Jangan Terlalu Sedih dan Gembira, Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (QS Al-Hadid : 22-23)
Setiap orang pernah mengalami kesedihan ketika kehilangan orang yang dicintai, barang yang dicintai ataupun saat mengalami suatu kegagalan. Sebaliknya, setiap orang merasakan kegembiraan ketika berhasil atau mendapatkan sesuatu yang diinginkan.
Kesedihan dan kegembiraan adalah bagian dari dua sisi jiwa manusia. Keduanya selalu mewarnai kehidupan dan dapat datang silih berganti dalam tempo singkat, bahkan keduanya dapat berbaur dalam satu waktu.
Kesedihan dan kegembiraan pada dasarnya pilihan dalam hidup. Misalnya ketika kita kehilangan harta, kita dapat memilih untuk bersedih atau tidak. Bila ia memilih bersedih, sejatinya kesedihan tersebut tidak lantas menyebabkan harta yang hilang kembali, malah akan menambah beban hidup.
Al-Quran menyebutkan bahwa sedih dan gembira adalah bagian dari sifat manusia. Namun, keduanya adalah menjadi ujian hidup, apakah manusia tetap bersyukur ketika diuji dengan keduanya dan tetap menjadi hamba Allah yang ikhlas?
Dalam Tafsir Maraghi dijelaskan bahwa ayat di atas menginformasikan kepada manusia bahwa segala yang menimpa manusia semuanya telah tercatat dalam ummul Kitab sebelum alam diciptakan. Allah Mengetahui apa yang telah terjadi, akan terjadi dan takkan terjadi.
Penegasan Allah Swt bahwa Dia telah mengetahui sesuatu sebelum terjadi dan mencatatnya sebelum terjadi agar manusia tidak terlalu bersedih atas sesuatu yang hilang maupun terlalu bergembira atas segala yang datang. Sehingga, Ayat ke 22-23 di atas setidaknya memberikan rambu-rambu dalam mengelola kesedihan dan kegembiraan.
Pertama, mudah dan terlalu sedih termasuk dilarang karena ia dapat menyebabkan beberapa hal antara lain, berlaru-larut dalam kesedihan disebabkan kesalahan dalam merespon suatu masalah. Selain itu, hidupnya tidah bergairah, karena memandang kehidupan secara sempit.
Ia juga dapat terjangkiti sifat rendah diri dan lemah, karena merasa terus berduka dan memandang orang lain seolah lebih beruntung. Alamat bahaya lagi jika ia putus asa, berputus asa dari rahmat Allah dan seolah tidak percaya kepada qada dan qadar (taqdir).
Padahal Allah Swt telah melarang keras manusia itu berputus asa meski ia penuh dosa. Allah berfirman, ”Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Az-Zumar : 53)
Agar terhindar dari sikap mudah bersedih, manusia perlu membiasakan diri berpandangan positif terhadap segala musibah dengan bersabar. Ia harus senantiasa mengingat firman Allah, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah : 155).
Manusia juga harus yakin bahwa di balik musibah yang ada terdapat kemudahan dan kebaikan (Qs 35:34). Selebihnya, manusia harus selalu hidup dalam optimistis dan selalu bersandar kepada Allah. “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali-Imran: 139). Sikap inilah yang akan membuat hati lapang, tidak sempit menjalani cobaan serta tak mudah putus asa.
Kedua, terlalu gembira juga termasuk hal yang dilarang. Terlalu gembira dapat dimaknai sebagai kegembiraan yang berlebihan. Larangan tersebut disebabkan terlalu gembira dapat kurang waspada (kontrol) terhadap kesalahan, lalai terhadap kebaikan, menyebabkan kesombongan, lupa diri bahwa kebahagiaan adalah ujian dari Allah dan paling akhir dapat menyebabkan seseorang melupakan Allah.
Beberapa solusi untuk menghindari sifat terlalu gembira ialah. Pertama, membiasakan diri menahan diri untuk mengekspresikan kegembiraan pada situasi yang tepat. Misalnya, tidak menunjukkan kegembiraan kala orang lain berduka. Kedua, membiasakan diri untuk tidak terlalu ekspresif. Terakhir, sadar bahwa keberhasilan ialah berkat pertolongan Allah dan melalui bantuan orang lain.
Mengenai kesedihan dan kegembiraan, Ikrimah berkata, ”Jangan terlalu larut dalam kesedihan atau kegembiraan. Akan tetapi, jadikanlah kegembiraan sebagai kesyukuran dan kesedihan sebagai kesabaran.”
Hakim berkata, ”Kesabaran itu akan mengeluarkan (seseorang) dari kecelakaan. Tidak ada kebahagiaan kecuali dengan kesabaran. Seseorang tidak sampai kepada kesempurnaan akhlaknya, baik berkenaan dengan harta, anak, kekuatan maupun ilmu, melainkan dengan kesabaran. Ia tidak bangga dan takjub saat berhasil mendapatkan sesuatu, serta tidak bersedih kehilangan sesuatu.”
Penutup
Sedih dan gembira adalah dua hal yang tidak bisa hilang dari kehidupan. Kesedihan yang tercela adalah yang menyebabkan hilangnya kesabaran, kepasraan pada-Nya dan harapan mendapatkan ganjaran-Nya. Sedangkan kegembiraan yang terlarang adalah yang membuat pelakunya melampaui batas dan lalai dari kesyukuran.
Karena Setiap Kita Akan Diuji, dalam menapaki kehidupan dunia yang fana ini, kita senantiasa dihadapkan pada dua keadaan, bahagia atau sengsara. Perubahan keadaan itu bisa terjadi kapan saja sesuai dengan takdir Allah Swt. Sementara semenjak diciptakan, tabiat dasar manusia memang tidak pernah merasa puas. Apabila diberi kesenangan, manusia lalai dan tak menentu. Sebaliknya jika diberi kesulitan, ia akan bersedih dan gundah gulana tak karuan. Padahal sejatinya bagi seorang mukmin, segala yang terjadi pada dirinya, seharusnya tetap menjadi kebaikan bagi dirinya. Begitulah keistimewaan seorang mukmin sejati. Hal ini ditunjukkan dalam sebuah sabda yang diucapkan oleh pemimpin dan suri tauladan bagi orang-orang yang bertakwa. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Segala keadaan yang dialaminya sangat menakjubkan. Setiap takdir yang ditetapkan Allah bagi dirinya merupakan kebaikan. Apabila dia mengalami kebaikan, dia bersyukur, dan hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila dia tertimpa keburukan, maka dia bersabar dan hal itu merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim no.2999, dari sahabat Shuhaib)
Benarlah, bahwasanya hanya orang yang beriman yang bisa lurus dalam menyikapi silih bergantinya situasi dan kondisi. Hal ini karena ia meyakini keagungan dan kekuasaan Allah Ta’ala serta tahu akan kelemahan dirinya. Tidak dipungkiri memang, musibah dan bencana akan selalu menyisakan kesedihan dan kepedihan. Betapa tidak, orang yang dicinta kini telah tiada, harta benda musnah tak bersisa, berbagai agenda tertunda, bahkan segenap waktu dan perasaan tercurah untuk memikirkannya.
Hakikat Musibah
Musibah adalah perkara yang tidak disukai yang menimpa manusia. Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan: “Musibah adalah segala apa yang mengganggu seorang mukmin dan yang menimpanya.” (Al-Jami’li Ahkamil Qur’an, 2/175)
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35)
Dunia ini adalah medan perjuangan seorang mukmin untuk menjadi sebaik-baik hamba. Allah Ta’ala berfirman :
“Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 1-2)
Pentingnya Istirja’ Ketika Datang Musibah
Istirja’ adalah ucapan إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهَ رَاجِعُونَ yang artinya “Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali.”
Shahabiyah Ummu Salamah radhiyallahu’anha menyebutkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Tiada seorang muslim yang ditimpa musibah lalu ia mengatakan apa yang diperintahkan Allah (yaitu): ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, wahai Allah, berilah aku pahala pada (musibah) yang menimpaku dan berilah ganti bagiku yang lebih baik darinya’; kecuali Allah memberikan kepadanya yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim no.918)
Kalimat istirja’ adalah obat termanjur bagi mereka yang tertimpa musibah dan paling berguna bagi seorang hamba di dunia dan di akhirat karena ia mengandung dua pondasi dasar yang apabila seorang hamba merealisasikan dengan mengetahui dua pondasi tersebut, insya Allah dirinya terhibur dari musibah tersebut.
Pondasi pertama adalah hendaknya seorang hamba itu mengakui bahwa dirinya, keluarganya, harta dan anaknya pada hakikatnya adalah milik Allah Ta’ala. Dia hanya menitipkannya pada seorang hamba. Apabila Dia mengambilnya, ibarat pemilik barang mengambil barangnya yang dipinjam orang lain
Pondasi kedua adalah bahwasanya tempat kembali dan akhir perjalanan seorang hamba adalah kepada “Pemilik” yang sesungguhnya. Suatu masa, ia harus meninggalkan dunia ini di belakang punggungnya, dan datang mengharap Rabbnya di hari akhir nanti seorang diri, sebagaimana Allah Ta’ala menciptakannya pertama kali, tanpa keluarga, harta, teman. Seseorang tidak akan membawa apapun kecuali amal kebaikan dan keburukan di akhirat nanti. Karena itu, dengan mengetahui dan menyadari keadaan seorang hamba di awal penciptaan dan di akhir kehidupan dunia, bagaimana mungkin ia akan akan bergembira atau bersedih karena berpisah dengan sesuatu yang sejatinya bukan miliknya?
Penawar Kesedihan
Sebagian orang beranggapan bahwa orang yang ditimpa musibah seperti sakit dan semisalnya adalah orang yang dimurkai Allah Ta’ala, padahal tidaklah demikian kenyataannya. Terkadang seseorang diuji dengan penyakit dan musibah padahal ia seorang yang mulia di sisi-Nya seperti para nabi, rasul dan orang shalih. Musibah yang menimpa mereka tidak lain adalah untuk mengangkat kedudukan mereka dan dibesarkannya pahala serta sebagai contoh kesabaran bagi orang yang datang setelah mereka.
Terkadang seorang diuji dengan kesenangan seperti harta yang banyak, anak-anak, istri dan lainnya, akan tetapi tidak sepantasnya dikatakan orang yang dicintai Allah Ta’ala jika tidak melakukan ketaatan kepada-Nya atau justru terlena karenanya. Orang yang mendapat berbagai kenikmatan bisa jadi memang termasuk orang yang dicintai Allah Ta’ala atau bahkan sebaliknya.
Seorang mukmin hendaknya yakin bahwa apa yang ditakdirkan Allah Ta’ala niscaya akan menimpanya dan tidak meleset sedikitpun. Sedangkan apa yang tidak ditakdirkan oleh-Nya pasti tidak akan menimpanya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya :
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikan itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”(Al Hadid: 22-23)
Ingatlah Saudaraku, cobaan dan penyakit merupakan tanda kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala jika mencintai suatu kaum, maka Dia akan memberi mereka cobaan.”(HR. Tirmidzi, shahih)
Ada Faedah di Balik Musibah
Saudaraku, sesungguhnya musibah yang menimpa, tak lain adalah sarana penggugur dosa seorang hamba, seperti yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Ujian akan terus datang kepada seorang mukmin atau mukminah mengenai jasadnya, hartanya, dan anaknya sehingga ia menghadap Allah Swt tanpa membawa dosa.” (HR. Ahmad, hasan shahih)
Allah Swt Maha Bijaksana, tiada keputusan dan ketentuan-Nya yang lepas dari hikmah. Tak terkecuali dengan perkara musibah ini. Kalaulah seandainya tidak ada faedah dari musibah ini kecuali sebagai penghapus dosa dimana itu saja sudah mencukupi, apatah lagi jika di sana ada setumpuk faedah? Subhanallah.
Terakhir, mari kita perhatikan nasihat Ibnu Qayyim rahimahullah berikut ; “Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah (yang dapat kita gali.red). Namun akal kita sangatlah terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lamu yang sia-sia di bawah sinar matahari.” (Lihat Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawaz).
Telah menjadi ketetapan dari Allah SWT bahwa setiap manusia pasti pernah mengalami sakit dan musibah selama hidupnya. Allah SWT:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi roji’uun’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk ”. (QSa al-Baqarah : 155-157).
Ini adalah hikmah terpenting sebab diturunkannya sakit dan musibah. Seringkali kita mendengar manusia ketika ditimpa sakit dan musibah malah mencaci maki, berkeluh kesah, bahkan yang lebih parah meratapi nasib dan berburuk sangka dengan takdir Allah.
Nauzubillah, kita berlindung kepada Allah dari perbuatan semacam itu. Padahal apabila mereka mengetahui hikmah dibalik semua itu, maka, insya Allah, sakit dan musibah terasa ringan disebabkan banyaknya rahmat dan kasih sayang dari Allah SWT.
Hikmah di balik sakit dan musibah diterangkan Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Tidaklah seorang Muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya.” (HR Bukhari 5660 dan Muslim: 2571).
“Tidaklah seseorang Muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya.” (HR Bukhari: 5641).
“Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengan dosa-dosanya.” (HR Muslim: 2573).
“Sesungguhnya Allah benar-benar akan menguji hamba-Nya dengan penyakit, sehingga dia menghapuskan setiap dosa darinya”. (HR al-Hakim I/348).
“Tidaklah seorang Muslim tertusuk duri atau yang lebih dari itu, melainkan ditetapkan baginya dengan sebab itu satu derajat dan dihapuskan pula satu kesalahan darinya.” (HR Muslim: 2572)
Apabila sakit dan musibah telah menimpa, maka seorang mukmin haruslah sabar dan ridho terhadap takdir Allah SWT dan harapkanlah pahala serta dihapuskannya dosa-dosanya sebagai ganjaran dari musibah yang menimpanya.
Sakit dan musibah juga diharapkan mampu menyadarkan seorang hamba yang tadinya lalai dan jauh dari mengingat Allah, karena tertipu oleh kesehatan badan dan sibuk mengurus harta, untuk kembali mengingat Robb-nya.
Karena jika Allah Swt mencobanya dengan suatu penyakit atau musibah barulah yang bersangkutan merasakan kehinaan, kelemahan, teringat akan dosa-dosa, dan ketidakmampuannya di hadapan Allah SWT, sehingga dia kembali kepada Allah dengan penyesalan, kepasrahan, memohon ampunan dan berdoa kepada-Nya.
Sakit dan musibah merupakan pintu yang akan membukakan kesadaran seorang hamba bahwasanya dia sangat membutuhkan Allah SWT. Tidak sesaatpun melainkan dia butuh kepada-Nya, sehingga dia akan selalu tergantung kepada Rabb-nya. Dan pada akhirnya ia akan senantiasa mengikhlaskan dan menyerahkan segala bentuk ibadah, doa, hidup dan matinya, hanyalah kepada Allah SWT.
Manusia mana yang tidak pernah bersedih dalam kehidupan? Bahkan Rasulullah SAW pun juga pernah bersedih. Ingatkah kalian bahwa sesedih apapun kalian, kehidupan akan terus berjalan? Dan ingatkah kalian bahwa satu-satunya yang tidak akan meninggalkan kalian hanya Allah SWT?
Kehidupan ini tak selamanya indah. Senang dan duka datang silih berganti. Hal ini semakin meyakinkan hati untuk menilai kehidupan dunia ini adalah semu. Ya, kebahagiaan adalah hal yang semu, begitu pula dengan kesedihan. Ada banyak sekali firman Allah yang jika ditafsirkan akan menjadi obat hati saat gelisah. Namun, terkadang kita terburu-buru menyalahkan keadaan. Coba resapi firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Ali’Imran : 139!
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. Ali Imron: 139).
Dalam ayat tersebut kita pasti akan mengartikan bahwa Allah melarang kita bersedih. Padalah ayat tersebut memiliki makna bahwa sedih tidaklah bisa mendatangkan manfaat, tidak pula menolak bahaya. Jadi, kadang sedih itu tidak bermanfaat. Sesuatu yang tidak bermanfaat tentu tidak diperintahkan oleh Allah. Dan sebaiknya kita tidak berlarut dalam kesedihan, karena kita adalah orang yang beriman.
Meskipun demikian, Allah tetap bersama kita. Dalam situasi apapun, Allah akan tetap bersama kita. Sebagaimana firman Allah Surah At-Taubah : 40
لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا….
Artinya :
“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita…” (QS. At Taubah: 40).
Jadi jangan lupa tetap mengingat Allah Swt dalam kondisi apapun.
Tahukah kalian bahwa Allah juga menyiapkan pahala bagi suatu kesedihan? Apakah kesedihan yang dapat berbuah pahala? Perhatikan baik-baik ya!
Ada kesedihan yang berbuah pahala dan terpuji. Dari sisi lain yang dinilai berpahala, bukan dari sedih itu sendiri. Misalnya adalah sedih karena musibah menimpa agamanya dan sedih karena musibah yang menimpa banyak kaum muslimin. Sedih seperti ini bernilai pahala dari sisi hati yang cenderung pada kebaikan dan membenci kejelekan. Akan tetapi jika sedih tersebut sampai meninggalkan hal yang diperintahkan yaitu tidak sabar, meninggalkan jihad, tidak meraih manfaat atau malah mendatangkan mudhorot (bahaya), maka sedih semacam ini jadi terlarang. Dan sedih seperti itu bisa jadi sesuai dengan dosa yang hilang karena kesedihannya. Jangan bersedih untuk hal-hal yang tidak dipentingkan ya. (QS. Yunus 10: Ayat 65)
“(Janganlah kamu sedih oleh perkataan mereka) terhadap dirimu, seperti perkataan mereka, Engkau adalah bukan utusan Allah, dan lain sebagainya. (Sesungguhnya) huruf inna di sini merupakan pertanda isti’naf atau kalimat baru (kekuatan itu) kekuatan (adalah kepunyaan Allah seluruhnya. Dialah Yang Maha Mendengar) semua perkataan (lagi Maha Mengetahui) semua perbuatan, maka karenanya Dia membalas perbuatan mereka dan menolong kamu.”
Rasa sedih merupakan hal yang wajar ada pada diri manusia. Ini merupakan hal yang manusiawi. Karena, sesungguhnya, selama seseorang masih dalam kehidupan di dunia, maka tidak akan pernah bebas dari kesedihan.
Imam Al-Ghazali menyebut bahwa kesedihan pada diri seseorang biasanya karena tiga hal. Pertama, karena menginginkan sesuatu yang tidak tercapai. Kedua, karena kehilangan sesuatu. Dan ketiga, karena takut akan masa depan.
Melalui ayat Al-Qur'an, Allah SWT tegas melarang manusia untuk larut dalam kesedihan. Karena, rasa sedih hanya akan membuat seseorang terus menerus down dan tidak semangat dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Adapun ayat tentang larangan bersedih dalam Al-Quran adalah sebagai berikut,
Pertama, surah Ali Imran 3: 139,
Artinya: “Janganlah kamu lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”
Artinya: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.”
Ketiga, surah At-Taubah 9: 40,
asa sedih merupakan hal yang wajar ada pada diri manusia. Ini merupakan hal yang manusiawi. Karena, sesungguhnya, selama seseorang masih dalam kehidupan di dunia, maka tidak akan pernah bebas dari kesedihan.
Imam Al-Ghazali menyebut bahwa kesedihan pada diri seseorang biasanya karena tiga hal. Pertama, karena menginginkan sesuatu yang tidak tercapai. Kedua, karena kehilangan sesuatu. Dan ketiga, karena takut akan masa depan.
Melalui ayat Al-Qur'an, Allah SWT tegas melarang manusia untuk larut dalam kesedihan. Karena, rasa sedih hanya akan membuat seseorang terus menerus down dan tidak semangat dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Putus cinta atau gagal mencapai sesuatu, jangan bersedih terlalu lama. Pasalnya, kesedihan yang berlarut-larut akan merugikan kesehatan Anda. Anda pasti sudah mendengar bahwa depresi dapat memicu berbagai penyakit seperti gangguan jantung, diabetes dan gangguan panik. Lalu bagaimana dengan kesedihan seperti putus pacar, dompet hilang, atau berkelahi dengan teman? Bisakah kesedihan seperti itu, yang bukan depresi, mengganggu kesehatan juga, sebuah penelitian menyebutkan bahwa perasaan sedih bisa mengubah level senyawa kimia yang berhubungan dengan stres, di otak.
Senyawa ini meningkatkan protein penyebab radang di dalam darah, meningkatkan risiko sakit jantung, stroke dan sindrom metabolisme. Saat Anda sedih, senyawa kimia di otak yang bernama opioid akan naik dan mengacaukan sistem imun dan berpotensi meningkatkan risiko berbagai penyakit, kata Alan Prossin, penulis utama penelitian dan asisten profesor. Di dalam studinya, Alan menemukan bahwa terkadang opioid memicu pelepasan protein penyebab radang yang bernama IL-18 seperti dijelaskan di atas.
Meski kesedihan tidak sama demgan depresi, tapi kesedihan juga dapat mengganggu seluruh fungsi tubuh, Kesedihan juga dapat menaikkan kadar hormon stres bernama kortisol, yang dapat mengacaukan gula darah, tekanan darah dan kualitas tidur. Untungnya, ada cara sederhana mengatasi itu semua. Perubahan kecil di sana- sini, seperti meditasi, olahraga, hang out bersama teman, secara bertahap akan dapat menetralisir efek negatif kesedihan, kata Alan. Jadi ingat, jangan terlalu meratapi nasib buruk.
Perasaan sedih adalah bagian dari emosi yang terdapat atau dirasakan oleh setiap manusia. Sangatlah wajar ketika seseorang mengalami perasaan sedih, asalkan tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Rasa sedih dapat datang kapan saja tidak mengenal waktu. Contohnya, saat seseorang merasa stres dengan kehidupan atau ada masalah yang menimpa dirinya. Menangis bisa menjadi respona dari rasa sedih tersebut, yang dirasakan setiap individu. Biasannya, dengan menangis maka perasaan sedih dapat sedikit sirna.
1. Mendengarkan Lagu
Saat merasakan perasaan sedih, biasannya terlintas di pikiran kita untuk larut dalam perasaan tersebut. Supaya semakin merasa relate dengan perasaan yang sedang dialami, beberapa orang akan memilih mendengarkan lagu-lagu yang mellow atau easy listening. Bahkan ada yang punya lagu-lagu favorit untuk menenangkan hati dari perasaan sedih.
Tidak cukup sampai di situ saja, memilih lagu yang cocok dan pas dengan suasana hati juga harus diiringi dengan liriknya. Karena dengan mendengarkan lagu, kita dapat lebih aware terhadap diri sendiri sehingga memahami perasaan jauh lebih dalam.
2. Menonton Video Lucu
Perasaan sedih biasannya akan terbantu jika kita merasakan emosi lain yaitu senang dan tertawa. Ketika mengingat bahwa perasaan sedih tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, mungkin kita akan mengalihkannya dengan hal-hal yang menyenangkan.
Aktivitas yang bisa dilakukan contohnya seperti mencari atau menonton video-video lucu yang dapat membuat tertawa atau menonton film-film yang ber-genre komedi. Dengan begitu, perasaan bahagia akan tumbuh. Biasannya seseorang menjadi termotivasi untuk bangkit dan tidak membiarkan diri sendiri terus terlena dengan perasaan sedih tersebut.
3. Menulis Jurnal atau Diary
Menulis jurnal maupun diary dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Entah itu tulisan tangan atau menulis di smarthphone, bahkan di laptop sekalipun. Menulis jurnal atau diary dapat mengatasi kegundahan hati, baik itu ketika kita bahagia, marah, maupun perasaan sedih.
Menuliskan emosi yang sedang dirasakan juga merupakan sebuah self awareness, sehingga kita mengakui emosi-emosi tersebut. Sebab dengan mengakui emosi-emosi tersebut, seseorang dapat lebih berdamai dengan dirinya sendiri.
4. Curhat ke Orang yang dapat Dipercaya
Jangan biarkan Anda terus-terusan berlarut-larut terperangkap dalam perasaan sedih. Tidak ada salahnya beralih ke orang yang Anda percayai untuk mengurangi beban di hati, sekaligus mencari pencerahan atas masalah. Anda bisa berbagi keluh kesah kehidupan dengan orangtua, pasangan, bahkan sahabat terdekat.
Orang-orang yang peduli dengan Anda akan berusaha sekuat tenaga untuk menghibur dan mengalihkan pikiran dari perasaan sedih. Maka dari itu, jangan ragu untuk meminta bantuan ke orang-orang terdekat.
Kesedihan menjadi sifat alami yang dimiliki manusia, kesedihan biasanya muncul akibat dari menerima keadaan seperti kegagalan, kecewa, kehilangan, stress sampai patah hati. Bagaimanakah cara kesedihan menurut Islammenghilangkan kesedihan menurut Islam. Sebagai respon kesedihannya biasanya orang akan menangis, tetapi orang menangis belum tentu akan merasakan sedih. Mungkin bisa jadi disebabkan perasaan terharu atau senang. Bersedih diperbolehkan, bahkan akan memiliki dampak baik bagi tubuh karena dengan meluapkan emosi yang terpe ndam akan dapat membersihkan racun. Akan tetapi, kesedihan juga bisa berdampak buruk jika dirasakan terlalu berlarut-larut.
Islam tidak memperbolehkan jika merasakan sedih hingga berlarut-larut, karena dari kesedihan yang berlarut-larut sampai menangis berhari-hari tanpa henti akan dapat melukai diri sendiri sampai lupa untuk beribadah pada Allah. Lalu bagaimana cara mengatasi kesedihan. Cara kesedihan menurut Islam menghilangkan kesedihan menurut Islam.-
1. Selalu ingat bahwa Allah Swt bersama kita
Tidak perlu untuk terlalu berlarut-larut dalam kesedihan, selalu ingatlah bahwa Allah SWT selalu bersama kita. Semua yang telah terlewati dan kejadian yang akan dating itu sudah dalam ketentuan dan kehendak-Nya karena Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu dan Dia Maha Penyayang dan Maha Pengasih. Percayalah bahwa di balik kesulitan pasti ada kemudahan, dengan selalu mengingat-Nya maka akan membuat hati menjadi tenteram. Sebagaimana dalam firman-Nya : “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d : 28)
2. Istigfar
Ketika seseorang sedang dilanda kesedihan dan emosi, disaranan untuk beristigfar. Karena dengan beristigfar akan dapat menenangkan hati yang sedang kacau, seperti bersedih.
3. Salat
Salat menjadi bentuk komunikasi kita kepada Allah SWT, apalagi ketika sedang memiliki masalah menjadi hal yang tepat bagi kita untuk mengadukannya kepada Allah. Dengan melaksanakan salat fardhu maupun sunah sebagai wujud komunikasi manusia pada Tuhannya, akan menjadi solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi. Selain itu, juga dapat membuat hati menjadi lebih tenang.
4. Berdzikir dan berdoa, sebagai media komunikasi kepada Allah SWT
Dengan berdzikir seseorang akan selalu mengingat Allah dan membuat hati tenang. Adapun dzikir yang dapat dilakukan adalah “laa Haula wala quwwata Illa Billah” dan “hasbunallah wa ni’mal waqil.” berdoa pun juga sebagai media komunikasi untuk curhat, bercerita tentang semua keluh kesah yang sedang dirasakan. Kedua hal tersebut sebagai media komunikasi seorang hamba kepada Tuhannya untuk meminta pertolongan kepada Allah SWT.
5. Membaca Al Qur’an
Membaca Al Qur’an menjadi salah satu cara menghilangkan kesedihan, dapat dibaca kapan saja. Baik ketika sedang merasa senang ataupun sedih, baik saat merasa lapag ataupun sulit. Selain mendapat pahala, juga akan membuat hati tenang dan rasa sedih yang sedang dirasa akan dapat terobati dengan membaca Al Qur’an. Itu tadi beberapa cara menghilangkan stress menurut Islam. Semoga bermanfaat.
Mengatasi Kesedihan Menurut Islam, Kehidupan manusia tidak selamanya bahagia sehingga tidak lepas dari kesedihan, kesusahan, dan kesempitan. Setiap manusia memiliki cara tersendiri untuk mengatasi dan mendapatkan obat kesedihan. Orang-orang beriman atau kaum Muslim memiliki cara tersendiri untuk menghilangkan kesedihan, sesuai dengan tuntunan Islam. Obat kesedihan menurut ajaran Islam antara lain sebagai berikut:
Meyakini bahwa kesedihan dan kesusahan itu taqdir oleh Allah Swt. Dengan keyakinan itu, maka tenanglah hati kita dan lapanglah dada kita.
Berdo’a dengan doa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dalam menghadapi kesedihan. Sebagaimana diriwayatkan Ibnu Mas’ud r.a. , Nabi Saw bersabda: “Tidaklah seorang hamba tertimpa kesusahan dan kesedihan kemudian dia berdo’a ‘Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu, dan anak hamba perempuanMu, ubun-ubunku di tangan-Mu, berlaku kepadaku hukum-Mu, adil atasku Qadha-Mu (keputusan-Mu), aku meminta kepada-Mu dengan seluruh nama-nama-Mu (yaitu) yang Engkau namakan diri Engkau dengan nama tersebut, atau yang Engkau turunkan di kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada kepada salah satu hambaMu, supaya Engkau menjadikan al-Qur’an penyiram hatiku, cahaya dadaku, pengusir kesedihanku, penghilang kecemasan dan kegelisahan… kecuali Allah akan menghilangkan kesusahannya dan menggantinya dengan kesenangan.”
Sebagaimana dalam doa itu terkandung permintaan seorang hamba supaya Allah Ta’ala menjadikan al-Qur’an sebagai “Rabi’” bagi hatinya. Rabi’ adalah air hujan, maka Nabi Saw menyerupakan menyerupakan al-Qur’an dengan air hujan, karena sebagaimana air hujan menumbuhkan bumi, maka al-Qur’an pun menghidupkan hati. Permintaan seorang hamba supaya Allah Swt menjadikan al-Qur’an penghilang kesedihannya, karena kalau kesedihan dihilangkan dengan al-Qur’an, maka kesedihan tersebut tidak akan kembali. Kesedihan dan kesempitan hati tidak akan bisa dihilangkan kecuali dengan tauhid dan pemahaman yang benar tentang Allah Swt dan dengan al-Qur’an, yaitu dengan menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi hidup.
Kita juga diharuskan untuk menjauhi sebab-sebab munculnya kesedihan dan kesempitan hati, yaitu dengan menjauhi sikap berpaling dari Al-Qur’an sebagaimana firman Allah Swt sebagai berikut : “Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS. Thaha:124). Orang beriman pada dasarnya tidak boleh merasa lemah dan bersedih karena ia selalu bersama Allah SWT. “Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (darjatnya), jika kamu orang beriman.” (QS. Ali Imran:139)
Doa Jika Bertemu Orang yang Ditakuti & Doa Agar Tidak Takut Menghadapi Orang. Manusia memang memiliki segala keterbatasan, tak jarang dikuasai rasa takut terhadap hal-hal yang belum pernah ditemui atau tak bisa dikendalikan olehnya. Merasa takut adalah hal yang wajar, baik terhadap sesuatu atau seseorang. Lalu bagaimana cara menenangkan diri saat bertemu orang yang ditakuti?
Hirup napas dalam-dalam, lalu embuskan perlahan. Lakukan beberapa kali sampai hati terasa lebih tenang. Tak ada salahnya juga membaca doa-doa berikut.
Doa Saat Bertemu Orang yang Ditakuti
Ini adalah doa yang dibaca Rasulullah SAW ketika gemetar hebat saat malaikat Jibril menyampaikan wahyu dari Allah SWT untuk pertama kalinya.
Allahumma inna naj'aluka fi nuhurihim wa na'udzubika min syururihim.
Artinya:
"Ya Allah, sesungguhnya aku menjadikan Engkau di leher mereka (agar kekuatan pada orang jahat itu tidak berdaya saat berhadapan dengan kami) dan aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan mereka." (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai, Baihaqi, Hakim, dll, dari Abu Musa Al-Asy'ari).
Doa Agar Tidak Takut Menghadapi Orang
Seperti disebutkan dalam kitab Biharul Anwar, bacalah doa berikut agar Allah SWT memberikan keberanian untuk menghadapi manusia lain.
حسبي الله لا إله إلا هو، عليه توكلت وهو رب العرش العظيم، أمتنع بحول الله وقوته من حولهم وقوتهم،
وأمتنع برب الفلق من شر ما خلق، ما شاء الله لا قوة إلا بالله
Hasbiyallaahu laa ilaaha illallaahu ‘alaihi tawakkaltu wa huwa robbul ‘arsyil adziimi, amtani’u bi hawlillaahi wa quwwatihii min hawlihim wa quwwatihim wa amtani’u bi robbil falaq wa min syarri maa kholaq, maa syaa-allaahu laa quwwata illaa billaah.
Artinya:
"Cukup Allah sebagai penolongku, tiada Tuhan selain Dia. Kepada-Nya aku berserah diri dan Dia Tuhan ‘Arsy yang agung. Aku menangkal melalui upaya Allah dan kekuatan-Nya dari upaya dan kekuatan mereka. Aku menangkal melalui Tuhan fajar dari keburukan apa yang Ia ciptakan. Sesuatu yang dikehendaki Allah, tidak kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah."
Perbedaan Yang Terjadi Pada Harta Haram Yang Dimiliki Karena Pekerjaannya, Apakah Jika Harta Tersebut Berpindah Kepada Orang Lain Dengan Warisan atau Dengan Hibah Lalu Berubah Menjadi Halal?
Pertanyaan
Ada masalah yang mengganggu fikiran saya, dan kebanyakan orang selalu bertanya-tanya, hal ini berkaitan dengan hukum transaksi terhadap harta yang haram, baik karena warisan, serah terima, seperti hadiah, hibah, diterima setelah proses barter, hutang piutang, dan bentuk lainnya dalam transaksi yang tidak mungkin banyak orang akan mengalami sebagiannya, saya telah mencari sesuai dengan kemampuan saya, ditengah upaya tersebut saya mencari petunjuk Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang dikuatkan dengan dalil yang shahih tanpa ada kemungkinan lain dalam memahaminya untuk dijadikan sebagai dalil, atau karena lemah sanadnya, maka saya fokus pada pembagian ulama tentang harta haram yang dibagi menjadi dua bagian: Haram karena dzatnya, gambarannya adalah harta hasil curian, hal ini sudah disepakati –menurut pemahaman saya- akan keharamannya, kaharamannya tidak berubah menjadi halal karena berpindah dari tangan ke tangan lainnya. Meskipun perpindahan harta tersebut pada dasarnya adalah mubah, seperti warisan, hadiah, hibah, barter, atau hutang yang baik. Yang menjadi masalah menurut saya pada uang haram karena pekerjaannya dan bukan dzatnya, maksud saya di sini adalah menentukan uang haram itu semuanya, bukan yang masih bercampur, yang menjadi masalah adalah saya mendapatkan jumhur ulama menyamakan harta ini dengan harta haram karena dzatnya, maka hukumnya tidak berubah karena adanya perpindahan tangan. Saya tidak mendapatkan dalil yang meyakinkan diri saya bersama jumhur, hal itu tidak diragukan lagi karena keterbatasan pencarian saya, minimnya cara ilmiyah dan penelitian saya, pada sisi lain saya mendapatkan beberapa ulama seperti Syeikh Utsaimin yang membolehkan bunga bank konvensional jika sudah berpindah kepada para ahli waris, fatwa tersebut terpercaya yang diunggah pada website terpercaya, dan terkadang saya ingat sikap jumhur dalam masalah tersebut, maka saya hawatir terhadap diri sendiri, hal itu karena kemuliaan jumhur ulama menurut saya. Pada saat yang sama saya tidak mendapatkan dalil setelah keterbahasan penelitian saya yang mendorong saya untuk mengambil pendapat mereka dan menolak petunjuk Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari hadits Barirah. Maka apakah yang menjadi dalil madzhabnya Jumhur ?, apakah masalah khilafiyah tersebut yang termasuk yang dimintai pertanggung jawaban pada hari kiamat apalagi saya yang tidak sependapat dengan madzhabnya jumhur ?
Jawaban Pertama:
Harta haram itu ada dua:
Harta haram karena dzatnya, yaitu harta yang diambil tanpa rasa ridho, seperti; harta curian, harta yang dighasab dan harta perampokan, harta ini diharamkan bagi pelakunya dan bagi siapa yang menerimanya jika ia mengetahui keadaannya; karena keharamannya berkaitan dengan dzat harta tersebut. Harta tersebut adalah dzat harta orang yang terdzolimi dan wajib dikembalikan kepadanya. Memanfaatkannya berarti ikut berkontribusi dalam kedzaliman dan dosa.
Harta haram karena pekerjaannya, adalah harta yang diterima dengan sukarela namun dari hasil pekerjaan yang haram, atau berasal dari transaksi haram, seperti; uang sewa penyanyi dan musik, dan pekerjaan yang haram, seperti; harta dari hasil suap, bunga bank, keuntungan dari khamr, narkotika, dan lain sebagainya.
Jenis kedua ini ada perbedaan pendapat dari dua sisi:
Pertama:
Terkait dengan pelakunya jika ia bertaubat, apakah ia wajib mengembalikan atau disedekahkan atau boleh dimiliki ?
Kaitannya dengan boleh dimiliki, apakah dibedakan antara orang yang tidak tahu kalau hukumnya haram dan orang yang sudah mengetahuinya ?
Silahkan dibaca penjelasan masalah ini pada jawaban soal nomor: 219679
Kedua:
Apakah harta tersebut menjadi halal bagi orang selain pelakunya, seperti pindahnya harta tersebut kepada orang lain karena sebab yang mubah, seperti karena hibah, diwariskan, atau untuk nafkah ataukah tetap tidak halal ?
Para ahli fikih berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat:
Pertama: Tetap tidak halal bagi pelakunya dan juga bagi orang lain.
Ini pendapatnya jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan yang dipilih oleh Lajnah Daimah.
Kedua: Harta tersebut menjadi halal bagi selain pelakunya, jika harta tersebut berpindah dari pelaku kepada orang lain dengan cara yang halal, seperti; hibah, warisan dan lain sebagainya.
Pendapat inilah yang menjadi sandaran Malikiyah, dan sebagian Hanafiyyah, Hasan Al Basri, Az Zuhri, dan yang dipilih oleh Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah-.
Baca juga: Al Asybah wa An Nazhair, karya: Ibnu Nujaim: 247, Hasyiyah Ibnu Abidin (5/99), Fatawa Ibnu Rusyd: 1/640, Ad Dakhirah karya Al Qarafi: 13/318, Manhu Al Jalil Syarah Mukhtashor Kholil: 2/416, Ihya Ulumuddin: 2/130, Al Majmu’: 9/351, Al Inshaf: 8/322, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah: 29/307, dan Fatawa Lajnah Daimah: 16/455.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seseorang yang berlaku riba, ia telah meninggalkan harta dan anak yang dia mengetahui kondisi ayahnya. Apakah harta tersebut menjadi halal baginya dengan warisan atau tidak ?
Beliau menjawab:
“Adapun masalah bahwa anaknya mengetahui kalau harta ayahnya mengandung riba, maka hendaknya ia mengeluarkannya dengan cara mengembalikannya kepada pemiliknya jika memungkinkan, namun jika tidak maka disedekahkan, dan sisanya sudah tidak haram lagi baginya, akan tetapi sejumlah harta yang masih syubhat maka disunnahkan untuk ditinggalkan, jika tidak harus digunakan untuk membayar hutang atau menafkahi keluarga.
Kalau ayahnya tersebut masih terikat dengan transaksi ribawi dimana pada ahli fikih masih memberikan rukhsoh (keringanan), maka ahli waris diperbolehkan mempergunakannya.
Jika hartanya masih bercampur antara yang halal dan yang haram, maka masing-masing diperkirakan dan hartanya dibagi menjadi dua bagian. (Majmu’ Fatawa: 29/307)
Ini merupakan pendapat jumhur ulama
Ibnu Rusyd berkata:
“Dan diriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa ia berkata tentang seseorang yang bekerja lalu ia terjerumus ke dalam sogokan, korupsi, dan pembagian seperlima (dari negara) dan bagi siapa saja yang bisnisnya banyak mengandung riba. Semua yang ia tinggalkan dari harta warisan maka akan menjadi haknya ahli waris dengan warisan yang telah Allah wajibkan kepada mereka, baik mereka mengetahui buruknya pekerjaannya atau tidak mengetahui. Sementara dosa kedzoliman dilimpahkan kepada pelaku dosa tersebut”. (Fatawa Ibnu Rusyd: 1/640)
Ini merupakan pendapat yang kedua.
Yang menjadi dalilnya Jumhur adalah bahwa harta tersebut tidak halal bagi pelakunya dan tidak dapat dimiliki secara syari’at. Seharusnya melepaskan diri atau mengembalikannya dan tidak dialihkan kepada orang lain; karena peralihan kepemilikan melalui warisan atau dengan hibah adalah menjadi bagian dari kepemilikannya juga, maka dalam hal ini tidak diperbolehkan.
Sedikit sekali Jumhur (mayoritas ulama) membahas dalam masalah ini, karena bertumpu pada hukum asal, yaitu; ia termasuk harta yang haram, sehingga dengan kematian tidak dapat merubah harta tersebut menjadi baik, begitu juga perpindahan dari satu tangan ke tangan lainnya.
Yang menjadi dalil pendapat kedua:
Interaksi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya dengan orang-orang yahudi dalam hal jual beli, persewaan dan hutang, padahal mereka terkenal dengan mengambil riba dan memakan makanan yang haram.
Hal ini dijawab bahwa hartanya orang-orang yahudi itu termasuk harta yang campur, sementara pembahasan ini berkaitan dengan harta yang haram yang tidak bercampur dengan yang lainnya.
Akan tetapi telah dinyatakan dari Ibnu Mas’ud yang menguatkan madzhab ini, hal itu sangat jelas sekali, Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata:
“Telah diriwayatkan dalam hal itu beberapa atsar dari generasi salaf, ada riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud bahwa ia pernah ditanya tentang seorang tetangga yang memakan harta riba dengan terang-terangan dan tidak menjauhi harta yang buruk yang ia ambil dan mengajaknya untuk makan bersama, maka ia berkata: “Datangilah undangannya, karena hidangan itu baik bagi kalian, sementara dosanya hanya bagi dia”.
Dan di dalam riwayat lain ia berkata: “Saya tidak mengetahui sesuatu kecuali (hartanya) adalah buruk atau haram, lalu beliau berkata: “Penuhilah undangannya”.
Imam Ahmad telah menshohehkan riwayat ini dari Ibnu Ma’ud, akan tetapi ia berbeda dengan apa yang diriwayatkan darinya bahwa ia berkata: “Dosa adalah yang menguasai hati”.
Dan telah diriwayatkan dari Sulaiman seperti ucapan Ibnu Mas’ud yang pertama, dan dari Sa’id bin Jabir, Hasan Al Basri, Muwarriq Al ‘Ijli, Ibrahim An Nakho’i, Ibnu Sirin dan yang lainnya. Ada banyak atsar yang ada di dalam kitab “Al Adab” karya Humaid bin Zanjawaih dan sebagiannya di dalam kitab “Al Jami’” karya Al Khallal, dan di dalam karya Abdurrazzaq bin Abi Syaibah dan yang lainnya”. (Jami’ Al Ulum wal Hikam: 1/209-210)
Keharaman harta tersebut berkaitan dengan tanggung jawab pelakunya, bukan dengan dzat harta tersebut, maka tidak menjadi haram setelah berpindah tangan.
Jawaban dari hal ini adalah, jika memang demikian maka harta itu akan menjadi hutang dan tanggungan si mayyit, maka diwajibkan kepada ahli waris untuk melunasi hutang tersebut sebelum pembagian harta warisan.
Sungguh perbedaan cara mengambilnya juga berpengaruh, haramnya harta tersebut berada pada pelakunya, tidak serta merta menjadi haram juga bagi orang lain, berdasarkan hadits Barirah “Harta itu menjadi sedekah baginya dan menjadi hadiah bagi kami”.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:
“Sebagian ulama berkata, harta yang haram karena pekerjaannya, karena dosanya bagi pelakunya, bukan bagi siapa saja yang mendapatkannya melalui jalan yang mubah dari pelaku tersebut, berbeda dengan harta haram karena dzatnya, seperti khamr, barang curian dan lain sebagainya.
Pendapat ini tepat dan kuat, berdasarkan dalil bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah membeli makanan dari orang yahudi untuk keluarganya, beliau juga telah memakan kambing yang dihadiahi oleh wanita yahudi Khaibar, beliau juga telah memenuhi undangan orang yahudi, sebagaimana diketahui bahwa mereka sebagian besarnya telah berlaku riba dan memakan harta yang haram.
Kemungkinan yang menguatkan pendapat ini juga, sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- terkait masalah daging yang telah disedekahkan kepada Barirah:
هو لها صدقة ، ولنا منها هدية انتهى
“Daging itu menjadi sedekah baginya, dan menjadi hadiah bagi kami”.
(Al Qaul Al Mufid ‘ala Kitab Tauhid: 3/112)
Beliau –rahimahullah- juga berkata:
“Coba anda lihat Barirah pembantu ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anhuma- misalnya, dia diberi sedekah daging, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika memasuki rumah beliau, seraya mendapatkan bejana di atas api, lalu beliau mengajak makan namun daging tersebut tidak dihidangkan, dihidangkan makanan lain dan tidak ada daging, lalu beliau bersabda: “Sepertinya saya melihat bejana di atas api ?” mereka berkata: “Iya betul wahai Rasulullah, akan tetapi yang di dalamnya itu daging sedekah yang diberikan kepada Barirah”.
Dan Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak memakan sedekah, seraya beliau bersabda:
هو لها صدقة ، ولنا هدية
“Daging itu baginya sedekah, dan bagi kami adalah hadiah”.
Lalu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memakannya, padahal diharamkan bagi beliau untuk memakan sedekah; karena beliau tidak menerimanya sebagai harta sedekah, akan tetapi beliau terima sebagai harta hadiah.
Kepada mereka pada ikhwah kami katakan:
Makanlah dari harta ayah kalian dengan senang hati, meskipun menjadi dosa dan bencana bagi ayah kalian, kecuali Allah -‘Azza wa Jalla- memberikan hidayah kepadanya dan bertaubat kepada-Nya, barang siapa yang bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. (Al Liqo Asy Syahri: 45/26)
Alasan ini bisa dijawab dengan membedakan antara dua hal: bahwa Barirah telah mengambil harta tersebut dengan cara yang mubah lalu menjadi miliknya, lalu ia berhak untuk memberikannya sebagai hadiah kepada orang lain.
Sementara orang yang melakukan riba, ia tidak memiliki harta tersebut dengan jalan yang disyari’atkan, hingga bisa ia pindahkan kepada orang lain.
Iya, hal ini benar jika orang yang berlaku riba tersebut sudah bertaubat, pendapat kami adalah ia boleh memiliki harta itu jika belum tahu akan keharamannya, atau ia sudah tahu –sebagaimana kecenderungan pendapatnya Syeikh Islam- maka pada saat itulah, jika ia hadiahkan kepada orang lain maka dibolehkan, dan inilah analogi dengan hadits Barirah.
Adapun jika ia belum bertaubat, maka ia tidak bisa memiliki harta tersebut, juga tidak bisa pindah kepada orang lain, tidak dengan cara hibah atau dengan diwariskan; karena secara syar’i ia bukan pemiliknya.
Dalam hal ini, anda ketahui bahwa madzhab jumhur adalah madzhab yang kuat, ia sesuai dengan hukum asalnya, bahwa pelaku (riba) itu bukan pemilik harta tersebut sampai ia pindahkan kepada orang lain.
Ibnu Rajab telah menyebutkan pada tempat yang diisyaratkan tadi menurut sebagian atsar terdahulu dalam hal larangan tersebut, sesuai dengan pendapat jumhur, ia juga berkata: “Dan yang bertentangan dengan riwayat dari Ibnu Mas’ud dan Salman adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar As Shiddiq bahwa beliau pernah memakan makanan lalu beliau menjelaskan bahwa itu berasal dari harta haram, lalu beliau memuntahkannya”. (Jami’ Ulum wa Al Hikam: 1/211)
Oleh karenanya Lajnah Daimah telah berfatwa bahwa bunga riba itu tidak bisa diwariskan, anaknya juga tidak boleh memakannya”. (Fatawa Lajnah Daimah: 16/455 dan 22/344.
Baca juga untuk tambahan penjelasan:
Ahkam Al Maal Al Haram wa Dhawabithu Al Intifa’ wa Tasharruf bihi fi Al Fiqhi Al Islami, DR. Abbas Ahmad Al Baaz, hal: 73-92, buku ini termasuk risalah ilmiyah, beliau menyimpulkan bahwa madzhab jumhur yang rajih.
Dosa Besar dalam Islam: Memakan Harta Anak Yatim dan Korupsi. Memakan harta anak yatim dan korupsi, dalam Islam, adalah perbuatan dzalim yang merugikan orang lain. Sementara itu, keduanya juga menjadi bagian dari dosa besar yang membuat pelakunya mendapatkan ancaman pedih di akhirat. Makan harta anak yatim Memakan harta anak yatim adalah salah satu bentuk dosa besar.
Perbuatan tercela tersebut amat dikecam dan mendapat sanksi berat dari Allah. Wali yang menjaga anak yatim, seharusnya mengurus harta yang dimiliki anak yatim tersebut dengan penuh amanah dan bukan menyelewengkannya.
Sebab, harta yang dikelola saat ini menjadi bekal bagi anak yatim di kemudian hari. Saat anak yatim beranjak dewasa dan mampu mengurusi hartanya sendiri, maka harta itu akan sepenuhnya dikembalikan kepada mereka. Mengenai amanah menjaga harta anak yatim ini, Allah berfirman: "Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Isra’:34) Dikutip buku Akidah Akhlak Kelas IX, orang yang menyelewengkan atau melakukan korupsi pada harta anak yatim akan diganjar dengan konsekuensi berat.
Perbuatan tersebut tidak semestinya dilakukan karena meninggalkan berbagai dosa bagi pelakunya. Ancaman pun juga akan ditampakkan pada kehidupan akhiratnya. Berikut ini dampak memakan harta anak yatim secara batil yang akan dirasakan pelakunya:
1. Ancaman masuk neraka.
Pelaku yang memakan harta anak yatim telah dipersiapkan api neraka baginya di Hari Pembalasan. Dia seperti menelan api ke dalam perutnya akibat perbuatan itu. Hal ini ditegaskan Allah dalam surah An Nisa ayat 10: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).(QS.An-Nisa’:10)
2. Masuk dalam golongan pelaku dosa besar. Penyeleweng harta anak yatim masuk dalam pelaku dosa besar. Dosa ini setara dengan soda syirik, sihir, makan riba, sampai pembunuhan. Nabi Muhammad menjelaskan hal ini dalam sabdanya:
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. beliau bersabda: “Jauhilah tujuh(dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya: “Wahai Rasûlullâh, apakah itu?” Beliau Shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab, “Syirik kepada Allah ; sihir; membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan haq; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang berkecamuk; menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. (HR. Al-Bukhari)
Sebaliknya, jika seseorang memenuhi hajat hidup anak yatim dan menjaga harta maka Allah akan memberikan kemuliaan padanya. Dilansir dari laman Dompet Dhuafa, mereka yang memuliakan anak yatim mendapatkan jaminan masuk surga. Hal ini seperti yang disampaikan Nabi Muhammad dalam sabdanya: “Barangsiapa mengambil anak yatim dari kalangan Muslimin, dan memberinya makan dan minum, Allah akan memasukannya kedalam surga, kecuali apabila ia berbuat dosa besar yang tidak terampuni.” (HR. Tirmidzi).
Korupsi Perilaku korupsi hampir sama dengan memakan harta anak yatim, yang sama-sama sebagai perbuatan mendzalimi orang lain. Korupsi adalah perilaku pejabat publik dan pihak lain dalam menyelahgunakan kepercayaan publik demi memperkaya diri dan atau memperkaya orang-orang yang dekat dengannya.
Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) korupsi diartkan penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) demi kepentingan pribadi dan orang lain. Mengutip Jurnal Al Qishthu Volume 12, Nomor 2 (2015), dalam Al Quran telah disebutkan mengenai bentuk penyelewengan harta atau memakan harta yang bukan haknya. Misalnya dalam surah Al Maidah ayat 161 yang menyebutkan, siapa pun yang berkhianat dalam rampasan perang, maka dia akan mendapat balasan atas perbuatannya itu di akhirat. Allah berfirman: "Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan hatra rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya (QS. Ali Imran: 161). Al Alusiy Al Baghdadiy dalam kitab “Ruh al Ma’aniy fiy Tafsir al-Quran al- Azhim, wa Al-Sab’ al-Masaniy" mengatakan terkait ayat tersebut, tidak dibenarkan bagi nabi untuk menyembunyikan harta rampasan karena khianat tidak sejalan dengan sifat kenabian. Kata al ghulul dalam ayat memiliki makna mengambil secara sembunyi-sembunyi. Kalimat ini disandingkan pada pebuatan mencuri dan secara khusus pada perbuatan mencuri harta rampasan sebelum dibagi. Korupsi menimbulkan beragam dampak buruk bagi pelakunya. Di samping itu, dampak juga akan dirasakan oleh orang lain akibat perilaku segelintir oknum tidak bertanggung jawab. Berikut ini berbagai dampak negatif korupsi:
Memperoleh kehinaan dan siksa di neraka. Korupsi merupakan bentuk kehinaan dan aib. Bagi pelakunya telah disiapkan siksaan di neraka.
Menyengsarakan orang lain. Orang lain atau bahkan rakyat dari sebuah negara dapat menderita akibat menjadi korban korupsi. Kondisi rakyat menjadi tidak terurus akibat penyelewengan harta.
Tidak masuk surga. Koruptor pada akhir hayatnya akan membawa harta korupsinya sampai ke akhirat. Saat memperoleh pengadilan di Hari Akhir, dia akan terhalang masuk surga akibat harta yang dikorupsi itu. Nabi Muhammad bersabda, “Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi), dan hutang”.
Doa tidak terkabul. Orang yang korupsi maka doanya akan tertolak. Penyebabnya, dia telah memakan harta haram yang membuat doa tidak lagi makbul.
Bagaimana Hukum Memakai Uang Haram untuk Amal Kebaikan? Sesulit apa pun kita untuk mencari uang, jauhkanlah hal-hal yang didapatkan dengan cara haram dan dari sumber yang tak halal pula. Dalam Islam, apa-apa yang dilakukan dengan cara haram tidak akan bermanfaat bagi orang tersebut.
Di dalam Al-Quran juga mengingatkan kepada semua muslim bahwa uang haram, seperti halnya riba, tidak ada kebaikan di dalamnya seperti yang tercantum pada surat Al-Baqarah ayat 276 yang artinya: "Allah Swt memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa."
Berbicara tentang riba, perolehan harta yang didapat dari aktivitas riba, sudah jelas keharamannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Allah SWT memberikan banyak cara untuk mendapatkan uang dengan cara yang halal, seperti jual-beli.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 275 yang artinya: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."
pernah tidak kamu mempertanyakan jika uang yang didapat secara riba dan digunakan untuk hal-hal baik, seperti sedekah diperbolehkan atau tidak dan seperti apa hukumnya.
Kita semua jelas tahu, riba adalah perbuatan haram, berarti uang yang didapat pun bukanlah dari cara yang halal. Namun, jika uang riba tersebut digunakan untuk hal-hal baik tentu tidak akan membuat uang tersebut menjadi halal. Artinya, niat baik tidak bisa melepaskan perkara yang jelas-jelas keharamannya.
Jadi, harta yang diperoleh dari aktivitas riba dan semacamnya, tetap keharamannya. Tidak boleh diambil, apa pun bentuk penggunaan dan keperluannya. Sebab, harta tersebut adalah harta yang telah diharamkan.
Maka dari itu, jauhi segala hal yang berbau riba dan hal-hal yang tida halal untuk menaikkan jumlah harta kamu, ya.
Berdoa Keburukan untuk Orang yang Menzalimi, Dalam Islam, doa memiliki kedudukan yang tinggi. Ia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ibadah. Termasuk nikmat Allah kepada hamba-Nya, Allah Swt mengizinkan dan menganjurkan untuk berdoa memohon kepada-Nya. Bahkan, lebih dari itu, AllahSwt menjanjikan pahala serta kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Diiringi pula dengan janji akan dipenuhinya segala hajat yang dipintakan. Asalkan memenuhi syarat terkabulnya doa, seperti ikhlas, khusyuk, bar-tawassul dengan asma’ul husna, di waktu mustajab dan menghilangkan semua yang menjadi penghalang terkabulnya doa.
antas bagaimana bila mendoakan keburukan untuk orang lain yang menzalimi kita? Bolehkah dilakukan? Bagaimana pula syariat memandangnya? Pada dasarnya Allah melarang kita untuk mendoakan keburukan untuk orang lain, terlebih kepada sesama muslim. Tapi, khusus terhadap orang-orang yang dizalimi Allah membolehkannya. Kalau dia mendoakan keburukan untuk orang yang menzaliminya itu, Allah akan mengabulkan doanya. Dizalimi dan dianiaya, pasti setiap orang tidak suka. Saat seseorang terzalimi, pasti ia akan berbuat apa saja agar terhindar dari kezaliman itu. Jika mampu, ia akan menghentikan kezaliman atas dirinya dengan tenaga atau lisannya.
Namun ketika tak mampu untuk membalasnya, atau di sisi lain setiap muslim terbentur dengan aturan tidak boleh dendam, Allah membukakan pintu lain untuk membalas perbuatan zalim itu dengan bolehnya mendoakan keburukan untuknya. Allah Ta'ala berfirman,
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. an-Nisa: 148)
Namun, dalam setiap hal yang umum tentu ada perkara yang khusus, selalu ada kasus pengecualian, begitu juga dengan masalah doa. Dimana kemudian ulama sepakat bahwa mendoakan keburukan atas orang yang mendzalimi itu dibolehkan, terlebih jika kezalimanya menyangkut masalah kepentingan orang banyak dan urusan agama. Dinukil dari laman konsultasiislam, ada beberapa perkara khusus yang menyangkut kezaliman tersebut, yakni :
1. Kezaliman yang bersifat pribadi
Jika ada orang yang dizalimi hak-haknya oleh pihak lain, dia boleh mengadu kepada Allah dan mendoakan laknat, kecelakaan atau hukuman kepada yang mendzaliminya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Swt
لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنْ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ
”Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang, kecuali oleh orang yang dianiaya.” (QS An Nisaa`: 148).
mam Ibnu Katsir meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas terhadap ayat tersebut yang berkata : ”Allah tidak menyukai seseorang yang mendoakan keburukan kepada orang lain, kecuali jika dia dizalimi. Karena sesungguhnya Allah telah memberikan keringanan kepadanya untuk mendoakan keburukan bagi orang yang telah menzaliminya. Yang demikian itu berdasarkan firman-Nya: “Kecuali oleh orang yang dizalimi.” Tapi jika dia bersabar, itu lebih baik baginya.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Hukum mendoakan keburukan jenis ini asal hukumnya boleh atau makruh, bisa berubah haram bila berlebihan. Semisal gara-gara cuma keinjak jempol kakinya terus berdoa : “Ya Allah buat dia yang menginjak jempolku itu lumpuh kakinya, puntung tangannya, mandul tujuh turunan.
Doa keburukan seperti ini hukumnya haram dan tidak akan Allah kabulkan, sebagaimana disebutkan dalam hadis : “Apabila seorang muslim berdoa dan tidak memohon suatu yang mengandung dosa atau pemutusan kerabat kecuali akan dikabulkan oleh Allah.” (HR. Ahmad)
2. Kezaliman yang berkaitan dengan hak orang banyak dan agama
Jika ada yang berbuat zalim atas hak-hak masyarakat luas, dengan mencelakakan orang banyak sehingga tertimpa kerugian harta bahkan hilangnya nyawa, contohnya menggelapkan dana haji, menyebar racun, mendoakan laknat atas kaum Yahudi yang membantai saudara kita di Palestina dan lainnya, maka ulama sepakat berpendapat hukumnya boleh didoakan laknat atasnya.
Tentang permasalahan ini telah banyak hadis-hadis yang bisa menjadi dalilnya, dimana Rasulullah telah mendoakan kecelakaan dan laknat kepada sebagian pihak, seperti doa beliau kepada suku yang telah membantai puluhan sahabat Nabi secara keji :
“Ya Allah, siapa saja yang mengurus suatu urusan umatku lalu dia mempersulit mereka, maka persulit urusannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berkata al imam Nawawi rahimahullah :
اعلم أن هذا الباب واسع جدا، وقد تظاهر على جوازه نصوص الكتاب والسنة، وأفعال سلف الأمة وخلفها، وقد أخبر الله سبحانه وتعالى في مواضع كثيرة معلومة من القرآن عن الأنبياء صلوات الله وسلامه عليهم بدعائهم على الكفار
“Ketahuilah bahwa permasalahan ini sangat luas. Telah jelas kebolehan hal tersebut (mendoakan keburukan kepada orang yang berbuat zalim) berdasarkan nash-nash Al Qur`an dan As sunnah. Juga berdasarkan perbuatan generasi umat Islam terdahulu (salaf) maupun generasi terkemudian (khalaf), dan Allah ta’ala juga telah menyebutkan di banyak tempat dalam al Qur’an tentang para nabi-nabinya yang mendoakan kecelakaan atas orang-orang kafir.”(Al Adzkar An-Nawawiyyah.hlm 479)
Mendoakan keburukan kepada orang lain itu dilarang dalam agama, kita diperintahkan untuk mendoakan kebaikan kepada sesama muslim bahkan orang kafir dengan memohonkan hidayah kepada mereka. Namun bila karena suatu sebab, boleh kita meminta kepada Allah untuk membalas kejahatan orang lain, dan meskipun itu makruh tapi secara umum masih lebih baik dari pada kita sendiri yang berusaha untuk membalasnya. Dan kalau kezaliman itu menyangkut kepentingan umum apalagi agama, hukumnya tidak makruh lagi.
Motivasi Diri ketika Tidak Memiliki Pekerjaan dan Pendapatan, Begini Penjelasan Ustadz Khalid Basalamah. Memiliki pekerjaan oleh sebagian orang mungkin tidak dirasa penting. Sebab memang ada bahkan tidak sedikit orang-orang yang tanpa bekerja pun memiliki pendapatan.
Dan bagaimana dengan orang-orang yang mengalami kesulitan baik itu untuk diri sendiri ataupun keluarganya dalam mencari rezeki ataupun pendapatan.
Berikut ini Ustadz Khalid Basalamah akan menjelaskan dan menceritakan kisah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mencukupi kebutuhan diri sendiri dan keluarganya.
Ustadz Khalid Basalamah menerangkan bahwa Allah mengatakan di dalam Al-Qur'an, "Katakanlah kami tidak akan ditimpa, kecuali apa yang sudah Allah catatkan buat kami."
Ustadz Khalid Basalamah juga menghimbau agar bergantung kepada Allah SWT atas segala sesuatu yang terjadi dan jangan sampai ada keraguan di dalam hati ini. Ustadz Khalid Basalamah juga ingin membagikan sebuah kisah.
Kisah seseorang yang sangat susah hidupnya. Dari susahnya tersebut Ustadz Khalid Basalamah menyampaikan bahwasanya dia hidup dari hasil upah harian saja.
Ustadz Khalid Basalamah menceritakan suatu waktu orang tersebut keluar ingin mencari rezeki. Dan kebetulan hari itu dia merasakan sulit mencari rezeki, disebabkan dari pagi hingga larut malam masih belum menemukan apa yang bisa dimakan.
Sedangkan Istri dan anak telah menunggu di rumah menurut Ustadz Khalid Basalamah. Lalu diceritakannya kepada sang istri, bahwa seharian itu dia tidak menemukan pekerjaan yang bisa untuk membeli bekal makanan di rumah.
Dan Ustadz Khalid Basalamah menerangkan bahwa suami tersebut meminta izin untuk beristirahat sejenak dan setelah itu akan kembali keluar untuk mencari makanan. Sebab istri dan anak-anaknya memang belum makan dari pagi hingga malam tersebut.
Di dalam perjalanannya kata Ustadz Khalid Basalamah, suami tersebut bingung dalam setiap langkahnya sambil terus berdoa kepada Allah untuk diberikan petunjuk kemana dia bisa memperoleh rezeki.
Lalu seketika itu tiba-tiba dia melihat masjid. Dikarenakan pada zaman dahulu memang penerangan masih belum seperti zaman sekarang, maka pria tersebut menurut Ustadz Khalid Basalamah menyalakan sumbu minyak kecil untuk memperoleh cahaya.
Setelah memperoleh penerangan maka pria tersebut mengambil wudhu dan shalat, selain juga merasakan kebingungan harus kemana. Subhanallah menurut Ustadz Khalid Basalamah bersamaan pada malam itu, penguasa wilayah tersebut juga tidak bisa tidur disebabkan dilanda kegelisahan yang amat sangat.
Dan penguasa tersebut seakan takut akan mati dan ingin sekali untuk bersedekah. Maka diambilah beberapa kantong emas kata Ustadz Khalid Basalamah dan penguasa tersebut memanjatkan doa kepada Allah supaya diampuni segala kesalahannya, dan penguasa tersebut bilang kepada Allah bahwa dia belum siap untuk berjumpa dengan-Nya dikarenakan merasa bekalnya belum siap.
Penguasa tersebut sebelum berangkat, berdoa kembali kepada Allah untuk diberikan petunjuk kemana dia pergi, dan dia menyampaikan bahwa dia tidak akan memegang tali kudanya. Jadi dia membiarkan kemana kuda tersebut akan berjalan.
Dan Subhanallah, Ustadz Khalid Basalamah menceritakan bahwa kuda tersebut berhenti di masjid tempat orang miskin tadi shalat. Sambil bingung penguasa tersebut dengan petunjuk yang telah Allah berikan, maka dia mencoba memasuki masjid tersebut.
Dilihatnya sesorang yang miskin tadi, dan coba mendengarkan doa yang dipanjatkan. Setelah mendengar semua keluhan yang dipanjatkan, barulah Raja tersebut menyapa orang miskin itu dan menjelaskan bahwa dia membawa beberapa kantong emas yang mungkin bisa mencukupi kebutuhan orang miskin tersebut.
Kemudian raja tersebut menyampaikan kepada orang miskin itu apabila esok hari masih merasa kekurangan untuk tidak segan datang ke istananya dan menghadap ke dia.
Namun Ustadz Khalid Basalamah menyampaikan jawaban orang miskin tersebut yang bisa dijadikan motivasi kita semua. Orang miskin tersebut menjawab kata Ustadz Khalid Basalamah, "Baik Tuan, kalaupun saya masih memiliki kebutuhan selain apa yang anda berikan kepada saya itu. Maka saya tidak akan datang meminta kepada Anda, tetapi saya akn meminta kepada Allah yang mengirim anda datang kepada saya.