Orang Pertama Yang akan Merasakan Neraka, Dikisahkan dalam Kitab Sunan Tirmidzi, Abu Hurairah sedang dikerumuni oleh banyak orang di Kota Madinah. Abu Hurairah mengatakan bahwa akan memberitahu sebuah hadis yang pernah diucapkan oleh Rasulullah Nabi Muhammad SAW. Hadis tersebut disampaikan Rasulullah SAW kepada Abu Hurairah saat tidak ada orang lain lagi bersama mereka. Namun saat hendak menyampaikan hadis itu, Abu Hurairah beberapa kali menangis sangat keras hingga akhirnya tersungkur.
Pada akhirnya Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda kepadanya:
Sesungguhnya pada hari kiamat Allah akan turun kepada hamba-hamba-Nya untuk menetapkan keputusan di antara mereka. Setiap umat datang dengan membungkuk. Orang pertama yang dipanggil adalah orang yang menghafal Alquran, orang yang berjihad di jalan Allah, dan orang yang memiliki banyak harta.
Allah lalu bertanya kepada orang yang membaca atau menghafal Alquran: Bukankah Aku telah mengajarkan kepadamu apa yang telah Aku turunkan kepada utusan-Ku? Orang itu menjawab: Benar wahai Allah. Allah kembali bertanya: Lantas apa yang telah kamu lakukan dengan apa yang telah kamu ketahui? Orang itu menjawab: Aku bangun di waktu malam dan siang hari.
Allah berfirman kepadanya: Kamu telah berdusta. Malaikat berkata: Kamu telah berdusta. Allah berfirman: Kamu hanya ingin dikatakan bahwa si fulan adalah seorang pembaca Alquran yang baik. Dan sebutan itu sudah didapatkan. Lalu dihadapkan kepada Allah orang yang diberikan harta. Allah berfirman kepadanya: Bukankah Aku telah melapangkan rezeki bagimu hingga Aku tidak membiarkan dirimu membutuhkan (meminta) kepada orang lain? Orang itu menjawab: Benar, wahai Allah.
Allah bertanya: Apa yang telah kamu lakukan dengan apa yang telah Aku anugerahkan kepadamu? Orang itu menjawab: Aku menyambung silaturahim dan bersedekah.Allah berfirman kepadanya: Kamu telah berdusta. Malaikat berkata kepadanya: Kamu telah berdusta. Allah berfirman: Akan tetapi dirimu hanya ingin dikatakan bahwa si fulan (dirimu) adalah orang yang dermawan. Sebutan itu pun telah didapatkan.
Lalu dihadapkan orang yang terbunuh di jalan Allah. Allah lalu bertanya kepadanya: Karena apa dirimu terbunuh? Orang itu menjawab: Aku diperintahkan untuk berjihad di jalan-Mu. Aku lalu berperang hingga terbunuh. Allah berfirman kepadanya: Kamu telah berdusta. Malaikat berkata kepadanya: Kamu telah berdusta. Allah berkata kepadanya: Akan tetapi kamu hanya ingin dikatakan bahwa si fulan (dirimu) adalah orang yang pemberani. Sebutan itu telah didapatkan.
Rasulullah lalu memukul lututku dan bersabda: Wahai Abu Hurairah, mereka bertiga adalah makhluk Allah pertama yang merasakan api neraka pada hari kiamat nanti. Kisah pengadilan akhirat tersebut terdapat dalam hadis Rasulullah SAW dari Abu Hurairah. Hadis tersebut diriwayatkan Imam at-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan al-Hakim. Kisah yang sama dalam teks hadis yang berbeda juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, An-Nasa-i, Imam Ahmad dan Baihaqy.
Malu kepada Allah Swt, Malu merupakan akhlak mulia yang membawa pemiliknya menjauhi maksiat dan mendorong untuk melakukan ketaatan. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda yang artinya, "Malu itu tidak datang kecuali dengan membawa kebaikan." (HR Bukhari dan Muslim).
Seorang perempuan datang menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam meminta agar beliau berdoa memohon kepada Allah agar aurat perempuan itu tidak terbuka saat pingsan ketika sakit epilepsinya kambuh. Padahal, terbukanya aurat perempuan karena tidak disengaja tidaklah berdosa. Bagaimana dengan kita? Apakah kita tidak malu kepada Allah jika kita memperlihatkan aurat kita kepada orang yang bukan mahram kita?
Allah berfirman yang artinya, "Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian." (QS an-Nisa: 1). "Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada." (QS Ghafir: 19).
Imam Ibnu Katsir dalam kitab Al Bidayah Wan Nihayah menyebutkan, Ibnu Umar Radhiallahu Anhuma memiliki budak yang melakukan pelanggaran. Ibnu Umar hendak menghukumnya. Budaknya berkata, "Wahai Tuanku, apakah Anda memiliki dosa? Apakah Anda takut kepada Allah dari dosa tersebut?" Ibnu Umar: "Iya." Budak itu kembali berkata, "Demi Allah, aku berharap Anda memaafkanku."
Ibnu Umar pun memaafkannya. Budak itu melakukan pelanggaran lagi. Ibnu Umar hendak menghukumnya, budak itu berkata lagi seperti ucapan sebelumnya. Ibnu Umar memaafkannya lagi. Untuk ketiga kalinya, budak tersebut melanggar lagi, maka Ibnu Umar menghukumnya dan budak itu menerimanya tanpa meminta pengampunan.
Ibnu Umar bertanya, "Mengapa Anda tidak berbicara seperti sebelumnya?" Budak itu menjawab, "Saya malu kepadamu karena saya melanggar berulang kali." Ibnu Umar menangis dan berkata, "Saya lebih berhak untuk malu kepada Allah. Pergilah! Anda saya merdekakan karena mengharap ridha Allah."
Syekh Shalih bin Awad Al Maghamisi, Imam Masjid Quba di Madinah, berkata, "Seorang yang berakal selalu berusaha menyempurnakan dirinya. Engkau tidak akan mendapatkan kebaikan lahiriah sebelum memperbaiki hatimu. Seorang yang takut kepada Allah, dia malu kepada Allah saat sendirian."
Barang siapa yang menghindari maksiat, padahal tidak ada manusia yang tahu, maka Allah akan memuliakannya di dunia dan akhirat. Malu kepada Allah tidak terbatas dalam hal menutup aurat dari pandangan orang lain. Orang yang beriman malu kepada Allah jika ia makan, padahal tetangganya lapar.
Seorang pemimpin yang malu kepada Allah tidak akan berbuat zalim kepada orang yang lemah atau bawahannya. Seorang suami yang malu kepada Allah tak akan menghinakan atau menyakiti hati istrinya. Kalau dia akan menasihati istrinya, menasihatinya tidak di hadapan anak-anaknya. Seorang guru yang malu kepada Allah tidak akan mempermalukan muridnya di hadapan teman-temannya.
Allah akan memberi kebaikan dan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya yang berbuat baik kepada sesama makhluk. Ketika seorang hamba berbuat baik kepada saudaranya, jangan sekali-kali berharap saudaranya membalas kebaikannya. Hendaknya ia hanya berharap balasan dari Allah. Kebaikan-kebaikannya untuk bekal saat ia sangat membutuhkan pertolongan Allah di alam kubur dan akhirat nanti."
Seseorang ulama berkata, "Jika Anda menyendiri dalam kegelapan, jiwamu mengajak kepada kemaksiatan, malulah Anda dari penglihatan Allah, katakan kepada jiwa, 'Sesungguhnya Allah yang menciptakan kegelapan, Dia melihatku!'"
Ya Allah, sesungguhnya kami selalu dalam pengawasan-Mu. Karuniakanlah untuk kami sifat malu yang dapat menghindarkan diri kami dari bermaksiat kepada-Mu.
Secara historis, kata ‘Firaun’ merupakan gelar bagi penguasa Mesir di era Nabi Musa. Namun, secara hakikat, Firaun ini bisa juga menjelma menjadi suatu sifat yang jika tidak diwaspadai bisa merasuk kedalam diri siapapun, terutama para pemegang kebijakan alias penguasa, tidak terkecuali penguasa dalam skala kecil, yakni kepala rumah tangga atau bahkan siapa pun yang membiarkan kesombongan bersarang dalam hati.
Oleh karena itu, memahami Al-Qur’an dengan senantiasa mentadabburinya merupakan satu hal pokok yang setiap Muslim mesti memprioritaskannya.
Demikianlah dijadikan Firaun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (QS. Mukmin [40]: 37).
Di antara keburukan perilaku Firaun adalah kegemarannya menyiksa orang lemah.
Firaun bahkan melakukan tindakan tidak manusiawi secara membabi buta. “Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka; dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka.” (QS. Al-A’raaf [7]: 127).
Andaikata Firaun ini hidup di abad modern, maka bukan saja dia telah melanggar Hak Azasi Manusia, tetapi dia juga telah menjadi manusia biadab. Bagaimana mungkin bayi pun mesti dihukum mati hanya karena bayi itu keturunan Bani Israil.
Ayat ini menggambarkan kepada umat Islam bahwa Firaun itu orangnya ringan berbuat jahat. Dan, parahnya ia menganggap kejahatannya itu sebagai kebaikan dan keindahan yang tentu saja diyakininya benar.
Firaun merupakan gelar bagi penguasa Mesir di era Nabi Musa. Namun, secara hakikat, Firaun ini bisa juga menjelma menjadi suatu sifat yang jika tidak diwaspadai bisa merasuk kedalam diri siapapun, terutama para pemegang kebijakan alias penguasa, tidak terkecuali penguasa dalam skala kecil, yakni kepala rumah tangga atau bahkan siapa pun yang membiarkan kesombongan bersarang dalam hati.
Oleh karena itu, memahami Al-Qur’an dengan senantiasa mentadabburinya merupakan satu hal pokok yang setiap Muslim mesti memprioritaskannya.
“Demikianlah dijadikan Firaun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (QS. Mukmin [40]: 37).
Di antara keburukan perilaku Firaun adalah kegemarannya menyiksa orang lemah.
Firaun bahkan melakukan tindakan tidak manusiawi secara membabi buta. “Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka; dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka.” (QS. Al-A’raaf [7]: 127).
Andaikata Firaun ini hidup di abad modern, maka bukan saja dia telah melanggar Hak Azasi Manusia, tetapi dia juga telah menjadi manusia biadab. Bagaimana mungkin bayi pun mesti dihukum mati hanya karena bayi itu keturunan Bani Israil.
Ayat ini menggambarkan kepada umat Islam bahwa Firaun itu orangnya ringan berbuat jahat. Dan, parahnya ia menganggap kejahatannya itu sebagai kebaikan dan keindahan yang tentu saja diyakininya benar.
Dalam konteks lebih spesifik, kisah ini seakan memberikan peringatan secara tidak langsung, jangan sampai seorang Muslim memiliki sifat seperti ini, yakni memandang baik keburukan atau kesalahan yang dilakukan.
“Ah, gapapa ambil saja, toh cuman 100 juta. Dari miliaran rupiah itu, 100 juta gak ada apa-apanya,” demikian mungkin mereka yang pada awalnya terseret pada praktik korupsi, hingga pada akhirnya dianggaplah korupsi itu tidak apa-apa asal tidak banyak.
Dalam konteks kaum remaja, keburukan yang dipandang baik di antaranya adalah menjustifikasi dirinya tetap baik, meski tidak bisa lepas dari praktik pacaran yang secara hukum jelas haramnya.
“Ah…gakpapa pacaran, toh aku kan cuman jalan berdua saja, gak pernah pegang-pegang atau macam-macam. Lagian aku tau kok batasannya.” Argumen tersebut membuat seorang remaja terus saja berpacaran.
Na’udzubillahi min dzalik, kita mesti berusaha mawas diri dari sifat diri yang seperti itu. Memandang baik, aman dan pantas apa yang dalam pandangan Allah itu tidak main-main dosanya.
Kemudian, sifat Firaun berikutnya adalah gemar membuat tipu daya. Kejahatan atau keburukan yang dipandang indah di atas sebenarnya terjadi karena kebiasaannya suka membuat tipu daya.
“Sesungguhnya Firaun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Firaun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash [28]: 4).
Dalam keseharian, kita mesti mawas diri, jangan sampai menjadi sosok manusia yang memandang remeh orang lain, sehingga terseret pada kesombongan dan kesewenang-wenangan.
Dalam keseharian, kita mesti mawas diri, jangan sampai menjadi sosok manusia yang memandang remeh orang lain, sehingga terseret pada kesombongan dan kesewenang-wenangan.
Kemudian, pastikan bahwa keberadaan kita dalam keluarga, kantor (tempat bekerja), dan masyarakat bahkan pemerintahan adalah sebagai pemersatu, bukan pemecah belah, pengadu domba dan pengompor suasana (provokator kerusakan), sehingga menimbulkan gejolak sosial dan perpecahan yang bisa menelan korban.
Dari sini dapat kita pahami dengan mudah, hikmah diperintahkannya umat Islam untuk saling berkasih sayang, mencintai sesama laksana mencintai diri sendiri dan tidak membiarkan siappaun hidup dalam kelaparan.
Lantas, bagaimana jika kebanyakan orang berbuat jahat dan suka membuat tipu daya yang menyebabkan kerugian hidup kita?
Biarkan saja. Toh Allah pasti akan mengawasi dan membalas tipu daya mereka. Seperti yang Allah tegaskan;
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (QS. Al-Anfal [8]: 30).
La haula wala quwwata illa billah, maka jangan sekali-kali terbesit dalam hati untuk melakukan intrik (tipu daya). Karena pada akhirnya, semua intrik hanya membuat diri seseorang sibuk untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya hanya mengantarkan dirinya pada kerugian dan kehinaan.
“Mereka hendak melakukan tipu muslihat kepadanya, maka Kami jadikan mereka orang-orang yang hina.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 98).
Oleh karena itu, mari benahi diri, buang sifat iri-dengki. Kalau memang ada orang lebih baik dalam suatu bidang dan kita merasa kalah, jangan membenci orang tersebut. Belajar kepadanya jauh akan membuat kita terhormat. Karena kelebihan orang itu didapat dengan usahanya yang konsisten dan sabar. Jadi, lebih baik cek diri sendiri apakah sudah konsisten dan sabar?
Jika diamanahi sebagai penguasa, maka jangan main marketing tanpa bukti. Lebih baik bersikap sebagaimana mestinya dalam memimpin, seperti mensejahterakan rakyat, mencerdaksan mereka dan memudahkan akses kesehatan mereka.
Insha Allah tanpa harus sikut sana sikut sini, tuduh sana tuduh sini, rakyat akan memilih kembali dengan suka hati. Dengan demikian untuk apa menjadi manusia yang hidup di zaman modern, tapi perilaku kayak Firaun di zaman baheula, yang pada akhirnya lihai membuat intrik tapi tidak mampu membuat karya bermanfaat bagi rakyat.
Jangan Seperti Firaun, Jangan menjadi seperti Firaun yang gagal memanfaatkan harta demi meraih ridha Allah Swt. Umumnya manusia di mana pun dan kapan pun selalu melihat harta dunia sebagai sumber kebahagiaan. Hal itu mungkin wajar mengingat manusia tidak bisa menafikan materi dalam kehidupannya. Namun, tidak sedikit manusia yang terseret dalam aspek materi sehingga dengan sengaja melawan aturan Allah SWT.
Manusia seperti itu akan semakin jauh meninggalkan eksistensi dirinya. Ia akan terus terobsesi mengumpulkan harta yang banyak setiap harinya. Akibatnya, agama, norma, dan aturan dinilainya menjadi tak berguna.
Sejauh keinginannya bisa dicapai, apa pun cara harus dilakukan. Inilah manusia yang telah mati hatinya, yang tak akan pernah sadar akan kekeliruannya hingga ajal pun tiba.
Kondisi ini bisa menimpa siapa saja, baik penguasa, pegawai, pengusaha, cendekiawan, bahkan termasuk juga ulama. Itulah mengapa dalam sebuah hadis Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk berhati-hati pada ulama, khususnya ulama suu’. Siapa itu? Ulama suu' ialah yang tidak mengamalkan ilmunya sesuai syariah Allah SWT.
Akan tetapi, sejarah mencatat, ambisi materi pada diri pemimpin jauh lebih berdampak serius dan masif dibanding yang lain. Alquran memberi bukti akan hal tersebut. Lihatlah kisah Firaun, seorang raja diktator yang dengan kekuasaannya menghalang-halangi manusia dari jalan Allah dan secara terbuka menyatakan perang terhadap Utusan-Nya, Nabi Musa AS.
Harta benda dan kekuasaan yang dimiliki Firaun semakin membuatnya gelap mata, hingga harta benda yang mestinya berguna untuk kehidupan justru menjadi pelicin menuju kebinasaan. Semua itu karena Firaun lupa bahwa apa yang dimiliknya itu tak lebih dari titipan Allah SWT kepadanya.
Nabi Musa yang mendapat mandat dari Allah agar memberikan peringatan kepada Firaun pun tak lagi mampu berbuat banyak. “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Firaun dan pemuka- pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan Kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.” (QS Yunus: 88).
Saudaraku, tahanlah dirimu dari berbuat curang, jahat, ataupun kriminal. Jangan sampai kita termasuk orang yang dibutakan mata hati kita oleh gemerlap harta benda. Kemudian, sengsara untuk selama-lamanya di akhirat.
Kita jangan sampai menjadi ma nu sia berwatak Firaun, yang pikiran dan seluruh perilakunya justru mengundang kemurkaan Allah SWT. Ingat saudaraku, Firaun bukannya bahagia. Ia bahkan sengsara dan mati dalam keadaan yang sangat nista.
Kembalilah kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya. Pelajarilah Alquran dengan baik dan amalkan, jika kita benar-benar mendambakan kebahagiaan hakiki. Jangan seperti Firaun yang gagal menjadikan harta dan takhtanya untuk mengabdi kepada Allah SWT.
Takutlah Jika Hati Tak Gelisah Saat Bermaksiat, Dosa sejatinya akan menggelisahkan jiwa manusia. Dosa tidak akan menenangkan jiwa karena nurani manusia selalu condong kepada kebaikan. Maka manusia yang mengerjakan maksiat dan berbuat dosa pasti merasakan keresahan dalam hatinya. Tengoklah hadis Rasulullah berikut.
“Tinggalkanlah yang meragukanmu dan beralihlah pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.” (H. R. Tirmidzi dan Ahmad)
Kejujuran, sekali pun menyakitkan, pada akhirnya akan menenangkan jiwa kita. Pun sebaliknya. Ketika mendusta mungkin mudah dilakukan, pada akhirnya akan mengotori jiwa dan menghilangkan keberkahan. Ketika kita menipu, berbuat curang, menzalimi orang lain, meninggalkan salat dengan sengaja, atau menyakiti hati orangtua, jantung pasti berdetak lebih cepat dan muncul rasa panas di dada. Terasa sungguh tidak nyaman.
Rasa tidak nyaman itu adalah bagian dari rasa takut kita kepada Allah. Dan setelahnya akan muncul penyesalan besar yang menghimpit dada. Rasa yang bisa jadi tidak akan pernah hilang sepanjang usia kita. Maka bersyukurlah jika kita masih merasakan kegelisahan saat kita ingin berbuat dosa. Hingga kita mengurungkan niat jelek itu lalu mengucap istighfar.
Bersyukur pulalah kita jika terlanjur berbuat kemunkaran namun di akhirnya kita menangis. Menumpahkan air mata dengan tersedu-sedu. Memohon pada Allah untuk berkenan mengampuni kebodohan yang kita lakukan. Bertobat atas kekhilafan yang terlanjur terjadi.
Kita tentu pernah berada dalam kebimbangan menyikapi sesuatu hal. Bolehkah kita melakukannya? Bukankah tak ada larangan mengerjakannya? Tak ada seorang pun yang menyadari perbuatan kita, kan? Begitu tanya hati kita berulang-ulang.
Kita tahu ada hal-hal yang dilarang dalam agama, tapi kita mencari celah agar kita tak merasa berdosa saat mengerjakannya. Atau, kita merasa ragu tentang hukum sesuatu, tapi kita memaksakan diri untuk mengatakan bahwa sesuatu itu mungkin diperbolehkan dalam Islam. Bahkan dalam banyak kesempatan kita merasa tidak yakin terhadap sesuatu tapi tidak berusaha mencari tahu kebenarannya, hingga akhirnya kita memilih melakukan hal syubhat (sesuatu yang meragukan) tersebut.
Dalam hadits di atas, Rasulullah menyuruh umatnya untuk meninggalkan apa yang meragukan hati dan berpegang pada ketetapan syariah. Tujuannya agar hati tidak tergelincir untuk melakukan kebohongan, kecurangan, juga kejahatan. Agar hati tidak tergoda untuk mencoba-coba. Agar hati tidak dikalahkan oleh rasa ‘solidaritas’ untuk melakukan sebuah perbuatan tercela bersama-sama.
Maka takutlah kita jika tidak gelisah saat bermaksiat. Celakalah kita. Celakalah kita. Celakalah kita. Sungguh celaka. Karena itu pertanda hati mulai mengeras. Hati mulai tertutup debu. Nurani mulai jauh dari hidayah Allah. Jika kita sempat menyadarinya, kita tak boleh membuang waktu untuk bertobat. Kita mesti segera memohon dengan penuh iba kepada Allah, agar hati kembali disesaki kegelisahan bila keinginan berbuat dosa terlintas di benak kita. Karena kita harus gelisah untuk bisa terbebas dari neraka.
Semua tergantung kepada Allah SWT, apakah menerima dan mengampuni dosa hamba-Nya atau tidak. Sebab meski Allah SWT telah menetapkan bahwa orang yang meminta ampun akan diampuni, namun belum tentu semua orang yang merasa sudah minta ampun itu akan diterima.
Bukan karena Allah mengingkari apa yang difirmankan-Nya, melainkan karena tata aturan dalam meminta ampun itu belum memenui standar kualifikasi yang telah ditentukan-Nya. Sebab meminta ampun dan taubat itu bukanlah perkara yang ringan. Tetapi punya sekian banyak syarat dan ketentuan. Apabila ketentuan ini terpenuhi, maka Allah SWT adalah Maha Memenuhi janji-Nya.
Maka jangan dulu merasa aman dari dosa dan ancaman siksa, meski sudah merasa bertaubat. Sebab boleh jadi taubatnya itu belum memenuhi syarat. Tetapi sebaliknya, juga jangan dulu terlanjur putus asa dari kasih sayang Allah SWT. Sebab Dia memang Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Menerima taubat hamba-Nya.
Sehingga posisi yang benar buat seorang muslim adalah antara khauf dan raja'. Antara takut dan harap. Takut dari azab Allah SWT atas dosa yang pernah dilakukan. Dan berharap kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang berserah diri.
Di antara taubat yang tidak diterima antara lain adalah:
1. Taubat yang tidak diiringi rasa sesal di dalam hati
Orang yang bertaubat, namun di dalam hatinya tidak merasakan rasa sesal atas semua kesalahannya yang telah diperbuatnya, maka Allah SWT pun juga tidak menyesal untuk menolak taubat hamba yang seperti ini.
Orang yang tobat harus menghilangkan semua kenangan masa lalunya. Jangan diceritakan kepada siapapun juga. Allah yang telah menutupi aib itu semoga juga menutupi dosa-dosa sebelumnya. Dan mulai kehidupan baru yang lebih baik dan lebih Islami.
2. Taubat yang tidak mencegah dari pengulangan dosa
Orang yang bertaubat tapi secara sadar dan terus menerus mengulangi dosa dan kesalahannya tanpa ada tekad untuk menghentikannya, tentu tidak akan diterima taubatnya. Sebab pada hakikatnya, dia tidak bertaubat.
Agar orang yang sudah tobat itu jangan sampai mengulangilagi, salah satunyadengan cara pindah dari suasana dan lingkungan yang selama ini memberikan peluang melakukan itu. Orang yang taubat harus hidup di tengah orang-orang shaleh dan selalu menjaga hukum Allah. Bukan lingkungan yang mendiamkan apabila ada kemungkaran dan kebatilan. Sehingga apapun yang dia lakukan, selalu ada orang-orang yang dengan ikhlas mengingatkan.
3. Tidak Mendapat Maaf dari Orang Lain
Khusus untuk dosa yang terkait dengan hak milik orang lain seperti dosa memukul, membuh, menyakiti, mencuri, menipu dan merugikan orang lain, maka perlu permintaan maaf kepada mereka yang telah dizalimi itu.
Hal ini mengingat bahwa hak orang lain yang telah diambil secara zalim itu masih tetap akan dituntut oleh pemiliknya kelak di akhirat. Bahkan seorang yang mati syahid sekalipun, tetap akan dimintai pertanggung jawaban urusan hutangnya yang belum selesai. Padahal orang yang mati syahid itu masuk surga tanpa dihisab lagi amal-amalnya.
Taubat yang Benar Akan Menghapus Dosa Sebelumnya
Bila seseorang bertaubat atas dosa yang pernah dilakukannya dengan taubat yang sesungguhnya serta diiringi dengan minta ampun kepada Allah, penyesalan dan meninggalkan semua dosa-dosa itu, lalu mulai kehidupan yang baru yang jauh dari dosa dan suci dari noda, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dan memasukkan hambanya yang bertaubat itu ke dalam kelompok orang-orang yang shalih.
Di masa lalu seorang bertanya kepada Ibnu Abbas ra., ”Aku melakukan zina dengan seorang wanita, lalu aku diberikan rizki Allah dengan bertaubat. Setelah itu aku ingin menikahinya, namun orang-orang berkata (sambil menyitir ayat Allah), ”Seorang pezina tidak menikah kecuali dengan pezina juga atau dengan musyrik.” Lalu Ibnu Abbas berkata, ”Ayat itu bukan untuk kasus itu. Nikahilah dia, bila ada dosa maka aku yang menanggungnya.” (HR Ibnu Hibban dan Abu Hatim)
Ibnu Umar ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita, bolehkan setelah itu menikahinya? Ibnu Umar menjawab, ”Ya, bila keduanya bertaubat dan memperbaiki diri.”
Agar Punya Benteng, Seseorang harus belajar Islam secara serius dan mendalam, baik yang berkaitan dengan aqidah, syariah maupun akhlaq. Sehingga diapaham dan mengerti betul apa itu iman dan Islam sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Dia harus memiliki lingkungan pergaulan yang Islami dan baik, di mana di dalamnya selalu ditegakkan amar makruf dan nahi mungkar dan selalu ada taushiyah antara sesama teman.
Dia harus selalu berdakwah dan mengajarkan ajaran Islam itu baik dalam diri Anda, keluarganya dan juga teman-temannya yang lainnya. Sehingga dia tidak hanya menjadi objek dakwah, namun sekaligus juga menjadi pelaku dakwah itu sendiri.
Dia harus selalu memperbaharui keimanannya, karena iman itu kadang berkurang dan kadang bertambah. Caranya adalah dengan beragam kegiatan seperti menambah kajian tentang keimanan, merenungi penciptaan alam semesta, mengambil pelajaran dari orang-orang yang shalih dan seterusnya.
Sandarkanlah Segala Harapanmu Hanya Kepada Allah SWT, Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup. Dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia. (Ali Bin Abi Thalib). Dalam menjalani kehidupan, sering kali kita dihadapkan dengan bermacam-macam masalah. Kesusahan kadang datang secara tiba-tiba, kesulitan datang tidak terbantahkan, dan yang banyak terjadi adalah kekecewaan timbul karena gagalnya harapan.
Sahabat BMI Kliker, Memang tidak ada manusia yang ingin hidupnya lebih buruk dari sebelumnya. Setiap manusia ingin hidupnya hari ini lebih baik dari hari kemaren. Hidupnya hari esok lebih baik dari hari ini dan seterusnya. Hal-hal itu biasanya kita sebut dengan harapan. Setidaknya, fenomena memanjatkan harapan-harapan itu banyak terjadi di penghujung akhir tahun dan pembuka awal tahun layaknya yang terjadi di pembuka tahun 2022 ini.
Membuat list-list harapan itu memanglah tidak dilarang dalam agama. Bahkan Allah SWT dalam firman-Nya melarang kita untuk berputus asa dari rahmat-Nya. Allah berfirman di dalam surat Az-Zumar ayat 53 yang berbunyi :
“Katakanlah, Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. (QS. Az-Zumar : 53)
Dari ayat di atas, secara tersurat Allah melarang kita sebagai hamba-Nya untuk berputus asa dari Rahmat-Nya. Secara tersirat Allah memerintahkan kita untuk selalu berharap kepada-Nya dan mendapatkan rahmat-Nya. Hal ini juga yang menjadi puncak dari tingkat aqidah seseorang yaitu jika dalam menjalankan kehidupannya tertanam harapan (Ar-Roja’), cinta (Al-Hubb) dan takut (Al-Khauf) kepada Allah di dalam dirinya.
Yang menjadi masalah adalah banyak juga dari manusia yang ingin menyandarkan harapan-harapan yang sudah di list itu bukan kepada Rabb-nya, Akan tetapi berharap makhluk-Nya bisa memenuhi harapan-harapan itu. Secara jelas Allah mengingatkan kita agar menyandarkan harapan hanya kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman :
وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ
“ Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (QS. Al-Insyirah : 8).
Sebagai manusia, maka sudah sepantasnya kita hanya berharap kepada Allah Ta’ala. Karena manusia hanyalah makhluk-Nya yang memiliki berbagai kekurangan yang belum tentu bisa membantu serta menyelesaikan masalah kita. Dan perlu kita ketahui bersama bahwa mereka hanya sebatas manusia. Manusia yang juga sama-sama terlalu rapuh untuk menjadi tempat bergantung.
“Ketika hatimu terlalu berharap pada seseorang, maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya pengharapan supaya mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui orang yang berharap kepada selain-Nya, Allah menghalangi dari perkara tersebut semata agar ia kembali berharap kepada Allah SWT.” (Imam Syafi’i).
Memang tidak mudah untuk bisa berharap sepenuhnya pada Allah. Tapi kita harus percaya dan yakin bahwa memang Allah lah satu-satunya dzat tempat untuk bersandar dan menggantungkan semua harapan. Karena Dialah yang paling mengetahui atas segala kebutuhan makhluk-Nya.
Tahun Baru, Harapan Baru, Semangat Baru.
Mari kita buat list-list harapan baru di Tahun Baru Masehi ini disertai dengan aksi yang maksimal dan berharap (hanya kepada) Allah bisa mengabulkannya. Singsingkan lengan baju, usap keringat ,gelar sajadah dan tadahkan tangan ke atas.
Wallahu a’lam bish-showaab
حسبنا الله ونعم الوكيل نعم المولى ونعم النصير
Hasbunallah wa ni’ma-l-wakil ni’ma-l-maulaa wa ni’ma-n-nashiir
(Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung)
Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan. Supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain DIA. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepadaNYA. (Imam Syafi'i)
Setiap kita pasti pernah mengalami kekecewaan yang mungkin tidak akan pernah bisa dilupakan namun kekecewaan membuat kita sadar bahwa ada hal yang harus ditinggalkan dan ada pula yang harus diawali. Ya, mengawali harapan hanya kepada sang Maha Pencipta.
Betapa tak adilnya kita selama ini. Kita hanya memikirkan ciptaan-Nya, mungkin seseorang yang belum tentu memikirkan kita, kita hanya memikirkan dunia dan seisinya saja.
Kekayaan dan jabatanlah yang menjadi prioritas kita. Bahkan disela-sela solat sekalipun kita tak benar-benar khusyuk untuk bermunajat kepada-Nya. Padahal Allah yang memberi rezeki, Allah yang Maha kuasa atas segala sesuatu dimuka bumi ini.
Ali Bin Abi Thalib berkata, "Aku sudah merasakan semua kepahitan hidup, dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia".
Hal tersebut mengingatkan bahwa, manusia yang selalu kita jadikan tumpuan untuk bersandar tidak akan pernah bisa menolong kita tanpa seijin Allah. Karena pada kenyataannya semua manusia itu sama, manusia itu bersifat lemah dan tidak memiliki kekuatan, kecuali atas pertolongan Allah.
Pada dasarnya, kita itu terlahir sendiri dan matipun sendiri. Karena itu kita harus belajar untuk tidak bergantung kepada makhluk, termasuk kepada pasangan, harta dan tahta.
Kembali lagi kepada konsep penciptaa manusia, bahwa kita diciptakan ke muka bumi ini untuk beribadah agar mendapat ridho Allah SWT. Seperti dalam Q.S. Al-Fajr ayat 27-28.
Allah SWT berfirman:
يٰٓأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
Pada dasarnya, kita itu terlahir sendiri dan matipun sendiri. Karena itu kita harus belajar untuk tidak bergantung kepada makhluk, termasuk kepada pasangan, harta dan tahta.
Kembali lagi kepada konsep penciptaa manusia, bahwa kita diciptakan ke muka bumi ini untuk beribadah agar mendapat ridho Allah SWT. Seperti dalam Q.S. Al-Fajr ayat 27-28.
Allah SWT berfirman:
يٰٓأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
"Wahai jiwa yang tenang!"
ارْجِعِىٓ إِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
"Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya."
Lalu apa yang harus kita lakukan ?
Gapailah ridho Allah, berharaplah hanya kepada Allah, karena hanya Allah yang dapat menjamin kita senantiasa bahagia. Percayakanlah hanya pada-Nya, karena pada hakikatnya manusia hanya bisa berencana, selebihnya Allah yang menentukan. Namun berharap sepenuhnya kepada Allah bukan berarti meniadakan usaha dan do'a, tetapi di dalam usaha tersebut kita tidak boleh bergantung dan berharap kepada makhluk.
Raja berasal dari bahasa Arab, yaitu "Rojaun" yang berarti harapan atau berharap. Raja yang dikehendaki oleh Islam ialah mempunyai harapan kapada Allah SWT untuk mendapatkan ampunannya, memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan didunia dan diakhirat serta yang terpenting adalah mengharap rahmat serta keridhoaan Allah SWT. Raja merupakan perbuatan terpuji, Raja dapat meningkatkan keimanan dan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu, seseorang yang berharap memperoleh rahmat dan ridho allah SWT serta kebahagiaan didunia dan diakhirat, tentu akan berusaha melakukan perbuatan yang dapat mewujudkan harapannya tersebut.
Namun jika seseorang hanya berharap saja tanpa mau berusaha, hal itu disebut berangan-angan pada sesuatu yang mustahil atau yang disebut dengan Tammami, yang dampaknya akan menyebabkan seseorang berputus asa. Putus harapan terhadap rahmat dan ridho Allah SWT hal ini merupakan kebalikan dari sifat Raja.mKarena itu, sifat putus asa ini dilarang oleh Allah SWT. "... Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari Rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir" (QS. Yusuf:87).
Orang yang berputus asa dari rahmat Allah SWT, berarti ia telah berprasangka buruk pada Allah SWT. Kita sebagai manusia tidak lepas dari salah dan dosa, untuk itu kita wajib senantiasa berharap rahmat dan ampunan Allah SWT. Sebanyak dan sebesar apapun kesalahan dan dosa yang kita lakukan, kita tetap diperintahkan untuk mengharap ampunan dari Allah SWT.
Allah berfirman "katakanlah, wahai hamba-hambaku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, dialah yang maha pengampun, maha penyayang" (QS. Az-Zumar:53). Kita harus penuh harap bahwa doa kita pasti akan dikabul oleh Allah SWT.
Taubat ialah suatu keniscayaan bagi manusia, sebab tidak ada satupun anak keturunan Adam As didunia ini yang tidak luput dari berbuat dosa. Oleh karena itu, seharusnyalah kita selalu raja (berharap) hanya kepada Allah SWT untuk mendapatkan rahmat dan ridhonya. Karena Raja (berharap) menjadikan seseorang bersikap optimis, dinamis, dan berpikir kritis.
Dalam hidup yang fana ini, kita memiliki keluarga, kerabat, teman, sahabat, dan tetangga. Ada plus dan minus saat kita berinteraksi sosial. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, kita tidak terlepas dari berhubungan dengan manusia (silaturahim).
Interaksi sosial kita akan terbagi dalam beberapa tingkatan, kalangan atas, menengah, dan bawah. Begitu juga dengan lingkungan sosial kita, ada yang baik, buruk, atau campur aduk antara baik dan buruk. Tinggal akal kita mencerna dan memisahkan interaksi sosial itu.
Mungkin, dalam hubungan bisnis kita pernah ditipu atau dikhianati. Jawabannya tidak lain, mereka yang menipu dan mengkhianati itu adalah orang dekat sendiri. Bisa kerabat, teman, tetangga, atau orang yang mengerti tentang pekerjaan kita.
Apabila kita pernah ditipu atau dikhianati, maka bersabarlah. Lebih mulia keburukan (kejelekan) mereka dibalas dengan hal-hal yang baik dan menyenangkan. Sehingga kehidupan kita menjadi lebih berkah dan tentram. Walaupun untuk membalas kebaikan seseorang yang pernah berbuat jahat (menipu, menzalimi, mengkhianati, dll) teramat berat.
Setidaknya dengan mendoakan mereka agar mendapat hidayah itu jauh lebih baik dan mulia di sisi Allah. Imam Muslim rahimahullah berkata di dalam kitab shahihnya pada hadis nomor 2581. Telah berkata kepada kami Qutaibah bin Sa’id dan Ali bin Hujr, mereka berdua berkata;
Telah berkata kepada kami Isma’il (yaitu Ibnu Ja’far), dari Al ‘Ala`, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Muhammad SAW bersabda:
أتدرون ما المفلس؟ قالوا: المفلس فينا من لا درهم له ولا متاع. فقال: إن المفلس من أمتي يأتي يوم القيامة بصلاة وصيام وزكاة، ويأتي قد شتم هذا وقذف هذا وأكل مال هذا وسفك دم هذا وضرب هذا، فيعطى هذا من حسناته وهذا من حسناته. فإن فنيت حسناته قبل أن يقضى ما عليه، أخذ من خطاياهم فطرحت عليه ثم طرح في النار
“Tahukah kalian siapa orang yang pailit (bangkrut)? Para sahabat menjawab: “Orang yang bangkrut menurut kami (sahabat, red) adalah orang yang tidak memiliki uang dan harta.” Lalu nabi berkata: “Sesungguhnya orang yang bangkrut di umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala) salat, puasa, dan zakat; akan tetapi dia datang dengan membawa dosa telah mencaci si ini, menuduh si ini, memakan harta si ini, menumpahkan darah si ini, dan memukul si itu; maka si ini (orang yang terzhalimi) akan diberikan (pahala) kebaikannya si ini (pelaku kezhaliman), dan si ini (orang yang terzhalimi lainnya) akan diberikan kebaikannya si ini (pelaku kezhaliman). Jika kebaikannya telah habis sebelum dituntaskan dosanya, maka (dosa) kesalahan mereka diambil lalu dilemparkan kepadanya kemudian dia dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Muslim Nomor 2581).
Imam An Nawawi rahimahullah di dalam kitab syarah shahih Muslim menjelaskan: “Maknanya bahwa hal ini adalah makna orang bangkrut yang sebenarnya. Adapun orang yang tidak memiliki harta ataupun sedikit hartanya lalu manusia menamakannya sebagai orang yang bangkrut, maka ini bukanlah orang bangkrut yang sebenarnya, karena perkara ini (kebangkrutan) akan hilang dan terputus dengan kematiannya. Ataupun bisa jadi ia terputus dengan kemudahan yang dia peroleh setelah itu ketika dia masih hidup.
Sesungguhnya orang bangkrut yang sebenarnya adalah apa yang tersebut di dalam hadis ini, yaitu orang yang celaka dengan keadaan yang parah dan bangkrut secara pasti karena pahala kebaikannya diambil untuk para korban kezalimannya.
Apabila kebaikannya telah habis, maka kesalahan mereka akan diambil lalu diletakkan kepadanya, kemudian dia dilemparkan ke dalam neraka. Maka lengkaplah kerugiannya, kehancurannya, dan kebangkrutannya. Ancaman yang diberikan terhadap orang-orang yang berbuat kezhaliman terhadap manusia meskipun dia banyak melakukan amalan salih.
Baik kezhaliman itu dilakukan dengan cara mencaci orang lain atau menuduh orang lain dengan tuduhan yang keji, seperti tuduhan berzina ataupun yang lainnya, atau memakan harta orang lain (menipu, membohongi, berkhianat, berjanji tapi dusta), membunuh, dan memukul orang lain dengan sebab atau cara yang tidak diizinkan oleh syariat, ataupun dengan berbagai bentuk kezhaliman yang lainnya.
Orang yang demikian ini akan dihukum oleh Allah untuk membayar kezhaliman yang telah dilakukannya terhadap orang lain dengan cara dipindahkan pahala kebaikannya kepada orang yang terzhalimi sesuai kadar kezhalimannya.
Jika pahalanya tidak cukup untuk membayar dan menutupi kezhalimannya, maka dosa orang yang terzhalimi akan dipindahkan kepada orang yang menzhalimi sehingga dosanya semakin lebih banyak dan berat daripada pahalanya yang berakibat dia akan dimasukkan ke dalam neraka.
Dengan keadaan nihil pahala seperti ini, maka dia digolongkan sebagai orang bangkrut (palit) yang sebenarnya karena semua kebaikan dan pahala yang dia cari menjadi hilang. Inilah makna sabda Rasulullah Muhammad SAW di dalam hadis di atas.
Adapun kebangkrutan harta benda, maka bukanlah kebangkrutan yang sebenarnya karena bisa jadi dia berhasil memperoleh kekayaan lagi di masa yang akan datang ataupun terputus dengan kematian. Untuk itu, setiap doa-doa yang kita panjatkan kita harus memohon kepada Allah agar Dia menghindarkan diri kita dari menzhalimi orang lain ataupun dizhalimi oleh orang lain.
Lalu bagaimanakah jika kita pernah menzhamili (menipu, menyakiti, mengkhianati, mengambil haknya, tidak membayar pekerjaan yang sudah dikerjakannya, berjanji lalu mengingkari, dll) terhadap orang lain? Jika dia masih hidup segeralah meminta maaf dan tobat untuk tidak mengulanginya lagi.
Jika kita pernah menipu mereka dalam urusan pekerjaan, misalnya kita pernah memesan (order) pekerjaan dan belum sama sekali dibayarkan modal atau sisa pekerjaannya, maka datangilah mereka dan tunaikanlah hak-haknya seraya meminta maaf yang tulus.
Jika mereka sudah wafat, maka datangilah keluarga dan ahli warisnya. Bayarkanlah seluruh hak-haknya yang belum pernah kita tunaikan. Lalu ziarahilah makamnya dan doakan mereka yang sudah wafat itu diberikan ampun dan nikmat kubur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
“Ada empat tanda, jika seseorang memiliki empat tanda ini, maka ia disebut munafik tulen. Jika ia memiliki salah satu tandanya, maka dalam dirinya ada tanda kemunafikan sampai ia meninggalkan perilaku tersebut, yaitu
jika diberi amanat, khianat,
jika berbicara, dusta,
jika membuat perjanjian, tidak dipenuhi,
jika berselisih maka dia akan berbuat zalim” (HR. Muslim).
Ibnu Rajab menyebutkan bahwa mengingkari janji itu ada dua macam, yakni;
a. Berjanji dan sejak awal sudah berniat untuk tidak menepatinya. Ini merupakan pengingkaran janji yang paling jahat
b. Berjanji, pada awalnya berniat untuk menepati janji tersebut, lalu di tengah jalan berbalik, lalu mengingkarinya tanpa adanya alasan yang benar
Ada perkataan dari ‘Ali:
العِدَةُ دَينٌ ، ويلٌ لمن وعد ثم أخلف
“Janji adalah utang. Celakalah orang yang berjanji namun tidak menepati” (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam II halaman 483)
Contoh sederhananya, kalau janji kepada anak kecil tetap harus ditepati. Az Zuhri mengatakan dari Abu Hurairah, dia berkata;
من قال لِصبيٍّ : تَعَالَ هاك تمراً ، ثم لا يُعطيه شيئاً فهي كذبة
“Siapa yang mengatakan pada seorang bocah: “Mari sini, ini kurma untukmu”. Kemudian dia tidak memberinya, maka dia telah berdusta” (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam II halaman 485)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“…Setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya…” (An Nisaa’ 11)
“…Setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah…” (An Nisaa’ 12)
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
“Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung dengan sebab utangnya sampai hutangnya dilunasi” (HR. Ahmad II/440, 475, 508 | Imam At Tirmidzi No. 1078-1079 | Imam Ad Darimi II/262 | Imam Ibnu Majah No. 2413 | Imam Al Baghawi dalam syarhus Sunnah Nomor 2147).
Dari penjelasan di atas telah tegas bagaimana perilaku orang munafik. Tentu saja dalam hal ini, jika dikaji lebih lanjut, maka syariat Islam sudah menekankan arti pentingnya komitmen dan perjanjian. Hal ini sangat penting karena menyangkut hubungan dalam bermasyarakat, terlebih dalam sebuah pekerjaan.
Ciri Manusia Terhina dan Celaka, Setiap orang dalam hidupnya menginginkan terhormat dan beruntung. Tetapi ada orang-orang yang justru mengerjakan amal-amal yang membuatnya terperosok pada jurang kehinaan dan kecelakaan baik di dunia maupun di akhirat.
Rasulullah SAW telah menjelaskan tentang tanda-tanda orang yang terhina dan celaka. Sebagaimana Rasulullah mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib dalam kitab Wasiyatul Mustofa. Kitab ini disusun Syekh Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Musa Asy Syarani Al Anshari Asy Syafi'i Asy Syadzili Al Mishri atau dikenal sebagai Imam Asy Syaran.
Wahai ali, bagi orang yang terhina ada tiga tanda, banyak berbohong, banyak sumpah palsu, dan banyak hajat kepada manusia (suka minta-minta pada manusia).
Dalam Kitab Nashaihul ‘Ibad karangan Imam Nawawi Al-Bantani disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tanda orang celaka ada empat yaitu : pertama, melupakan dosa-dosa masa lalu padahal semuanya tercatat dengan rapi di sisi Allah.
Kedua, mengenang kebaikan di masa lalu padahal belum diketahui diterima Allah atau tidak.
Ketiga, Dalam urusan dunia selalu memandang ke yang lebih atas. Keempat, dalam urusan agama selalu memandang ke yang lebih rendah.
Kemudian disebutkan pula, tanda orang bahagia juga ada empat. Pertama, mengingat dosa-dosa yang telah lalu. Kedua, melupakan kebaikan yang pernah ia lakukan.
Ketiga, dalam urusan agama senang melihat kepada orang yang lebih tinggi (dalam ibadah dan ketaatannya kepada Allah). Keempat, dalam urusan dunia senang melihat kepada orang yang lebih rendah (sehingga mendorongnya untuk lebih mensyukuri nikmat-Nya).”
Marilah kita merenung, di manakan kita di antara kedua tanda tersebut? Apabila memang kita lebih cenderung kepada sifat-sifat yang celaka maka tidak ada salahnya untuk mengakui. Karena pengakuan adalah langkah awal untuk memperbaiki diri.
Tanda celaka yang pertama adalah melupakan dosa-dosa yang telah lalu. Kita sebagai manusia yang seringkali lalai, bukan saja melupakan dosa yang telah lalu bahkan kita acapkali tidak menyadari bahwa apa yang kita lakukan menambah pundi dosa kita.
Atau malah kita sudah tahu bahwa yang kita lakukan adalah dosa, namun tetap saja kita melakukannya. Seakan-akan kita meremehkan balasan yang pasti akan kita terima di akhirat. Maka, mengingat dosa akan menghentikan niat buruk kita sekaligus menjadi motivator dalam menambah pundi pahala.
Tanda celaka kedua adalah mengenang kebaikan di masa lalu. Adanya perasaan ini di dalam hati manusia adalah bukti nyata tentang liciknya syaitan. Syaitan pernah berjanji untuk selalu menggoda manusia yang disebutkan Allah dalam banyak ayat, salah satunya dalam surat Al-A’rof : 17. “Kemudian saya akan datangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”
Ketika manusia akan melakukan kebaikan, syaitan dengan berbagai caranya menggoda manusia untuk gagal melakukannya. Namun ketika manusia berhasil mengalahkan bisikan syaitan dengan tetap melakukan kebaikan, syaitan menggoda manusia dengan cara yang lain. Dibisikkanlah ke dalam hati manusia rasa bangga dengan kebaikannya. Sehingga muncullah bangga diri. Muncullah rasa lebih baik daripada orang lain. Astaghfirullahal’adzim.
Dalam hal ini, menyadari bahwa amalan kita belum tentu diterima Allah memiliki peranan penting dalam menundukkan rasa ujub dan takabbur.
Tanda celaka ketiga adalah dalam urusan dunia selalu memandang kapada yang lebih atas. Sehingga jiwa tidak tenang dan selalu merasa kurang. Yang teringat hanyalah kekurangan dan serba kekurangan. Padahal, nikmat dari Allah adalah tidak terkira. “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). QS. Ibrahim : 34.
Dan yang tanda celaka yang terakhir adalah dalam urusan ibadah selalu melihat kepada yang lebih rendah. Orang yang seperti ini akan menjadi orang sombong yang merasa telah melakukan banyak. Padahal (lagi-lagi) kita tidak tahu apakah amal kita diterima Allah atau tidak. Maka, semoga kita dapat menjauhi tanda celaka dan mengamalkan tanda bahagia.
Istri Jangan Asal Gugat Cerai Suami, Ini Risiko Fatalnya, Islam memberikan peringatan agar istri tak sembarangan gugat cerai suami. Dalam syariat Islam seorang istri yang mengajukan gugatan cerai kepada suaminya disebut dengan khulu.
Sedangkan bila yang mengajukan cerai adalah pihak suami disebut talaq. Seorang perempuan yang melakukan khulu maka harus siap dengan risiko mengembalikan maskawinnya.
Islam sangat melarang setiap perempuan Muslim melakukan khulu tanpa sebab. Misalnya tiba-tiba seorang istri meminta suaminya untuk menceraikannya, padahal suaminya tidak melakukan kesalahan apapun.
Suaminya memenuhi kewajibannya dalam memberi nafkah lahir dan batin, suaminya mampu menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya, suaminya juga tidak berkhianat.
Namun demikian istrinya menginginkan adanya perceraian. Maka perbuatan perempuan yang seperti itu tidak dibenarkan dalam Islam. Bahkan dalam sebuah hadits dijelaskan perempuan yang melakukan khulu haram mencium wewangian surga. Maka jika mencium wanginya saja tidak boleh, apalagi memasuki surga.
Rasulullah Muhammad Saw bersabda, “Siapapun orang perempuan yang minta cerai kepada suaminya tanpa ada kesalahan, maka haramlah atas perempuan itu wewangian surga.” (HR. Abu Dawud).
Maka ketika ada seorang perempuan yang tiba-tiba melakukan khulu kepada suaminya tanpa ada sebab atau kesalahan dari suaminya, maka sejatinya perempuan itu seorang munafik.
Boleh jadi perempuan tersebut tengah berkhianat dan memiliki lelaki idaman lain. Atau perempuan tersebut hanya berniat mempermainkan pernikahan semata untuk menguasai harta suaminya lalu mencerainya.
Rasulullah Muhammad Saw bersabda, “Orang-orang perempuan yang khulu, mereka itu adalah perempuan munafik.” (Kasyful Ghummah).
Dibenci Allah SWT
Meski perceraian itu dibolehkan dalam syariat Islam, akan tetapi perceraian itu sangat dibenci Allah Swt dan rasul-Nya. Sebab perceraian bukan saja memutus hubungan pernikahan suami istri melainkan berisiko besar menyebabkan konflik dan renggangnya hubungan antardua keluarga yakni dari pihak suami dan pihak perempuan.
Bahkan perceraian berdampak besar bagi anak-anak. Sebab mereka tidak akan bisa lagi mendapati kehangatan keluarga yang utuh dalam satu atap.
Rasulullah Muhammad Saw bersabda: “Perkara halal yang sangat dibenci Allah Swt ialah talak (cerai).” (Kasyful Ghummah)
Maka ketika lelaki dan perempuan menikah berkomitmenlah untuk menyelesaikan setiap persoalan yang terjadi tanpa berujung talaq (pihak suami yang mencerai istri) atau pun khulu (pihak istri yang meminta gugat cerai pada suami).
Rasulullah Muhammad Saw bersabda: “Kawinlah kalian dan janganlah kalian bercerai, karena sesungguhnya perceraian itu menggetarkan Arasy.” (Kasyful Ghummah).
Enam Keadaan Istri Boleh Meminta Cerai Kepada Suami, Nabi Muhammad Saw telah mengatakan bahwa satu-satunya perkara halal yang paling dibenci Allah Swt. adalah perceraian. Karena itu, pada dasarnya meminta cerai kepada suami adalah hal yang tidak diperbolehkan kecuali memang terdapat sebab-sebab atas hal tersebut dan bukan hal sepele.
Rasulullah Saw bersabda
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أيما امرأة سألت زوجها الطلاق من غير ما بأس فحرام عليها رائحة الجنة.
Rasulullah Saw bersabda, “Siapapun perempuan yang meminta talak kepada suaminya tanpa ada alasan maka haram baginya wewangian surga. (HR. Abu Daud dan Tirmizi)
Bagi para istri yang meminta cerai dikatakan tidak akan bisa mencium bau wangi surga apalagi masuk surga itu sendiri. Hal tersebut karena sebagaimana disebutkan tadi, cerai adalah perkara yang dibenci Allah Swt. sekalipun dihalalkan. Namun jika dalam kondisi tertentu yang tidak tertahankan yang memaksa istri minta cerai maka dibolehkan.
Berikut enam keadaan istri boleh meminta cerai kepada suami;
Pertama. Suami tidak mampu memenuhi hak-hak istri, seperti nafkah, pergaulan yang baik, dan tempat tinggal yang layak. Termasuk dalam kasus ini jika suami sangat pelit dan perhitungan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar istri.
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni mengatakan termasuk dalam hal ini jika suami tidak mau memberi nafkah istri baik karena tidak ada yang bisa dia berikan sebagai nafkah atau yang lain, sehingga seorang perempuan menjadi bimbang antara bersabar atau minta berpisah.
Kedua. Suami merendahkan istri dengan memukulnya, melaknat dan mencela sang istri. Sekalipun hal tersebut bukan tindakan yang berulang-ulang. Apalagi jika suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tanpa ada sebab syar’I yang mengharuskan dia melakukan itu.
Islam melarang suami melakukan KDRT baik secara verbal atau non verbal. Karena itu Istri berhak meminta cerai jika suami melakukan kekerasan yang jelas terlihat seperti ada bekas pukulan dan sebagainya walaupun tidak ada saksi.
Ketiga. Suami pergi dalam waktu yang sangat lama. sehingga istri menghadapai keadaan gawat darurat dengan sebab ditinggal suami. Lamanya kepergian tersebut hingga lebih dari enam bulan sehinga dikhawatirkan terjadi fitnah yang menimpa sang istri. Sebagaimana hal itu diterangkan dalam al-Mughni
وسئل أحمد أي ابن حنبل رحمه الله: كم للرجل أن يغيب عن أهله؟ قال: يروى ستة أشهر.
Ibnu Qudamah berkata, “ Imam Ahmad, yaitu Ibn Hanbal rahimahullah ditanya, ‘berapa lama bagi laki-laki menghilang dari keluarganya?” dia berkata, “diriwayatkan enam bulan”
Keempat. Suami ditahan untuk waktu yang lama, ini menurut pendapat madzhab malikiyah dalam al-mausu’ah al-fiqhiyah al-kuwaitiyah. Madzhab malikiyah membolehkan cerai bagi orang yang ditahan jika istrinya meminta, karena dengan dipenjaranya sang suami menyebabkannya dalam keadaan darurat. Itu diperbolehkan setelah setahun penahanan. Karena ditahan sama dengan tidak ada baik ketidakadaan suami karena uzur seperti ditahan atau tanpa uzur, itu diperbolehkan minta cerai.
Kelima. Jika suami divonis memiliki penyakit menular atau penyakit impoten, atau penyakit berbahaya lainnya.
Keenam. Fasiknya suami sebab melakukan dosa-dosa besar, atau tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban fardu yang mana jika suami tidak melakukannya bisa menyebabkan kekafiran atau rusaknya akad nikah.
Sedangkan istri sudah bersabar atas kelakuannya dan menasehatinya agar berubah namun suami tetap melakukan dosa-dosa tersebut maka pada kondisi ini istri berhak meminta cerai dan jika suami menolak, ia bisa menaikkan perkaranya ke persidangan.
Meskipun dalam beberapa keadaan di atas istri dibolehkan meminta cerai kepada suami, perlu diingat sekali lagi bahwa cerai adalah perkara yang meskipun halal namun dibenci oleh Allah Swt. Jadi, sebelum benar-benar bulat keputusan untuk meminta cerai, agar dipikirkan kembali keputusan tersebut. Apalagi perceraian juga sedikit banyak akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak-anak.