Ciri Pezina Tidak Diampuni Allah SWT Meskipun Telah Bertaubat : (Alm. Syekh Ali Jaber). pezina tidak akan diampungi Allah SWT? Berikut ciri pezina tidak diampuni Allah SWT meskipun telah bertaubat menurut Syekh Ali Jaber. Zina merupakan salah satu perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Bahkan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Syekh Ali Jaber, terdapat satu orang yang tidak akan pernah diampuni dosanya karena perbuatan zina. “Allah mengampuni dosa setiap hambanya, apapun dosa itu, dosa zina, dosa riba, dosa syirik, semua apapun perilakunya” tutur Syekh Ali Jaber. Tetapi, menurut Syekh Ali Jaber ada 1 orang yang dosa zina tidak diampuni Allah SWT, siapakah golongan orang tersebut? “Ia adalah orang yang terang-terangan menceritakan perzinahannya dan merasa bangga atas maksiat yang Ia lakukan” imbuhnya.
Zina sendiri, merupakan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya. Seseorang wanita dan laki-laki yang memiliki hubungan keluarga maupun tidak, dan memiliki hubungan yang belum dihalalkan melalui akad atau ijab kabul, berarti hubungan tersebut sebagai zina.Pasalnya, seseorang yang pernah melakukan zina seharusnya menyembunyikan atau merahasiakan perbuatannya itu karena merasa malu kepada Allah SWT. Jadi, jika ia justru merasa bangga melakukannya, maka Allah akan murka. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah SAW berikut ;
"Semua orang diselamatkan oleh Allah, diberikan afiat dari perilaku maksiat dan dosa, jika ada keseriusan dalam bertaubat. Kecuali, orang-orang yang suka membuka aib dosanya. Inilah mereka yang dijamin tidak selamat bahkan tidak diampuni (dosa) oleh Allah." Hukuman ini tak hanya berlaku bagi orang yang membuka aibnya sendiri, namun juga bagi setiap orang yang membuka dan menyebarkan aib orang lain. Dengan begitu, Allah akan membuka aib orang tersebut. Larangan untuk melakukan zina sendiri telah jelas dituangkan Allah SWT melalui QS. Al-Isra’ ayat 32 berikut:
“Wa la taqrabuz-zina innah kana faisyah, wa sa`a sabila” Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. Zina merupakan sebuah proses, salah satunya dapat diawali melalui zina mata yang sering kali kita abaikan. Rasulullah SAW pernah bersabda: “Pandangan mata berzina dan zinanya mata adalah memandang sesuatu yang haram” Demikian informasi mengenai ciri pezina tidak diampuni Allah SWT meskipun telah bertaubat menurut Syekh Ali Jaber. Semoga kita dapat senantiasa terhindar dari perilaku tersebut, dan terus mendapat limahan rahmat dari-Nya.
2 Dosa Ini Tak Diampuni di Malam Nisfu Syaban. Bulan Syaban adalah bulan yang penuh rahmat dan keberkahan. Banyak amalan yang dianjurkan dibaca pada malam Nisfu Syaban. Malam Nisfu Syaban adalah malam tanggal 15 bulan Syaban atau separuh dari bulan Syaban. Selain itu, yang perlu diketahui, jika malam Nisfu Syaban juga termasuk malam sa'ah ijabah doa. Pada bulan Syaban, Allah SWT membuka pintu rahmat dan ampunan seluas-luasnya. Namun ada dua dosa yang tidak diampuni yaitu perbuatan musyrik (menyekutukan Allah) dan perbuatan munafik yang menyebabkan perpecahan. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut:
Artinya: “Allah memandang semua makhluk-Nya pada malam Nisfu Sya‘ban kemudian mengampuni dosa mereka kecuali dosa musyrik dan dosa kemunafikan yang menyebabkan perpecahan.” (HR Imam At-Thabrani dan Ibnu Hibban dari Mu‘adz bin Jabal).
Walaupun kualitas hadits di atas dha’if (lemah), namun masih tetap bisa diamalkan karena terkait dengan fadhâilul a’mâl. Kedha’ifannya juga tidak terlalu parah. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama hadits sebagaimana yang telah disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Taqrîb-nya. Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, dosa-dosa yang tergolong sebagai dosa besar juga tidak akan diampuni pada malam-malam pengampunan dosa seperti di malam Nisfu Syaban dan juga malam-malam pengampunan yang lain. Kedha’ifannya juga tidak terlalu parah. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama hadits sebagaimana yang telah disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Taqrîb-nya. Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, dosa-dosa yang tergolong sebagai dosa besar juga tidak akan diampuni pada malam-malam pengampunan dosa seperti di malam Nisfu Syaban dan juga malam-malam pengampunan yang lain.
Selain itu, lanjut Sayyid Muhammad, dosa-dosa seperti ini adalah dosa-dosa yang patut dijauhi baik di malam yang penuh ampunan seperti Nisfu Syaban, bulan Ramadhan, asyhurul hurum, serta malam-malam ampunan yang lain. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Bukhari, Tirmidzi, dan An-Nasa’i dari Ibnu Mas‘ud yang artinya:
“Abdullah bin Mas’ud bertanya, ‘Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling berat?’ Kemudian Rasulullah menjawab, ‘menjadikan suatu hal sebagai persamaan dari Allah yang telah menciptakanmu (syirik).’ Kemudian Abdullah berkata, ‘Apalagi wahai Rasulullah?’ Rasul menjawab, ‘Membunuh orang tuamu karena engkau takut dia makan bersamamu.’ Abdullah bertanya lagi, ‘Kemudian apalagi wahai Rasul?’ ‘Kamu berzina dengan istri tetanggamu.”
Syekh Ali Jaber membenarkan malam Nisfu Syaban merupakan malam pengampunan atau malam maghfirah. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah SAW, kata dia, di malam Nisfu Syaban, Allah mengampuni semua dosa-dosa hambanya kecuali 2 orang. "Yang pertama ialah yang berbuat syirik dan yang kedua orang pemarah atau pendendam atau orang yang suka menyebar fitnah, mengadu domba menyebar isu. Perbuatannnya tidak sesuai malah dia memfitnah supaya umat terpecah," kata Syekh Ali Jaber.
Segerakan Minta Maaf Pada Orang yang Dizalimi, Seorang hamba mempunyai dosa kepada Allah Swt maka orang tersebut harus bertaubat, beristighfar memohon ampun kepada Allah Swt. Dan ampunan Allah sangat luas bagi setiap manusia. Akan tetapi ketika seorang hamba mempunyai kesalahan terhadap orang lain terlebih kepada sesama Muslim maka urusannya bukan sekedar bertaubat dan memohon ampun kepada Allah, tetapi hamba tersebut harus bersegera meminta maaf dengan sepenuh hati kepada orang yang yang telah dizalimi.
Sebab konsekuensi yang akan ditanggung seorang hamba yang tidak mau meminta maaf kepada orang yang pernah dizaliminya sangat besar. Itu bisa merontokan pahala yang pernah dikerjakannya dan justru menambah dosa bagi dirinya.
Sebagaimana dalam kitab at Targib wat Tarhib terdapat sebuah hadits Nabi Muhammad Saw tentang bersegera meminta maaf atas perbuatan zalim yang pernah dilakukan pada orang lain.
Rasulullah ﷺ bersabda: Barangsiapa ada padanya perbuatan zalim kepada saudaranya menyangkut kehormatan atau apapun, maka hendaklah ia segera meminta kehalalan atas perbuatan zalim yang dia lakukan hari itu juga sebelum tidak ada dinar dan tidak ada dirham (yaitu pada hari kiamat dimana harta benda tidak ada gunanya). Jika ada baginya amal saleh maka diambil lah pahalanya sesuai dengan kadar kezalimannya. Jika sudah tidak ada amal-amal kebaikan, maka diambil lah dari dosa-dosanya orang-orang yang dizalimi. Lalu dosa itu dibebankan kepadanya. (HR Bukhari dan Tirmidzi).
Barang siapa yang mempunyai kezaliman kepada saudaranya mengenai harta dan kehormatannya minta dihalalkanlah kepadanya dari dosa itu sebelum datang hari dimana nanti tidak ada dinar dan dirham (di hari Kiamat), dimana akan diambil dari pahala amal kebaikannya untuk membayarnya. Kalau sudah tak ada lagi amal kebaikannya,maka akan diambil dari dosa yang teraniaya itu lalu dipikulkan kepada orang yang menganiaya tersebut (HR. Bukhori Muslim)
Hadis di atas menjelaskan bahwa dosa sesama manusia tidak dapat dibebaskan dengan semata bertaubat dan dan memohon ampun kepada Allah SWT tanpa melibatkan manusia yang bersangkutan yang berkaitan dengan kesalahan yang pernah merugikan,menyakiti hati orang yang terzalimi. Tetapi kekhilafan dan kesalahan berinteraksi sesama manusia dapat terbebaskan apabila sudah dapat pengakuan untuk saling memaafkan di dunia ini.
Allah SWT memberi kesempatan untuk saling memaafkan selagi masih hidup didunia ini, selagi masih berlaku alat tukar berupa uang dan dinar dan dirham. Seandainya seseorang yang merasa dirugikan harga dirinya dengan ujaran kebencian, gunjingan, ghibah dan sebagainya, lalu meminta ganti rugi dengan pembayaran sejumlah uang dan harta benda. Apakah kompensasi itu halal di terimanya, tentu uang sebagai penebus harga dirinya itu halal dia terima.
Tetapi jika kekhilafan dan kesalahan sesama manusia di dunia ini belum terselesaikan, lalu kehidupan di dunia ini berakhir dengan sebab kematian. Maka penyelesaian kesalahan terhadap sesama manusia masih dapat diselesaikan melalui keluarga yang masih hidup dengan meminta maaf atau membayar ganti rugi.
Jika tidak maka penyelesaian akan diselesaikan di hadapan Allah SWT dengan cara mengambil pahala kebaikan orang yang bersalah dan dialihkan kepada orang yang dirugikan ketika hidup di dunia. Jika pahala kebaikannya sudah kandas maka dipikulkan pula kepadanya sebagian kesalahan pihak yang dirugikan kepada pelaku kesalahan tadi sesuai dengan hitungan yang berdasarkan keadilan Allah SWT.
Dosa antar sesama makhluk, sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Ghazali di dalam kitab Minhajul ‘Abidin, tidak kurang dari 5 macam: Pertama, dosa yang berkaitan dengan harta manusia seperti mencuri, korupsi, menipu, hutang dan sebagainya. Kedua, dosa yang berkaitan dengan jiwa, seperti membunuh. Ketiga, yang berkaitan dengan harga diri. Keempat, berkaitan dengan kehormatan keluarga. Kelima, doa yang berkaitan dengan agamanya.
Adapun cara membebaskannya adalah jika berkaitan dengan harta,wajib mengembalikannya. Jika tidak mampu karena jatuh miskin mohon dibebaskan dari tuntutan, jika yang bersangkutan telah meninggal dunia, bersedekahlah atas namanya. Dan jika tidak, perbanyaklah kebaikan dengan harapan kebaikannya akan membayarnya di Akhirat kelak.
Yang berkaitan dengan jiwa, dia wajib menyerahkan dirinya kepada keluarganya untuk dituntut balas (qishas) atau mengganti diat (kompensasi). Sedangkan yang berkaitan dengan harga diri seperti menggunjing, memaki, mencaci dan sebagainya, dia wajib mengakui kesalahannya dan memohon kemaafannya.
Adapun yang berkaitan dengan kehormatan keluarganya, tidak ada jalan untuk memohon kemaafan karena telah menimbulkan kebencian antar keluarga. Bahkan bisa antar suku, satu-satunya jalan adalah merobah sikap sehingga dapat merobah kebencian tadi menjadi rasa simpati.
Berkaitan dengan agamanya, seperti menyatakan dia ahli bid’ah, sesat, fasik dan sebagainya, dapat dilakukan dengan mohon kemaafannya, atau dengan menyesali perbuatannya dan banyak melakukan kebaikan. Bertobat kepada Allah SWT adalah jalan terakhir untuk lepas dari kezaliman yang telah dilakukan. Barang siapa yang tidak bertobat mereka itu adalah orang orang yang zalim.
Momentum halal bi halal yang berlaku di negeri ini adalah kesempatan emas untuk mencairkan hubungan sesama manusia terutama hubungan seakidah dan hubungan kerabat. Kata halal berarti membebaskan, melepaskan, memecahkan, membubarkan, membolehkan, mencairkan.
Terminologi halal bi halal tidak ditemukan di dalam Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW. Bahkan perkataan para sahabat dan para ulama sekalipun, hanya di negeri Indonesia ini terminologi tersebut populer diucapkan.
Ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang didefenisikan sebagai kegiatan “hal maaf memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula) oleh sekelompok orang–merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, h.383).
Sejatinya, menghalalkan dan mengharamkan adalah merupakan wewenang Allah SWT, dan tidak ada sedikitpun wewenang manusia bahkan siapa yang melakukannya. Berarti dia telah menandingi atau menyekutukan Allah SWT.
Sebab itu, Allah SWT mengecam orang yang menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah dan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya: Katakanlah (ya Muhammad)! Terangkanlah kepada-Ku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kami jadikan sebagiannya haram dan sebagian lain halal, katakanlah, apakah Allah telah memberi izin (tentang ini) ataukah kamu mengada-ngadakan atas nama Allah? (QS. Yunus: 59).
Demikian pula, Allah SWT telah mengutuk orang Yahudi dan Nasrani karena menjadikan ulama dan fukaha mereka sebagai tuhan disebabkan kehalalan dan keharaman tergantung kepada keputusan mereka (QS. At-Taubah: 31).
Sebab itu tradisi halal bi halal tidak dapat diartikan sebagai pembolehan sesuatu yang diharamkan Allah SWT. Seperti menggunjing, menggosip, memfitnah, mengambil hak orang lain, mencuri, korupsi, dan sebagainya, yang berkaitan dengan hak manusia, semua itu tidak dapat dihalalkan (dibolehkan) dengan melaksanakan upacara halal bi halal.
Hanya saja, jika perbuatan yang terlarang tersebut jika berkaitan dengan hak-hak manusia, dapat dimaafkan jika yang bersangkutan mau memaafkannya. Namun bukan berarti perbuatan terlarang tersebut menjadi halal.
Dengan arti kata, jika sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT. berkaitan dengan hak manusia, Allah SWT. tidak akan mengampuninya sebelum yang bersangkutan belum memaafkannya. Dengan demikian, dalam larangan mencederai hak-hak manusia, di sana terdapat hak-hak Allah SWT.
Dengan kata lain, dosa terhadap manusia di dalamnya terdapat dosa kepada Allah SWT, dosa kepada Allah SWT berkaitan dengan melanggar larangan-Nya. Sedangkan dosa ke manusia berkaitan harga diri, harta dan keluarganya.
Maka sesuatu yang berkaitan dengan hak Allah SWT dapat dilakukan dengan bertaubat, jika berkaitan dengan hudud dan qishas wajib dilaksanakan. Sedangkan yang hak manusia wajib dikembalikan. Adapun yang berkaitan dengan harga diri manusia, dimohon kemaafannya.
Harta haram sudah seharusnya dijauhi. Artinya, kita tidak boleh mencari pekerjaan dari usaha yang haram. Jika terlanjur memilikinya, harus dicuci atau dibersihkan dari harta yang halal. Adapun pembagian harta haram secara mudahnya dibagi menjadi harta haram karena zat -seperti daging babi- dan karena pekerjaan -seperti harta riba dari bunga Bank. Pembagian Harta Haram, Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, Harta haram ada dua macam:
Haram karena sifat atau zatnya,
Haram karena pekerjaan atau usahanya.
Harta haram karena usaha seperti hasil kezholiman, transaksi riba dan maysir (judi).Harta haram karena sifat (zat) seperti bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih atas nama selain Allah Swt. Harta haram karena usaha lebih keras pengharamannya dan kita diperintahkan untuk wara’ dalam menjauhinya. Oleh karenanya ulama salaf, mereka berusaha menghindarkan diri dari makanan dan pakaian yang mengandung syubhat yang tumbuh dari pekerjaan yang kotor.
Adapun harta jenis berikutnya diharamkan karena sifat yaitu khobits (kotor). Untuk harta jenis ini, Allah telah membolehkan bagi kita makanan ahli kitab padahal ada kemungkinan penyembelihan ahli kitab tidaklah syar’i atau boleh jadi disembelih atas nama selain Allah. Jika ternyata terbukti bahwa hewan yang disembelih dengan nama selain Allah, barulah terlarang hewan tersebut menurut pendapat terkuat di antara pendapat para ulama yang ada. Telah disebutkan dalam hadits yang shahih dari ‘Aisyah,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai suatu kaum yang diberi daging namun tidak diketahui apakah hewan tersebut disebut nama Allah ketika disembelih ataukah tidak. Beliau pun bersabda, “Sebutlah nama Allah (ucapkanlah ‘bismillah’) lalu makanlah.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 56-57)
Pencucian Harta Haram
Guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri –semoga Allah memberkahi umur beliau– menerangkan bahwa harta haram bisa dibagi menjadi tiga dan beliau menerangkan bagaimana pencucian harta tersebut sebagai berikut.
Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khomr, babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau dimusnahkan.
Harta yang haram karena berkaitan dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.
Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima dan wajib membersihkan harta haram semacam itu. Namun apakah pencucian harta seperti ini disebut sedekah? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika dinamakan sedekah, tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224). Ghulul yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian. Sedekah tersebut juga tidak diterima karena alasan dalil lainnya, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim)
Kaedah dalam Harta Haram Secara Umum
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan:
Harta haram karena zatnya seperti harta rampasan atau curian, maka haram untuk menerima dan membelinya.
Harta haram secara umum seperti khomr (minuman keras), rokok atau semacam itu tidak boleh diterima dan tidak boleh dibeli. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 151)
Kaedah dalam Harta Haram Karena Usaha (Pekerjaan) Kaedah dalam memanfaatkan harta semacam ini -semisal harta riba- disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,
أن ما حُرِّم لكسبه فهو حرام على الكاسب فقط، دون مَن أخذه منه بطريق مباح.
“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh)
Contoh dari kaedah di atas:
Boleh menerima hadiah dari orang yang bermuamalah dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
Boleh transaksi jual beli dengan orang yang bermuamalan dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
Jika ada yang meninggal dunia dan penghasilannya dari riba, maka hartanya halal pada ahli warisnya. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 10)
Contoh-contoh di atas dibolehkan karena harta haram dari usaha tersebut diperoleh dengan cara yang halal yaitu melalui hadiah, jual beli dan pembagian waris.
Allahummak-finii bi halaalika ‘an haroomik, wa aghniniy bi fadhlika ‘amman siwaak. [Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dari-Mu dan jauhkanlah aku dari yang Engkau haramkan. Cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dan jauhkan dari bergantung pada selain-Mu]. (HR. Tirmidzi)
Ajaran Islam lengkap mengatur seluruh perbuatan manusia, termasuk memberi tuntunan tentang masalah harta yang wajib dizakatkan. Masa kini masalah korupsi merupakan persoalan terhangat di Indonesia. Sebagian para pejabat berlomba-lomba melakukan korupsi. Sehingga menimbulkan masalah jika dihubungkan dengan masalah zakat yang berfungsi membersihkan harta. Koruptor menzakatkan harta hasil korupsinya supaya menjadi bersih. Permasalahan ini harus dikaji hukumnya. Dalam hal ini penulis ingin memecahkan masalahnya dengan menentukan judul penelitian: “Analisis Hukum Islam Tentang Zakat Hasil Korupsi”, dengan rumusan masalah :
Bagaimana analisis hukum Islam tentang harta hasil korupsi?. Dan apakah termasuk harta yang wajib dizakatkan?.
Bagaimana harta hasil korupsi jika dizakatkan, apakah berobah menjadi suci?. Penelitian ini bertujuan mengetahui sejelas mungkin, dengan mempelajari dalil-dalil, sekaligus berusaha berfikir untuk menemukan ketentuan hukum Islam tentang zakat harta hasil korupsi.
Penelitian ini termasuk penelitian hukum normative, yang bersifat deskriptif. Pengumpulan data library research, dengan sistem analisa data kualitatif. Berdasarkan data yang ada ditemukan bahwa:
Harta korupsi termasuk harta yang haram, karena haram cara mendapatkannya. Harta yang haram tidak perlu dizakatkan, sebab harta yang termasuk kategori kewajiban membayar zakat adalah harta yang diperoleh dengan cara yang baik. Harta yang wajib dibayar zakatnya adalah dimiliki secara sempurna. Koruptor bukan pemilik harta hasil dari korupsinya. Koruptor wajib mengembalikan hasil korupsi kepada pemiliknya.
Harta hasil korupsi jika dizakatkan tidak akan berobah menjadi suci, karena harta hasil korupsi adalah hasil penggelapan dan gratifikasi, termasuk kedalam harta yang haram seutuhnya. Jika dizakatkan tidak akan berobah menjadi suci.
Jika koruptor benar-benar bertaubat, mempunyai niat yang kuat (ber-azam) tidak akan memakan harta yang telah dikorupsinya, untuk mengembalikan kepemilik harta tersebut, negara atau pemberi suap, Koruptor takut masuk penjara, menimbulkan kemudharatan yang lebih besar bagi dirinya, Dalam hal ini peneliti berpendapat dengan metode sad al-dzariáh harta tersebut boleh diberikan untuk kepentingan umum, bukan untuk pribadi. Karena harta negara adalah untuk kepentingan masyarakat. Pihak penerima tidak berdosa. Dan hal ini bukan dinamakan sedekah atau zakat, tapi wujud dari rasa tobatnya
Para koruptor agar berhenti melakukan korupsi, harta hasil korupsi harus dikembalikan kepada pemiliknya. Korupsi itu perbuatan haram. Dan kepada KPK dan para pejabat yang berwenang agar meningkatkan pemberantas korupsi. Referensi sebagai berikut ini ;
Korupsi telah berkembang pesat di berbagai lembaga dan seluruh penjuru. Tindakan yang jelas merugikan banyak orang ini sepertinya berpotensi menjadi kebiasaan bagi kalangan tertentu. Perilaku korupsi berkembang pesat dan meresahkan. Berbagai macam cara digunakan untuk melakukan kejahatan ini. terlebih lagi seseorang dapat terlibat praktik krupsi tanpa sadar, yakni dengan ikut menerima harta hasil korupsi. Hal ini lantas menjadi sumber pertanyaan tersendiri di kalangan umat Islam tentang bagaimana jika mendapati pemberian yang tidak jelas dan mencurigakan?
Pemberian (atau apa saja yang kita dapat dengan cara halal), baik uang, makanan, pakaian, atau barang lainnya, yang kita tidak mengetahui asal-usul bagaimana barang itu didapat, maka kita hukumi saja sebagai halal. Dalam kasus seperti ini, berlaku sebuah ungkapan apa saja yang tidak kita ketahui detailnya, kita tidak perlu mempertanyakaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah Al-Maidah ayat 101,
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu ”(Al-Maidah:101).
memang tampak bagi kita itu sesuatu yang baik/halal, maka halal hukumnya kita manfaatkan. Ini berlaku bagi jasa secara umum, kecuali jika sampai ke tingkat patut dicurigai, yakni kita mempunyai dugaan keras bahwa barang yang diberikan itu barang haram. Misalnya kita menerima pemberian dari orang yang suka berjudi, maka kita perlu mencari tahu asal-usul barang yang diberikan tersebut. Selama kecurigaan kita belum hilang, sebaiknya kita jangan menggunakan (baik kita manfaatkan sendiri atau kita berikan kepada orang lain) pemberian tersebut. Atau kita tempuh jalan pintas, yaitu mengembalikan barang tersebut kepada si pemberi. Itu hampir sama dengan sebuah pemberian yang lebih mendekati praktik suap, karena kita mempunyai jabatan penting, misalnya, yang sekarang populer dengan sebutan gratifikasi. Oleh sebab itu kita perlu mencurigai si pemberi, boleh jadi ada maksud tertentu dibalik pemberian tersebut. Kita harus mencari tahu, sampai kecurigaan kita hilang. Jika memang lebih mendekati kasus penyuapan, maka sebaiknya kita jangan menerima pemberian itu, atau pilihan lain, melaporkannya kepada yang berwajib (polisi), jika sekiranya persoalan beri-memberi itu memasuki wilayah kriminalitas.
Dalam hal ini perlu memahami peta harta haram yang banyak tersebar di masyarakat kita. Secara umum, harta haram bisa dikelompokkan menjadi dua:
Harta haram karena dzatnya, seperti khamr, babi, bangkai, anjing, darah, dan seterusnya.
Harta haram karena cara mendapatkannya, meskipun dzatnya halal, seperti uang riba, barang curian, mobil korupsi, sapi suap, dan seterusnya.
Selanjutnya, untuk harta haram karena cara mendapatkannya, dibagi menjadi dua:
Harta haram yang diambil secara suka rela, saling ridha, atau dengan izin pemilik pertama. Seperti upah wanita pezina, hasil judi, atau jual beli barang haram (misal: hasil menjual babi, khamr), dan seterusnya.
Harta haram yang diambil secara sepihak, dan merugikan pihak lain, tidak saling rida. Seperti harta hasil curian, harta hasil merampas, hasil menipu, dan lain-lain.
Harta haram yang diambil tanpa kerelaan pemilik yang asli, tidak saling ridha, statusnya tetap haram, meskipun berpindah ke tangan orang lain, baik diberikan dalam bentuk hadiah atau hibah. Sebagian ulama menjelaskan dengan dalil sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedekah tidak diterima karena hasil korupsi” menunjukkan bahwa orang yang korupsi tidak bisa lepas dari tanggung jawab kecuali dengan mengembalikan harta korupsi itu kepada pemiliknya, bukan dengan mensedekahkannya ketika tidak mengetahui siapa pemiliknya. Sebabnya adalah bahwa harta itu masih milik al-Ghanimin (pasukan perang yang mendapat ghanimah, pemilik asli), sekalipun pemilik asli tidak diketahui, tidak boleh bagi koruptor untuk manyalurkan uang itu dengan mensedekahkannya kepada orang lain.” (Fath al-Bari: III: 278)
Harta hasil korupsi termasuk jenis harta haram yang diambil tanpa kerelaan pemilik yang asli. Hal ini karena sejatinya harta itu adalah milik rakyat, dan semua orang sepakat tidak ada rakyat yang bersedia hartanya diambil oleh pejabat. Oleh karena itu, sekalipun telah dilakukan money laundry (pencucian uang) atau diserahkan kepada orang lain harta itu wajib untuk disita dan dikembalikan kepada negara. Bagi penerima yang mengetahui bahwa itu hasil korupsi maka dia harus menolaknya.
Tanda-tanda Rezeki yang Tidak Berkah, Dalam sebuah ceramahnya, Ustadz Adi Hidayat atau UAH membahas tentang tanda rezeki yang tidak berkah. Ada sebagian orang yang banyak rezeki kata Ustadz Adi Hidayat, namun tidak berkah. Sementara ada orang yang pas-pasan, namun rezeki mereka berkah dan terasa nikmat. Dengan demikian, kata beliau, ada hal yang harus diperhatikan perihal harta atau rezeki agar berkah. Sebab, sia-sia banyak rezeki namun terasa seperti tidak ada manfaat atau bingung karena dirasa tidak pernah cukup.
Lantas, seperti apa rezeki yang tidak berkah itu? Membahas topik tersebut, Ustadz Adi Hidayat memberi semacam ilustrasi yang menggambarkan tanda-tanda rezeki yang tidak berkah. Beliau mengatakan bahwa jika selama ini dalam rumah tangga, terus mencari rezeki namun terasa rezeki yang diperoleh entah untuk apa, maka itu merupakan suatu pertanda. “Ada rizki yang selalu ingin dicari tapi tidak pernah ada manfaat yang Anda peroleh itu, berarti ada ketidakberkahan di situ,” kata Ustadz Adi Hidayat. Sementara kata beliau, rezeki yang berkah adalah rezeki yang tidak banyak namun selalu terasa cukup.
Misalnya baju kata Ustadz Adi Hidayat, berapa banyak yang ada dan digunakan untuk apa. “Kita mengatakan kurang-kurang, padahal di lemari cukup banyak,” kata Ustadz Adi Hidayat. Beliau lantas mengatakan bahwa agar hisab ringan di akhirat, maka jika ingin menggunakan sesuatu yang baru, maka gunakan untuk kepentingan agama dulu. Tanda lain yang disebut Ustadz Adi Hidayat adalah punya banyak rezeki tetapi selalu dirasa kurang. “Orang-orang yang selalu mencari rezeki tanpa iman, sekalipun dia muslim, kurang membangun kedekatan dengan Allah, maka setiap yang ia dapatkan sekalipun banyak akan selalu kelihatan sedikit,” jelas beliau.
Ustadz Adi Hidayat mencontohkan bagaimana orang yang bekerja siang dan malam, namun tidak bisa menikmati hasil dari usah itu. Namun berbeda jika seseorang membangun hubungan yang baik dengan Allah, maka terasa nyaman dan nikmat. “Memang cuma dapat Rp 500 ribu perbulan, namun setiap cari makan temannya datang…biar saya yang belikan ya,” sambung Ustadz Adi Hidayat. Namun berbeda jika seseorang membangun hubungan yang baik dengan Allah, maka terasa nyaman dan nikmat. “Memang cuma dapat Rp 500 ribu perbulan, namun setiap cari makan temannya datang…biar saya yang belikan ya,” sambung Ustadz Adi Hidayat. Dengan demikian, menurut UAH, sapaan akrabnya, lebih baik sedikit harta namun berkah ketimbang banyak namun sebaliknya. Begitulah penjelasan tanda-tanda rezeki yang tidak berkah menurut Ustadz Adi Hidayat.
Masih ada banyak orang yang memandang banyaknya harta sebagai perihal utama dalam hidup ini. Dan pola pikir seperti itulah yang kemudian berbahaya, bisa mendorong melakukan berbagai tindak pidana. Tujuannya, demi harta yang melimpah. Padahal, hakikat harta bukan dilihat dari banyaknya, tapi dari cara mendapatkan dan bagaimana kemanfaatannya. Untuk tahu apakah harta yang kamu dapatkan itu sudah berkah atau tidak, mari kita lihat ciri-cirinya.
1. Cara memperolehnya benar
Ciri pertama dari harta itu berkah atau tidak, dilihat dari sumbernya. Jika didapatkan dengan cara-cara yang benar, sehingga harta yang kamu miliki halal, maka Allah pun rida. Tapi jika cara memperolehnya dengan menyakiti atau merugikan orang lain, maka Allah tak akan menerima harta yang haram.
Dari Abu Hurairah Ra. berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik...” (HR. Bukhari Muslim).
Ciri pertama dari harta itu berkah atau tidak, dilihat dari sumbernya. Jika didapatkan dengan cara-cara yang benar, sehingga harta yang kamu miliki halal, maka Allah pun rida. Tapi jika cara memperolehnya dengan menyakiti atau merugikan orang lain, maka Allah tak akan menerima harta yang haram.
Dari Abu Hurairah Ra. berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik." (HR. Bukhari Muslim).
2. Mengundangmu semakin takwa
Efek dari kepemilikan harta, bisa jadi pertanda berkah tidaknya harta yang telah kamu miliki. Harta yang berkah, akan membuat pemiliknya semakin mendekatkan diri pada Allah SWT.
Misalnya saja, dengan melimpahnya harta yang kamu punya, membuatmu semakin banyak beramal baik. Hartamu digunakan untuk membangun sekolah, membantu sesama, atau mendanai proyek perbaikan lingkungan hidup, dan sebagainya. Intinya, harta yang kamu punya digunakan sebagai bekal di akhirat kelak.
3. Tidak menjerumuskanmu ke arah maksiat
Tanda lainnya dari harta yang berkah, bukan malah menjerumuskanmu ke arah maksiat. Dan ini yang banyak terjadi di kehidupan nyata.Bagaimana ketika seseorang sudah kaya, membelanjakan hartanya pada selingkuhan, dan malah melakukan perbuatan zina. Atau kesibukan mencari harta, jadi membuat seseorang lupa ibadah. Itu tandanya, harta yang didapatkan justru menjauhkannya dari Tuhan.
4. Tidak cepat hilangnya
Mulai saat ini, coba ubah cara pandangmu. Daripada punya banyak harta tapi tak berkah, lebih baik sedikit harta tapi berkah dan Allah rida dengannya. Hal ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ Fatawa. Ibnu Taimiyah berkata, “harta halal yang sedikit diberkahi daripada harta haram yang banyak. Harta haram ini cepat hilangnya dan Allah hancurkan.” Kalau prinsip ini sudah dipegang dengan erat, niscaya tak ada yang tergoda untuk korupsi karena silau dengan harta. Karena percuma saja harta banyak, tapi habisnya gak karuan.
5. Membuatmu damai dan bahagia
Tak selamanya orang yang kaya raya akan bahagia dan tenteram hatinya. Dan hal itu bisa jadi tanda harta yang gak berkah. Harta yang berkah meski sedikit, sudah bisa membuat pemiliknya merasa cukup dan bahagia. Dan ketika hartanya banyak pun, bukan malah membuatnya dilanda kekhawatiran takut hartanya hilang. Ada perasaan damai menyelimuti dirinya karena lahir dari kesadaran bahwa hartanya yang banyak itu sekadar titipan Tuhan. Jadi kalau Tuhan berkehendak hilang, atau diambil orang, padahal ia sudah berusaha menjaga, maka tandanya itu memang bukan rezekinya. Bersyukurlah jika memiliki tanda-tanda di atas. Jadi indikasi kuat kalau harta yang kamu punya berkah, Allah humma 'Amin. Referensi sebagai berikut ini ;
Memberi Kesempatan Kedua Pada Orang yang Bersalah Pada Kita. Kita mungkin terluka atau sakit hati karena dikecewakan, dikhianati, bahkan diperlakukan buruk oleh orang yang dekat dengan kita. Sehingga sulit bagi kita untuk memberinya kesempatan untuk memperoleh kepercayaan kita lagi. Walaupun kita diajarkan untuk memaafkan dan memberikan kesempatan pada orang lain untuk memperbaiki kesalahannya, tidak semua dari kita mampu melakukan itu. Hal ini cenderung terjadi karena kita menganggap bahwa memaafkan merupakan hal yang sangat personal dan menyangkut harga diri.
Namun benarkah memaafkan dan memberi kesempatan kedua bagi orang lain akan membuat keadaan lebih baik? Ya, penelitian membuktikan bahwa menjadi seorang pemaaf sangat erat hubungannya dengan kebahagiaan. Benar kalau disebutkan bahwa orang yang lebih bahagia pasti lebih mudah memaafkan. Lalu apakah kita harus memberikan kesempatan kedua kepada orang yang menyakiti kita? Semuanya adalah tergantung pada pilihan. Apakah kita memilih untuk bahagia atau tidak.
Hanya saja kita perlu tahu bahwa memilih untuk bahagia adalah alasan yang sangat cukup untuk memaafkan. Berikut ini empat alasan mengapa memaafkan dan memberi kesempatan kedua bagi orang lain akan sangat bermanfaat bagi kita
1. Sehat mental. Dengan memaafkan dan memberi kesempatan kedua bagi orang lain, kita akan merasa lebih bahagia. Penelitian ilmiah membuktikan bahwa menjadi pemaaf akan sangat bermanfaat bagi kesehatan emosi dan jiwa.
2. Orang itu bisa berubah. Kita perlu tahu bahwa kepribadian dan karakter seseorang itu bisa berubah. Keyakinan ini bisa kita jadikan patokan untuk memberi kesempatan bagi orang lain untuk mengubah hidupnya. Orang bisa belajar dari kesalahannya, dan ketika kita memberinya kesempatan, kemungkinan ia berubah sangatlah besar.
3. Simpan energi dan emosi Anda untuk hal yang lebih penting. Saat kita menyimpan kemarahan karena kesalahan orang lain, sebenarnya yang paling rugi adalah diri kita sendiri. Sebab banyak energi dan emosi yang terbuang saat marah.
4. Posisikan diri pada orang tersebut. Bagaimana jika suatu saat kita akan melakukan kesalahan pula? Apakah yang akan kita rasakan ketika kita tidak diberi kesempatan kedua oleh orang lain
Allah Swt mengutus Rasulullah Muhammad Saw untuk mengajarkan hukum-hukum Allah kepada umatnya. Dalam pelaksanaannya, Muhammad Saw juga mengedepankan kasih sayang dan hikmah. Misalnya, Muhammad Saw memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan sebelum dilaporkan. Hal ini dikenal sebagai restorative justice di zaman now. Jika korban memutuskan untuk membawanya ke pengadilan, barulah prosedur hukum akan berlangsung.
Hendaklah kalian saling memaafkan dalam masalah hukuman had yang terjadi di antara kalian, sebab jika had telah sampai kepadaku maka wajib untuk dilaksanakan (HR. Abu Dawud no. 3476).
Sementara itu, untuk pelanggaran yang sifatnya antara hamba dengan Allah Swt, meskipun ada had atau hukuman bagi yang melakukannya, Muhammad Saw lebih menyukai jika pelakunya menyembunyikan dosa tersebut, bertobat dengan sungguh-sungguh, dan tidak mengulanginya lagi. Misalnya, pernah ada seorang pemuda yang nyaris berzina mengadu ke Umar bin Khattab ra., lalu ke Abu Bakar ra., sampai kepada Muhammad Saw. Saat Muhammad Saw mendengar ceritanya, beliau Muhammad Saw lalu membacakan ayat Al-Qur’an:
Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah) (QS. Hud 11: 114).
Di lain kesempatan, suatu hari seorang sahabat bernama Ma’iz bin Malik ra. mendatangi Muhammad Saw.
“Wahai Rasulullah, sucikanlah aku!” pintanya kepada Muhammad Saw. Mendengar laporan begitu, Muhammad Saw justru menyuruh Ma’iz pulang, “Pulanglah dan bertobatlah!” Betapa santunnya beliau Muhammad Saw, dan betapa polosnya Ma’iz yang tidak menangkap isyarat beliau Muhammad Saw. Karena merasa gelisah dan berdosa, Ma’iz kembali lagi menghadap Rasulullah ﷺ sebanyak tiga kali, dengan permintaan yang sama, “Sucikan aku!” Saat datang untuk yang keempat kali, Muhammad Sawbertanya, “Apa yang bisa aku sucikan darimu?” “Sucikanlah aku dari zina wahai Rasulullah,” jawab Ma’iz. Muhammad Saw tidak langsung menetapkan hukuman kepada Ma’iz. Beliau Muhammad Saw bertanya kepada para sahabat, “Apakah dia gila?”
Para sahabat menjawab, “Tidak wahai Rasul.”
Beliau Muhammad Sawbertanya lagi, “Apakah dia minum khamr?”
Seorang sahabat berdiri untuk memeriksa bau alkohol dari mulutnya, dan tidak mencium bau khamr.
Muhammad Saw bertanya lagi kepada Ma’iz, “Apakah kamu benar-benar berzina?” Ma’iz menjawab, “Iya.” Barulah setelah itu Ma’iz dihukum rajam karena permintaannya sendiri (HR. Muslim no. 1695).
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani menulis bahwa hadis di atas adalah himbauan untuk tidak menceritakan dosa pribadi, seperti zina, kepada siapa pun. Namun, lebih baik seseorang langsung bertobat kepada Allah atas maksiat yang telah dilakukan.
Serupa dengan cerita di atas, Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwattha’ tentang seorang laki-laki bernama Hazzal yang mengaku berzina lalu dirajam. Rasulullah ﷺ pun berkata kepada Hazzal:
Wahai Hazzal, seandainya kamu menutupinya dengan pakaianmu (menyembunyikan perbuatanmu lalu bertobat), maka itu lebih baik bagimu (HR. Malik no. 1505).
Sahabat kesan tentu saja yang paling utama adalah meninggalkan segala larangan Allah Swt. Namun, jika terlanjur jatuh ke dalam dosa tersebut, dan Allah telah menutupi aib kita dari orang lain, alangkah baiknya jika kita menyambut kebaikan Allah itu dengan menyesali segala yang kita perbuat dan tidak mengumbarnya. Muhammad Saw pun memberikan kesempatan kedua kepada para sahabat yang berbuat dosa. Kesempatan kedua berarti bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Sebagai salah satu ikhtiyar untuk menjaga diri dari berbuat dosa, kita bisa membaca doa perlindungan dari maksiat yang diajarkan oleh Syekh Mutawalli Asy-Sya'rawi ini:
Ya Allah Swt, luputkan aku dari kelezatan maksiat kepada-Mu, dan berikanlah aku kelezatan untuk taat kepada-Mu. Semoga kita bisa menjadi hamba Allah Swt yang malu berbuat dosa dan tidak pernah mengulanginya lagi setelah mendapat kesempatan kedua. Aamiin.
Seluruh manusia pasti punya salah disengaja maupun tidak disengaja. Salah kepada setiap insan manusia apalagi salah kepada Allah SWT. Kita sering melupakan perintah dan larangan yang diberikan oleh Allah SWT. Namun Allah Maha Pengampun sehingga seluruh kesalahan-kesalahan kita diampuni oleh Allah SWT.
Banyak waktu dan kesempatan selama hidup di dunia ini untuk meminta ampun kepada Allah SWT dan telah di jelaskan di banyak hadis dan Al Qur’an. Dari salat wajib 5 waktu ke salat wajib lainnya, dari Jumat ke Jumat dan dari Ramadhan ke Ramadhan dapat menghapus dosa-dosa kita. Selain itu kita bisa bermujat di Salat Tahajut atau pada Salat Taubah. Bulan Ramadhan juga merupakan bulan yang penuh ampunan.
Di penghujung bulan Ramadhan tentunya kita bersedih karena akan ditinggalkan bulan yang penuh rahmat dan penuh Ampunan. Sesaat lagi kita akan merayakan Idul Fitri. Menjadi manusia yang bersih dari dosa. Karena selama setahun tentunya kita banyak melakukan kesalahan. Kesalahan kepada orang tua kita, istri/suami, anak-anak, tetangga, sahabat, saudara atasan atau bawahan maupun orang-orang yang kita tidak kenal.
Mungkin kita pernah berkata kasar atau berkata yang membuat orang lain tersinggung, menyakiti hati orang lain, tidak sabar sehingga menyulut emosi dan perbuatan-perbuatan yang membuat kita iri dan dendam. Beberapa minggu ini saja banyak berita yang tentu sangat memperihatinkan.
Berita pembunuhan dengan memberikan sianida, seorang keluarga pasien melakukan tindakan kekerasan terhadap perawat dan masih banyak berita lainnya. Memaafkan tentu bukan lah sesuatu yang mudah apalagi menyangkut hati dan harga diri.
“Adalah Rasulullah SAW orang yang paling bagus akhlaknya: beliau tidak pernah kasar, berbuat keji, berteriak-teriak di pasar, dan membalas kejahatan dengan kejahatan. Malahan beliau pemaaf dan mendamaikan,” (HR Ibnu Hibban).
Sungguh indah jika kita mengikuti akhlak Nabi Muhammad SAW. Dalam hadis tersebut menerangkan bahwa akhlak Nabi Muhammad SAW sungguh mulia. Banyak cerita atau kisah yang patut di contoh tentang bagaimana Nabi Muhammad SAW memaafkan musuh-musuhnya atau orang-orang yang telah menyakitinya. Namun semua perbuatan yang telah mereka lakukan kepada Nabi Muhammad SAW dibalas dengan kebaikan. Dengan kebaikan itulah maka banyak musuh-musuh Nabi ataupun orang yang pernah menyakiti Nabi menjadi masuk Islam. Idul Fitri menjadi salah satu momentum untuk saling memaafkan. Jika semua saling memaafkan tentunya dunia ini akan menjadi damai. Tidak ada konflik, dendam, iri, dan dengki. Referensi sebagai berikut ini ;
Allah Swt menciptakan surga sebagai tempat kembali orang-orang yang beriman. Adapun surga yang diciptakan Allah tersebut bermacam-macam di mana yang paling tinggi dan paling utama adalah surga Firdaus. Dari Anas bin Malik ra, Nabi Muhammad saw bersabda, "Firdaus adalah surga yang paling tinggi, yang paling bagus, dan yang paling afdal (utama)." (HR. Turmudzi dan disahihkan oleh Al-Albani).
Kita sebagai manusia pasti berharap akan menjadi salah satu yang terpilih menjadi penghuni surga Firdaus. Untuk bisa mewujudkan itu, Allah Swt pada dasarnya telah memberikan bocoran siapa saja yang berhak masuk surga tertinggi itu.
Dalam Surah Al-Mu'minun ayat 1-11 Allah Swt berfirman yang artinya:
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya, mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka kekal di dalamnya." (QS. Al-Mu’minun: 1-11)
Dari sebelas ayat di atas, dikatakan akan ada tujuh golongan manusia yang berhak mewarisi (calon penghuni) surga Firdaus.
1. Orang yang khusyuk dalam salatnya
Khusyuk dalam salat meskipun berat tetapi harus selalu diusahakan dengan cara berserah diri, tulus, ikhlas dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah dalam menjalankannya.
2. Orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan tidak berguna
Mereka inilah yang senantiasa memilih perbuatan yang bermanfaat daripada yang membuang-buang waktu. Orang-orang ini akan selalu meninggalkan kebatilan dan sumpah yang tak perlu.
3. Orang-orang yang menunaikan zakat
Zakat sendiri menjadi kewajiban bagi setiap muslim yang harus selalu dikeluarkan setiap tahunnya. Zakat membuktikan bahwa kita harus berbagi karena di dalam harta yang kita peroleh terdapat hak orang lain. Lebih dari itu, zakat berguna untuk menyucikan harta serta jiwa seseorang.
4. Orang-orang yang menjaga kemaluannya dari perbuatan keji dan zina
Perbuatan ini sangat dilarang oleh Allah meskipun hanya mendekatinya. Oleh sebab itu siapa saja yang berhasil menjauhinya jelas akan mendapat pahala yang besar.
5. Orang-orang yang menahan pandangannya
Nikmat bisa melihat wajib disyukuri oleh setiap manusia dan harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan kepada manusia untuk menjaga pandangan dari hal-hal yang tidak baik.
6. Orang-orang yang mampu menjaga amanah dan janji yang telah dipikulnya
Bagi siapa pun yang memiliki amanah, maka wajib menjaganya dengan sebaik-baiknya terlebih bagi para pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Janji-janji harus ditepati karena janji adalah utang.
7. Orang-orang yang memelihara salatnya
Salat jelas merupakan amalan yang paling utama sebagai umat muslim. Memelihara di sini maksudnya adalah selalu salat tepat waktu serta menyempurnakan rukuk, sujud dan gerakan lainnya. Demikianlah, semoga kita menjadi bagian dari penghuni surga Firdaus. Amin. Ya Robbal 'Aalamin.
7 Golongan Manusia Calon Penghuni Surga Firdaus Berdasarkan Didalam Kitap Suci Al-Qur'an, Referensi sebagai berikut ini ;
Golongan Orang yang akan Jadi Penghuni Surga Firdaus, Mendengar kata surga, pasti semua orang ingin berada di dalamnya setelah meninggal dunia. Karena gambaran surga yang disebutkan dalam Al-Quran sangatlah indah dan tidak dapat dibandingkan dengan apa pun yang ada di muka bumi. Surga yang paling indah adalah Surga Firdaus. Seperti salah satu firman Allah dalam QS. Al-Insan ayat 20, yang berbunyi:
Artinya: “Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.” Mustahil jika umat muslim tidak menginginkan surganya Allah SWT. Pasalnya, kenikmatan yang akan diperoleh di dalam surga tersebut sungguhlah indah dan kekal bagi mereka yang terpilih. Allah SWT menciptakan surga sebagai tempat kembali orang-orang yang beriman. Adapun surga yang diciptakan Allah tersebut bermacam-macam. Surga yang paling tinggi dan paling utama adalah surga Firdaus. Semua orang mengidam-idamkan surga ini.
Rasulullah Muhammad SAW bersabda dalam hadis riwayat Tirmidzi yang berbunyi:
Artinya: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Di surga ada seratus tingkat, jarak antara masing-masing tingkat seperti antara bumi dan langit dan Firdaus adalah surga tertinggi, darinya empat sungai surga memancar, di atasnya 'arsy, bila kalian meminta kepada Allah, mintalah Firdaus." Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani' telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun telah menceritakan kepada kami Hammam dari Zaid bin Aslam sepertinya.
Jika demikian, sebagai manusia pasti berharap akan menjadi salah satu yang terpilih menjadi penghuni surga Firdaus. Demi terwujudnya keinginan tersebut, Allah SWT telah memberikan kunci yang harus kita punya untuk dapat membuka pintu surga Firdaus, sehingga dapat masuk ke dalamnya.
Seperti yang telah disebutkan dalam firman Allah QS. Al-Mu`minun ayat 1-11, yang artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara salatnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.”
Dari 11 ayat di atas, ada tujuh golongan manusia yang berhak menjadi calon penghuni surga Firdaus, yakni:
Orang yang khusyuk dalam salatnya. Meskipun berat, tetapi harus selalu diusahakan dengan cara berserah diri, tulus, ikhlas dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah dalam menjalankannya.
Orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan tidak berguna. Mereka yang senantiasa memilih perbuatan yang bermanfaat daripada yang membuang-buang waktu. Orang-orang ini akan selalu meninggalkan kebatilan dan sumpah yang tak perlu.
Orang-orang yang menunaikan zakat. Zakat sendiri menjadi kewajiban bagi setiap muslim yang harus selalu dikeluarkan setiap tahunnya. Zakat mengajarkan kita saling berbagi, karena di dalam harta yang diperoleh terdapat hak orang lain. Lebih dari itu, zakat berguna untuk menyucikan harta serta jiwa seseorang.
Orang-orang yang menjaga kemaluannya dari perbuatan keji dan zina. Perbuatan ini sangat dilarang oleh Allah meskipun hanya mendekatinya. Oleh sebab itu siapa saja yang berhasil menjauhinya jelas akan mendapat pahala yang besar.
Orang-orang yang menahan pandangannya. Nikmat bisa melihat wajib disyukuri oleh setiap manusia dan harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan kepada manusia untuk menjaga pandangan dari hal-hal yang tidak baik.
Orang-orang yang mampu menjaga amanah dan janji yang telah dipikulnya. Bagi siapa pun yang memiliki amanah, maka wajib menjaganya dengan sebaik-baiknya terlebih bagi para pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Janji-janji harus ditepati karena janji adalah utang.
Orang-orang yang memelihara salatnya. Salat jelas merupakan amalan yang paling utama sebagai umat muslim. Memelihara di sini maksudnya adalah selalu salat tepat waktu serta menyempurnakan rukuk, sujud dan gerakan lainnya.
Golongan Orang yang akan Jadi Penghuni Surga Firdaus, Referensi sebagai berikut ini ;
Ciri Ahli Surga dan Ahli Neraka sebagai berikut ini penjelasannya ; Setiap orang tentunya menginginkan surga setelah di akhirat nanti. Untuk mencapainya semua orang tahu bahwa ibadah dan perbuatan baik dapat mengantarkan kita ke sana. Namun, tak pernah ada yang tahu siapa saja yang dijamin masuk surga atau neraka. Selama ini yang telah diketahui, orang-orang yang sudah dijamin menjadi ahli surga adalah Nabi Muhammad SAW bersama para sahabatnya, seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, dan lain sebagainya. Sementara di zaman sekarang, ahli surga menjadi rahasia Allah SWT.
Namun, mengutip Abdullah bin Zaid RA, Abdul Wahab As Sya'rani dalam kitabnya Mukhtasar At Tadzkirah lil Qurtubi menjelaskan, ada ciri-ciri tertentu untuk bisa mengenali seseorang sebagai ahli surga. Ciri-ciri tersebut telah disebutkan dalam Al - Quran. Seorang ahli surga hidupnya penuh dengan kesedihan dan takut pada azab Allah SWT. Namun, kesedihan yang dirasakannya bukan perkara dunia, melainkan bagaimana caranya dia dekat dengan Allah serta kekhawatiran akan masa depannya di akhirat.
Dalam Surat At Thur ayat 26-27, Allah berfirman,
"Mereka berkata, 'Sesungguhnya kami dahulu sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab). Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka."
Tak hanya ahli surga, ciri ahli neraka juga disebutkan dalam Alquran Surat Al Insyiqaq ayat 13. Dalam ayat itu Allah menunjukkan ciri orang yang masuk golongan ahli neraka.
"Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya." Dari ayat tersebut para ahli neraka tergambar dari kehidupannya yang selalu bersenang-senang dengan urusan duniawi. Saking terlarut dalam urusan dunia, mereka mengabaikan masa depannya di akhirat.
Penghuni surga memiliki ciri atau karakteristik yang positif. Pertama, wajhun malihun. Penghuni surga selalu menampilkan wajah yang ceria, gembira dan optimis. Wajah ceria merupakan bagian dari karakteristik seseorang yang selalu berfikir positif (positif thinking) dengan semua orang dan segala hal. Kedua, lisanun fashihun. Penghuni surga selalu bicaranya hal-hal yang baik dan bermanfaat. Pembicaraannya selalu menyejukkan. Ketiga, qalbun naqiyyun. Penghuni surga berhati bersih. Tidak iri dan dengki. Mampu mengendalikan diri dari amarah, emosi dan ego. Dan selalu mengedepankan persamaan bukan perbedaan. Terakhir, penghuni surga memiliki yadun sahiyyun. Penghuni surga memiliki karakteristik yang dermawan. Mau berbagi ilmu, pemikiran, harta, dan tenaga.
Penghuni neraka mengarah kepada sesuatu yang bernilai negatif. Penghuni neraka memiliki sifat dan budi yang jelek. Pertama, wajhun ‘abisun. Wajah yang masam, tidak mudah senyum, cemberut, garang dan tidak ceria. Wajah seperti ini tidak menampilkan wajah yang simpatik, merangkul dan membangun. Kedua, lisanun fahisyun. Pembicaraannya selalu kotor. Diksi yang digunakan selalu membawa pertentangan dan permusuhan, tidak menyejukkan. Ketiga, qalbun syadidun. Penghuni neraka memiliki hati yang keras. Tidak mudah lunak dengan kebaikan dan kebenaran. Merasa dirinyalah yang paling benar. Terakhir, yadun bakhilun. Penghuni neraka memiliki sifat kikir. Tidak mau berbagi kepada sesama.
Meski begitu, bukan berarti kita hanya harus fokus pada urusan akhirat hingga melupakan urusan dunia sepenuhnya. Sebagai manusia, dalam kehidupannya di bumi harus menjalankan semuanya dengan seimbang. Kita tetap harus memikirkan dunia, saling memberi manfaat bagi sesama, tentunya dengan mengutamakan amalan demi mendapat surga di akhirat nanti.
Ciri Ahli Surga dan Ahli Neraka, Referensi sebagai berikut ini ;