh-sungguh berusaha mengamalkan kandungan Al Qur’an dalam perilakunya sehari-hari. Misalnya, seorang muslim akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk berbakti pada kedua orangtuanya karena dalam Al Qur’an ada perintah untuk berbakti pada kedua orangtua. Berkaitan dengan Al Qur’an, ketika Ibunda Aisyah Radhiyallahu’anha ditanya mengenai akhlak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau menjawab: “Akhlak Rasulullah adalah Al Quran” (HR Ahmad).
Dengan mengimani rasul-rasul Swt sebagai rukun iman yang keempat, seorang muslim akan terbimbing untuk berakhlak mulia karena ia akan menjadikan rasul Allah Subhanahu Wa Swt sebagai teladan dalam kehidupannya. Untuk itu seorang muslim perlu mengenal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai nabi dan rasul terakhir yang diutus untuk umat manusia. Seorang muslim perlu mempelajari dan mengenal kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui banyak hal, misalnya dengan membaca buku shiroh nabawiyah, mendengarkan pengajian yang bercerita tentang kehidupan sehari-hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ataupun dengan banyak bersholawat seperti yang diperintahkan oleh Swt dalam Al Qur’an. Insya Allah akan Swt tumbuhkan perasaan mencintai Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui hal tersebut. Kecintaan seorang muslim pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam akan menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai idola yang akan diteladani dalam setiap aspek kehidupannya.
Iman kepada hari akhir menjadikan seorang muslim senantiasa mengorientasikan hidupnya untuk akhirat. Orientasi hidup kepada akhirat ini tentu saja akan membimbingnya untuk selalu berperilaku baik karena ia benar-benar faham bahwa perilaku baik akan mengantarkannya pada kebahagiaan di akhirat sedangkan perilaku yang buruk hanya akan memberikan kesengsaraan pada hari kiamat. Dahsyatnya peristiwa di padang mahsyar akan senantiasa membuatnya mengendalikan diri dari perilaku buruk, demikian juga dengan panasnya api neraka. Sedangkan kenikmatan di surga memotivasi seorang muslim untuk berperilaku baik.
Rukun iman yang terakhir adalah iman kepada takdir. Keyakinan pada takdir juga membimbing seorang muslim untuk memeliharanya dari perilaku buruk. Misalnya, seorang muslim yang yakin bahwa setiap orang sudah ditentukan rezekinya masing-masing, maka mustahil dirinya akan iri pada kelebihan atau rizki yang diterima oleh orang lain. Hal itu terjadi karena ia memahami bila dirinya iri terhadap rizki yang diterima oleh orang lain berarti dirinya tidak menerima takdir yang Allah tetapkan pada orang tersebut. Orang yang yakin pada takdir tentu juga tidak akan sombong dengan kelebihan yang dimilikinya karena dia faham bahwa hal tersebut hanya karena Allah mentakdirkan demikian. Dia juga tidak akan rendah diri dengan apa yang ada pada dirinya karena dia menyakini hal tersebut merupakan takdir dari Allah. Demikian juga dia tidak akan menghina orang lain dengan kekurangan orang tersebut karena bila dia menghina kekurangan orang lain maka sama saja dirinya menghina Allah yang mentakdirkan orang tersebut memiliki kekurangan.
Demikianlah, apabila seorang muslim telah memiliki keimanan yang baik pada ke-6 rukum iman, maka tentu ia akan memiliki akhlak yang mulia. Semoga kita senantiasa diberi rahmat dan taufik oleh Swt untuk terus menerus memperbaharui keimanan kita yang akan mendorong kita untuk terus menerus memperbaiki perilaku kita menuju akhlak mulia. Astaghfirullahal’adzim
Termasuk di antara keindahan ajaran agama Islam adalah agama ini mendorong umatnya untuk memiliki akhlak yang mulia dan akhlak yang luhur. Dan sebaliknya, agama ini melarang umatnya dari akhlak-akhlak rendahan dan akhlak yang buruk. Hal ini ditunjukkan oleh banyak hadits tentang akhlak dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits tentang akhlak tersebut di antaranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya aku hanyalah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang luhur.” (HR. Ahmad no. 8952 dan Al-Bukhari dalam Adaabul Mufrad no. 273. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Adaabul Mufrad.)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.” (HR. Tirmidzi no. 1941. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no. 2201.)
Bahkan dengan akhlak mulia, seseorang bisa menyamai kedudukan (derajat) orang yang rajin berpuasa dan rajin shalat. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya seorang mukmin bisa meraih derajat orang yang rajin berpuasa dan shalat dengan sebab akhlaknya yang luhur.” (HR. Ahmad no. 25013 dan Abu Dawud no. 4165. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhiib no. 2643.)
Oleh karena itu, akhlak yang luhur dan mulia termasuk perkara yang ditekankan dalam agama ini. Agama ini menekankan dan mendorong kita untuk berhias dengan akhlak yang sempurna terhadap Allah Swt, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga terhadap hamba-hambaNya. Dengan akhlak yang mulia, akan tampaklah kesempurnaan dan ketinggian agama Islam ini, yaitu agama yang indah dan sempurna, baik dari sisi ‘aqidah, ibadah, adab dan akhlak.
Dengan semakin kokoh ‘aqidah dan keimanan seseorang, seharusnya semakin baik pula akhlaknya. Dengan bertambahnya ilmu ‘aqidah dan imannya, bertambah luhur pula akhlaknya. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi no. 1162. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 284.)
Oleh karena itu, jika ada di antara kita yang semakin bertambah ilmu agama dan imannya, namun akhlaknya tidak semakin baik, maka waspadalah, mungkin ada yang salah dalam diri kita dalam belajar agama dan mengamalkannya.
Jika kaum muslimin berhias dengan akhlak mulia serta menunaikan hak-hak saudaranya yang itu menjadi kewajibannya, maka hal itu merupakan pintu gerbang utama masuknya manusia ke dalam agama ini. Hal ini sebagaimana yang telah kita saksikan pada zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum, ketika manusia berbondong-bondong masuk Islam disebabkan keindahan akhlak dan keluhuran mereka dalam bermuamalah dan interaksi dengan sesama manusia.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullahu Swt berkata,
“Kaum muslimin pada hari ini, bahkan manusia seluruhnya, sangat membutuhkan penjelasan tentang agama Allah, tentang keindahan dan hakikat agama-Nya. Demi Allah, seandainya manusia dan dunia pada hari ini mengetahui hakikat agama ini, niscaya mereka akan masuk Islam dengan berbondong-bondong sebagaimana mereka berbondong-bondong masuk Islam setelah Allah menaklukkan kota Mekah untuk Nabi-Nya ‘alaihish shalaatu was salaam.” (Majmuu’ Fataawa, 2/338)
Terahir yang sangat penting diperhatikan bahwa tujuan utama kita berhias dengan akhlak mulia dan menunaikan kewajiban kita terhadap sesama manusia adalah dalam rangka taat kepada Allah Swt dan dalam rangka mengharap pahala dari-Nya. Bukan semata-mata keinginan untuk mendapatkan perlakuan (balasan) yang semisal dari orang lain. Allah Swt berfirman,
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insaan [76]: 9)
Oleh karena itu, janganlah kita berhias dengan akhlak yang mulia dengan selalu mengharapkan mendapatkan perlakuan yang semisal dan sebanding dari orang lain. Salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau,
“Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku memiliki kerabat. Aku berusaha menyambung silaturahmi dengan mereka, namun mereka memutusnya. Aku berbuat baik kepada mereka, namun mereka tidak berbuat baik kepadaku. Aku bersabar dengan gangguan mereka, namun mereka menyakitiku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Jika benar apa yang Engkau katakan, maka seakan-akan Engkau masukkan bara api ke mulut mereka. Dan pertolongan Allah akan terus-menerus bersamamu untuk mengalahkan mereka, selama Engkau bersikap seperti itu.” (HR. Muslim no. 6440)
Dalam hadits tentang akhlak di atas, lihatlah bagaimana petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat beliau tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya untuk memutus hubungan dengan kerabatnya, meskipun kerabatnya memutus hubungan dengannya. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun ingatkan dengan pahala dan anugerah yang besar dari Allah Swt.
Sebagai makhluk sosial, tentu tidak lepas dari berinteraksi dengan orang lain. Akhlak dan perilaku yang dimiliki seseorang sangat dipengaruh oleh akhlak dan perilaku lingkungan sekitarnya. Dalam Islam, agama yang kita imani sebagai nafas kehidupan seorang muslim, memberikan panduan untuk selalu bergaul dengan orang-orang shalih agar akhlak dan perilaku orang-orang tersebut dapat mempengaruhi kita menjadi pribadi yang lebih baik. Dengan bersama orang-orang shalih, kita akan senantiasa termotivasi untuk melakukan hal-hal yang baik. Begitu juga ketika dalam keadaan lemah atau ingin berbuat sesuatu yang buruk, maka setidaknya ada pengingat yang selalu mengembalikan diri ke jalan yang benar. Rasulullah bersabda:
“Perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk seperti seorang penjual minyak wangi dan seorang peniup alat untuk menyalakan api (pandai besi). Adapun penjual minyak wangi, mungkin dia akan memberikan hadiah kepadamu, atau engkau membeli darinya, atau engkau mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau yang buruk”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Ketika sering melihat kebaikan-kebaikan orang shalih, maka dapat memicu adanya rasa cemburu. Sehingga hal ini menumbuhkan motivasi untuk bisa melakukan amal shalih seperti yang mereka lakukan. Karena salah satu kecemburuan yang diperbolehkan dalam agama ini adalah cemburu pada amalan kebaikan. Rasulullah SAW bersabda
“Tidak boleh hasad kecuali dalam dua perkara: kepada seseorang yang Allah berikan harta kemudian dia menginfakannya di sebagian malam dan siangnya, dan kepada seseorang yang Allah berikan Al-Qur’ an dan dia membacanya di sebagian besar malam dan siangnya” (H.R. Muslim).
Terkadang sedikit banyak dapat menilai kebaikan seseorang dengan melihat pergaulan antar sesama temannya, karena kebaikan seseorang memberikan pengaruh baik lingkungan sekitarnya. Begitupun sebaliknya, keburukan seseorang juga bisa memberikan pengaruh buruk terhadap lingkungan disekitarnya. Oleh karena itu, seorang muslim haruslah senantiasa berusaha untuk bergaul dengan orang baik dan orang shalih, dengan harapan kebaikan itu akan mempengaruhi dirinya. Rasulullah memberikan teladan dengan menjadikan pergaulan sebagai salah satu faktor yang digunakan dalam menilai seseorang. Rasulullah SAW bersabda;
“Seseorang bisa dilihat dari perilaku beragama sahabatnya. Hendaklah kalian memperhatikan bagaimana sahabatmu dalam beragama. (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Di sisi lain, Allah menjelaskan bahwa memiliki hubungan pertemanan di dunia menjadi sangat penting, karena menjadi salah satu langkah dan ikhtiar yang seharusnya dilakukan dalam rangka mempersiapkan kehidupan di akhirat. Ketika masih di dunia dan salah dalam memilih teman yang justru mengajak pada keburukan dan semakin menjauhkan diri dari Allah, maka hanya akan menjadikan penyesalan di akhirat nanti. Allah berfirman:
“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul”. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur`an itu telah datang kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia. (Q.S. al-Furqan [25] : 27-29).
Para mufasir menjelaskan kalimat “menggigit dua tangannya” diartikan sebagai penyesalan yang amat sangat dalam, tetapi sia-sia karena sudah tidak mungkin lagi untuk bisa kembali. Karena saat di dunia sebenarnya sudah diingatkan dan diperintahkan. Namun justru tidak mengikuti anjuran kebenaran tersebut. Salah memilih teman justru semakin menjauhkan diri dari pedoman hidup yang hakiki yaitu Al Qur’ an, dan menjauhkan dari kebaikan dan petunjuk hidup yang lurus dan benar. Artinya manusia akan terpisah semakin jauh dari rombongan Rasulullah SAW yang melewati jalan kebenaran menuju kearah kebaikan yang haq yaitu Allah SWT.
Mengapa kita harus selektif dalam memilih teman di dunia? Karena di dunia ada golongan manusia yang terlihat baik kepada seseorang, tetapi justru semakin menjauhkan dan menyesatkan dari jalan kebenaran yang lurus. Oleh karena itu, seseorang perlu untuk senantiasa membekali diri dengan ilmu. Sehingga ketika dalam beramal memiliki dasar dan prinsip dalam menjalani kehidupan di dunia. Mempelajari ilmu menjadi penting dan tidak ada batasan waktunya, baik anak-anak maupun orangtua, pria maupun wanita. Hal tersebut berguna untuk membedakan dalam memilih golongan dan teman yang sesuai untuk kehidupan di akhirat.
Hasan Al-Bashri dalam Kitab Ma’alimut Tanzil berkata, “Perbanyaklah berteman dengan orang-orang yang beriman. Karena mereka memiliki syafaat pada hari kiamat.”[2] Rasulullah SAW bersabda terkait dengan syafaat yang diberikan diantara para sahabat dihari kiamat, “Setelah orang-orang mukmin itu dibebaskan dari neraka, demi Allah, Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian begitu gigih dalam memohon kepada Allah untuk memperjuangkan hak untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka pada hari kiamat. Mereka memohon: “Wahai Tuhan kami, mereka itu (yang tinggal di neraka) pernah berpuasa bersama kami, shalat, dan juga haji.” Dijawab: ”Keluarkan (dari neraka) orang-orang yang kalian kenal.” Hingga wajah mereka diharamkan untuk dibakar oleh api neraka. Para mukminin inipun mengeluarkan banyak saudaranya yang telah dibakar di neraka, ada yang dibakar sampai betisnya dan ada yang sampai lututnya. Kemudian orang mukmin itu lapor kepada Allah, ”Ya Tuhan kami, orang yang Engkau perintahkan untuk dientaskan dari neraka, sudah tidak tersisa.” Allah berfirman, ”Kembali lagi, keluarkanlah yang masih memiliki iman seberat dinar.” Maka dikeluarkanlah orang mukmin banyak sekali yang disiksa di neraka. Kemudian mereka melapor, ”Wahai Tuhan kami, kami tidak meninggalkan seorangpun orang yang Engkau perintahkan untuk dientas.” (H.R. Muslim).
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesempatan untuk dapat berteman, berinteraksi, dan menjalani hidup bersama dengan golongan orang-orang shalih. Harapannya supaya saling mendukung dan memotivasi untuk beramal baik karena Allah semata. Dan juga saling menjaga agar meninggalkan segala sesuatu yang buruk dan dilarang oleh Allah. Sehingga nantinya dapat kembali berkumpul di akhirat bersama-sama dengan golongan orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, yang berada di dalam barisan Rasulullah Muhammad SAW, yang merupakan pewaris dan penghuni surga yang kekal.
Termasuk di antara keindahan ajaran agama Islam adalah agama ini mendorong umatnya untuk memiliki akhlak yang mulia dan akhlak yang luhur. Dan sebaliknya, agama ini melarang umatnya dari akhlak-akhlak rendahan dan akhlak yang buruk. Hal ini ditunjukkan oleh banyak hadits tentang akhlak dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits tentang akhlak tersebut di antaranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya aku hanyalah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang luhur.” (HR. Ahmad no. 8952 dan Al-Bukhari dalam Adaabul Mufrad no. 273. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Adaabul Mufrad.)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.” (HR. Tirmidzi no. 1941. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no. 2201.)
Bahkan dengan akhlak mulia, seseorang bisa menyamai kedudukan (derajat) orang yang rajin berpuasa dan rajin shalat. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya seorang mukmin bisa meraih derajat orang yang rajin berpuasa dan shalat dengan sebab akhlaknya yang luhur.” (HR. Ahmad no. 25013 dan Abu Dawud no. 4165. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhiib no. 2643.)
Oleh karena itu, akhlak yang luhur dan mulia termasuk perkara yang ditekankan dalam agama ini. Agama ini menekankan dan mendorong kita untuk berhias dengan akhlak yang sempurna terhadap Allah Swt, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga terhadap hamba-hambaNya. Dengan akhlak yang mulia, akan tampaklah kesempurnaan dan ketinggian agama Islam ini, yaitu agama yang indah dan sempurna, baik dari sisi ‘aqidah, ibadah, adab dan akhlak.
Dengan semakin kokoh ‘aqidah dan keimanan seseorang, seharusnya semakin baik pula akhlaknya. Dengan bertambahnya ilmu ‘aqidah dan imannya, bertambah luhur pula akhlaknya. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi no. 1162. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 284.)
Oleh karena itu, jika ada di antara kita yang semakin bertambah ilmu agama dan imannya, namun akhlaknya tidak semakin baik, maka waspadalah, mungkin ada yang salah dalam diri kita dalam belajar agama dan mengamalkannya.
Jika kaum muslimin berhias dengan akhlak mulia serta menunaikan hak-hak saudaranya yang itu menjadi kewajibannya, maka hal itu merupakan pintu gerbang utama masuknya manusia ke dalam agama ini. Hal ini sebagaimana yang telah kita saksikan pada zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum, ketika manusia berbondong-bondong masuk Islam disebabkan keindahan akhlak dan keluhuran mereka dalam bermuamalah dan interaksi dengan sesama manusia.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullahu Swt berkata,
“Kaum muslimin pada hari ini, bahkan manusia seluruhnya, sangat membutuhkan penjelasan tentang agama Allah, tentang keindahan dan hakikat agama-Nya. Demi Allah, seandainya manusia dan dunia pada hari ini mengetahui hakikat agama ini, niscaya mereka akan masuk Islam dengan berbondong-bondong sebagaimana mereka berbondong-bondong masuk Islam setelah Allah menaklukkan kota Mekah untuk Nabi-Nya ‘alaihish shalaatu was salaam.” (Majmuu’ Fataawa, 2/338)
Terahir yang sangat penting diperhatikan bahwa tujuan utama kita berhias dengan akhlak mulia dan menunaikan kewajiban kita terhadap sesama manusia adalah dalam rangka taat kepada Allah Swt dan dalam rangka mengharap pahala dari-Nya. Bukan semata-mata keinginan untuk mendapatkan perlakuan (balasan) yang semisal dari orang lain. Allah Swt berfirman,
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insaan [76]: 9)
Oleh karena itu, janganlah kita berhias dengan akhlak yang mulia dengan selalu mengharapkan mendapatkan perlakuan yang semisal dan sebanding dari orang lain. Salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau,
“Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku memiliki kerabat. Aku berusaha menyambung silaturahmi dengan mereka, namun mereka memutusnya. Aku berbuat baik kepada mereka, namun mereka tidak berbuat baik kepadaku. Aku bersabar dengan gangguan mereka, namun mereka menyakitiku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Jika benar apa yang Engkau katakan, maka seakan-akan Engkau masukkan bara api ke mulut mereka. Dan pertolongan Allah akan terus-menerus bersamamu untuk mengalahkan mereka, selama Engkau bersikap seperti itu.” (HR. Muslim no. 6440)
Dalam hadits tentang akhlak di atas, lihatlah bagaimana petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat beliau tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya untuk memutus hubungan dengan kerabatnya, meskipun kerabatnya memutus hubungan dengannya. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun ingatkan dengan pahala dan anugerah yang besar dari Allah Swt.
Dua (2) Alasan Pentingnya Akhlak Mulia Bagi Setiap Muslim. Dalam menjalani roda kehidupan yang semakin berkembang pesat, baik secara perilaku maupun gaya hidup, menjadi penting bagi setiap Insan untuk memahami berbagai perubahan tingkah laku manusia. Tidak hanya mengetahuai dan memahami, manusia juga dituntut untuk tahu bagaimana pentingnya memiliki akhlak atau karakter yang baik. Dalam agama Islam secara umum ada dua alasan mengapa kita harus berakhlak yang baik. Di antaranya:
Akhlak Mulia Sebagai Amal Luar Biasa
Suatu amalan tidak harus berat untuk memperoleh pahala besar, tetapi bisa saja mudah namun tetap mendapatkan pahala besar. Sebuah keterangan yang diriwayatkan oleh Imam Thabari: dari Anas bin Malik ra. Berkata: “Wahai Abu Dzar maukah kamu saya beri tahu tentang dua hal yang ringan namun timbangannya lebih berat dari hal lainnya?” ia menjawab: “Tentu wahai Rasulullah”. Rasul menjawab: “Hendaklah kamu berakhlak mulia dan berdiam diri. Demi Allah, tidak ada amal yang lebih bernilai dari keduanya.”
Dalam kacamata Al-Qur’an, akhlak mulia sebagai amalan diungkapkan dengan kalimat bahwa jika kita berbuat baik dan berperilaku baik, maka balasan yang didapatkan pun akan baik, firman-Nya,
هَلۡ جَزَآءُ ٱلۡإِحۡسَٰنِ إِلَّا ٱلۡإِحۡسَٰنُ ٦٠
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Q.S. Ar-Rahman: 60)
Jika kita berbuat baik, terlebih menampakkan akhlak yang baik kepada sesama manusia, maka kita akan mendapatkan kebaikan juga dari Allah swt.
Manfaat berbuat kebaikan dan berperilaku baik akan dirasakan balasannya dan tidak ada satu perbuatan pun yang menjadi sia-sia di sisi Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Penghargaan orang yang melakuan kebaikan dan yang berperilaku baik yang khusus di akhirat tersebut dalam berbagai Hadits Nabi antara lain sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Imam Turmudzi,
مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي المِيْزَانِ مِنْ حُسْنِ الخُلُقِ (رواه أبو داود والترمذي)
“Tidak ada amalan yang melebihi berat timbangannya di hari kiamat dari akhlak yang baik “. (H.R. Abu Daud dan Tirmizi)
Hadits diatas menunjukkan perihal akhlak atau perilaku yang baik, jika seseorang mampu memperbaiki perilakunya maka akan mendapatkan keutamaan yang luar biasa. Bahkan timbangan pun merasa berat menimbangnya. Karena akhlak menjadi amal utama bagi manusia di akhirat kelak.
Derajat Orang Berakhlak Mulia
Dalam sebuah riwayat Hadits disebutkan bahwa orang yang berakhlak mulia memiliki kedudukan yang paling tinggi disisi Allah. Ketinggian derajat yang dicapainya menyamai posisi orang yang berpuasa dan shalat di malam hari. Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya orang-orang mu’min dengan akhlaknnya dapat mencapai derajat orang-orang yang berpuasa dan melakukan shalat malam.” (H.R. Abu Dawud)
Hadits diatas memberi penegasan kepada manusia yang berakhlak baik, bahwa mereka diselaraskan dengan derajat orang yang berpuasa di siang hari dan bangun malam untuk ibadah di malam hari. Teks Hadits ini menunjukkan keutamaan kedudukan orang yang berakhlak baik. Tetapi jangan dipahami bahwa orang yang berakhlak baik berarti sudah melaksanakan puasa dan shalat malam hari sehingga tidak perlu melaksanakannya lagi. Ini adalah pandangan yang kurang tepat. Puasa dan shalat malam nya tetap belum terlaksana, hanya saja Nabi ingin menjelaskan kedudukan dan pahala yang didapatkan oleh orang yang berperilaku baik itu sama dengan orang yang berpuasa dan bangun malam setiap hari untuk Tuhannya.
Dalam kacamata Al-Qur’an, kedudukan orang yang berakhlak mulia tidak kalah hebatnya. Walaupun tidak secara gamblang dijelaskan dalam Al-Qur’an tentang kedudukan orang yang berperilaku baik, namun esensinya dapat diambil dari firman-Nya,
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (Q.S. an-Nisa: 69-70)
Ayat diatas memberi penjelasan bahwa orang yang senantiasa menaati perintah Allah dan rasul-Nya, mengerjakan segala yang diperintahkan seperti berbuat baik dan berperilaku baik, maka akan mendapatkan kedudukan surga bersama para petinggi Tuhan disana, para Nabi, orang-orang jujur, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Maka jangan pernah ragu untuk berperilaku baik dan indah di hadapan siapapun.
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab “khuluq”, jamaknya “akhlâq” yang berarti tabiat atau budi pekerti. Prof. Ahmad Amin, dikutif Hamzah Yaqub, mendefinisikan akhlak adalah “suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.” Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu akhlak ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin. Senada dengan pengertian ini ulama lain menjelaskan bahwa ilmu akhlak adalah “ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pegaulan manusia dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka.” Kata akhlak di dalam al-Quran disebutkan pada surat al-Qalam (68): 4, sedangkan di dalam haditsdijelaskan pada sebuah hadits yang diriwayatkan dari imam Ahmad.
Tolak Ukur dalam Akhak
Al-Quran menetapkan bahwa akhlak itu tidak terlepas dari aqidah dan syariah, ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini dapat dilihat dari surat al-Baqarah (2): 177, yang berarti: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Ayat al-Quran tersebut menjelaskan bahwa iman kepada Allah Swt. adalah merupakan dasar dari kebajikan. Kenyataan ini tidak akan pernah terbukti, kecuali jika iman tersebut telah meresap di dalam jiwa dan ke seluruh pembuluh nadi yang disertai dengan sikap khusyuʾ, tenang, taat, patuh, dan hatinya tidak akan meledak-ledak lantaran mendapatkan kenikmatan, dan tidak putus asa ketika ditimpa musibah. Orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah Swt. hanya mau tunduk dan taat kepada Allah Swt. dan syariat-syariat-Nya.
Selanjutnya iman kepada hari akhir mengingatkan manusia bahwa ternyata terdapat alam lain yang gaib, kelak di akhirat yang akan dihuni. Oleh sebab itu, hendaklah usahanya itu jangan hanya dipusatkan untuk memenuhi kepentingan jasmani atau cita-cita meraih kelezatan duniawi saja atau memuaskan hawa nafsu. Demikian juga iman kepada para Malaikat adalah titik tolak iman kepada wahyu, kenabian, dan hari akhir. Siapapun yang menolak keimanan terhadap Malaikat, berarti mengingkari seluruhnya. Hal ini disebabkan di antara para Malaikat itu ada yang bertugas sebagai penyampai wahyu kepada para Nabi. Sedangkan iman kepada kitab-kitab samawi yang dibawa oleh para Nabi mendorong seseorang untuk mengamalkan kandungan kitab yang berupa perintah maupun larangan. Sebab orang yang yakin bahwa sesuatu itu benar, maka hatinya akan terdorong untuk mengamalkannya. Dan jika ia yakin bahwa sesuatu itu akan membahayakan dirinya, tentu akan menjauhinya dan tidak mengamalkannya. Sedangkan Iman kepada para nabi, akan mendorong untuk mengikuti ajarannya.
Ayat al-Quran tersebut, kemudian menentukan tentang syariah, yakni memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat. Kemudian ayat ini mengatur tentang akhlak, yatu orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan.
Islam mengatur tolok ukur berakhlak adalah berdasarkan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, apa yang dipandang baik oleh Allah dan Rasul-Nya, pasti baik dalam esensinya. Begitu pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kepalsuan sebagai kelakuan baik, karena kepalsuan esensinya pasti buruk. Selain itu Allah selalu memperagakan kebaikan, bahkan Dia memiliki sifat yang terpuji, seperti al-Quran surat Thaha (20): 8 menjelaskan: “(Dialah) Allah, tiada Tuhan selain Dia, Dia mempunyai sifat-sifat yang terpuji (al-Asmȃˋ al-Husnȃ).” Demikian juga Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad meriwayatkan Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah Saw., beliau menjawab: “Akhlak Nabi Saw. adalah al-Quran.”
Semua sifat Allah Swt. disebutkan dalam al-Quran yang jumlahnya disebutkan di dalam hadits. Sifat-sifat Allah ini merupakan satu kesatuan. Dia Esa di dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya. Oleh karena itu, tidak wajar jika sifat-sifat itu dinilai saling bertentangan. Maksudnya semua sifat memiliki tempatnya masing-masing. Ada tempat untuk keperkasaan dan keangkuhan Allah, ada tempat untuk kasih sayang dan kelemahlembutan-Nya. Ketika seorang muslim meneladani sifat al-Kibriyâ (Keangkuhan Allah), ia harus ingat bahwa sifat itu tidak akan disandang oleh Allah Swt., kecuali dalam konteks ancaman terhadap para pembangkang atau terhadap orang yang merasa dirinya superior. Ketika Rasulullah Saw. melihat seseorang yang berjalan dengan angkuh di medan perang, beliau bersabda: “itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah, kecuali dalam kondisi semacam ini.” Seseorang yang berusaha meneladani sifat al-Kibriyâ tidak akan meneladaninya kecuali terhadap manusia-manusia yang angkuh. Berkaitan dengan hal ini ada riwayat yang menyebutkan: “Bersikap angkuh terhadap orang-orang yang angkuh adalah sedekah.”
Ketika seorang Muslim berusaha meneladani kekuatan dan kebesaran Ilahi, harus diingat bahwa sebagai makhluk ia terdiri dari jasad dan ruh, sehingga keduanya harus sama-sama kuat. Kekuatan dan kebesaran ini harus diarahkan untuk membantu yang lemah, dan tidak boleh digunakan untuk mendukung kejahatan atau kesewenang-wenangan. Karena ketika al-Quran mengulang-ngulang kebesaran Allah, al-Quran juga menegaskan bahwa: “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang angkuh lagi membanggakan diri (QS Luqman [31]: 18).
macam-macam Akhak
Para ahli membagi akhlak ini menjadi dua macam:
1. Akhlak Mahmudah atau akhlak yang terpuji. Ini termasuk budi pekerti yang baik. Menurut Hasan rahimahullah bahwa budi pekerti yang baik adalah menunjukkan wajah yang berseri-seri, memberikan bantuan sebagai tanda kedermawanan dan menahan diri dari perbuatanyang menyakiti. Selanjutnya Hasan menambahkan budi pekerti yang baik ialah membuat kerelaan seluruh makhluk, baik dalam kesukaan (karena murah rezeki) atau dalam kedukaan (keadaan kekurangan). Jadi budi pekerti ini hakikatnya adalah suatu bentuk dari sesuatu jiwa yang benar-benar telah meresap dan dari situlah timbulnya berbagai perbuatan dengan cara spontan dan mudah, tanpa dibuat-buat dan tanpa membutuhkan pemikiran atau angan-angan. Contoh akhlak terpuji di dalam al-Quran surat Ali-imran (3): 159, yang artinya: “Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Contoh akhlak mulia di dalam hadits riwayat Muslim yang diterima dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “Hak seorang Muslim atas seorang Muslim ada enam perkara: apabila engkau bertemu dia hendaklah engkau beri salam kepadanya, apabila ia mengundangmu, hendaklah engkau memenuhinya, apabila ia meminta nasihat, hendaklah engkau menasihatinya, apabila ia bersin kemudian ia berkata “alhamdulillah” hendaklah engkau doakan dia, jika ia sakit hendaklah engkau mengunjunginya, dan apabila ia meninggal dunia hendaklah engkau mengikuti janazahnya.”
2. Akhlak Madzmumah atau akhlak yang tercela. Al-Quran menjelaskan akhlak tercela ini di dalam surat al-Hujurȃt (49): 12, Yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Contoh akhlak tercela ini di dalam hadits Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw. telah bersabda: “Ada empat perkara, barangsiapa yang memiliki semuanya itu dalam dirinya, maka ia adalah seorang munafik, sedang barangsiapa yang memiliki salah satu dari sifat-sifat itu di dalam dirinya, maka ia memiliki salah satu sifat kemunafikan, sehingga ia meninggalkan sifat tadi. Empat perkara itu adalah jika berbicara dusta, jika berjanji menyalahi, apabila menjanjikan sesuatu cidera, dan jika bermusuhan berlaku curang.” Termasuk juga akhlak yang tercela adalah ghibah, yang didalam hadits Muslim, Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa ghibah adalah jika engkau menyebutkan perihal saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukai olehnya. Hal-hal yang menyebabkan ghibah di antaranya: ingin melenyapkan kemarahan, dorongan kemegahan diri, kedengkian, penghinaan, dan lain-lain.
Contoh akhlak tercela di dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Ibn Masud r.a. bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “apabila kamu bertiga, maka janganlah dua orang berbisik-bisik dengan meninggalkan yang lain, tetapi hendaklah kamu bercampur dengan sesama manusia, karena sikap yang demikian akan menjadikan dia kecewa.” Rasulullah Saw. sendiri mengajarkan doa agar dihindarkan dari hal-hal yang jelek, termasuk salah satunya dari akhlak yang tercela. Doa Rasulullah tersebut berbunyi: “Ya Allah jauhkanlah aku dari akhlak, amal, kemauan, dan penyakit yang jelek.”
Sasaran dari Akhak
Akhlak mempunyai makna yang luas, yang dapat mencakup sifat lahiriyah maupun batiniah. Akhlak menurut pandangan Islam mencakup berbagai aspek, dapat mencakup akhlak terhadap Allah dan terhadap sesama makhluk seperti manusia dan lingkungan.
1. Akhlak terhadap Allah Swt.
Landasan umum berakhlak terhadap Allah Swt. adalah pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu yang semua makhluk tidak dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa kesempurnaan dan keterpujian Allah swt. Oleh karena itu, mereka sebelum memuji-Nya, bertasbih terlebih dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Jadi jangan sampai pujian yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan kebesaran-Nya, sebagaimana al-Quran surat ash-Shaffat (37): 159-160, yang artinya: “Mahasuci Allah dari segala sifat yang mereka sifatkan kepada-Nya, kecuali (dari) hamba-hamba Allah yang terpilih.” Demikian juga al-Quran surat asy-Syura (42): 5 menetapkan: “Dan para malaikat menyucikan sambil memuji Tuhan mereka.” Begitu juga al-Quran surat ar-Raʻad (13): 13 menjelaskan: “Guntur menyucikan (Tuhan) sambil memuji-Nya.” Selanjutnya al-Quran surat al-Isra (17): 44, menetapkan: “Dan tidak ada sesuatupun kecuali bertasbih (menyucikan Allah) sambil memuji-Nya.”
Bertitik tolak dari uraian tentang kesempurnaan Allah Swt. tersebut, maka al-Quran memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya, karena segala yang bersumber dari Allah adalah baik, benar, indah, dan sempurna. Berkaitan dengan hal ini, sebagian ayat al-Quran memerintahkan manusia untuk menjadikan Allah sebagai “wakil”, seperti al-Quran surat al-Muzzammil (73): 9, menerangkan: “(Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung).” Kata “wakil”dapat diterjemahkan sebagai pelindung. Jika seseorang mewakilkan kepada orang lain (untuk suatu persoalan), maka ia telah menjadikan orang yang mewakili sebagai dirinya sendiri dalam menangani persoalan tersebut, sehingga sang wakil melaksanakan apa yang dikehendaki oleh orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya. Allah Swt., yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dan semua Maha yang mengandung pujian. Manusia sebaliknya, memiliki keterbatasan pada segala hal. Oleh karena itu, maka perwakilan-Nya pun berbeda dengan perwakilan manusia. Jadi jika seseorang menjadikan Allah sebagai wakil, sejak semula ia menyadari keterbatasan dirinya dan menyadari Kemahamutlakan Allah Swt. Dan ia akan menerimanya dengan sepenuh hati, baik mengetahui maupun tidak hikmah suatu perbuatan Tuhan. Sebagaimana firman Allah Swt.: “Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 216), dan lihat (QS al-Ahzab [33]: 36).
2. Akhlak terhadap sesama manusia.
Al-Quran menjelaskan perlakuan sesama manusia, baik berupa larangan, seperti membunuh, menyakiti badan atau harta tanpa alasan yang benar, juga termasuk larangan menyakiti hati, walaupun disertai dengan memberi. Lihat (QS al-Baqarah [2]: 263). Selain itu, al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar, termasuk Nabi Muhammad Saw. dinyatakan pula sebagai manusia biasa, namun dinyatakan pula beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar ini beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia lain, seperti dalam al-Quran (QS al-Hujurat [49]: 2; QS an-Nur [24]: 63). Al-Quran juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan atau kebebasan pribadi), (QS an-Nur [24]: 27 dan 58); salam yang diucapkan wajib dijawab dengan salam yang serupa, dan dianjurkan agar dijawab dengan salam yang lebih baik (QS an-Nisa [4]: 86); Setiap ucapan harus ucapan yang baik (QS al-Baqarah [2]: 83 dan QS al-Ahzab [33]: 70) Seseorang tidak boleh mengolok-olokkan orang lain atau kelompok lain dan tidak boleh memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Demikian juga seseorang tidak boleh berprasangka buruk, mencari kesalahan orang lain, dan menggunjing orang lain. Al-Quran menjelaskan juga di antara ciri-ciri orang yang bertakwa (QS Ali Imran [3]: 134-135). Selain itu, al-Quran menetapkan harus mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri (QS al-Hasyr [59]: 9).
3. Akhlak terhadap lingkungan.
Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan ini menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, dan pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum matang, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Hal ini mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan terhadap lingkungan di sekitarnya. Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini meyakinkan setiap muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
Berkaitan dengan hal ini, al-Quran surat al-Anʻam (6): 38 menegaskan bahwa binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya merupakan umat-umat juga seperti manusia, sehingga semuanya tidak boleh diperlakuka secara aniaya, baik dalam masa damai maupun ketika terjadi peperangan. Termasuk mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang, kecuali jika terpaksa, tetapi inipun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan (QS al-Hasyr [59]: 5). Dengan pengakuan semua milik Allah, mengantarkan manusia kepada kesadaran bahwa apapun yang berada dalam genggaman-Nya, tidak lain kecuali amanat yang harus dipertanggungjawabkan (QS at-Takatsur (102): 8. Manusia dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah Swt. menyangkut apa yang berada di sekitar manusia.
Pernyataan Allah dalam al-Quran surat al-Ahqaf (46): 3, mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja, tetapi juga harus berpikir dan bersikap demi kemaslahatan semua pihak. Manusia tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam. Yang menundukkan alam menurut al-Quran adalah Allah. Mereka tidak sedikitpun mempunyai kemampuan, kecuali berkat kemampuan yang dianugrahkan Tuhan kepadanya (QS az-Zukhruf [43]: 13). Oleh karena itu manusia harus mengusahakan keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga mereka harus bersahabat. Al-Quran mengharuskan setiap orang mukmin untuk meneladani Nabi Muhammad Saw. yang diutus membawa rahmat bagi seluruh alam. Selain itu, Rasulullah Saw. diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, sebagaimana hadits riwayat at-Timidzi dari Abu Dardaˋ yang menjelaskan bahwa beliau bersabda: “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari kiamat, melebihi akhlak yang luhur.”
Memperbaiki Akhlak Paling Efektif Menurut Rasulullah Muhammad SAW, akhlak, tak lepas dari perilaku seseorang, baik akhlakul karimah (akhlak baik) maupun akhlakul mazmumah (akhlak buruk). Seorang insan tercipta dengan dua macam akhlak, yakni akhlak yang sudah ada sejak lahir, dan akhlak yang bisa dirubah menjadi lebih baik. Nah, bagi seseorang yang merasa belum menemukan jati dirinya dan berupaya memperbaiki diri, ada beberapa cara efektif untuk memperbaiki akhlak menurut Rasulullah SAW. Berikut penjelasannya.
1. Membenarkan Akidah
Akidah yang benar (yakni akidah ahlus sunnah wal jama’ah) dapat menjadikan akhlak kita menjadi lebih baik. Hal ini telah terbukti bahwa akidah para salafus shalih mampu menghantarkan mereka kepada akhlak yang mulia dan menghindarkan mereka dari akhlak yang tercela. Selain itu, kualitas akidah kita juga sangat mempengaruhi kualitas akhlak kita. Apabila akidah dan keimanan kita baik, maka baik pula akhlak yang kita miliki
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : Orang beriman yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya. (HR. Abu Dawud : 4682)
Hadits ini menunjukkan bahwa keimanan dan akhlak memiliki hubungan yang sangat erat. Oleh karena itu, tidaklah kita memperbaiki akhlak kecuali dengan membenarkan akidah dan meningkatkan keimanan terlebih dahulu.
2. Mengokohkan Iman
Keimanan ini akan menghasilkan ketenangan jiwa dan bertawakal kepada-Nya merupakan sendi untuk menjadikan hidup dalam kerangka ibadah hanya kepada-Nya. Keimanan juga membuat seseorang lebih konsisten dengan akhlak baiknya.
Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu menjadi orang plin-plan lalu berkata, ‘Bila orang-orang baik, kami ikut baik, dan bila mereka zalim, kami pun ikut.’ Akan tetapi, bentengilah dirimu, bila orang-orang baik, kamu harus berbuat baik, dan bila mereka jahat, janganlah ikuti kejahatan mereka.’’ (HR At-Tirmidzi).
3. Memperbaiki Akhlak dengan Beribadah
Ibadah adalah sebuah cara dan wasilah yang paling utama untuk melatih dan mendidik diri kita untuk menjadi lebih baik. Ibadah tidak hanya menjadi wasilah untuk mendidik aspek ruhiyyah saja. Namun, ibadah juga mendidik aspek jismiyyah, ijtima’iyyah, khuluqiyyah, jamaliyyah, maupun aqliyyah. Semua aspek tersebut akan terlatih apabila kita istiqomah melaksanakan ibadah-ibadah yang telah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
4. Membaca Al-Quran
Al Quran adalah petunjuk utama dalam berakhlak mulia. Allah subhanahu wata’ala berfirman : Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus, (QS. Al-Israa’ : 9).
Rasulullah sendiri menjadikan Al Quran sebagai tolak ukur bagi dirinya dalam berakhlak. Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim wajib membaca dan mempelajari Al Quran. Dengan membaca dan mempelajarinya maka kita akan mengetahui bagaimana cara berakhlak yang benar. Ketahuilah, sesungguhnya Al Quran merupakan obat hati, petunjuk, dan rahmat bagi orang yang beriman.
Allah SWT berfirman : Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus : 57)
5. Memperbaiki Akhlak dengan Bersabar
Akhlak yang baik berdiri di atas empat rukun yang mendirikannya tidak boleh berpindah kecuali berada di atasnya (yaitu) : sabar, menjaga diri dari yang buruk, berani, dan adil.
Sabar itu ada tiga jenis, diantaranya : Sabar dengan Allah, adalah kita senantiasa bersabar meminta pertolongan kepada-Nya agar tetap dalam kesabaran.
Sabar untuk Allah, adalah hendaknya kita bersabar dalam rangka meraih cintanya Allah, dan menginginkan wajah-Nya.
Sabar bersama Allah, adalah kita bersabar menetap bersama apa yang Allah kehendaki terhadap diri kita dan bersabar menjalani hukum-hukum agama-Nya.
6. Mempelajari Perjalanan Hidup Nabi
Cara memperbaiki akhlak selanjurnya yaitu dengan mempelajari perjalanan hidup Rasulullah. Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan:
Barang siapa yang menghendaki kebaikan akhirat, hikmah dunia dan perjalanan hidup yang adil serta memiliki seluruh akhlak yang baik serta memperoleh keunggulan yang memikat,…
maka hendaknya ia meneladani Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mengamalkan akhlaknya dan meneladani perjalanan kehidupannya dengan segenap kemampuannya.
Oleh karena itu, tidaklah mungkin kita meneladani Rasulullah kecuali dengan mempelajari perjalanan kehidupan beliau.
7. Bersahabat dengan Orang Berakhlak Mulia
Sebenarnya akhlak kita sangat dipengaruhi oleh orang-orang yang kita jadikan sebagai sahabat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Seseorang itu tergantung agama temannya, maka hendaklah salah seorang kalian memperhatikan siapa yang dijadikannya sebagai teman. (HR. Abu Dawud : 4833)
Oleh karena itu, agar kita bisa memperoleh akhlak yang baik, maka bersahabat dengan orang-orang yang berakhlak mulia adalah suatu keniscayaan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi bisa jadi akan memberimu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari : 5534)
8. Mengunjungi Orang yang Berakhlak Mulia
Apabila kita banyak berkunjung dan bertemu dengan orang-orang yang berakhlak mulia dan mempelajari akhlak mereka maka kita akan dimudahkan untuk memperbaiki akhlak. Tahukah kamu? Bahwa penyebab mulianya akhlak para sahabat adalah karena mereka senantiasa mengunjungi Nabi dalam rangka mempelajari akhlak dan adab beliau. Cara itu kemudian diwariskan kepada para generasi setelahnya, dimana mereka mempelajari akhlak guru mereka sebagaimana mempelajari ilmu dari mereka.
9. Memperbaiki Akhlak dengan Mengingat Kehidupan di Akhirat
Untuk memperbaiki akhlak dalam islam, kita hendaknya mempunyai sifat zuhud dan selalu mengingat akhirat. Rasulullah mengingatkan para sahabat dengan akhirat dan menganjurkan agar merenggangkan diri dari dunia. Beliau bersabda, “Perbanyaklah menyebut penghancur kenikmatan, yakni kematian.” (HR Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Ma jah).
10. Melatih Diri Sendiri
Akhlak yang mulia tidak dapat diperoleh dengan hanya berdiam diri. Justru dengan berlatih itulah maka Allah akan memperbaiki akhlak kita.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya barang siapa yang berusaha menjaga diri dari meminta-minta maka Allah akan menjaganya dari meminta-minta, dan barang siapa yang berusaha menyabarkan diri maka Allah berikan dia kesabaran, dan barang siapa yang berusaha merasa cukup maka Allah berikan ia kecukupan. Kalian tidak akan pernah diberikan pemberian yang terbaik dan terluas dari pada sebuah kesabaran.” (HR. Bukhari : 6470).
Jadi, sudah tau kan cara-cara memperbaiki akhlak itu tidak sulit, bukan? Terapkan di kehidupan sehari-harimu ya, sahabat muslimah. Dan jangan lupa untuk tetap memperbaiki diri hari ke hari menjadi pribadi yang lebih baik.
10 Cara Nabi Muhammad SAW dalam Memperbaiki Akhlak. Tugas utama Rasulullah Muhammad SAW ialah mengubah umat manusia menjadi insan yang ‘abid, saleh, dan mushlih yakni mampu melakukan perbaikan. Fokus pembinaannya dalam empat hal, yaitu menanamkan akidah, penyucian jiwa, mengajarkan Alquran dan hadis, serta membina keterampilan umat. Lihat Alquran surah al-Jumuah ayat 2. Artinya, "Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata."
Beliau shalallahu 'alaihi wasallam telah melakukan tugasnya dengan sempurna sehingga generasi sahabat adalah generasi terbaik. Hal itu sebagaimana disabdakan beliau, “Sebaik-baik abad adalah abad generasiku.’’ (HR al-Bukhari dan Ibnu Hibban). (Lihat QS at- Taubah: 100).
Dalam memperbaiki perilaku bangsa Arab jahiliah, Rasulullah menggunakan beberapa cara mujarab. Pertama, mengokohkan keimanan dan beribadah kepada Allah SWT. Keimanan ini akan menghasilkan ketenangan jiwa dan bertawakal kepada-Nya merupakan sendi untuk menjadikan hidup dalam kerangka ibadah hanya kepada-Nya. Corak kehidupan Muslim seperti ini dijelaskan dalam Alquran surah al-An’am ayat 162.
Kedua, menanamkan ketakwaan dan memperbanyak zikrullah. Rasul SAW bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada." (HR Ahmad dan Turmudzi) Dan beliau menjelaskan bahwa tempat takwa adalah hati (HR Muslim). Ketakwaan akan mengingatkan manusia yang beriman, walau ketika digoda iblis (QS al-A’raf 201). Bila ketakwaan sudah menguasai hati, akhlak seseorang akan menjadi sangat mulia.
Ketiga, menanamkan keikhlasan dalam semua perbuatan. Allah menegaskan hal ini dalam surah az-Zumar ayat 1 dan al-Bayyinah ayat 5. Beliau juga menyuruh kita agar mewaspadai riya. Keempat, zuhud dan selalu mengingat akhirat. Rasulullah mengingatkan para sahabat dengan akhirat dan menganjurkan agar merenggangkan diri dari dunia. Beliau bersabda, “Perbanyaklah menyebut penghancur kenikmatan, yakni kematian (HR Turmudzi, Nasa’i, dan Ibnu Ma jah).
Kelima, Rasulullah SAW mendidik para sahabat untuk mencintai ilmu dan mempelajarinya. Keenam, memberikan teladan yang baik dan selalu paling terdepan mempraktikkan akhlak mulia. Ketujuh, menanamkan kebebasan dan sikap yang positif.
Nabi bersabda, “Janganlah kamu menjadi orang plin-plan lalu berkata, 'Bila orang-orang baik, kami ikut baik, dan bila mereka zalim, kami pun ikut.' Akan tetapi, bentengilah dirimu, bila orang-orang baik, kamu harus berbuat baik, dan bila mereka jahat, janganlah ikuti kejahatan mereka.’’ (HR at-Turmudzi).
Kedelapan, memperhatikan kejiwaan orang yang mau diubah dan hal ini dilakukan secara berkesinambungan. Kesembilan, mengikutsertakan orang lain dalam melakukan perubahan dan menyiapkan ahli di bidang tertentu. Rasulullah bersabda, “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.’’ (HR al-Bukhari).
Hadis ini menegaskan kewajiban menyampaikan ajaran Alquran bukan hanya bagi Rasulullah, melainkan setiap Muslim wajib menyampaikannya. Kesepuluh, bervariasi dalam cara mengubah, seperti dengan membuat perumpamaan, bercerita, diskusi, ataupun hal lainnya agar tidak muncul kebosanan dalam diri para sahabat. Semoga kita bisa meneladani Rasulullah SAW.