Bukan hanya menyatukan dua hati, menikah juga menyatukan dua keluarga. Ketika Anda sudah yakin dengan calon suami Anda, yakinkan juga hati Anda dengan keluarganya khususnya ibu mertua. Seorang ibu yang memiliki putra kebanggannya harus rela membagi cinta putranya dengan wanita pilihan sang putra, hal ini bisa saja jadi masalah saat ibu merasa putranya terlalu banyak memperhatikan istrinya dibanding ia, wanita yang melahirkannya. Cekcok antara ibu mertua dengan menantu sering terjadi khususnya bagi menantu wanita, berikut ini ciri ibu mertua yang tak menyukai menantunya.
1. Selalu ingin jadi pusat perhatian
Hal ini akan sangat terlihat di acara pernikahan Anda. Ibu mertua akan berada di setiap tempat di sudut pesta Anda. Ia banyak bicara dengan tamu dan banyak mengatakan bahwa keluarganya lebih baik dari pada keluarga Anda.
Perhatikan dengan seksama tingkah dan gelagatnya, jika Anda menemukan ia bertingkah seperti ini, waspadalah bukannya jadi ibu ke-dua, wanita ini akan jadi saingan Anda.
2. Menganggap Anda rendah
Cara ia berbicara kepada Anda atau berperilaku terhadap Anda membuat Anda merasa bahwa ia merupakan wanita terbaik dan Anda hanya debu di hadapannya. Ia ingin Anda meyakini bahwa Anda tak ada di hadapannya.
3. Ikut Bulan Madu
Anda bisa dibuat terkejut ketika melihat ibu mertua ikut ke tempat bulan madu. Tapi sebenarnya, ia sudah merencanakan sebelumnya. Tentu saja, bahkan suami Anda tak tahu rencana ibunya sendiri.
4. Ciptakan PertengkaranApabila ibu mertua membenci Anda, ia akan menyukai apabila Anda bertengkar dengan anaknya. Ia menjadi senang di tengah penderitaan Anda. Tapi, ia tak menyadari fakta bahwa ia telah mempermainkan pernikahan anaknya. Namun, ia akan segera menyadari kesalahannya. Apabila mertua melakukan hal demikian, bersabarlah sampai suami Anda mengetahui kebenarannya.
5. Tak memperkenankan Anda bermanja dengan suami
Ia sangat benci ketika Andalah yang berada dalam pelukan putranya. Untuk menghindari konflik, jangan pernah bermesraan di hadapannya. Ia mungkin memastikan Anda tak memiliki cukup waktu untuk menghabiskan waktu dengan putranya.
6. Ikut campur urusan rumah tangga Anda
Ia akan banyak menyalahkan Anda dalam segala hal, dari hal remeh-temeh hingga hal besar. Jika ibu mertua seperti ini ada dalam kehidupan Anda, bersabarlah jangan terpancing emosi, karena lama kelamaan suami Anda juga akan tahu sikap sang ibu yang ditunjukan pada Anda.
Memahami Akibat Hukum Perceraian Qabla Al-Dukhul, Fenomena perceraian sebelum hubungan badan suami-istri atau qabla al-dukhul semakin marak terjadi di masyarakat. Terdapat berbagai penyebab perceraian tersebut, seperti kawin paksa, hamil di luar nikah, pertengkaran pengantin baru hingga kematian suami sebelum terjadinya percampuran pengantin. Pembahasan qabla al-dukhul mendapat bagian tersendiri dalam hukum perceraian. Dari sisi persyaratan serta akibat hukum khususnya hak dan kewajiban suami-istri berbeda dibandingkan dengan perceraian secara umum.
Istilah perceraian qabla al-dukhul dikenal dalam hukum keluarga Islam. Qabla al-dukhul berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari dua kata yaitu, qabla berarti sebelum, sedangkan kata al-dukhul berarti masuk. Dijelaskan bahwa al-dukhūl merupakan bentuk masdar atau kata dasar dari kata dakhalayadkhulu-dukhūlun. Menurut kamus istilah fikih kata al-dukhūl adalah masuknya zakar atau alat kemaluan laki-laki ke dalam farji atau alat kemaluan perempuan. Berdasarkan ruang lingkup hukum keluarga kata al-dukhūl merupakan proses terjadinya hubungan antara suami-istri dalam sebuah ikatan resmi yaitu pernikahan. Kata lain yang memiliki makna sama dengan al-dukhūl adalah kata al-waṭ’u yang berarti bersetubuh.
Jadi apabila dihubungkan, kata qabla dan kata al-dukhūl dapat dipahami bahwa qabla al-dukhūl merupakan keadaan dalam ikatan perkawinan suami istri yang belum melakukan pencampuran suami-istri. Lalu, bagaimana syarat-syarat perceraian qabla al-dukhul dapat sah dilakukan? apabila perceraian qabla al-dukhul terjadi karena suami meninggal dunia sebelum terjadi hubungan intim suami-istri, maka proses putusnya perkawinan sama seperti putusnya perkawinan karena kematian, artinya persyaratan yang dibutuhkan hanya bukti akta kematian suami dan tidak melalui proses persidangan perceraian.
Tetapi apabila perceraian qabla al-dukhul terjadi karena permohonan talak suami ke Pengadilan Agama, maka syarat-syaratnya sama seperti syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama, yaitu dengan mengajukan permohonan talak baik secara tertulis maupun secara lisan dengan menyertakan alasan-alasan Perceraian.
Prosedur/Tata Cara perceraian diatur dalam Pasal 39-41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Pasal 14-36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan. Sedangkan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), prosedur dan tata cara perceraian diatur dalam Pasal 129-148 KHI.
Hal yang menjadi catatan bahwa perceraian qabla al-dukhul ini harus dilaksanakan dalam persidangan dan didasarkan pada Putusan Pengadilan Agama kecuali perceraian di mana salah satu pasangan meninggal dunia atau cerai mati. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 8 jo Pasal 115 KHI, dan Pasal 39 UU Perkawinan.
Catatan Tersendiri di Pengadilan Agama
Berdasarkan penulusuran Hukumonline pada direktori putusan Mahkamah Agung, perceraian qabla al-dukhul menjadi catatan tersendiri di Pengadilan Agama. Dalam putusan-putusan tersebut terdapat berbagai alasan terjadinya perceraian qabla al-dukhul seperti kawin paksa, dan pertengkaran. Ada juga, perceraian terjadi karena istri menolak berhubungan badan dengan suami barunya karena masih teringat dengan mantan suami.
Fenomena perceraian qabla al dukhul yang diajukan ke Pengadilan Agama memang menjadi catatan tersendiri, sebagian besar hakim di Pengadilan Agama menyayangkan hal ini bisa terjadi, dan secara pribadi pun saya juga menyayangkan jika hal ini terjadi. Persoalan perkawinan bukan persoalan sepele, hal ini sebagai bukti bahwa persoalan itikad baik dan kesepakatan dalam perkawinan merupakan hal utama dan pertama harus diimplementasikan oleh pasangan suami-istri maupun oleh orang tua atau wali dari pasangan tersebut.
Adanya kawin paksa atau pernikahan di mana salah satu calon pengantin menyembunyikan sesuatu yang dianggap hal sepeleh tetapi pada akhirnya dapat memicu terjadinya keributan yang berujung pada ketidak percayaan dan perceraian, merupakan alasan mengapa perceraian qabla al-dukhul ini diajukan ke Pengadilan Agama.
Perlu penguatan dalam pemaknaan perkawinan sebagai ikatan suci yang menghendaki hubungan keluarga yang kekal tidak hanya ditekankan kepada pasangan pengantin tetapi juga kepada keluarga atau wali dari kedua mempelai.
Perceraian qabla al-dukhul tentunya memiliki dampak negatif, baik bagi pasangan maupun bagi anak yang ada dalam kandungan istri. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan terlindunginya hak-hak istri yang diceraikan, karena berdasarkan Pasal 149 KHI perceraian qabla al-dukhul tidak mewajibkan suami untuk memberikan mut’ah, dan nafkah, maskan dan kiswah.
Belum lagi persoalan nama baik keluarga tentunya menjadi persoalan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan khususnya pada daerah-daerah yang masih memegang teguh sistem adat istiadat. Akibat perceraian qabla al-dukhul memang hanya berimbas pada persoalan pemberian mas kawin dan nafkah dari suami kepada istri dan anak dari luar pernikahan. Mengenai harta perkawinan atau pembagian harta gono gini tidak menjadi pembahasan karena rata-rata usia perkawinan belum lama terjadi dan belum ada harta pencarian bersama yang dihasilkan.
Perceraian qabla al-dukhul ini dapat terjadi karena suami meninggal sebelum melakukan hubungan intim suami-istri atau terjadi karena suami mengajukan permohonan talak ke pengadilan. Kedua perbedaan kondisi ini juga memiliki dampak yang berbeda, maka dari itu pembahasan dampaknya akan dipisahkan.
Akibat hukum perceraian qabla al-dukhul apabila suami meninggal dunia sebelum melakukan hubungan intim sebagai suami-istri, maka mengenai mas kawin atau mahar, nafkah, dan mewaris, istri tersebut tetap memperoleh haknya sebagaimana hak istri yang telah dicampuri suaminya. Hal ini didasarkan pada penghormatan sebagai wanita dan kondisi tersebut terjadi bukan karena kehendak tetapi takdir dari Ilahi. Pernyataan ini dikuatkan berdasarkan mazhab dari imam Maliki dan Syafi’i. Sedangkan terhadap anak di luar pernikahan tidak mendapatkan hak nafkah maupun hak mewaris dari suami ibunya tersebut.
Sementara itu, akibat hukum perceraian qabla al-dukhul apabila suami mengajukan permohonan talak ke Pengadilan Agama, maka akibat hukum terhadap mas kawin atau mahar dari suami apabila mahar tersebut telah dilunasi pada saat perkawinan dilangsungkan maka mahar tersebut tetap menjadi hak bagi istri. Sedangkan, apabila mahar tersebut belum lunas alias masih ditangguhkan atau dihutang, maka berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 35 ayat (1) disebutkan bahwa apabila suami yang menalak istrinya qabla al-dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
Bagaimana dengan nafkah dan mewaris? Berdasarkan ketentuan Pasal 149 KHI, istri yang diceraikan qabla al-dukhul tidak berhak atas mut’ah, nafkah maupun atas warisan dari suami, tetapi apabila suami dengan alasan kemanusiaan mau memberikan tidak dilarang.
Lalu, bagaimana anak di luar pernikahan? Anak di luar pernikahan tidak berhak atas nafkah maupun warisan dari suami ibunya. Hal ini didasari dengan ketentuan Pasal 43 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 100 KHI, bahwa anak yang tidak sah atau lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.
Putusan Pengadilan
Berbagai putusan perceraian qabla al-dukhul yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama, memang rata-rata memberikan putusan pembebasan kewajiban suami untuk memberikan mut’ah (uang atau benda berharga), nafkah, dan waris kepada istri yang diceraikan. Hal ini dilakukan dengan mendasarkan putusan pada ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya ketentuan yang terdapat dalam KHI.
Dari tiga putusan yang dikutip soal perceraian qabla al-dukhul yaitu putusan Nomor 968/Pdt.G/2021/PA.Lmj, putusan 258/Pdt.G/2020/MS.Jth dan putusan Nomor 258/Pdt.G/2020/MS.Jth, memang mewajibkan suami memberi mut’ah, nafkah dan waris kepada istri yang diceraikan. Kondisi tersebut dianggap belum memberi rasa keadilan.
Putu berpendapat seharusnya hakim dalam memutuskan suatu perkara tidak hanya didasarkan pada aturan yang berlaku saja, baiknya juga pertimbangan hati nurani dapat dilibatkan dalam kasus perceraian qabla al-dukhul, namun tidak semua kasus rata diterapkan, masih dilihat dan dipertimbangkan kasus demi kasus.
Apabila memungkinkan untuk kasus perceraian qabla al-dukhul yang tidak berkaitan dengan alasan perzinaan, hakim dapat memberikan tambahan putusan mengenai mut’ah kepada istri yang diceraikan.
Hal yang dapat menjadi pertimbangan adalah sebagai bentuk penghargaan dari sisi kemanusiaan, terutama jika diketahui si-istri tidak memiliki penghasilan atau tidak berkecukupan. Bagaimanapun juga wanita yang diceraikan akan sakit hatinya dan memperoleh stigma negatif di dalam masyarakat, bukan hanya si-wanita tetapi juga keluarganya, maka pemberian mut’ah sebagai bentuk hadiah pelipur hati dan memelihara jalinan hubungan baik meskipun sudah bercerai.
Menurutnya, pemberian mut’ah ini akan dapat menghilangkan prasangka atau fitnah yang berkembang di masyarakat, serta akan memberikan perasaan kasih sayang dan saling memaafan satu sama lain. Pemberian mut’ah ini juga dapat menjauhkan rasa penyesalan dan kekecewaan atas perceraian yang terjadi, sehingga mut’ah dapat berfungsi sebagai bentuk kemanusiaan dan kenang-kenangan yang memberi penghargaan kepada perempuan.
Putu menyampaikan pada dasarnya suatu perceraian yang diajukan ke pengadilan terjadi dalam kondisi suami-istri bertikai, artinya ada keterlibatan emosional dan bahkan mengarah kepada kemarahan atau dendam. Hal yang teramat sulit untuk meminta suami memenuhi kewajibannya saat terjadi perceraian qabla al-dukhul, apalagi didukung dengan perangkat hukum yang membebaskan suami dari pemenuhan mutah, nafkah, dan waris atas perceraian qabla ql-dukhul tersebut.
Sehingga, dia menilai hal yang dapat dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan dan kekeluargaan. Suami perlu diingatkan bagaimana ia saat meminta ke keluarga wanita untuk menjadikannya sebagai istri, maka pada saat mengembalikannya pun harus dilakukan secara baik-baik dengan pendekatan kemanusiaan dan kekeluargaan. Persoalan pemberian mut’ah dan pemenuhan nafkah kepada istri yang diceraikan memang menjadi keikhlasan dari suami untuk memenuhinya atau tidak.
Selain itu, hal yang perlu diperhatikan mengenai pemulihan nama baik istri yang diceraikan dan keluarganya, persoalan ini yang kadang tidak dihiraukan pihak suami dan keluarganya. “Bentuk penguatan untuk suami melaksanakan kewajibannya memang harus ditetapkan oleh hakim dalam amar putusannya, tanpa adanya suatu ketetapan maka jaminan kepastian untuk dapat dilakukan pemenuhan kewajiban suami atas pemenuhan hak-hak istri sulit untuk dilakukan,
Pada dasarnya cerai gugat merupakan perbuatan yang dihalalkan, akan tetapi perbuatan ini disenangi oleh Iblis karena cerai gugat berdampak buruk bagi kehidupan. Adapun yang ditimbulkan oleh cerai gugat adalah
Bagi Istri yang meminta cerai pada suaminya tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syara’ maka tidak dapat masuk surga karena mencium bau surga saja tidak bisa.
Cerai gugat berakibat jatuhnya talak ba’in shugra artinya suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya, apabila suami ingin kembali kepada istrinya maka harus dengan akad nikah baru.
Akibat cerai gugat terhadap anak yang belum mumayyiz mendapatkan hadhanah dari ibunya sedangkan yang mumayyiz memiliki hak khiyar (memilih) yakni memilih ayah atau ibunya.
Perkawinan merupakan jalan yang diberikan Allah kepada manusia untuk mendapatkan keturunan dan mengembangkan keturunan tersebut. Selain dari itu perkawinan juga sebagai penyalur dari kebutuhan seksualitas yang ada pada manusia itu sendiri. Dengan itu, perkawinan juga bertujuan untuk membentuk keluarga yang kekal, bahagia. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat ar-Rum Ayat 21: Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Islam telah memberi ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung jawab bagi suami isteri supaya perkawinan berjalan dengan keluarga sakinah, mawadah dan rahmah. Bila ada di antara suami isteri berbuat diluar haknya maka Islam memberi petunjuk bagaimana cara mengatasinya dan mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi apabila dalam suatu rumah tangga terjadi krisis yang tidak dapat diatasi lagi, maka Islam memberikan jalan keluar yang salah satunya dengan perceraian.
Angka Perceraian di Pengadilan Agama Kota Padang terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2014 tercatat 186 perkara yang masuk ditambah sisa perkara yang belum selesai pada tahun 2013 sebanyak 1.354 kasus maka total keseluruhan 1.540 perkara dan yang telah diputus sebanyak 1.362 perkara. Seiring dengan itu pada tahun 2015, sisa perkara tahun 2014 ditambah dengan perkara yang masuk pada tahun 2015 maka total keseluruhan sebanyak 1.282 dan yang telah diputus sebanyak 1.148 perkara. Angka cerai talak pada tahun ini terdiri dari 23 kasus sedangkan cerai gugat 95 kasus. Sementara itu pada tahun 2016 terjadi lonjakan drastis yakni sisa perkara pada tahun 2015 ditambah kasus yang masuk selama tahun 2016 maka total keseluruhannya adalah 1.612 dan perkara yang belum putus sebanyak 186 kasus.
Berdasarkan data yang diproleh di Pengadilan Agama Kota Padang ini, diketahui maraknya isteri menggugat cerai suaminya. Hal ini menarik dibahas apa sebenarnya cerai gugat dan bagaimana dampak atau akibat hukum yang ditimbulkan dari cerai gugat.
Pengertian cerai gugat
Perkawinan harus dimaknai dengan seluruh aspek yang terdapat di dalamnya, menempuh kehidupan bersama sepanjang hidup, membina keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Namun realitanya banyak perkawinan yang berakhir atau putus karena perceraian. Agar tidak terjadinya perceraian harus ada beberapa upaya-upaya yang dilakukan yaitu: suami dan isteri harus melakukan usaha damai dengan melibatkan keluarga dari kedua belah pihak, jika usaha ini tidak bisa dilakukan maka salah satu pihak boleh mengajukan gugatan ke pengadilan agama.
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, atas putusan Pengadilan. Perceraian dikenal dengan dua bentuk, yaitu cerai talak dan cerai gugat. Adapun yang dimaksud dengan cerai talak adalah cerai yang berlangsung atas permohonan suami kepada Pengadilan Agama dengan alasan-alasan yang ditentukan, kemudian setelah Pengadilan Agama memandang sudah cukup alasan-alasan yang ditentukan, maka pengadilan memberi izin kepada suami untuk mengucapkan ikrar talak di depan sidang pengadilan.
Seiring dengan itu, cerai gugat dapat terjadi disebabkan adanya suatu gugatan oleh pihak isteri atau kuasa hukumnya kepada pengadilan. Di dalam PP No. 9 Tahun 1975 disebutkan cerai gugat adalah suatu gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
Cerai gugat dalam Islam disebut juga khulu’ yang menurut bahasa adalah melepaskan atau menanggalkan. Hal itu karena suami dan istri ibarat pakaian dan bila terjadi khulu’ maka lepasnya ikatan pernikahan diantara mereka. Pengertian khulu’ menurut para ulama mazhab:
Menurut Hanafiah khulu’ adalah:
الخلع هو إزالة ملك النكا ح المتوفقة على قبول المرأة بلفظ الخلع أوما فى معناه.
Khulu’ adalah putusnya ikatan perkawinan tergantung kepada penerimaan istri dengan adanya lafaz khulu’ atau yang semakna dengannya.
Menurut Malikiyah, khulu’ adalah:
معناه ان تبذل المرأة أوغيرها لرجل مالا على ان يطلقها أوتسقط عنه حقا لها عليه فتقع بذلك طلقة با ئنة .
Istri atau pihak istri menyerahkan harta kepada suami atas talak yang diminta istri atau jatuh atau gugurnya hak talak dari suami kepada istri maka pada hal yang demikian merupakan talak ba’in.
Menurut Syafi’iyah, khulu’ adalah:
هو اللفظ الدال على الفراق بين الزوجين بعوض متوفرة فيه الشروط.
Lafaz yang menunjukkan perceraian antara suami dan istri dengan iwadh (ganti rugi), yang harus memenuhi persyaratan tertentu.
Menurut Ahmad bin Hanbal, khulu’ adalah:
هو فراق الزوج إمرأته بعوض يأخذه الزوج من إمرأته أو غيرها بألفاظ
مخصوصة
Berpisahnya suami istri dengan adanya iwadh(tebusan) yang diambil suami dari istri atau pihak istri dengan menggunakan lafaz tertentu.
Berdasarkan definisi di atas yang dikemukakan para imam mazhab tersebut dapat dilihat bahwa arti cerai gugat atau khulu’ menurut syara’ hampir sama saja redaksinya, dapat disimpulkan khulu’ adalah permintaan istri kepada suami agar menceraikannya karena takut tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah yaitu taat kepada suami dengan adanya iwadh (tebusan) yang diberikan kepada suami sebagai tebusan dirinya agar suami menceraikannya dengan menggunakan lafaz khulu’ atau semakna dengan itu dari suami.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) membedakan cerai gugat dengan khulu’. Perbedaanya adalah cerai gugat tidak selamanya membayar uang iwadh (tebusan) sedangkan khulu’ uang iwadh dijadikan dasar akan terjadinya khulu’. Persamaan cerai gugat dan khulu’ adalah keinginan bercerai sama-sama datang dari pihak istri (baik khulu’ atau cerai gugat).
Landasan Cerai Gugat
Adapun yang menjadi landasan cerai gugat adalah al-Qur’an, hadis Nabi dan ijma’ ulama.
Firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah: 229
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Hal ini salah satu perlindungan terhadap wanita di dalam Islam karena dahulunya sebelum ayat ini turun baik umat Islam maupun orang Jahiliyah tidak mempunyai batasan bilangan talak sehingga hal ini justru menganiaya wanita. Mereka ditinggalkan tanpa suami dan tidak boleh pula bersuami lagi lalu turunlah ayat ini.
Selanjutnya Allah Swt menyuruh melepaskan wanita dengan baik dan tidak boleh mengambil barang-barang yang telah diberikan kepada istrinya bila terjadi perceraian, baik berupa maskawin dan lain-lain, tetapi bila dalam suatu perkawinan terdapat hal-hal yang menyebabkan suami istri tidak dapat lagi melaksanakan ketentuan Allah, maka khulu’ boleh dilakukan dengan memberikan tebusan.
Ibnu Katsir berkata bahwa banyak kalangan salaf dan Imam Khalaf mengatakan, “Susungguhnya tidak diperbolehkan melakukan khulu’ kecuali jika perselisihan dan kedurhakaan itu datangnya dari pihak wanita maka ketika itu si suami berhak menerima tebusan.
Didalam tafsir al-Qurtubi disebutkan bahwa ayat ayat ini merupakan landasan bolehnya khulu’. Menurut jumhur ulama khulu’ (talaq dalam bentuk tebusan) hukumnya jaiz (boleh). Ayat ini tidak ada disebutkan secara jelas bahwa tebusan wajibdalam melakukan khulu’. Hanya istri dibolehkan membayarkan tebusan bila ingin meminta khulu’. Jadi ayat ini menjadi dalil kebolehan melakukan khulu’.
Rasulullah SAW bersabda,
عن ابن عبا س ان امرأة ثا بت بن قيس اتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يارسول الله، ثابت بن قيس، ماأعتب عليه فى خلق ولا دين، ولكني أكره الكفر فى الاسلا م، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:أترد ين عليه حديقة؟ نعم، قالت رسول الله صلى الله عليه وسلم:"اقبل الحديقة وطلقها تطليقة" ( رواه النسائ ).
Ibnu Abbas menceritakan bahwa istri tsabit bin qais menemui nabi saw lalu berkata, ya Rasulullah! Aku tidak mencela Tsabit bin Qais itu mengenai akhlak dan cara beragamanya, tetapi aku takut kafir dalam Islam. Rasulullah SAW menjawab, apakah engkau mau mengembalikan kebun kormanya (yang jadi maskawinnya dahulu) kepadanya? “ dia menjawab: ya, kemudian rasul memanggil Tsabit bin Qais dan menyarankan kepadanya. Terimalah kembali kebunmu dan talaklah istrimu itu satu kali!” (H.R. Bukhari).
Hadis ini menjelaskan bahwa istridibolehkan meminta khulu’ dia takut akan kafir dalam Islam. Maksudnya pengingkaran terhadap nikmat bergaul dengan suami dan tidak akan dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dan tidak menunaikan haknya suami sehingga dia dibolehkan menebus dirinya ganti dari talak yang di terimanya.
Hadis diatas menguatkan ayat al-Quran mengenai hujjah kebolehan cerai gugat. Hadis-hadis tersebut menceritakan seorang istri yaitu istri Tsabit bin Qais yang ingin meminta cerai dari suaminya. Penyebab istri Tsabit bin Qais melakukan cerai gugat disebutkan bahwa istri Tsabit bin Qais melakukan hal itu karena ia sangat membenci rupa suaminya. Sehingga ia tidak sanggup lagi dan mengadukannya kepada Rasulullah SAW. Cerai gugat istri Tsabit bin Qais merupakan cerai gugat pertama kali dalam Islam pada masa Nabi Muhammad SAW. Adapun istri Tsabit bin Qais bernama Jamilah binti Abdullah bin Salul. Menurut ibnu Majah Jamilah binti Salul sedangkan menurut Abu Daud dan an-Nasa’i ia bernama Habibah binti Sahal.
Terakhir, landasan kebolehan cerai gugat adalah ijma’ para ulama yang sepakat membolehkan khulu’ atau istri meminta cerai dari suami. Cerai gugat ini dapat dilakukan apa bila kedua belah pihak takut tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, atau istri membenci suami baik itu rupa ataupun akhlaknya, atau karena di zalimi oleh suaminya.
Akibat Hukum Cerai Gugat
cerai gugat dengan cara yang telah ditetapkan Allah merupakan penolakan terjadinya permusuhan dan untuk menegakkan hukum-hukum Allah SWT.
Adapun akibat hukum cerai gugat adalah:
Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
يما امرأة سألت زوجها الطلاق فى غير ما بأس فحرم عليها رانحة الجنة
Artinya wanita manapun yang meminta suaminya untuk menceraikannya, tanpa ada alasan yang dibenarkan, maka dia diharamkan mencium bau sorga.
Cerai gugat termasuk kedalam talak ba’in shugra. Jadi cerai gugat mengurangi jumlah talak tetapi suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya, apabila suami ingin kembali kepad istrinya maka harus dengan akad nikah baru.
Hal ini dipertegas dalamKompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 119 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa:
Talak Ba’in Sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
Talak Ba’in Sughra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah
Talak yang terjadi qabla al dukhul
Talak dengan tebusan atau khulu’
Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama
Talak ba’in shugra, yaitu talak yang kurang dari 3 kali dan tidak boleh dirujuk tapi boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri meskipun dalam masa iddah.
Dengan adanya cerai gugat mantan istri menguasai dirinya secara penuh, segala urusan mantan istri berada di tangannya sendiri, sebab ia telah menyerahkan sejumlah uang kepada suaminya guna untuk melepaskan dirinya itu.
Pasal 156 KHI dijelaskan akibat perceraian karena cerai gugat terhadap anak yakni:
Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya diganti oleh:
Wanita-wanita dalam garis keturunan lurus ke atas dari ibu
Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah
Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari Ayah
Apabila anak sudah mumayyiz maka berhak memilih untuk mendapat hak hadhanah dari ayah atau ibunya.
Apabila pemegang hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain, yang mempunyai hak hadhanah pula.
Biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak dewasa dan dapat mengurus diri sendiri yakni berusia 21 tahun.
Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (c).
Pengadilan dapat pula dengan mengingatkan kemampuan ayahnya dengan menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
Berdasarkan pembahasan tersebut disimpulkan sebagai berikut:
Cerai gugat sama dengan khulu’ yang ada dalam Islam yakni permintaan istri kepada suami agar menceraikannya karena takut tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah yaitu taat kepada suami dengan adanya iwadh (tebusan) yang diberikan kepada suami sebagai tebusan dirinya agar suami menceraikannya dengan menggunakan lafaz khulu’ atau semakna dengan itu dari suami.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) membedakan cerai gugat dengan khulu’. Perbedaanya adalah cerai gugat tidak selamanya membayar uang iwadh (tebusan) sedangkan khulu’ uang iwadh dijadikan dasar akan terjadinya khulu’.
Akibat cerai gugat
Bagi Istri yang meminta cerai pada suaminya tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syara’ maka tidak dapat masuk surga karenamencium bau surga saja tidak bisa.
Dengan adanya cerai gugat mantan istri menguasai dirinya secara penuh, segala urusan mantan istri berada di tangannya sendiri, sebab ia telah menyerahkan sejumlah uang kepada suaminya guna untuk melepaskan dirinya itu
Cerai gugat berakibat jatuhnya talak ba’in shugra. Jadi cerai gugat mengurangi jumlah talak tetapi suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya, apabila suami ingin kembali kepad istrinya maka harus dengan akad nikah baru.
Akibat cerai gugat pada anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya diganti. Sedangkan pada anak yang sudah mumayyiz anak memiliki hak khiyar (memilih) yakni memilih untuk mendapat hak hadhanah dari ayah atau ibunya.
Saran
Berdasarkan hal tersebut penulis menyarankan sebagai kepada siapun yang hendak menikah hendaknya memahami betul hakikat pernikahan. Dengan pemahaman yang baik diharapkan orang tersebut mampu mengayuh biduk rumah tangga dengan baik agar cobaan dan masalah yang dihadapi dapat diselasaikan dengan cara yang baik dan jauh dari perceraian.
Kondisi istri dapat menjadi salah satu pertimbangan jika suami ingin rujuk.Dalam Islam, perceraian memang dibolehkan meski sangat dibenci oleh Allah. Namun terkadang, setelah memutuskan untuk bercerai, ada kalanya istri atau suami ingin rujuk atau kembali bersama. Di samping sebagai masa tunggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya setelah ditalak, masa iddah juga menjadi kesempatan bagi kedua belah pihak untuk berpikir ulang dan melanjutkan pernikahan.
Itulah sebabnya, masa iddah tidak bisa dipercepat dengan kecanggihan teknologi, semisal USG yang bermanfaat guna mengetahui kekosongan rahim. “Ini membuktikan bahwa di mata agama (Islam), proses rujuk bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng, yang dengan mudah dilakukan hanya karena kedua pihak sama-sama ingin bersatu kembali dalam perkawinan.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika suami ingin bersatu kembali setelah menjatuhkan talak kepada istrinya. Menurut Pengadilan Agama (PA), terkait dengan perceraian dan rujuk, ada pasal yang menentukan itu. Pasal 129 KHI berbunyi: “Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”
Jadi, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh suami di PA. Jika talak diucapkan suami di luar PA, hanya sah menurut hukum agama saja, tetapi tidak sah menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia.
Hal yang Harus Diperhatikan Saat Istri atau Suami Ingin Rujuk
Dari pandangan agama Islam, dilansir dari NU Online menurut Syekh Ibrahim al-Baijuri dalam Hasyiyah al-Bajuri yang, ada tiga hal yang harus diperhatikan sebelum dilakukan istri atau suami ingin rujuk. Tiga hal ini yakni suami yang hendak rujuk, istri yang akan dirujuk, dan kalimat rujuk. Berikut penjelasannya.
1. Suami Ingin Rujuk
Suami ingin rujuk harus terlebih dahulu merupakan orang yang sah melakukan pernikahan. Seperti baligh, berakal sehat, dan memiliki kemauan sendiri. Artinya, tidak sah rujuk dilakukan oleh anak kecil, orang tunagrahita, dan orang murtad. Berbeda dengan laki-laki yang sedang ihram atau mabuk, walaupun disengaja, maka keduanya tetap sah melakukan rujuk.
2. Istri yang Akan Dirujuk
Saat suami ingin rujuk, perhatikan juga kondisi istri. Tidak sah rujuk setelah habis masa iddah. Sehingga, jika suami tetap ingin kembali kepada istrinya atau berkeinginan untuk rujuk, dia harus melakukan akad baru seperti akad pernikahan pada umumnya.
“Jika seorang suami menalak istrinya dengan talak satu atau talak dua, maka dia berhak rujuk kepadanya selama masa iddahnya belum habis. Jika masa iddah telah habis maka sang suami boleh menikahinya dengan akad yang baru.” (Lihat: Abu Syuja, al-Ghâyah wa al-Taqrîb, Alam al-Kutub, tt., hal. 33).
Begitu pula jika talak yang dijatuhkan adalah talak tiga atau talak ba’in. Walaupun masa iddah belum habis, maka sang suami tidak bisa langsung rujuk atau menikah dengannya kecuali setelah terpenuhi lima persyaratan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Syekh Abu Syuja dalam al-Ghâyah wa al-Taqrîb. Jika sang suami telah menalaknya dengan talak tiga, maka tidak boleh baginya (rujuk/nikah) kecuali setelah ada lima syarat.
"Istri sudah habis masa iddahnya darinya, istri harus dinikah lebih dulu oleh laki-laki lain (muhallil), istri pernah bersenggama dan muhallil benar-benar penetrasi, istri sudah berstatus talak ba’in dari muhallil, masa iddah si istri dari muhallil telah habis.” (Abu Syuja, al-Ghâyah wa al-Taqrîb, Alam al-Kutub, hal 33).
Seperti halnya istri yang ditalak ba’in, istri yang ditalak dengan talak fasakh dan istri yang ditalak khulu‘ pun tidak bisa dirujuk. Sehingga sang suami yang ingin kembali bersama harus melakukan akad baru.
Begitu pula yang ditalak tetapi belum pernah melakukan hubungan seksual, juga tidak bisa kembali bersama sebab tidak memiliki masa iddah.
3. Kalimat untuk Rujuk
Ungkapan yang digunakan untuk rujuk bisa berupa kalimat sharih (jelas) atau ungkapan kinayah (sindiran) disertai dengan niat.
Contoh ungkapan sharih seperti “Engkau sudah dirujuk,”. Sementara ungkapan kinayah contohnya “Aku menikah lagi denganmu,”.
Syekh Ibrahim memberi syarat agar ungkapan rujuk tersebut tidak diikuti dengan ta’liq atau batas waktu tertentu.
Seperti ungkapan, “Aku rujuk kepadamu jika engkau mau,” atau “Aku rujuk kepadamu selama satu bulan,”.
Rujuk pun tidak cukup dilakukan dengan niat saja tanpa diucapkan dan disunnahkan diucapkan di depan wali.
“Rujuk sebenarnya boleh dilakukan tanpa kerelaan istri. Namun, mengingat salah satu tujuan pernikahan adalah mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan bersama, jika kerelaan istri diabaikan, bukan mustahil tujuan itu tidak akan tercapai,” jelas Ustadz M Tatam Wijaya
Dilansir dari Hukum Online, ternyata kita bisa rujuk meski sedang dalam masa iddah. Hukum Islam sendiri memberikan kemudahan bagi pasangan suami istri yang sudah bercerai tetapi ingin bersama kembali dengan diaturnya masa iddah bagi perempuan.
Setelah dilakukan perceraian, seorang istri harus melewati masa iddahnya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menikah kembali dengan laki-laki lain.
Masa iddah sendiri pun sudah diatur dalam Alquran lewat surat Al-Balqarah (2:288). Sementara itu, dalam hukum positif di Indonesia, ketentuan iddah atau masa tunggu sendiri diatur dalam pasal 150 sampai pasal 155 Kompilasi Hukum Islam atau KHI.
Lalu, apakah boleh suami dan istri yang sudah bercerai kembali rujuk dalam masa iddah? Begini penjelasannya.
Rujuk dalam masa iddah diatur dalam pasal 163 KHI dengan bunyi seperti ini;
Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah.
Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal:
Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah terjatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qabla ad-dukhul; Putusnya perkawinan berdasar putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk. Lalu, apa yang harus dilakukan ketika keduanya sudah memutuskan untuk rujuk?
Tata Cara Rujuk Setelah Perceraian Suami-Istri Apabila kedua belah pihak ingin bersatu kembali, mantan suami dan istri tersebut arus memiliki kutipan buku pendaftaran rujuk yang dikeluarkan oleh pegawai pencatat nikah. Hal tersebut pun diatur dalam pasal 10 KHI yang berbunyi:
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Nah, agar bisa mendapatkan buku pendaftarannya, keduanya bisa datang secara bersama-sama ke pegawai pencatat nikah atau pembantu pegawai pencatat yang ada di wilayah terdekat.
Ketika datang, jangan lupa untuk membawa penetapan terjadinya talak atau surat keterangan lain yang seperlukan seperti akta cerai. Usai membawa berkas yang dibutuhkan, pegawa pencatatan nikah akan melakukan pemeriksaan mengenai apakah mantan pasangan suami-istri tersebut sudah memenuhi syarat untuk rujuk. Tak hanya itu, kelayakan suami pun harus memenuhi syarat yang merujuk hukum munahakat. Seperti rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj'i atau belum dan apakah perempuan yang akan kembali diperistri tersebut benar istrinya.
Usai pegawai pencatat nikah melakukan pemeriksaan dan mantan suami-istri tersebut dinyatakan memenuhi persyarayan untuk rujuk, kemudian suami melakukan pernyataan rujuk dengan persetujuan istri dengan disaksikan oleh minimal 2 orang saksi.
Dalam pemilihan saksi sendiri, pernyataan bisa dilakukan di hadapan pegawai pencatatan nikah atau pembantu pegawai pencatat nikah seperti yang sudah hadir dan diatur dalam Alquran surat At-Talaq (65:2).
Setelah mengucapkan pernyataan, pegawai pencatat nikah pun akan membuatkan kutipan buku pendaftaran rujuk kepada masing-masing suami dan istri.
Ia juga akan membuat surat keterangan tentang terjadiya rujuk untuk kemudian dikirimkan ke Pengadilan Agama tempat berlangsungnya talak atau Pengadilan Agama tempat diputusnya perceraian.
Nah, agar bisa mendapatkan kembali akta nikahnya, suami istri beserta kuasa hukumnya bisa datang ke pengadilan agama tempat terjadinya talak dengan membawa kutipan buku pendaftaran rujuk yang tadi sudah dibuat.
Itu dia Anda tata cara rujuk yang bisa Anda lakukan. Namun perlu diingat, rujuk pun memiliki konsekuensi yang akan diterima oleh Anda dan juga Si Kecil.
Sebelum memutuskan untuk kembali bersama, Anda bisa bertanya kepada diri sendiri mengenai hal ini. Atau Anda juga bisa berkonsultasi ke psikolog sebelum memutuskan segala sesuatunya.
Baca Juga: Tak Hanya untuk Fisik, Ini 5 Manfaat Berenang untuk Psikologi Anak
Istri atau Suami Ingin Rujuk dalam Sudut Psikologi
Pada kenyataannya, tak banyak pasangan bercerai yang ‘berani’ untuk rujuk. Lebih banyak yang memilih menikah lagi dengan orang lain.
Padahal, bila didasarkan niat yang tulus, banyak hal positif yang bisa dipetik dari rujuk.
Ira menjelaskan, perceraian merupakan salah satu gempuran psikologis paling hebat yang dialami manusia.
“Lepas dari apa penyebabnya dan siapa yang salah, perceraian kerap dianggap sebagai bukti kegagalan suami atau istri dalam membina perkawinan, dan hal itu merupakan pukulan batin yang menyakitkan,” jelasnya.
Agar niat ini berakhir dengan baik bagi semua pihak, ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan:
Renungkan semua sikap dan perilaku yang berkontribusi dalam perceraian, sehingga tidak lagi terjebak dalam masalah yang sama.
Ciptakan keterbukaan terhadap setiap perubahan yang positif, yang mendukung keutuhan rumah tangga.
Niat rujuk harus datang dari suami dan istri. “Dalam perkawinan ada dua pihak yang sama-sama berperan hingga terjadinya perceraian, sehingga untuk rujuk pun niat harus datang dari kedua pihak. Keduanya juga harus mau melakukan usaha yang sama besar untuk memperbaiki hubungan yang pernah cedera,” ujar Ira.
Sembuhkan dulu luka-luka lama. Kemauan dan kemampuan untuk memberi maaf dan meminta maaf menjadi kata kunci, karena perlu suatu ketulusan dan keikhlasan.
Jangan menoleh lagi ke belakang. Pelajari dan terapkan hal-hal yang berpotensi menguatkan ikatan suami istri yang dahulu mungkin terabaikan, misalnya agama, komunikasi, kedekatan dengan keluarga besar, dan sebagainya.
Terapkan kiat-kiat tersebut saat suami ingin rujuk agar kembali merajut kebahagiaan bersama dalam rumah tangga.
Rasa bersalah berlebihan biasanya terjadi karena kita melakukan sesuatu di luar rencana, entah itu karena lalai atau apa yang sudah kamu usahakan tidak sesuai dengan kejadian. Merasa bersalah terkadang diperlukan, supaya nantinya menjadi lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan. Selain itu, dapat menjadi pribadi yang sadar bahwa manusia tidak luput dari kesalahan. Akan sangat berbahaya jika sudah terbukti salah, malah tidak mengakui dan tetap merasa paling benar. Namun, merasa bersalah berlebihan bukanlah hal baik. Jangan diremehkan, karena 3 akibat memiliki rasa bersalah berlebihan ini bisa menimpamu.
1. Menghambat Langkah
Akibat buruk pertama yang ditimbulkan dari rasa bersalah berlebihan, yaitu menghambat langkah. Bagaimana tidak, pribadi yang merasa bersalah berlebihan akan menjadi semakin takut untuk melangkah. Padahal salah adalah sesuatu hal yang wajar terjadi.
Tidak akan ada yang namanya perbaikan jika tidak terjadi sebuah kesalahan. Tinggal bagaimana kita mengeksekusinya saja. Apakah kesalahan tersebut akan dijadikan sarana perbaikan, atau malah menjadi hal yang akan diulang?
Langkah yang terhambat tidak akan membawamu menuju keberhasilan. Ingatlah, bahwa keberhasilan hanya bisa diraih jika kita berani untuk melangkah dengan segala risiko dan konsekuensinya.
Merasa bersalah secara berlebihan juga bisa menurunkan rasa percaya diri. Perasaan bersalah berlebihan akan membuat pelakunya menjadi minder, tidak memiliki kepercayaan diri untuk melakukan sesuatu. Akhirnya lebih memilih untuk diam.
Sementara, diam tidak akan memberikan perubahan. Diam tidak akan merubah hidup. Diam tidak akan membuatmu mencapai apa yang kamu inginkan. Boleh merasa bersalah, tapi jangan berlarut-larut.
3. Rentan Mengalami Depresi
Akibat buruk terakhir jika kamu memiliki rasa bersalah berlebihan, adalah rentan mengalami depresi. Mengapa? Karena orang yang merasa bersalah berlebihan akan selalu berpikiran negatif dan menyalahkan diri sendiri. Tekanan datang dari dalam diri sendiri.
Memendam emosi tidak perlu dan akhirnya menumpuk. Bahkan bisa menjadi pribadi yang lebih senang menyendiri. Situasi ini bisa membuatmu menjadi lebih rentan mengalami depresi.
Jangan biarkan perasaan bersalah malah menjadi penghambat langkah. Kesalahan bukanlah untuk ditakuti, tapi dilawan. Kesalahan itu ada untuk dijadikan pelajaran, supaya pengambilan keputusan lebih dipertimbangkan.
Itulah lima akibat buruk yang akan ditimbulkan jika kamu merasa bersalah secara berlebihan. Benar-benar tidak bisa diremehkan, bukan? Merasa yakin terhadap suatu pilihan keputusan memang diperlukan, tapi terlalu yakin terkadang malah memberikan hasil tidak sesuai keinginan. Pertimbangkan ulang untuk meminimalisir kesalahan. Ingat ya, jangan simpan rasa bersalah berlebihan karena hanya menambah beban pikiran.
Jangan Berlarut-larut, Lepaskan Rasa Bersalahmu tersebut dengan cara berikut ini ; Setiap manusia tentu pernah melakukan kesalahan. Baik itu secara sengaja maupun tidak disengaja. Kesalahan yang dibuat biasanya akan menimbulkan efek ketidaknyamanan yang berlarut-larut. Rasa bersalah atas tindakan yang sudah dilakukan yang mengakibatkan trauma dalam diri sendiri.
Jika dibiarkan, rasa bersalah ini bisa mengakibatkan hal-hal yang merugikan diri sendiri. Kualitas diri menjadi buruk, trauma, bahkan sampai depresi. Sudah seharusnya rasa bersalah itu kita lepaskan, untuk menjalani hidup selanjutnya.
Berikut lima cara melepas rasa bersalah yang terus ada di dalam diri kita.
1. Melampiaskan rasa bersalah itu dengan menangis
Pelampiasan utama dari rasa bersalah itu adalah menangis. Menangis sekeras-kerasnya agar rasa bersalah itu hilang dan lenyap. Rasa bersalah yang tidak kita lampiaskan, bisa berubah menjadi trauma dan depresi. Keadaan yang seperti ini akan membuat kita berpikir yang tidak benar. Dampak terburuknya adalah mengakhiri hidup sendiri. Percayalah bahwa setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Tinggal bagaimana kita mampu melepaskan rasa bersalah yang ada dalam diri kita.
2. Bercerita dengan orang terdekat
Mencurahkan isi hati dan perasaan kepada orang terdekat juga bisa menjadi obat mujarab. Dengan bercerita, kita akan mendapatkan masukan yang baik dan membantu melepaskan rasa bersalah yang ada dalam diri kita. Jangan bersikeras menyimpan semua seorang diri. Berbagi kekesalan yang kita simpan agar hati menjadi lebih tenang.
3. Menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas
Kita juga bisa melepas rasa bersalah itu dengan mulai menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas. Berusaha memberikan sedikit waktu agar semua kembali seperti semula. Bukan lari dari masalah atau kesalahan, tetapi menghadapinya dengan kuat. Kesalahan itu harus kita hindari agar tidak mengulanginya lagi.
4. Berusaha ikhlas dan lapang dada
Percaya bahwa kesalahan yang telah kita perbuat tidak luput dari takdir Sang Pencipta. Kita harus menerima dengan ikhlas dan lapang dada. Bukan menyalahkan keadaan atau orang-orang di sekitar kita. Mencari pembenaran dan alasan dari perbuatan yang salah. Memaafkan diri sendiri dan terus berusaha bangkit dari kesalahan.
5. Menjadikan pelajaran hidup
Kesalahan yang telah diperbuat tidak bisa kita perbaiki dengan cara memutar waktu itu kembali. Satu-satunya cara adalah menjadikan kesalahan tersebut sebagai pelajaran berharga untuk hidup kita. Tidak mengulanginya lagi dan berusaha menjadi lebih baik. Terus-menerus dihantui rasa bersalah hanya akan memperburuk keadaan saja. Itulah lima cara melepas rasa bersalah yang ada dalam diri kita. Percayalah, setiap manusia punya kesalahan dan kesempatan untuk menjadi lebih baik lagi.
Siapa yang dikuasai keserakahan, akan segera mendapat kemurkaan. Siapa yang pandangan matanya tertuju kepada sesuatu yang bukan miliknya, akan mempercepat tertimpa kekecewaan, dan terus menerus dirundung kesedihan.
Memakan harta orang lain secara tidak sah telah menjadi kendaraan kaum murahan dan tunggangan golongan manusia rendahan. Sementara itu, akhirat merupakan sesuatu yang lebih dicintai oleh kaum beriman dibanding apapun benda koleksi unik, lebih berharga dari pada nilai sesuatu yang dapat tergantikan, dan lebih hebat dari pada karya seni indah nan antik.
Siapa yang telah kehilangan kepercayaan, terungkap pengkhianatannya, buruk isi hatinya, tampak jelas dan terbongkar tipu dayanya, terpampang kemunafikan dan akal bulusnya, pastilah akan mudah melanggar (etika) pembagian, mengkhianati mitra kerjanya, mengambil jatah dirinya dan masih rakus terhadap jatah orang lain.
Tidak akan dia biarkan mitranya mendapatkan bagian walau hanya seujung jari, tidak juga sejengkal, dan ia tidak akan memberikan bagi mitranya tempat duduk, tempat naik, tempat bernaung, tempat untuk berjalan, kesempatan, terlebih lagi harta.
Jika urusannya didiskusikan, iapun dendam. Jika diaudit maka iapun kabur. Jika dicari maka menghilang, sehingga tak seorangpun meilhatnya. Semua urusannya adalah yang penting menguntungkannya, selalu menjengkelkan, penipuan dan siasat pengelabuan.
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu yakni di antara para rekan, sahabat karib dan mitra kerja sama- sebagian mereka (memang) berbuat semena-mena terhadap sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; (namun sayangnya) amat sedikit mereka ini.” Qs Shad : 24
Seburuk-buruk tipe manusia adalah orang yang jika hatinya rakus, langsung mencuri. Jika sudah kenyang, berbuat dosa. Jika kurang puas, terus menggerogoti. Jika telah merasa tercukupi, bertindak tidak senonoh.
Termasuk kesemena-menaan yang terlampau jauh adalah memakan harta warisan milik ahli waris lainnya. Allah –Subhanahu wa Ta’ala– berfirman :
“Dan kalian memakan harta warisan dengan cara mencampur adukkan (yang halal dan yang haram).” Qs Al-Fajr : 19
Kata “At-Turats” di sini adalah harta warisan, sedangkan “Al-Lammu” adalah upaya pengumpulan harta warisan dengan melakukan pelanggaran, sehingga orang itu selain memakan bagiannya sendiri, juga bagian warisan milik orang lain. Padahal sistem pembagian harta peninggalan itu telah diatur dalam syariat Islam sebagai putusan hukum yang adil.
Maka barangsiapa yang mengicu (mengakali) untuk menganulir (menggugurkan) putusan dan ketentuan yang ada, dengan mengubah bagian dan jatah (masing-masing ahli waris), melakukan keculasan dan kecurangan dalam pembagiannya, menghalangi salah seorang ahli waris dari haknya, menahan harta peninggalan, menyembunyikan aset-aset dan barang-barang peninggalan, lalu menyembunyikan berkas-berkas bukti harta warisan, berikut memonopoli pengelolaan dan pemanfaatannya untuk dirinya dengan memaksa ahli waris (yang berhak) untuk melepaskan bagiannya dan merasa puas dengan sebagian jatahnya, sungguh dia telah melanggar syariat Allah, ketetapan-ketetapan pembagian-Nya dan aturan-aturan hukum-Nya.
Pada akhir ayat tentang harta warisan dalam Surah An-Nisa’ Allah berfirman :
“Itulah ketentuan-ketentuan hukum Allah ( artinya ketentuan dan ukuran pembagian tersebut adalah keputusan dari Allah). Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya,(artinya tidak menambah jatah warisan sebagian ahli waris dan tidak pula mengurangi jatah sebagian yang lain, dengan cara mengakali atau cara apapun, namun membiarkan masing-masing menerapkan hukum Allah dalam ketentuan pembagian warisan tersebut),niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah keberuntungan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, (artinya menentang Allah dalam ketentuan pembagian harta warisan tersebut), niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” Qs An-Nisa’ :13-14
Pengkhianat zalim yang kelewat batas selalu bersikap siaga untuk memangsa hak wanita dan anak yatim, meskipun Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- sang rasul pembawa petunjuk dalam doanya telah mewanti-wanti :
اللَّهُمَّ إِنِّي أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيفَيْنِ الْيَتِيمِ وَالْمَرْأَةِ [ أخرجه ابن ماجه من حديث إبى هريرة ]
“Ya Allah sesungguhnya aku akan menjadi penghalang (bagi siapapun yang mencurangi) hak dua golongan yang lemah, yaitu; anak yatim dan wanita.” HR. Ibnu Majah dari hadis Abu Hurairah.
Wahai Anda yang mendapatkan harta warisan dengan begitu mudah! Merenunglah sejenak !
Wahai Anda yang menguasai harta warisan milik para wanita karena tergoda oleh kondisi mereka yang labil, sikap pendiam dan rasa malu.
Wahai Anda yang mendominasi harta warisan milik para wanita lajang dan anak-anak yatim karena tergoda oleh status mereka yang masih di bawah umur, atau ketidak berdayaan mereka dalam kesendirian dan hidup sebatang kara.
Sungguh celaka kedua tangan Anda…, sungguh sia-sia usaha Anda…, karena kesengsaraan akan terus menghantui Anda…
Bagaimana jiwa Anda akan tenang, sementara Anda menganeksasi harta, tanah pemukiman dan lahan garapan.
Anda telah menjerumuskan saudara-saudara Anda dan kerabat-kerabat Anda ke dalam kemiskinan dan keterlantaran…
Mana mungkin jiwa Anda bisa tenang, sementara Anda raup sendiri keuntungan tanah, hasil buah-buahan, upah, dan hak milik bangunan… lantas Anda membalas saudara-saudara Anda dan kerabat Anda dengan sikap acuh tak acuh, pengabaian, pelecehan dan penistaan. ?
Siapakah yang melegalkan Anda untuk melakukan ini semua dengan leluasa ?, melakukan dan membatalkan transaksi, mengesahkan dan menerbitkan surat-sertifikat…? Siapakah yang menyuruh Anda menahan atau melepas harta warisan?, melarang dan menggunakan sesukanya?
Celakalah dan terkutuklah Anda… Anda bukanlah siapa-siapa melainkan salah satu di antara mereka yang punya andil memiliki harta warisan itu. Anda mempunyai hak dan kewajiban sama seperti mereka.
Maka takutlah kepada Robb (Tuhan)-mu sebelum engkau tertimpa kehinaan dan kebinasaan. Hadapilah setiap persoalan menurut aturan dan ketentuan yang ada, dengan keseriusan dan ketegasan. Berikanlah hak kepada para pemiliknya dan yang berhak menerimanya. Janganlah malas, jangan menunda, jangan ragu, jangan memperlambat dan jangan bermain-main.
Sesungguhnya bencana bisa saja datang, kendala bisa melintang, dan kematian mungkin datang tiba-tiba. Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam– bersabda :
“Bagilah harta diantara ashaabul furud (yang berhak mendapat warisan berdasarkan bagian yang telah ditentukan) sesuai dengan kitabullah, dan jika masih tersisa maka berikanlah kepada lelaki yang paling dekat kekerabatannya
Saudaraku kaum Muslimin,
Wahai Anda yang memonopoli harta wakaf beserta hasilnya. Wahai Anda yang mengelola pembagian harta sedekah, harta zakat, harta warisan, dan harta-harta yang lain!
Wahai Anda yang selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun membiarkan harta tersebut tersimpan dalam lumbungnya, dalam genggaman dan tanggun jawabnya! Mengapakah Anda menahan harta itu dan membiarkannya tidak bergerak di tangan Anda?
Distribusikanlah harta-harta tersebut hari ini langsung kepada pihak yang berhak menerimanya jika memang Anda termasuk orang-orang yang takut kepada Allah dan bertakwa kepadaNya. Jadikanlah sunnah sebagai landasan dan pedoman bagi Anda.
Dari ‘Uqbah bin al-Haarits radhiallahu ‘anhu berkata,
“Aku sholat ashar di belakang Nabi –shallallahu alaihi wa sallam di Madinah, lalu Nabi salam kemudian berdiri untuk segera pergi hingga melompati punggung orang banyak. Beliau menuju ke sebuah rumah milik salah seorang istri beliau. Orang-orang pun terkejut melihat sikap beliau yang terburu-buru itu. Maka Nabi pun keluar menemui mereka dan memang beliau melihat keheranan pada mereka karena ketergesaan beliau itu, lalu beliau berkata, “Aku mengingat sepotong emas dari harta sedekah yang ada pada kami, aku tidak ingin emas tersebut mengahalangi aku ( untuk mengingat Allah). Itulah sebabnya, aku memerintahkan untuk segera dibagikan.” (HR Al-Bukhari)
“Sakit Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam– semakin keras, sementara di sisi beliau ada tujuh atau sembilan keping dinar, maka beliau berkata, “Wahai ‘Aisyah, bagaimana dengan kepingan-kepingan emas (dinar) tersebut?”. Aku berkata, “Masih ada padaku”. Beliau berkata, “Sedekahkanlah”. Aisyah berkata, “Akupun tersibukan (sehingga tidak sempat menyedekahkannya)”. Maka kemudian beliau bertanya lagi, “Wahai ‘Aisyah, bagaimana dengan kepingan-kepingan emas tersebut?”, Aku berkata, “Masih ada padaku”. Beliau berkata, “Berikanlah kepadaku emas tersebut”. Aisyah berkata, “Maka akupun membawa emas tersebut, lalu aku letakkan di telapak tangan beliau, kemudian beliau berkata, “Bagaimana persangkaan Muhammad, kalau seandainya ia bertemu dengan Allah Swt sementara emas ini masih ada padanya?” (HR Ibnu Hibbaan)
Dan dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha ia berkata,
“Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam– menemuiku dalam kondisi berubah raut wajahnya, aku menyangka hal itu karena sakit, maka aku berkata, “Mengapa aku melihat raut wajahmu berubah?”, beliau berkata, “Karena tujuh kepingan dinar yang datang kepada kita kemarin, dan belum kita bagikan” (HR Ibnu Hibban)
Camkan, hanya gara-gara tujuh keping dinar saja yang belum terbagikan setelah berlalu sehari, begitu membuat raut wajah Rasulullah Muhammad Saw berubah.
Maka bertakwalah kepada Allah wahai kaum muslimin, dan lakukanlah apa yang dapat mempercepat Anda terbebas dari tanggung jawab, dan terhindar dari sikap suka menunda-nunda.
Tanda-tanda Orang yang Dicintai Allah Menurut Buya Yahya, Jika Alami Dua Hal Ini Bersyukurlah, Berikut ini tanda-tanda orang yang dicintai Allah SWT. Siapa sih yang tidak ingin dicintai Allah SWT?Dicintai dan disayangi oleh Allah SWT tentu saja menjadi impian tertinggi bagi setiap hamba. Pasalnya, tidak ada rasa cinta dan sayang yang melebihi cinta dan sayang milik Allah SWT.
Menurut Buya Yahya, sebenarnya ada beberapa hal yang jadi tanda seorang hamba dicintai Alah SWT yang dapat kita rasakan. Lantas bagaimana kita mengetahui apakah Allah SWT mencintai hambanya? Tanda-tanda Allah mencintai hambanya ini sebenarnya dapat kita rasakan sendiri, dan jika merasakan dua tanda ini dalam diri, sudah saatnya kita patut bersyukur kepada Allah SWT.
Pertama, tandanya Allah sayang atau mencintai umatnya di dunia ini kata Buya Yahya yakni di saat Allah memudahkan untuk berbuat baik meskipun tidak direncanakan.
"Kalau Allah mencintaimu adalah disaat Allah mudahkan engkau, memudahkanmu untuk berbuat baik walaupun engkau tidak rencanakan sekalipun," kata Buya Yahya.
Tidak direncanakan untuk melakukan berbuat baik itu jadi, apalagi direncanakan. "Nggak direncanakan jadi, apalagi direncanakan," sambung Buya Yahya.
Dan jika ini pernah dialami maka itu tandanya Allah sayang dan mencintai kamu. Maka bersyukurlah. Kedua, tanda Allah Swt sedang mencintai atau sayang kepada hambanya di dunia kata Buya Yahya yakni ketika ingin melakukan keburukan atau kejahatan, ia susah untuk melakukannya.
Meskipun kejahatan atau keburukan itu sudah direncanakan dengan matang, tetapi pada akhirnya gagal terus dan tidak bisa melakukan kejahatan.
"Dan tanda Allah mencintaimu adalah disaat engkau ingin melakukan keburukan atau kejelekan. Engkau susah melakukan kejelekan, biar pun sudah direncanakan sekali pun," lanjut Buya Yahya.
Sudah merencanakan keburukan atau kejelekan tetapi ternyata gagal terus itu terjadi karena Allah sayang dan mencintai hamba tersebut.
"Sudah direncanakan gagal terus batal terus, kenapa? Karena Allah mencintainya, mencintai hamba tersebut," tutur Buya Yahya.
Dapat disimpulkan, kasih sayang dan cinta Allah kepada hambanya bisa dilihat dari dua hal itu. Saat Allah mudahkan untuk melakukan kebaikan dan Allah susahkan untuk melakukan keburukan atau kejelekan meskipun sudah ditentukan. Jika hal ini pernah dialami, maka itu tandanya Allah sedang menyayangi dan mencintai hambanya, maka patut bersyukurlah.
5 Tanda Allah Swt Sayang Pada Hamba-Nya, kamu pernah bertanya pada diri sendiri "Apakah Allah Swt mencintaiku?" Kasih sayang Allah SWT kepada para hamba-Nya berbeda dengan rasa sayang ditunjukkan oleh manusia atau sesama.
Mungkin kita tidak sadar bahwa apa yang terjadi pada kita adalah bentuk kasih sayang atau cara terbaik Allah SWT untuk menjauhkan hamba-Nya dari siksa api neraka.
Inilah lima ciri-ciri bahwa Allah sayang kepada kita sebagai berikut ini :
Dibukanya Pintu Amal Shalih Sebelum Kematian
Jika Allah Swt menghendaki kebaikan pada hamba-Nya, maka Allah akan menjadikan hamba tersebut beramal shalih sebelum wafatnya.
Allah SWT akan senantiasa membuat hambanya bertaubat sehiangga ketika ia meninggal maka ia meninggal dalam keadaan husnul khotimah dan diampuni dosa-dosa semasa hidup di dunia
Dipercepat Sanksinya di Dunia
Rasulullah SAW bersabda: “Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada hamba-Nya, Allah akan segerakan sanksi untuknya di dunia. Dan apabila Allah menginginkan keburukan kepada hamba-Nya, Allah Swt akan membiarkan dosanya (di dunia) sampai Allah Swt membalasnya pada hari kiamat,” (HR. Tirmidzi dan Al-Hakim).
Difaqihkan Dalam Urusan Agama
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam agama,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maksud dari kafaqihan adalah pemahaman yang diberikan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya sehingga ia mendapat pemahaman yang lurus terhadap Al-Qur’an dan hadits.
Kefaqihan ini berasal dari kebeningan hari dan aqidah shahih. Seseorang yang hatinya dipenuhi dengan nafsu maka ia tidak dapat memahami Al-Qur’an dan hadist.
Diberikan Ujian (Cobaan)
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan, Allah akan memberinya musibah,” (HR. Bukhari dan Ahmad).
Perlu diketahui musibah tidak selalu berkaitan dengan azab namun, musibah merupakan ujian bagi seorang hamba untuk menguji tingkat ketakwaan kita kepada Allah SWT.
Diberikan Kesabaran
Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seseorang diberikan dengan sesuatu yang lebih baik dan lebih luas dari kesabaran,” (HR. Bukhari dan Muslim).
“Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (QS: Al-Furqan, 25: 71)
sesungguhnya, tidak ada yang setengah-setengah dalam agama, semua yang haq dan bathil telah dijelaskan secara rinci dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Karena itu, jika manusia ingin melaksanakan syari’at agama hendaknya bersikap total, sepenuhnya diamalkan.
Masalahnya, ajakan dan perintah yang cukup jelas itu kadang menjadikan makhluk yang bernama manusia tidak sempat untuk menangkap hikmah dan manfaat kini. Orang menjadi serius dengan kesibukan tertentu, dan lalai dalam melaksanakan ajakan dan perintah itu.
Di sisi lain, agama ini memberikan ‘rambu-rambu’ kehidupan yang jelas, dan larangan adalah garis yang tidak dapat diterjang oleh siapapun. Tanpa terkecuali. Betapa Islam tidak memberikan perlakuan yang bersifat ‘pilih kasih’ dalam soal tatanan dan aturan hidup.
Sering kali ungkapan yang diajukan adalah karena saya manusia, tempat lupa dan salah. Ada lagi yang menganggap mumpung masih muda, dipuas-puaskan. Yang lain lagi mengatakan bahwa saya ini sudah terlanjur banyak berbuat maksiat. Mungkin masih banyak yang ingin menunjukkan mengapa tidak segera keluar untuk menemukan jalan baru, taubat. Semakin dicari alasan semakin tidak akan pernah terjadi pertaubatan. Dan menuruti hawa nafsu tidak akan pernah ada ujungnya.
Salah dan Dosa
Menurut pandangan Islam, dosa dibagi dua; dosa besar dan dosa kecil. Allah berfirman:
إن تجتنبوا كبائر ما تنهون عنه نكفّر عنكم سيّئاتكم وندخلكم مدخلا كريما
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS:An-Nisa’, 4: 31)
Dalam ayat lain disebutkan:
الذين يجتنبون كبائر الإثم والفواحش إلا اللّمم إنّ ربّك واسع المغفرة
“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha luas ampunanNya.” (QS: An-Najm, 53: 32)
Perbuatan dosa, baik besar maupun kecil, merupakan sebab utama kesengsaraan manusia. Dosa itu berdampak negatif pada diri pelakunya; keresahan, keterpurukan, bahaya kesehatan, akal, dan pekerjaan. Dampak lain berupa menghilangnya rasa persatuan, keguncangan maupun keributan pada masyarakat.
Hanya para Nabi dan Rasul saja yang terjaga (ma’shum). Tidak ada satu dosapun yang dilakukan oleh mereka alaihissalam. Allah Ta’ala memberikan perlakuan khusus kepada hamba-hamba-Nya itu. Jika terdapat di antara kita yang mengaku bebas dari kesalahan, sok suci, bebas dari setitik salah, tentu bukanlah pengakuan, mungkin lebih dekat kepada canda atau mengingatkan kita dengan logika terbalik. Artinya, sadar atau tidak, ya kita pernah berbuah salah.
Terdapat sebuah analogi bahwa salah itu seperti kotoran. Tergantung pada kecerdasan orang untuk dapat mengelolanya. Jika orang mampu menjadikan kesalahan untuk mendekat kepada Allah Ta’ala, untuk bertaubat kepada-Nya, maka kesalahan itu sebenarnya bukan kesalahan melainkan itu bentuk saluran rahmat dari Allah.
Rasulullah Muhammad pernah bersabda “Setiap anak manusia pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang mau bertaubat.” Hadits inilah yang dijadikan landasan untuk menyadari adanya kebaikan dari setiap keburukan, sehingga orang yang berbuat salah tidak berlama-lama menikmati kemaksiatan yang membawa kehancuran.
Argumen Itu Selalu orang bertanya tentang alasan dalam mengerjakan sesuatu, atau paling tidak orang berpikir tentang maksud ataupun tujuan melakukan hal yang diperintahkan. Tidak ada suatu perintah yang tidak dapat dilakukan oleh makhluk. Semua perintah yang Allah Ta’ala tetapkan merupakan indikator adanya kemampuan makhluk untuk mengerjakannya. Pun bila terdapat larangan-Nya, sebenarnya tidak seorangpun yang tidak dapat meninggalkannya. Betapa larangan itu lebih dekat kepada hawa nafsu yang mendominasi pribadi seseorang, sehingga larangan pun diterjang.
Panggilan bertaubat sering dikumandangkan, hanya soal indera pendengaran saja yang bermasalah. Mendengar tetapi tidak fokus pada inti yang disampaikan. Mungkin bisa saja mendengar, tetapi menerima panggilan tersebut adalah soal lain.
Jika nafas masih ada, itu tandanya masih terbuka kesempatan untuk bertaubat. Jika ada yang merasa kotor, terlanjur banyak maksiat dan dosa, itu tandanya diperintahkan untuk membersihkan diri, bertaubat. Jika orang sudah tahu dirinya kotor, berlumur lumpur, lantas ‘mandi’, lalu menceburkan diri dalam kubangan lumpur, itu berarti “nekad”. Orang yang berbuat dosa dan maksiat, sudah bertaubat, lalu menjerumuskan diri lagi, ini berarti belum menyadari dan sadar diri yang sesungguhnya.
Pertanyaanya, “mengapa harus bertaubat?”. Adalah awal yang baik bagi orang yang sadar akan maksiat dan bahayanya. Kesadaran untuk menjawab pertanyaan tersebut menjadi tonggak penting dalam perubahan seseorang yang ‘biasa’ berlaku maksiat untuk berubah dan menjadi ‘diri’ yang baru.
Amru Khalid, dalam Hatta Yughayyiru ma bi Anfusihim, menyebutkan 15 efek buruk dari maksiat, di antaranya: murka Allah, kebencian orang mukmin, penghalang datangnya rezeki, penghalang memperoleh ilmu, cobaan yang berat, merasa terasing dari Allah, merasa terasing dari lingkungan, hati yang gelap dan raut muka yang suram, terhalang melakukan ketaatan, hasrat untuk mengerjakan kemaksiatan lain, kehinaan di sisi Allah, kehinaan di dalam hati, melemahkan akal, petaka akibat maksiat, dan mulut pelaku maksiat akan berkhianat pada dirinya.
Argumen yang sahih ditemukan oleh para pelaku maksiat adalah dalam firman Allah:
إنّما التوبة على الله للّذين يعملون السّوء بجهالة ثم يتوبون من قريب فأولئك يتوب الله عليهم وكان الله عليما حكيما
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera. Maka mereka itulah yang diterima Allah Swt taubatnya. dan Allah Swt Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’, 4: 17).
Pada ayat di atas, yang dimaksud mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan adalah: 1. orang yang berbuat maksiat dengan tidak mengetahui bahwa perbuatan itu adalah maksiat kecuali jika dipikirkan lebih dahulu; 2. orang yang durhaka kepada Allah baik dengan sengaja atau tidak; 3. orang yang melakukan kejahatan karena kurang kesadaran lantaran sangat marah atau Karena dorongan hawa nafsu.
Saatnya Kembali, Dalam Al-Khathaya fi Nadzril Islam disebutkan bahwa taubat mencakup tiga syarat: (a) meninggalkan perbuatan dosa; (b) menyesali perbuatannya; (c) bertekad tidak akan melakukannya kembali. Salah satu unsur penting dalam taubat adalah adanya rasa penyesalan. Rasa penyesalan ini mempunyai pengaruh besar dalam merubah sikap seseorang dari keadaan jelek menjadi baik.
Manusia lahir dalam keadaan suci, fitrah. Jika manusia mengotori fitrahnya itu lantaran hawa nafsu yang menguasai dirinya, hingga orang lalai, salah, berbuat dosa atau maksiat, maka kesempatan untuk membersihkan diri masih terbuka dan selalu dibuka untuk siapa saja yang mau kembali, kembali ke jalan yang benar. Selama hayat masih dikandung badan, bertaubat masih diterima. Namun bila orang menunda-nunda, mengulur waktu, tidak mau bersegera untuk bertaubat, maka suatu saat nyawa akan meregang dari raga tanpa warning, dan datangnyapun tiba-tiba.
Jika panggilan taubat tidak lagi dihiraukan, waspadalah bahwa Malaikat Izrail bisa kapan saja dan dimana saja mencabut nyawa, tentunya Izrail bertindak setelah adanya instruksi Sang Khaliq. Maka waspadalah terhadap mati su’ul khatimah (akhir yang buruk).
Upaya untuk kembali ke jalan yang lurus hendaknya diupayakan semaksimal mungkin. Perjuangan untuk taubat ini mengandung nilai yang positif bagi perbaikan pribadi dan bukti penghambaan kepada Yang Maha Pengampun. Jika orang yang bertaubat sudah kembali ke dalam naungan cahaya ilahi, ia pantang kembali kepada kemaksiatan. Maka diperlukan cara jitu untuk menepis keinginan untuk bermaksiat, yaitu (i) bergaul dengan orang saleh; (ii) membiasakan diri beramal saleh. Di sinilah pentingnya lingkungan yang baik, yang mendukung berseminya kemaslahatan dan perbaikan serta kebermaknaan hidup di bawah ridha Allah Swt.
Saat ini Negara tercinta sangat dikejutkan oleh sesuatu yang sangat merusak martabat bangsa dan juga merugikan masyarakat serta juga menghilangkan harga diri dari manusia itu sendiri. Kita mungkin sangat heran bila seseorang telah melakukan kesalahan yang sangat besar dan sangat merusak dirinya sendiri juga keluargaserta tanah airnyatidak bisa mengeluarkan sepatah kata maaf dan menyesali perbuatannya .
Didalam Al-qur’anAllah telah berfirman, “Katakanlah : Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya..? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini , sedangkan merekamenyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (Firman Allah didalam Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat-103 -104).
Seperti itulah saat ini para pemimpin bangsa kita mereka seolah-olah sudah sangat berbuatkebaikan pada masyarakat tapi ternyata semua itu hanyalah suatu perbuatan yang sia-sia bagi dirinya sendiri dan juga sangat merugikan orang lain.
Saat inilah bagi para pemimpin yang telah merasa melakukan kesalahan baik secara terang-terangan atau yang masih dalam proses berbuat kesalahan cepat-cepatlahbertobat dan menghentikan segala perbuatan yang tidak baik karena cepat atau lambat seberapa pandainya menyembunyikan kesalahan akan terbuka juga, karena tidak ada sebab tanpa akibat. Perhatikan lah saat disumpah , apa yang diucapkan, dengan bersumpah atas nama Allah, bukankah pertanggungan sangat berat selain bertanggung jawab terhadap Sang pencipta juga kepada amanah yang telah diserahkan pada masyarakat untuk menjadisebagai pemegang amanat yang harus dijalankan dengan baik.
Pergunakanlah hati nurani, fahami agama yang dianut jangan hanya mengejar kehidupan duniawi yang cuma hanya sekejap , kedipan mata akhirnya musnah tanpa ada yang tersisa, buka kembali kitab suci. Berapa banyak Allah Swt, telah memberi peringatan didalam Al-Qur’an untuk menggunakan segala panca indra yang yang ada didalam tubuh manusia, seperti firmannya didalam Al-Qur’an :
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusiamereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidakdipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al’A’raaf ayat 179).
Bila sudah terlanjur melakukan kesalahan pintu taubat masih terbuka, Allah Swt masih mau menerima taubat orang yang mau menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, dengan syarat tertentu seperti dibawah ini :
Adapun syarat diterimanya taubat, maka Asy-Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi -hafizhahullah- menyebutkan ada delapan, yaitu:
Taubatnya harus ikhlas, hanya mengharapkan dengannya wajah Allah. Taubatnya bukan karena riya, bukan pula karena sum’ah (keinginan untuk didengar) dan bukan pula karena dunia.
Berlepas diri dari maksiat tersebut.
Menyesali dosa yang telah dia kerjakan tersebut.
Bertekad untuk tidak mengulangi maksiat tersebut.
mengembalikan apa yang kita zhalimi kepada pemiliknya,kalau kezhalimannya berupa darah atau harta atau kehormatan.( Maksudnya kalau kita menzhalimi seseorang pada darahnya, harta atau kehormatannya, maka kita wajib untuk meminta maaf kepadanya dan meminta kehalalan darinya atas kezhaliman kita)
Bertaubat sebelum roh sampai ke tenggorokan (sakratul maut).
Siksaan belum turun menimpa dirinya.
Matahari belum terbit dari sebelah barat.
Semoga dengan penyesalan yang sungguh-sungguh dan taubat yang seikhlasnya segala kesalahan akan terhapus karena Allah Swt sangat sayang pada hambanya selama dia masih mau bertobat pintu maaf masih terbuka dan bila nanti nafas sudah sampai kerongkongan maka tobat pun akan ditolak.
Allah berfirman didalam Al-Qur’an : “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah Swt, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (QS. Al Imran : 135 – 136).
Hanya kepadasang Maha Pencipta juga kita pasrahkan nasib bangsa tercinta, semoga para pemimpin bangsa menjadi sadar bahwa setiap insan yangada di bumi ini hanyalah seorang hamba dimata Allah Swt, yang akan di minta pertanggung jawaban atas segala apa yang dilakukan selama hidupnya.