Mengatasi Kesedihan Menurut Islam, Kehidupan manusia tidak selamanya bahagia sehingga tidak lepas dari kesedihan, kesusahan, dan kesempitan. Setiap manusia memiliki cara tersendiri untuk mengatasi dan mendapatkan obat kesedihan. Orang-orang beriman atau kaum Muslim memiliki cara tersendiri untuk menghilangkan kesedihan, sesuai dengan tuntunan Islam. Obat kesedihan menurut ajaran Islam antara lain sebagai berikut:
Meyakini bahwa kesedihan dan kesusahan itu taqdir oleh Allah Swt. Dengan keyakinan itu, maka tenanglah hati kita dan lapanglah dada kita.
Berdo’a dengan doa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dalam menghadapi kesedihan. Sebagaimana diriwayatkan Ibnu Mas’ud r.a. , Nabi Saw bersabda: “Tidaklah seorang hamba tertimpa kesusahan dan kesedihan kemudian dia berdo’a ‘Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu, dan anak hamba perempuanMu, ubun-ubunku di tangan-Mu, berlaku kepadaku hukum-Mu, adil atasku Qadha-Mu (keputusan-Mu), aku meminta kepada-Mu dengan seluruh nama-nama-Mu (yaitu) yang Engkau namakan diri Engkau dengan nama tersebut, atau yang Engkau turunkan di kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada kepada salah satu hambaMu, supaya Engkau menjadikan al-Qur’an penyiram hatiku, cahaya dadaku, pengusir kesedihanku, penghilang kecemasan dan kegelisahan… kecuali Allah akan menghilangkan kesusahannya dan menggantinya dengan kesenangan.”
Sebagaimana dalam doa itu terkandung permintaan seorang hamba supaya Allah Ta’ala menjadikan al-Qur’an sebagai “Rabi’” bagi hatinya. Rabi’ adalah air hujan, maka Nabi Saw menyerupakan menyerupakan al-Qur’an dengan air hujan, karena sebagaimana air hujan menumbuhkan bumi, maka al-Qur’an pun menghidupkan hati. Permintaan seorang hamba supaya Allah Swt menjadikan al-Qur’an penghilang kesedihannya, karena kalau kesedihan dihilangkan dengan al-Qur’an, maka kesedihan tersebut tidak akan kembali. Kesedihan dan kesempitan hati tidak akan bisa dihilangkan kecuali dengan tauhid dan pemahaman yang benar tentang Allah Swt dan dengan al-Qur’an, yaitu dengan menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi hidup.
Kita juga diharuskan untuk menjauhi sebab-sebab munculnya kesedihan dan kesempitan hati, yaitu dengan menjauhi sikap berpaling dari Al-Qur’an sebagaimana firman Allah Swt sebagai berikut : “Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS. Thaha:124). Orang beriman pada dasarnya tidak boleh merasa lemah dan bersedih karena ia selalu bersama Allah SWT. “Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (darjatnya), jika kamu orang beriman.” (QS. Ali Imran:139)
Doa Jika Bertemu Orang yang Ditakuti & Doa Agar Tidak Takut Menghadapi Orang. Manusia memang memiliki segala keterbatasan, tak jarang dikuasai rasa takut terhadap hal-hal yang belum pernah ditemui atau tak bisa dikendalikan olehnya. Merasa takut adalah hal yang wajar, baik terhadap sesuatu atau seseorang. Lalu bagaimana cara menenangkan diri saat bertemu orang yang ditakuti?
Hirup napas dalam-dalam, lalu embuskan perlahan. Lakukan beberapa kali sampai hati terasa lebih tenang. Tak ada salahnya juga membaca doa-doa berikut.
Doa Saat Bertemu Orang yang Ditakuti
Ini adalah doa yang dibaca Rasulullah SAW ketika gemetar hebat saat malaikat Jibril menyampaikan wahyu dari Allah SWT untuk pertama kalinya.
Allahumma inna naj'aluka fi nuhurihim wa na'udzubika min syururihim.
Artinya:
"Ya Allah, sesungguhnya aku menjadikan Engkau di leher mereka (agar kekuatan pada orang jahat itu tidak berdaya saat berhadapan dengan kami) dan aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan mereka." (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai, Baihaqi, Hakim, dll, dari Abu Musa Al-Asy'ari).
Doa Agar Tidak Takut Menghadapi Orang
Seperti disebutkan dalam kitab Biharul Anwar, bacalah doa berikut agar Allah SWT memberikan keberanian untuk menghadapi manusia lain.
حسبي الله لا إله إلا هو، عليه توكلت وهو رب العرش العظيم، أمتنع بحول الله وقوته من حولهم وقوتهم،
وأمتنع برب الفلق من شر ما خلق، ما شاء الله لا قوة إلا بالله
Hasbiyallaahu laa ilaaha illallaahu ‘alaihi tawakkaltu wa huwa robbul ‘arsyil adziimi, amtani’u bi hawlillaahi wa quwwatihii min hawlihim wa quwwatihim wa amtani’u bi robbil falaq wa min syarri maa kholaq, maa syaa-allaahu laa quwwata illaa billaah.
Artinya:
"Cukup Allah sebagai penolongku, tiada Tuhan selain Dia. Kepada-Nya aku berserah diri dan Dia Tuhan ‘Arsy yang agung. Aku menangkal melalui upaya Allah dan kekuatan-Nya dari upaya dan kekuatan mereka. Aku menangkal melalui Tuhan fajar dari keburukan apa yang Ia ciptakan. Sesuatu yang dikehendaki Allah, tidak kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah."
Perbedaan Yang Terjadi Pada Harta Haram Yang Dimiliki Karena Pekerjaannya, Apakah Jika Harta Tersebut Berpindah Kepada Orang Lain Dengan Warisan atau Dengan Hibah Lalu Berubah Menjadi Halal?
Pertanyaan
Ada masalah yang mengganggu fikiran saya, dan kebanyakan orang selalu bertanya-tanya, hal ini berkaitan dengan hukum transaksi terhadap harta yang haram, baik karena warisan, serah terima, seperti hadiah, hibah, diterima setelah proses barter, hutang piutang, dan bentuk lainnya dalam transaksi yang tidak mungkin banyak orang akan mengalami sebagiannya, saya telah mencari sesuai dengan kemampuan saya, ditengah upaya tersebut saya mencari petunjuk Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang dikuatkan dengan dalil yang shahih tanpa ada kemungkinan lain dalam memahaminya untuk dijadikan sebagai dalil, atau karena lemah sanadnya, maka saya fokus pada pembagian ulama tentang harta haram yang dibagi menjadi dua bagian: Haram karena dzatnya, gambarannya adalah harta hasil curian, hal ini sudah disepakati –menurut pemahaman saya- akan keharamannya, kaharamannya tidak berubah menjadi halal karena berpindah dari tangan ke tangan lainnya. Meskipun perpindahan harta tersebut pada dasarnya adalah mubah, seperti warisan, hadiah, hibah, barter, atau hutang yang baik. Yang menjadi masalah menurut saya pada uang haram karena pekerjaannya dan bukan dzatnya, maksud saya di sini adalah menentukan uang haram itu semuanya, bukan yang masih bercampur, yang menjadi masalah adalah saya mendapatkan jumhur ulama menyamakan harta ini dengan harta haram karena dzatnya, maka hukumnya tidak berubah karena adanya perpindahan tangan. Saya tidak mendapatkan dalil yang meyakinkan diri saya bersama jumhur, hal itu tidak diragukan lagi karena keterbatasan pencarian saya, minimnya cara ilmiyah dan penelitian saya, pada sisi lain saya mendapatkan beberapa ulama seperti Syeikh Utsaimin yang membolehkan bunga bank konvensional jika sudah berpindah kepada para ahli waris, fatwa tersebut terpercaya yang diunggah pada website terpercaya, dan terkadang saya ingat sikap jumhur dalam masalah tersebut, maka saya hawatir terhadap diri sendiri, hal itu karena kemuliaan jumhur ulama menurut saya. Pada saat yang sama saya tidak mendapatkan dalil setelah keterbahasan penelitian saya yang mendorong saya untuk mengambil pendapat mereka dan menolak petunjuk Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari hadits Barirah. Maka apakah yang menjadi dalil madzhabnya Jumhur ?, apakah masalah khilafiyah tersebut yang termasuk yang dimintai pertanggung jawaban pada hari kiamat apalagi saya yang tidak sependapat dengan madzhabnya jumhur ?
Jawaban Pertama:
Harta haram itu ada dua:
Harta haram karena dzatnya, yaitu harta yang diambil tanpa rasa ridho, seperti; harta curian, harta yang dighasab dan harta perampokan, harta ini diharamkan bagi pelakunya dan bagi siapa yang menerimanya jika ia mengetahui keadaannya; karena keharamannya berkaitan dengan dzat harta tersebut. Harta tersebut adalah dzat harta orang yang terdzolimi dan wajib dikembalikan kepadanya. Memanfaatkannya berarti ikut berkontribusi dalam kedzaliman dan dosa.
Harta haram karena pekerjaannya, adalah harta yang diterima dengan sukarela namun dari hasil pekerjaan yang haram, atau berasal dari transaksi haram, seperti; uang sewa penyanyi dan musik, dan pekerjaan yang haram, seperti; harta dari hasil suap, bunga bank, keuntungan dari khamr, narkotika, dan lain sebagainya.
Jenis kedua ini ada perbedaan pendapat dari dua sisi:
Pertama:
Terkait dengan pelakunya jika ia bertaubat, apakah ia wajib mengembalikan atau disedekahkan atau boleh dimiliki ?
Kaitannya dengan boleh dimiliki, apakah dibedakan antara orang yang tidak tahu kalau hukumnya haram dan orang yang sudah mengetahuinya ?
Silahkan dibaca penjelasan masalah ini pada jawaban soal nomor: 219679
Kedua:
Apakah harta tersebut menjadi halal bagi orang selain pelakunya, seperti pindahnya harta tersebut kepada orang lain karena sebab yang mubah, seperti karena hibah, diwariskan, atau untuk nafkah ataukah tetap tidak halal ?
Para ahli fikih berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat:
Pertama: Tetap tidak halal bagi pelakunya dan juga bagi orang lain.
Ini pendapatnya jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan yang dipilih oleh Lajnah Daimah.
Kedua: Harta tersebut menjadi halal bagi selain pelakunya, jika harta tersebut berpindah dari pelaku kepada orang lain dengan cara yang halal, seperti; hibah, warisan dan lain sebagainya.
Pendapat inilah yang menjadi sandaran Malikiyah, dan sebagian Hanafiyyah, Hasan Al Basri, Az Zuhri, dan yang dipilih oleh Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah-.
Baca juga: Al Asybah wa An Nazhair, karya: Ibnu Nujaim: 247, Hasyiyah Ibnu Abidin (5/99), Fatawa Ibnu Rusyd: 1/640, Ad Dakhirah karya Al Qarafi: 13/318, Manhu Al Jalil Syarah Mukhtashor Kholil: 2/416, Ihya Ulumuddin: 2/130, Al Majmu’: 9/351, Al Inshaf: 8/322, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah: 29/307, dan Fatawa Lajnah Daimah: 16/455.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seseorang yang berlaku riba, ia telah meninggalkan harta dan anak yang dia mengetahui kondisi ayahnya. Apakah harta tersebut menjadi halal baginya dengan warisan atau tidak ?
Beliau menjawab:
“Adapun masalah bahwa anaknya mengetahui kalau harta ayahnya mengandung riba, maka hendaknya ia mengeluarkannya dengan cara mengembalikannya kepada pemiliknya jika memungkinkan, namun jika tidak maka disedekahkan, dan sisanya sudah tidak haram lagi baginya, akan tetapi sejumlah harta yang masih syubhat maka disunnahkan untuk ditinggalkan, jika tidak harus digunakan untuk membayar hutang atau menafkahi keluarga.
Kalau ayahnya tersebut masih terikat dengan transaksi ribawi dimana pada ahli fikih masih memberikan rukhsoh (keringanan), maka ahli waris diperbolehkan mempergunakannya.
Jika hartanya masih bercampur antara yang halal dan yang haram, maka masing-masing diperkirakan dan hartanya dibagi menjadi dua bagian. (Majmu’ Fatawa: 29/307)
Ini merupakan pendapat jumhur ulama
Ibnu Rusyd berkata:
“Dan diriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa ia berkata tentang seseorang yang bekerja lalu ia terjerumus ke dalam sogokan, korupsi, dan pembagian seperlima (dari negara) dan bagi siapa saja yang bisnisnya banyak mengandung riba. Semua yang ia tinggalkan dari harta warisan maka akan menjadi haknya ahli waris dengan warisan yang telah Allah wajibkan kepada mereka, baik mereka mengetahui buruknya pekerjaannya atau tidak mengetahui. Sementara dosa kedzoliman dilimpahkan kepada pelaku dosa tersebut”. (Fatawa Ibnu Rusyd: 1/640)
Ini merupakan pendapat yang kedua.
Yang menjadi dalilnya Jumhur adalah bahwa harta tersebut tidak halal bagi pelakunya dan tidak dapat dimiliki secara syari’at. Seharusnya melepaskan diri atau mengembalikannya dan tidak dialihkan kepada orang lain; karena peralihan kepemilikan melalui warisan atau dengan hibah adalah menjadi bagian dari kepemilikannya juga, maka dalam hal ini tidak diperbolehkan.
Sedikit sekali Jumhur (mayoritas ulama) membahas dalam masalah ini, karena bertumpu pada hukum asal, yaitu; ia termasuk harta yang haram, sehingga dengan kematian tidak dapat merubah harta tersebut menjadi baik, begitu juga perpindahan dari satu tangan ke tangan lainnya.
Yang menjadi dalil pendapat kedua:
Interaksi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya dengan orang-orang yahudi dalam hal jual beli, persewaan dan hutang, padahal mereka terkenal dengan mengambil riba dan memakan makanan yang haram.
Hal ini dijawab bahwa hartanya orang-orang yahudi itu termasuk harta yang campur, sementara pembahasan ini berkaitan dengan harta yang haram yang tidak bercampur dengan yang lainnya.
Akan tetapi telah dinyatakan dari Ibnu Mas’ud yang menguatkan madzhab ini, hal itu sangat jelas sekali, Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata:
“Telah diriwayatkan dalam hal itu beberapa atsar dari generasi salaf, ada riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud bahwa ia pernah ditanya tentang seorang tetangga yang memakan harta riba dengan terang-terangan dan tidak menjauhi harta yang buruk yang ia ambil dan mengajaknya untuk makan bersama, maka ia berkata: “Datangilah undangannya, karena hidangan itu baik bagi kalian, sementara dosanya hanya bagi dia”.
Dan di dalam riwayat lain ia berkata: “Saya tidak mengetahui sesuatu kecuali (hartanya) adalah buruk atau haram, lalu beliau berkata: “Penuhilah undangannya”.
Imam Ahmad telah menshohehkan riwayat ini dari Ibnu Ma’ud, akan tetapi ia berbeda dengan apa yang diriwayatkan darinya bahwa ia berkata: “Dosa adalah yang menguasai hati”.
Dan telah diriwayatkan dari Sulaiman seperti ucapan Ibnu Mas’ud yang pertama, dan dari Sa’id bin Jabir, Hasan Al Basri, Muwarriq Al ‘Ijli, Ibrahim An Nakho’i, Ibnu Sirin dan yang lainnya. Ada banyak atsar yang ada di dalam kitab “Al Adab” karya Humaid bin Zanjawaih dan sebagiannya di dalam kitab “Al Jami’” karya Al Khallal, dan di dalam karya Abdurrazzaq bin Abi Syaibah dan yang lainnya”. (Jami’ Al Ulum wal Hikam: 1/209-210)
Keharaman harta tersebut berkaitan dengan tanggung jawab pelakunya, bukan dengan dzat harta tersebut, maka tidak menjadi haram setelah berpindah tangan.
Jawaban dari hal ini adalah, jika memang demikian maka harta itu akan menjadi hutang dan tanggungan si mayyit, maka diwajibkan kepada ahli waris untuk melunasi hutang tersebut sebelum pembagian harta warisan.
Sungguh perbedaan cara mengambilnya juga berpengaruh, haramnya harta tersebut berada pada pelakunya, tidak serta merta menjadi haram juga bagi orang lain, berdasarkan hadits Barirah “Harta itu menjadi sedekah baginya dan menjadi hadiah bagi kami”.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:
“Sebagian ulama berkata, harta yang haram karena pekerjaannya, karena dosanya bagi pelakunya, bukan bagi siapa saja yang mendapatkannya melalui jalan yang mubah dari pelaku tersebut, berbeda dengan harta haram karena dzatnya, seperti khamr, barang curian dan lain sebagainya.
Pendapat ini tepat dan kuat, berdasarkan dalil bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah membeli makanan dari orang yahudi untuk keluarganya, beliau juga telah memakan kambing yang dihadiahi oleh wanita yahudi Khaibar, beliau juga telah memenuhi undangan orang yahudi, sebagaimana diketahui bahwa mereka sebagian besarnya telah berlaku riba dan memakan harta yang haram.
Kemungkinan yang menguatkan pendapat ini juga, sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- terkait masalah daging yang telah disedekahkan kepada Barirah:
هو لها صدقة ، ولنا منها هدية انتهى
“Daging itu menjadi sedekah baginya, dan menjadi hadiah bagi kami”.
(Al Qaul Al Mufid ‘ala Kitab Tauhid: 3/112)
Beliau –rahimahullah- juga berkata:
“Coba anda lihat Barirah pembantu ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anhuma- misalnya, dia diberi sedekah daging, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika memasuki rumah beliau, seraya mendapatkan bejana di atas api, lalu beliau mengajak makan namun daging tersebut tidak dihidangkan, dihidangkan makanan lain dan tidak ada daging, lalu beliau bersabda: “Sepertinya saya melihat bejana di atas api ?” mereka berkata: “Iya betul wahai Rasulullah, akan tetapi yang di dalamnya itu daging sedekah yang diberikan kepada Barirah”.
Dan Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak memakan sedekah, seraya beliau bersabda:
هو لها صدقة ، ولنا هدية
“Daging itu baginya sedekah, dan bagi kami adalah hadiah”.
Lalu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memakannya, padahal diharamkan bagi beliau untuk memakan sedekah; karena beliau tidak menerimanya sebagai harta sedekah, akan tetapi beliau terima sebagai harta hadiah.
Kepada mereka pada ikhwah kami katakan:
Makanlah dari harta ayah kalian dengan senang hati, meskipun menjadi dosa dan bencana bagi ayah kalian, kecuali Allah -‘Azza wa Jalla- memberikan hidayah kepadanya dan bertaubat kepada-Nya, barang siapa yang bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. (Al Liqo Asy Syahri: 45/26)
Alasan ini bisa dijawab dengan membedakan antara dua hal: bahwa Barirah telah mengambil harta tersebut dengan cara yang mubah lalu menjadi miliknya, lalu ia berhak untuk memberikannya sebagai hadiah kepada orang lain.
Sementara orang yang melakukan riba, ia tidak memiliki harta tersebut dengan jalan yang disyari’atkan, hingga bisa ia pindahkan kepada orang lain.
Iya, hal ini benar jika orang yang berlaku riba tersebut sudah bertaubat, pendapat kami adalah ia boleh memiliki harta itu jika belum tahu akan keharamannya, atau ia sudah tahu –sebagaimana kecenderungan pendapatnya Syeikh Islam- maka pada saat itulah, jika ia hadiahkan kepada orang lain maka dibolehkan, dan inilah analogi dengan hadits Barirah.
Adapun jika ia belum bertaubat, maka ia tidak bisa memiliki harta tersebut, juga tidak bisa pindah kepada orang lain, tidak dengan cara hibah atau dengan diwariskan; karena secara syar’i ia bukan pemiliknya.
Dalam hal ini, anda ketahui bahwa madzhab jumhur adalah madzhab yang kuat, ia sesuai dengan hukum asalnya, bahwa pelaku (riba) itu bukan pemilik harta tersebut sampai ia pindahkan kepada orang lain.
Ibnu Rajab telah menyebutkan pada tempat yang diisyaratkan tadi menurut sebagian atsar terdahulu dalam hal larangan tersebut, sesuai dengan pendapat jumhur, ia juga berkata: “Dan yang bertentangan dengan riwayat dari Ibnu Mas’ud dan Salman adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar As Shiddiq bahwa beliau pernah memakan makanan lalu beliau menjelaskan bahwa itu berasal dari harta haram, lalu beliau memuntahkannya”. (Jami’ Ulum wa Al Hikam: 1/211)
Oleh karenanya Lajnah Daimah telah berfatwa bahwa bunga riba itu tidak bisa diwariskan, anaknya juga tidak boleh memakannya”. (Fatawa Lajnah Daimah: 16/455 dan 22/344.
Baca juga untuk tambahan penjelasan:
Ahkam Al Maal Al Haram wa Dhawabithu Al Intifa’ wa Tasharruf bihi fi Al Fiqhi Al Islami, DR. Abbas Ahmad Al Baaz, hal: 73-92, buku ini termasuk risalah ilmiyah, beliau menyimpulkan bahwa madzhab jumhur yang rajih.
Dosa Besar dalam Islam: Memakan Harta Anak Yatim dan Korupsi. Memakan harta anak yatim dan korupsi, dalam Islam, adalah perbuatan dzalim yang merugikan orang lain. Sementara itu, keduanya juga menjadi bagian dari dosa besar yang membuat pelakunya mendapatkan ancaman pedih di akhirat. Makan harta anak yatim Memakan harta anak yatim adalah salah satu bentuk dosa besar.
Perbuatan tercela tersebut amat dikecam dan mendapat sanksi berat dari Allah. Wali yang menjaga anak yatim, seharusnya mengurus harta yang dimiliki anak yatim tersebut dengan penuh amanah dan bukan menyelewengkannya.
Sebab, harta yang dikelola saat ini menjadi bekal bagi anak yatim di kemudian hari. Saat anak yatim beranjak dewasa dan mampu mengurusi hartanya sendiri, maka harta itu akan sepenuhnya dikembalikan kepada mereka. Mengenai amanah menjaga harta anak yatim ini, Allah berfirman: "Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Isra’:34) Dikutip buku Akidah Akhlak Kelas IX, orang yang menyelewengkan atau melakukan korupsi pada harta anak yatim akan diganjar dengan konsekuensi berat.
Perbuatan tersebut tidak semestinya dilakukan karena meninggalkan berbagai dosa bagi pelakunya. Ancaman pun juga akan ditampakkan pada kehidupan akhiratnya. Berikut ini dampak memakan harta anak yatim secara batil yang akan dirasakan pelakunya:
1. Ancaman masuk neraka.
Pelaku yang memakan harta anak yatim telah dipersiapkan api neraka baginya di Hari Pembalasan. Dia seperti menelan api ke dalam perutnya akibat perbuatan itu. Hal ini ditegaskan Allah dalam surah An Nisa ayat 10: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).(QS.An-Nisa’:10)
2. Masuk dalam golongan pelaku dosa besar. Penyeleweng harta anak yatim masuk dalam pelaku dosa besar. Dosa ini setara dengan soda syirik, sihir, makan riba, sampai pembunuhan. Nabi Muhammad menjelaskan hal ini dalam sabdanya:
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. beliau bersabda: “Jauhilah tujuh(dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya: “Wahai Rasûlullâh, apakah itu?” Beliau Shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab, “Syirik kepada Allah ; sihir; membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan haq; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang berkecamuk; menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. (HR. Al-Bukhari)
Sebaliknya, jika seseorang memenuhi hajat hidup anak yatim dan menjaga harta maka Allah akan memberikan kemuliaan padanya. Dilansir dari laman Dompet Dhuafa, mereka yang memuliakan anak yatim mendapatkan jaminan masuk surga. Hal ini seperti yang disampaikan Nabi Muhammad dalam sabdanya: “Barangsiapa mengambil anak yatim dari kalangan Muslimin, dan memberinya makan dan minum, Allah akan memasukannya kedalam surga, kecuali apabila ia berbuat dosa besar yang tidak terampuni.” (HR. Tirmidzi).
Korupsi Perilaku korupsi hampir sama dengan memakan harta anak yatim, yang sama-sama sebagai perbuatan mendzalimi orang lain. Korupsi adalah perilaku pejabat publik dan pihak lain dalam menyelahgunakan kepercayaan publik demi memperkaya diri dan atau memperkaya orang-orang yang dekat dengannya.
Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) korupsi diartkan penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) demi kepentingan pribadi dan orang lain. Mengutip Jurnal Al Qishthu Volume 12, Nomor 2 (2015), dalam Al Quran telah disebutkan mengenai bentuk penyelewengan harta atau memakan harta yang bukan haknya. Misalnya dalam surah Al Maidah ayat 161 yang menyebutkan, siapa pun yang berkhianat dalam rampasan perang, maka dia akan mendapat balasan atas perbuatannya itu di akhirat. Allah berfirman: "Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan hatra rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya (QS. Ali Imran: 161). Al Alusiy Al Baghdadiy dalam kitab “Ruh al Ma’aniy fiy Tafsir al-Quran al- Azhim, wa Al-Sab’ al-Masaniy" mengatakan terkait ayat tersebut, tidak dibenarkan bagi nabi untuk menyembunyikan harta rampasan karena khianat tidak sejalan dengan sifat kenabian. Kata al ghulul dalam ayat memiliki makna mengambil secara sembunyi-sembunyi. Kalimat ini disandingkan pada pebuatan mencuri dan secara khusus pada perbuatan mencuri harta rampasan sebelum dibagi. Korupsi menimbulkan beragam dampak buruk bagi pelakunya. Di samping itu, dampak juga akan dirasakan oleh orang lain akibat perilaku segelintir oknum tidak bertanggung jawab. Berikut ini berbagai dampak negatif korupsi:
Memperoleh kehinaan dan siksa di neraka. Korupsi merupakan bentuk kehinaan dan aib. Bagi pelakunya telah disiapkan siksaan di neraka.
Menyengsarakan orang lain. Orang lain atau bahkan rakyat dari sebuah negara dapat menderita akibat menjadi korban korupsi. Kondisi rakyat menjadi tidak terurus akibat penyelewengan harta.
Tidak masuk surga. Koruptor pada akhir hayatnya akan membawa harta korupsinya sampai ke akhirat. Saat memperoleh pengadilan di Hari Akhir, dia akan terhalang masuk surga akibat harta yang dikorupsi itu. Nabi Muhammad bersabda, “Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi), dan hutang”.
Doa tidak terkabul. Orang yang korupsi maka doanya akan tertolak. Penyebabnya, dia telah memakan harta haram yang membuat doa tidak lagi makbul.
Bagaimana Hukum Memakai Uang Haram untuk Amal Kebaikan? Sesulit apa pun kita untuk mencari uang, jauhkanlah hal-hal yang didapatkan dengan cara haram dan dari sumber yang tak halal pula. Dalam Islam, apa-apa yang dilakukan dengan cara haram tidak akan bermanfaat bagi orang tersebut.
Di dalam Al-Quran juga mengingatkan kepada semua muslim bahwa uang haram, seperti halnya riba, tidak ada kebaikan di dalamnya seperti yang tercantum pada surat Al-Baqarah ayat 276 yang artinya: "Allah Swt memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa."
Berbicara tentang riba, perolehan harta yang didapat dari aktivitas riba, sudah jelas keharamannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Allah SWT memberikan banyak cara untuk mendapatkan uang dengan cara yang halal, seperti jual-beli.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 275 yang artinya: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."
pernah tidak kamu mempertanyakan jika uang yang didapat secara riba dan digunakan untuk hal-hal baik, seperti sedekah diperbolehkan atau tidak dan seperti apa hukumnya.
Kita semua jelas tahu, riba adalah perbuatan haram, berarti uang yang didapat pun bukanlah dari cara yang halal. Namun, jika uang riba tersebut digunakan untuk hal-hal baik tentu tidak akan membuat uang tersebut menjadi halal. Artinya, niat baik tidak bisa melepaskan perkara yang jelas-jelas keharamannya.
Jadi, harta yang diperoleh dari aktivitas riba dan semacamnya, tetap keharamannya. Tidak boleh diambil, apa pun bentuk penggunaan dan keperluannya. Sebab, harta tersebut adalah harta yang telah diharamkan.
Maka dari itu, jauhi segala hal yang berbau riba dan hal-hal yang tida halal untuk menaikkan jumlah harta kamu, ya.
Berdoa Keburukan untuk Orang yang Menzalimi, Dalam Islam, doa memiliki kedudukan yang tinggi. Ia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ibadah. Termasuk nikmat Allah kepada hamba-Nya, Allah Swt mengizinkan dan menganjurkan untuk berdoa memohon kepada-Nya. Bahkan, lebih dari itu, AllahSwt menjanjikan pahala serta kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Diiringi pula dengan janji akan dipenuhinya segala hajat yang dipintakan. Asalkan memenuhi syarat terkabulnya doa, seperti ikhlas, khusyuk, bar-tawassul dengan asma’ul husna, di waktu mustajab dan menghilangkan semua yang menjadi penghalang terkabulnya doa.
antas bagaimana bila mendoakan keburukan untuk orang lain yang menzalimi kita? Bolehkah dilakukan? Bagaimana pula syariat memandangnya? Pada dasarnya Allah melarang kita untuk mendoakan keburukan untuk orang lain, terlebih kepada sesama muslim. Tapi, khusus terhadap orang-orang yang dizalimi Allah membolehkannya. Kalau dia mendoakan keburukan untuk orang yang menzaliminya itu, Allah akan mengabulkan doanya. Dizalimi dan dianiaya, pasti setiap orang tidak suka. Saat seseorang terzalimi, pasti ia akan berbuat apa saja agar terhindar dari kezaliman itu. Jika mampu, ia akan menghentikan kezaliman atas dirinya dengan tenaga atau lisannya.
Namun ketika tak mampu untuk membalasnya, atau di sisi lain setiap muslim terbentur dengan aturan tidak boleh dendam, Allah membukakan pintu lain untuk membalas perbuatan zalim itu dengan bolehnya mendoakan keburukan untuknya. Allah Ta'ala berfirman,
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. an-Nisa: 148)
Namun, dalam setiap hal yang umum tentu ada perkara yang khusus, selalu ada kasus pengecualian, begitu juga dengan masalah doa. Dimana kemudian ulama sepakat bahwa mendoakan keburukan atas orang yang mendzalimi itu dibolehkan, terlebih jika kezalimanya menyangkut masalah kepentingan orang banyak dan urusan agama. Dinukil dari laman konsultasiislam, ada beberapa perkara khusus yang menyangkut kezaliman tersebut, yakni :
1. Kezaliman yang bersifat pribadi
Jika ada orang yang dizalimi hak-haknya oleh pihak lain, dia boleh mengadu kepada Allah dan mendoakan laknat, kecelakaan atau hukuman kepada yang mendzaliminya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Swt
لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنْ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ
”Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang, kecuali oleh orang yang dianiaya.” (QS An Nisaa`: 148).
mam Ibnu Katsir meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas terhadap ayat tersebut yang berkata : ”Allah tidak menyukai seseorang yang mendoakan keburukan kepada orang lain, kecuali jika dia dizalimi. Karena sesungguhnya Allah telah memberikan keringanan kepadanya untuk mendoakan keburukan bagi orang yang telah menzaliminya. Yang demikian itu berdasarkan firman-Nya: “Kecuali oleh orang yang dizalimi.” Tapi jika dia bersabar, itu lebih baik baginya.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Hukum mendoakan keburukan jenis ini asal hukumnya boleh atau makruh, bisa berubah haram bila berlebihan. Semisal gara-gara cuma keinjak jempol kakinya terus berdoa : “Ya Allah buat dia yang menginjak jempolku itu lumpuh kakinya, puntung tangannya, mandul tujuh turunan.
Doa keburukan seperti ini hukumnya haram dan tidak akan Allah kabulkan, sebagaimana disebutkan dalam hadis : “Apabila seorang muslim berdoa dan tidak memohon suatu yang mengandung dosa atau pemutusan kerabat kecuali akan dikabulkan oleh Allah.” (HR. Ahmad)
2. Kezaliman yang berkaitan dengan hak orang banyak dan agama
Jika ada yang berbuat zalim atas hak-hak masyarakat luas, dengan mencelakakan orang banyak sehingga tertimpa kerugian harta bahkan hilangnya nyawa, contohnya menggelapkan dana haji, menyebar racun, mendoakan laknat atas kaum Yahudi yang membantai saudara kita di Palestina dan lainnya, maka ulama sepakat berpendapat hukumnya boleh didoakan laknat atasnya.
Tentang permasalahan ini telah banyak hadis-hadis yang bisa menjadi dalilnya, dimana Rasulullah telah mendoakan kecelakaan dan laknat kepada sebagian pihak, seperti doa beliau kepada suku yang telah membantai puluhan sahabat Nabi secara keji :
“Ya Allah, siapa saja yang mengurus suatu urusan umatku lalu dia mempersulit mereka, maka persulit urusannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berkata al imam Nawawi rahimahullah :
اعلم أن هذا الباب واسع جدا، وقد تظاهر على جوازه نصوص الكتاب والسنة، وأفعال سلف الأمة وخلفها، وقد أخبر الله سبحانه وتعالى في مواضع كثيرة معلومة من القرآن عن الأنبياء صلوات الله وسلامه عليهم بدعائهم على الكفار
“Ketahuilah bahwa permasalahan ini sangat luas. Telah jelas kebolehan hal tersebut (mendoakan keburukan kepada orang yang berbuat zalim) berdasarkan nash-nash Al Qur`an dan As sunnah. Juga berdasarkan perbuatan generasi umat Islam terdahulu (salaf) maupun generasi terkemudian (khalaf), dan Allah ta’ala juga telah menyebutkan di banyak tempat dalam al Qur’an tentang para nabi-nabinya yang mendoakan kecelakaan atas orang-orang kafir.”(Al Adzkar An-Nawawiyyah.hlm 479)
Mendoakan keburukan kepada orang lain itu dilarang dalam agama, kita diperintahkan untuk mendoakan kebaikan kepada sesama muslim bahkan orang kafir dengan memohonkan hidayah kepada mereka. Namun bila karena suatu sebab, boleh kita meminta kepada Allah untuk membalas kejahatan orang lain, dan meskipun itu makruh tapi secara umum masih lebih baik dari pada kita sendiri yang berusaha untuk membalasnya. Dan kalau kezaliman itu menyangkut kepentingan umum apalagi agama, hukumnya tidak makruh lagi.
Motivasi Diri ketika Tidak Memiliki Pekerjaan dan Pendapatan, Begini Penjelasan Ustadz Khalid Basalamah. Memiliki pekerjaan oleh sebagian orang mungkin tidak dirasa penting. Sebab memang ada bahkan tidak sedikit orang-orang yang tanpa bekerja pun memiliki pendapatan.
Dan bagaimana dengan orang-orang yang mengalami kesulitan baik itu untuk diri sendiri ataupun keluarganya dalam mencari rezeki ataupun pendapatan.
Berikut ini Ustadz Khalid Basalamah akan menjelaskan dan menceritakan kisah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mencukupi kebutuhan diri sendiri dan keluarganya.
Ustadz Khalid Basalamah menerangkan bahwa Allah mengatakan di dalam Al-Qur'an, "Katakanlah kami tidak akan ditimpa, kecuali apa yang sudah Allah catatkan buat kami."
Ustadz Khalid Basalamah juga menghimbau agar bergantung kepada Allah SWT atas segala sesuatu yang terjadi dan jangan sampai ada keraguan di dalam hati ini. Ustadz Khalid Basalamah juga ingin membagikan sebuah kisah.
Kisah seseorang yang sangat susah hidupnya. Dari susahnya tersebut Ustadz Khalid Basalamah menyampaikan bahwasanya dia hidup dari hasil upah harian saja.
Ustadz Khalid Basalamah menceritakan suatu waktu orang tersebut keluar ingin mencari rezeki. Dan kebetulan hari itu dia merasakan sulit mencari rezeki, disebabkan dari pagi hingga larut malam masih belum menemukan apa yang bisa dimakan.
Sedangkan Istri dan anak telah menunggu di rumah menurut Ustadz Khalid Basalamah. Lalu diceritakannya kepada sang istri, bahwa seharian itu dia tidak menemukan pekerjaan yang bisa untuk membeli bekal makanan di rumah.
Dan Ustadz Khalid Basalamah menerangkan bahwa suami tersebut meminta izin untuk beristirahat sejenak dan setelah itu akan kembali keluar untuk mencari makanan. Sebab istri dan anak-anaknya memang belum makan dari pagi hingga malam tersebut.
Di dalam perjalanannya kata Ustadz Khalid Basalamah, suami tersebut bingung dalam setiap langkahnya sambil terus berdoa kepada Allah untuk diberikan petunjuk kemana dia bisa memperoleh rezeki.
Lalu seketika itu tiba-tiba dia melihat masjid. Dikarenakan pada zaman dahulu memang penerangan masih belum seperti zaman sekarang, maka pria tersebut menurut Ustadz Khalid Basalamah menyalakan sumbu minyak kecil untuk memperoleh cahaya.
Setelah memperoleh penerangan maka pria tersebut mengambil wudhu dan shalat, selain juga merasakan kebingungan harus kemana. Subhanallah menurut Ustadz Khalid Basalamah bersamaan pada malam itu, penguasa wilayah tersebut juga tidak bisa tidur disebabkan dilanda kegelisahan yang amat sangat.
Dan penguasa tersebut seakan takut akan mati dan ingin sekali untuk bersedekah. Maka diambilah beberapa kantong emas kata Ustadz Khalid Basalamah dan penguasa tersebut memanjatkan doa kepada Allah supaya diampuni segala kesalahannya, dan penguasa tersebut bilang kepada Allah bahwa dia belum siap untuk berjumpa dengan-Nya dikarenakan merasa bekalnya belum siap.
Penguasa tersebut sebelum berangkat, berdoa kembali kepada Allah untuk diberikan petunjuk kemana dia pergi, dan dia menyampaikan bahwa dia tidak akan memegang tali kudanya. Jadi dia membiarkan kemana kuda tersebut akan berjalan.
Dan Subhanallah, Ustadz Khalid Basalamah menceritakan bahwa kuda tersebut berhenti di masjid tempat orang miskin tadi shalat. Sambil bingung penguasa tersebut dengan petunjuk yang telah Allah berikan, maka dia mencoba memasuki masjid tersebut.
Dilihatnya sesorang yang miskin tadi, dan coba mendengarkan doa yang dipanjatkan. Setelah mendengar semua keluhan yang dipanjatkan, barulah Raja tersebut menyapa orang miskin itu dan menjelaskan bahwa dia membawa beberapa kantong emas yang mungkin bisa mencukupi kebutuhan orang miskin tersebut.
Kemudian raja tersebut menyampaikan kepada orang miskin itu apabila esok hari masih merasa kekurangan untuk tidak segan datang ke istananya dan menghadap ke dia.
Namun Ustadz Khalid Basalamah menyampaikan jawaban orang miskin tersebut yang bisa dijadikan motivasi kita semua. Orang miskin tersebut menjawab kata Ustadz Khalid Basalamah, "Baik Tuan, kalaupun saya masih memiliki kebutuhan selain apa yang anda berikan kepada saya itu. Maka saya tidak akan datang meminta kepada Anda, tetapi saya akn meminta kepada Allah yang mengirim anda datang kepada saya.
Cara Jitu Menghilangkan Sifat Sombong, Jangan berteman dengan dia, orangnya sombong.” Anda pernah mendengar ucapan seperti itu? Itulah dampak yang akan dirasakan oleh orang yang sombong. Tidak ada orang yang mau berhubungan dengan orang sombong. Sungguh, sifat sombong itu sama sekali tidak ada manfaatnya. Semua kelebihan yang disombongkan hanya Anda rasakan sendiri. Sementara orang justru melihat Anda sebagai sosok yang punya sifat kurang bagus.
Pada dasarnya, sifat sombong itu berasal dari tiga hal yaitu pikiran, ucapan, dan tindakan. Anda mungkin tidak pernah bersikap sombong, tapi kalau dalam pikiran Anda selalu merasa lebih baik dari orang lain, maka artinya Anda sudah dirasuki rasa sombong.
Hidup menjadi tidak indah dan bahagia ketika banyak orang yang menghindar karena kesombongan Anda. Karena itu Anda harus bisa menghilangkan sifat sombong tersebut. Bagaimana caranya? Coba 8 cara jitu berikut ini.
1. Pahami Sifat Sombong yang Dimiliki
Sebelum mulai berusaha menghilangkan sifat sombong dari diri Anda, sebaiknya pahami dulu kesombongan yang sering Anda ditunjukkan.
Apakah karena kekayaan, status sosial, jabatan tinggi, atau kepintaran Anda? Karena hal-hal itulah yang kerap memunculkan sifat sombong dari seseorang.
Lalu kenali juga karakter sombong yang ada dalam diri. Apakah Anda lebih cenderung sombong dalam bersikap, sombong dalam ucapan, atau sombong di dalam pikiran? Atau bahkan gabungan dari semua?
Dengan mengenali dan memahami sifat juga karakter sombong yang dimiliki, Anda akan mengetahui apa yang harus diprioritaskan dalam menghilangkan kesombongan dari dalam diri Anda.
2. Kenali Kekurangan Diri
Sifat sombong biasanya memang dipicu oleh kelebihan atau keunggulan yang dimiliki dibanding orang lain.
Karena itu, salah satu cara untuk mengurangi kadar kesombongan adalah mengetahui dan mengenali kekurangan-kekurangan yang ada pada Anda.
Tidak akan ada orang yang tidak punya kekurangan atau kelemahan. Superman yang sangat kuat dan cepat bisa lemah ketika di dekat batu kryptonite.
Begitu pula manusia yang sangat pandai dalam satu bidang keilmuan, tapi pasti ada bidang keilmuan lain yang tidak mampu dikuasainya.
Dengan mengetahui bahwa ada kekurangan di dalam diri, maka Anda bisa tersadar bahwa selalu “ada langit di atas langit”. Selalu ada yang terbaik di atas yang terbaik.
3. Berhenti Memikirkan Kelebihan Diri
Anda boleh bangga dengan kelebihan yang Tuhan anugerahkan kepada diri Anda. Tapi jangan terus menerus memikirkan kelebihan tersebut. Kebiasaan inilah yang kemudian akan memicu munculnya sifat sombong.
Karena itu, sehebat apa pun Anda dalam bidang tersebut biarlah orang lain yang menilai. Bukan diri Anda sendiri yang menilai. Ketika sebuah kelebihan dinilai oleh diri sendiri, yang ada hanyalah rasa sombong.
Mulai saat ini berhenti memikirkan kelebihan diri. Lebih baik Anda memikirkan bagaimana caranya kelebihan yang dimiliki bisa memberi manfaat bagi orang banyak.
Dengan demikian, Anda bisa mendapatkan sisi positif dari kelebihan tersebut dibanding membanggakannya secara berlebihan di hadapan orang lain.
4. Sejajarkan Diri dengan Orang Lain
Merasa lebih baik dari orang lain merupakan cikal bakal munculnya sifat sombong. Karena itu untuk menghilangkan sifat sombong tersebut posisikan diri selalu sejajar dengan orang lain. Tidak ada perbedaan di antara Anda dengan orang lain.
Makna dari pepatah “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” harus Anda selami dan laksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun Anda seorang direktur, jangan posisikan diri Anda terlalu jauh di atas para bawahan.
Seorang direktur yang ramah ke semua bawahan pasti lebih disukai dibanding direktur yang selalu menjaga jarak.
5. Jangan Menilai Orang dari Tampilan Semata
Pernahkah Anda melihat orang kaya raya yang tampilannya sederhana? Pasti ada, tapi jumlahnya mungkin sangat sedikit.
Di antaranya adalah almarhum Bob Sadino yang tidak pernah berusaha tampil bak pengusaha sukses. Meski sudah sukses, Om Bob dikenal kerap mengenakan celana pendek dan kemeja, hampir dalam setiap kesempatan.
Boleh jadi orang yang Anda nilai kumuh atau kotor justru punya lebih banyak kebaikan di dalam dirinya. Bisa juga orang yang Anda hormati karena selalu tampil rapi dan necis, ternyata seorang koruptor kelas kakap.
Dengan selalu melihat orang secara lebih dalam, bukan dari tampilan semata, Anda akan dibantu untuk lebih mengenal sebuah kekurangan. Termasuk tidak memandang rendah orang lain, meski mereka bukan berasal dari status sosial yang sama dengan Anda.
6. Banyak Berbagi ke Sesama
Mulai hari tetapkan bahwa Anda akan lebih banyak melakukan kegiatan sosial. Berbagi dengan sesama akan menstimulus pikiran dan hati Anda untuk tidak sombong. Apa pun kelebihan yang Anda miliki, harus bisa memberi manfaat kepada orang lain.
Jangan pernah ada niat selain membantu secara tulus ketika Anda berbagi kepada sesama. Niatkan dalam hati bahwa Anda ingin membantu tanpa pamrih. Tidak ada maksud untuk pamer atau pencitraan dari kegiatan amal yang dilakukan.
Jika itu yang terjadi maka Anda sejatinya masih senang punya sifat sombong di dalam diri. Pastikan Anda selalu berbagi dengan ikhlas tanpa ada tendensi apa pun di dalamnya.
7. Berteman dengan Semua Orang
Jangan pernah memilih-milih teman. Selama mereka memang baik dan bisa memberi nilai positif, maka bukalah pintu pertemanan selebar-lebarnya.
Jangan hanya mau berteman karena punya kekayaan atau kepintaran yang sama, karena itu hanya akan membuat Anda semakin sombong.
Untuk bisa menghilangkan sifat sombong, Anda memang harus bisa bergaul dengan berbagai kalangan.
Berteman dengan berbagai orang yang berbeda karakter dan latar belakang, maka Anda akan dibawa untuk menyelami diri Anda sendiri. Khususnya menyelami kekurangan yang ada.
Semakin banyak orang yang Anda kenal dari kalangan yang berbeda, maka semakin dalam pula Anda bisa menyelami kekurangan di dalam diri.
Tapi ingat, pastikan mereka memang yang bisa memberi nilai positif terhadap upaya Anda membuang sifat sombong.
8. Buat Komitmen Pribadi
Upaya tanpa komitmen sama dengan pepesan kosong. Karena itu Anda butuh memperkuat komitmen dari upaya yang Anda lakukan untuk tidak menjadi orang yang sombong.
Komitmen akan menjaga Anda tetap berada di trek yang benar sehingga bisa mencapai target yang diharapkan.
Menjaga komitmen ini tak kalah berat dibanding upaya tersebut. Pastikan Anda selalu melakukan upaya dengan pondasi komitmen penuh. Akan lebih baik jika Anda mempunyai target yang harus dicapai dalam waktu tertentu.
Dengan demikian, upaya Anda untuk membuang sifat sombong bisa berjalan dengan baik dan maksimal.
Penutup
Ada begitu banyak dampak buruk dari sifat sombong. Dari mulai dijauhi teman atau sahabat, hingga yang paling parah adalah pikiran Anda akan selalu dinaungi aura negatif. Tak heran jika kehidupan Anda pun bakal lebih kuat sisi negatif dibanding positif. Jika memang kesombongan sudah terlanjur ada, Anda harus berupaya untuk menghilangkan sifat sombong tersebut. Mungkin tidak bisa seketika berhasil.
Tapi jika terus dilakukan secara konsisten dan penuh komitmen, Anda pasti akan menuai hasilnya suatu hari nanti. Saat itulah Anda bisa merasakah indahnya kehidupan yang sebenarnya.
Dosa Perbuatan Sepele ini Jadi Penghalang Rezeki Besar, Ustadz Adi Hidayat : Segera Taubat. Allah SWT sudah memberikan jalan rezeki bagi masing-masing manusia, dan rezeki tidak akan tertukar. Selama manusia berusaha mencarinya dengan ikhtiar dan tawakal.
Namun, jika dirasa saat ini rezeki sulit di cari, kata Ustadz Adi Hidayat, bisa jadi karena dosa yang dianggap sepele dan saat ini masih dilakukan tanpa sadar belum bertaubat kepada Allah SWT.
Hal itu sebagamana dikutip DeskJabar.com dari video yang diunggah oleh Kanal Youtube Kajian Islam Official "Hancurkan penghalang ini agar rezeki Besar Segera Datang
"Apa perbuatan itu? perbuatan yang dianggap sepele dan tidak terlalu di hiraukau demi kepentingan sendiri adalah zalim. Ini besar dampaknya, walaupun kita tidak sengaja berbuat demikian," ungkap Ustadz Adi Hidayat.
Zalim adalah perbuatan yang mana merugikan orang lain, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Contohnya merampas hak orang lain, mendzolimi harta anak yatim, atau bahkan berupaya merebut hidup orang lain.
Perbuatan zalim ini beragam, dengan kondisi dan bentuk dzolim berbeda-beda. Nyaris setiap orang berpotensi untuk melakukan perbuatan zalim ini. Makna dan contohnya menjadi lebih luas.
"Jangan salah, ngantri saja kalau anda menyerobot itu bisa masuk ke dalam perbuatan buruk. Jika terus menerus seperti ini, bisa saja masuk ke dalam perbuatan zalim," ungkap Ustadz Adi Hidayat.
Perbuatan zalim di dunia nyata yang sering kita anggap sepele di dunia nyata, beberapa diantaranya ialah :
1. Zalim kepada Allah SWT
Perbuatan zalim kepada Allah SWT ini berhubungan dengan syirik dan menyekurukan Allah SWT, yang mana menyamakan kedudukan makhluk lain dengan Allah SWT.
Menyamakan kedudukan makhluk lain dengan Allah SWT juga termasuk mempercayai, melebih-lebihkan, mengagum-ngagumkan makhluk melebihi Allah SWT. Orang yang berbuat seperti ini, termasuk pada dosa yang besar dan berat.
2. Zalim kepada diri sendiri
Untuk perbuatan zalim kepada diri sendiri ini sangat tidak disadari, dan juga sering dilakukan. Perbuatan yang termasuk zalim kepada diri sendiri ini dengan menyia-nyiakan diri sendiri dari karunia Allah SWT.
Perbuatan yang kurang bersyukur dan mudah sekali mengeluh pun termasuk zalim kepada diri sendiri. Seharusnya kita ingat, sebelum masalah besar datang ada waktu bahagia dan senangnya. Lantas, tak patut kita mengeluh dan bahkan hingga menyalahkan diri sendiri.
Contoh lainnya ialah, dengan menggunakan anggota tubuh melakukan perbuatan buruk dan tercela tidak untuk beribadah kepada Allah SWT.
3. Zalim kepada Makhluk Allah SWT
Makhluk Allah SWT disini beragam maknanya, bisa masuk kepada sesama manusia, hewan, tanaman bahkan lingkungan tempat tinggal. Karena, semua makhluk yang di ciptakan oleh Allah SWT memiliki hak yang sama dengan kita.
Zalim kepada hewan dan tanaman, misalnya tidak merawat baik hewan peliharaan di rumah, menebang pohon, juga membiarkan tanaman tidak terurus. Itu termasuk perbuatan zalim pada makhluk Allah SWT.
Terlebih pada manusia, Ustadz Adi Hidayat mewanti-wanti untuk hal yang kecil saja dalam antrian bisa masuk pada perbuatan zalim, apalagi terang-terangan.
4. Zalim pada rezeki
Hal ini sama dengan zalim kepada Allah SWT, sukanya mengeluh dan tidak pernah merasa bersyukur atas rezeki yang diperolehnya juga termasuk perbuatan zalim.
"Ingat, dalam Al-Quran Allah SWT menyebutkan 'jika kamu bersyukur, maka akan aku tambah', bagaimana Allah SWT akan memberika rezeki yang berlimpah jika yang ada saja kita tidak bersyukur?" jelas Ustadz Adi Hidayat.
Ustadz Adi Hidayat juga menjelaskan, jika memang seseorang selalu berbuat zalim, salah satu dampak dari dosa yang diperolehnya yang sangat terasa berdampak pada rezeki yang sulit di dapat.
Maka, tidak menutup kemungkinan jika dosa ini menjadi penghalang seseorang mendapatkan rezeki yang besar. Terlebih jika terus menerus dilakukan tanpa bertaubat sekalipun, maka pelakunya bisa masuk ke siksanya Allah SWT.
Terkadang kita selalu merasa pusing dan bingung perihal rezeki. Padahal, sudah sangat jelas bahwa Allah-lah yang mengatur segala aspek kehidupan ini termasuk rezeki masing-masing makhluk-Nya. Yang memberi rezeki itu hanya satu. Seluruh rezeki hamba itu berada di sisi-Nya, dan Dia telah mengatur semua itu.
“Dan, di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu,” (QS. Adz-Dzariyat: 22).
Jika memang yang memberi rezeki itu adalah Allah, maka mengapa manusia masih saja mau menjilat dan mengapa harus merendahkan diri di hadapan orang lain hanya karena ingin mendapatkan rezeki dari sesama manusia? Padahal sudah sangat jelas Allah berfirman, “Dan, tidak ada suatu binatang melatapun di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya,” (QS. Hud: 6).
Dalam firman-Nya yang lain disebutkan: “Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya. Dan apa saja yang Allah tahan, maka tidak seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu,” (QS. Fathir: 2).
Allah Swt telah mengatur setiap rezekinya dengan begitu indah. Tugas kita hanya menjemput dengan doa dan usaha yang dimaksimalkan. Janganlah bersedih karena rezeki yang tak kunjung hadir. Allah Swt hanya menyimpannya untuk waktu yang tepat. Karena Dia-lah yang Maha Mengetahui apa-apa yang terjadi di bumi ini.
Allah Swt Mengatur Rezeki Umat-Nya, TAFSIR Al Mishbah kali ini membahas Surah Asy-Syura 42: 27-31. Surah itu menjelaskan sesuatu yang manusia dapatkan, termasuk musibah yang diterima, akibat dari perbuatan manusia.
Seandainya Allah SWT melapangkan rezeki sedemikian luas kepada hamba-hamba-Nya, mereka akan melampaui batas-batas tertentu. Namun, Allah menerangkan rezeki diatur dalam kadar tertentu sesuai dengan kehendak-Nya karena Dia Maha Mengetahui secara mendetail dan melihat secara nyata semua hamba-Nya.
Allah juga mengatur rezeki. Kalau Dia buka keran rezeki yang sedemikian banyak kepada seseorang, itu berpotensi membuat orang itu angkuh, berpotensi menjadikannya lupa diri. Karena itu, Allah membagi rezeki dalam kadar tertentu sesuai dengan potensi setiap orang demi kebaikan orang itu. Rezeki dalam bentuk materi, misalnya kekayaan.
Mengapa kekayaan yang dimiliki seseorang berpotensi membuat manusia angkuh? Orang yang membutuhkan akan merasakan kelemahan. Orang yang memiliki kekayaan akan merasakan kekuatan sehingga bisa angkuh.
Orang yang memiliki rezeki berpotensi menggunakan rezekinya untuk melakukan tindakan sewenang-wenang. Orang yang tidak memiliki apa-apa tidak memiliki alat untuk bisa melakukan tindakan sewenang-wenang. Karena itu, Allah memberi rezeki masing-masing sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatannya. Selanjutnya, Allah Mahaadil. Keadilannya itu menjadikan rezekinya dibagikan secara tidak merata.
Namun, jangan artikan bahwa adil ialah sama rata kekayaannya. Harta yang diberikan kepada seseorang bisa jadi disebabkan seseorang itu memiliki kekurangan dalam ilmu. Di sisi lain, seseorang yang diberikan ilmu disebabkan kekurangan dalam nama baik. Allah telah mengatur sedemikian rupa. Itu sebabnya Nabi bersabda, “Saya tidak takut kalian itu berkekurangan dalam rezeki. Tapi yang saya khawatirkan melimpahkan rezeki berpotensi membuat orang lupa Tuhan.” Itu pula sebabnya, dengan menimbang kekayaan, yang kaya dituntut bersyukur dan yang miskin dituntut bersabar.
Namun, lebih berat bersyukur bagi orang kaya daripada harus bersabar orang miskin karena bersyukur itu menuntut tahu diri. Rasulullah bersabda, “Allah sudah membagi rezeki secara adil, tapi setan datang menggoda manusia dan menanamkan dalam pikiran manusia apa yang didapatnya belum cukup. Jadi, membuat dia mencari rezeki secara haram.”
Banyak sekali tantangan hidup yang dapat mengguncang pikiran dan perasaan. Contohnya, mengalami cedera, penyakit, kehilangan pekerjaan, bangkrut, perceraian, kematian, dan lainnya. Jika masalah yang sama terjadi berulang terus, sangat mungkin membuat seseorang kehilangan motivasi. Padahal, jika mampu melewati semua kesulitan, tentu diri ini dapat berkembang dan bertumbuh menjadi pribadi yang lebih dewasa.
Selain itu, ada banyak pelajaran yang bisa diambil agar masalah yang sama tidak terulang. Nah, berikut beberapa cara untuk menghadapi ujian hidup yang perlu dilakukan ketika rintangan menghadang.
Hadapi Masalahnya
cara paling pertama dan utama dalam mengatasi ujian hidup adalah menghadapi masalahnya. Ini adalah cara yang paling jelas, tapi dilewatkan.
Tidak sedikit orang yang lari dari masalah alih-alih menghadapinya. Faktanya, menunda untuk mengatasinya tidak membuatnya menghilang.
Karena itu, pastikan untuk menghadapi masalah, seberat apa pun itu, agar tidak menjadi beban yang terakumulasi di kemudian hari.
2. Menjalani Hidup dengan Apa Adanya
Menurut Jennifer Kunst, Ph.D, seorang Psikologi Klinis yang juga Asisten Profesor di Fuller Graduate School of Psychology, California, dalam menghadapi tantangan kehidupan pastikan untuk menjalani hidup apa adanya. Saat menerima kehidupan seperti apa adanya, hidup juga akan lebih nyaman dan nikmat untuk dijalani.
Saat mengenal dengan baik diri sendiri, kesempatan untuk melakukan banyak hal terbuka dengan lebar, termasuk menyelesaikan setiap ujian hidup yang menghampiri.
3. Buat Rencana
Dengan membuat rencana terkait masa depan, segala ujian hidup yang timbul tentu bisa diatasi. Pastikan untuk melihat pola masalah dan tantangan yang pernah terjadi untuk mencegahnya muncul di masa depan. Melansir dari University of The People, masalah hidup yang timbul bisa diselesaikan atau dicegah dengan adanya rencana masa depan yang matang dan jelas.
Contoh, jika memiliki masalah manajemen waktu, pastikan untuk merencanakannya setiap kegiatan setiap harinya.
4. Cari Solusinya
Untuk mengatasi setiap masalah yang menjadi ujian hidup, pencarian solusi harus diutamakan dan sebaiknya datang dari diri sendiri. Orang lain hanya bisa memberikan pendapat, tetapi keputusan pada akhirnya harus dipilih sendiri. Semakin lama mendengarkan pendapat orang lain, semakin lama masalah terselesaikan. Cara paling efektif adalah menilai situasi, serta kemampuan yang dimiliki, lalu segera ambil tindakan. Solusi harus diputuskan oleh diri sendiri meski nantinya membutuhkan bantuan orang lain.
5. Banyak Bersyukur
Banyak orang yang lebih mudah untuk menghitung masalah dibandingkan berkah yang didapatkan. Padahal, dengan mengubah perspektif kita dapat membuat banyak perbedaan berarti dalam hidup. Menerima segala sesuatu dengan bersyukur bisa membuat diri lebih sehat secara fisik dan mental.
Cara ini juga dapat menguatkan diri sendiri saat mengalami masa-masa sulit dan ujian hidup yang terasa memberatkan.
Alasan Allah Menguji Hambanya
Ujian hidup dan cobaan adalah hal yang pasti pernah terjadi. Masalah yang timbul bisa ringan atau bahkan berat.
Sebagai seorang muslim, ujian yang datang tentu berasal dari Allah SWT. Tentu ada alasan mengapa Allah SWT memberikan cobaan pada hamba-Nya.
Perlu dipahami, Allah menguji hambanya untuk mengukur atau menguji tingkat keimanan seseorang.Saat ujian terjadi, apakah seseorang menjadi lebih dekat dan bertawakal atau sebaliknya.Hakikatnya, ujian adalah cerminan kasih sayang dari Allah SWT pada hamba-Nya agar umat muslim tidak perlu merasakan di akhirat nanti.
Untuk itu, Allah memberi ujian dengan kesulitan dunia yang tidak seberapa. Musibah atau ujian berguna sebagai penggugur dosa-dosa yang dimiliki. Terkait hal ini sudah tertulis secara nyata di Alquran pada Surat Al-Ankabut ayat 2-3, yang memiliki arti:
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi?
Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
Pastikan juga untuk tidak pernah merasa putus asa dari rahmat Allah Swt.
Dikutip dari buku Kehidupan dalam Pkitangan Al-Qur'an (2006) karya Dr. Ahzami Samiun Jazuli, disebutkan jika putus asa bukanlah sifat orang muslim.
Memiliki sifat putus asa berarti yakin jika Tuhannya tidak mampu dan tidak sempurna. Bahkan, bisa jadi ada pikiran Allah Swt kikir dalam memberikan anugerah dan rahmat-Nya.
Maka dari itu, pastikan selalu berpikir positif dan berprasangka baik kepada Allah tentang segala ujian hidup yang hadir. Saat pikiran positif, langkah-langkah yang tepat untuk mengatasinya juga akan muncul.
Jangan biarkan ada sedikit saja pikiran negatif saat sedang alami ujian hidup.Hikmah yang Bisa Diambil dari Ujian Hidup yang Datang. Saat harus melewati ujian atau cobaan, hasilnya bisa berhasil atau gagal. Ketika mendapatkan kegagalan, ada beberapa hikmah yang bisa dipetik. Tentunya yang paling utama adalah sebagai pembelajaran hidup. Nah, berikut beberapa hikmah yang bisa diambil, mengutip dari Islam Pos:
1. Lebih berikhtiar pada Allah SWT karena tentu saja ada kemudahan yang diberikan setelah kesulitan.
2. Anggap sebagai ujian terhadap daya tahan agar menjadi muslim yang lebih tangguh.
3. Meningkatkan kesabaran dan rasa bersyukur tentang yang telah terjadi.
4. Yakinkan diri jika Allah memiliki kehendak dan rencana yang lebih baik.
5. Paham jika kegagalan bisa terjadi pada semua orang, bukan hanya diri sendiri.
6. Orang yang sukses tentu pernah mengalami banyak kegagalan sebelumnya.
7. Seseorang yang pernah alami kegagalan tentu akan sukses suatu saat.
Buka hati dan pikiran, serta selalu berpikir positif terhadap semua rencana yang Allah Swt buat. Tanamkan pada diri sendiri pasti ada saatnya kemudahan datang setelah kesulitan.
Kedewasaan dibutuhkan untuk melewati semua ujian hidup yang memberatkan. Jangan pernah biarkan diri dalam keterpurukan, Jadikan semua masalah dan ujian dalam kehidupan menjadi hal yang membuat Kitas lebih kuat dan tangguh. Ingat, jangan pernah menyerah, sebesar apa pun kesulitan dan ujian hidup yang sedang Kita alami.
Hukuman Allah Swt Yang Paling Berat Di Dunia, Dikisahkan ada seorang murid yang bertanya kepada sang gurunya, dan gurunya pun menjawab dengan jawaban panjang yang membuat air mata si murid tak henti-henti meneteskan air mata.
Murid : wahai guru, begitu banyak kita berbuat dosa kepada Allah swt, tidak menjalankan perintah-perintah Nya dan cenderung suka dengan berbuat maksiat serta mengingkari larangan-larangan Nya, tapi kenapa Allah swt tidak menghukum kita?
Dengan memandang mata muridnya, sang guru menjawab :
Bukan Allah swt tidak menghukum kita, tapi kita yang tidak merasa sedang dihukum oleh Allah swt, ketahuilah wahai muridku, hukuman terbesar Allah swt yang diberikan kepada hambanya ialah sedikitnya taufiq yang diberikan kepada kita untuk mengamalkan ketaatan dan amal-amal kebaikan. Allah swt tidak menguji/menghukum seorang hamba lebih besar dari ‘kekerasan hatinya dan kematian hatinya’.
Renungkanlah wahai muridku:
Tidakkah engkau sadar, bahwa Allah swt telah mencabut rasa bahagia dan senang ketika bermunajat kepada Nya, merendahkan diri kepadanya dalam sujudmu?
Tidakkah engkau sadar, bahwa Allah swt telah mencabut rasa khusyu’ dalam dirimu ketika shalat?
Tidakkah engkau sadar, bahwa Allah swt menghilangkan kemudahan bermunajat ditengah malam dalam Qiamullail, memohon kemudahan segala urusan hidupmu?
Tidakkah engkau sadar, bahwa Allah swt menjadikan hari-harimu hamba tanpa lantunan ayat suci Al Qur’an keluar lewat lisanmu? Padahal engkau mengetahui firman Allah swt : “Sesungguhnya Al Quran ini adalah bacaan yang mulia, (tertulis) pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak (dapat) menyentuhnya kecuali hamba-hambanya yang disucikan” (QS Al Waqiah: 77-79). Bahkan hatimu tidak bergetar saat mendengar lantunan ayat ayat suci Al Qur’an yang melembutkan hati.
Tidakkah engkau sadar, kita telah melewatkan hari hari yang berisikan kebaikan seperti bulan Ramadhan, enam hari dibulan Syawal, sepuluh hari dibulan Dzulhijjah dan lainnya, namun kita belum mendapatkan taufiq dan manfaat yang seharusnya dapat dicapai.
Tanyakan pada hati nuranimu wahai muridku:
Apakah menurutmu itu bukan suatu hukuman yang berat bagimu?
Apakah itu bukan suatu teguran yang berat untuk dirasakan bagi hamba yang hina dina?
Apakah engkau masih menginginkan hukuman yang lebih berat dari itu?
Seperti apakah hukuman yang engkau anggap berat dan mampu membangunkan dirimu dari kematian hatimu?
Tidakkah cukup dengan Allah swt hilangkan dengan nikmatnya beribadah kepada NYa, lezatnya berdzikir kepada Nya, nyaman Nya bermunajat dimalam hari dihadapan Nya, tenangnya ketika membaca surat-surat cinta Nya dalam kitab suci Nya?
Hukuman apa lagi yang harus Allah swt berikan kepadamu? Agar engkau tidak lagi asyik dengan kemaksiatan didunia yang fana ini, agar engkau tidak lagi mengejar-ngejar dunia yang semu ini, agar engkau tidak lagi mengagungkan dunia yang hina ini? Agar engkau tidak lagi menutup mata dari kebesaran Allah swt yang ditunjukan di dunia yang kecil ini?
Ingatlah wahai muridku, dunia ini hanyalah perjalan menuju tempat yang nyata bagi kita, jangan sampai ditempat persinggahan ini kita lupa akan tujuan kita, jangan biarkan kenikmatan dunia yang menipu ini melupakan lezatnya di akhirat yang nyata dan kekal selama-lamanya.
Si muridpun menunduk dalam isakan tangisnanya, gejolak jiwanya memuncah ternyata Allah swt sedang menghukumnya dengan mencabut/membiarkan dirinya asyik dengan kehidupan dunia yang sementara ini.
Sang gurupun tak sanggup lagi meneruskan perkataannya karena hal tersebut juga merupakan tamparan bagi dirinya, air matanyapun terurai sampai membasahi jenggot putihnya, sambil mengelus kepala muridnya ia berkata dengan nada pelan:
Wahai muridku,
Hukuman yang paling ringan yang Allah berikan kepada hambanya ialah, ‘hukuman yang terasa’ seperti harta, anak, kesehatan dan sejenisnya. Sedangkan hukuman yang paling berat adalah ‘hukuman yang tidak terasa’ pada kematian hati, yang menjadikan kita tidak dapat merasakan ni’matnya ketaatan kepada Allah swt dan tidak sanggup merasakan sakitnya perbuatan dosa. Oleh karena itu perbanyaklah isi hari-hari kita dengan menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah swt, perbanyak dzikrullah, selalu beristighfar, dan senantiasa berbuat baik kepada saudara-saudara kita. Semoga Allah swt selamatkan kita dari hukuman yang paling berat di dunia ini, aamiin.
Allah Swt Turunkan Cobaan Bagi Hamba yang Dicintai-Nya. Setiap manusia pasti pernah mendapatkan cobaan hidup. Ada yang sukses melalui cobaan itu, ada pula yang justru makin menjauh dari Allah Swt. Sesungguhnya cobaan adalah cara Allah untuk mengetahui maqam (tingkat) keimanan manusia. Dan dengan cobaan itu, menjadikan manusia siap memasuki surga sebagaimana yang disampaikan Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 214 berbunyi:
“Am hasibtum an tadkhulul jannata wa lamma ya’tikum matsalulladzina khalau min qablikum massathumul-ba’sa-u waddhara-u wa zulzilu hatta yaqulurasulu walladzina amanu ma-ahu mata nashrullahi, ala inna nashralllahi qaribun.”
Yang artinya: “Apakah kamu mengira kamu akan masuk surga? Padahal belum datang padamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa kesulitan dan kesempitan, serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”
Cobaan memang tidaklah menyenangkan. Cobaan pun datang dalam bentuk yang berbeda-beda, bisa dalam bentuk harta, fisik, kemiskinan, anak, pasangan hidup, bahkan hingga relasi kerja dan bisnis. Hanya saja, cobaan yang diberikan Allah SWT kepada hambanya sebenarnya adalah bentuk kecintaan Allah. Bukankah dengan diturunkannya cobaan, manusia dapat teruji keimanannya? Kala menurunkan cobaan, sesungguhnya Allah tengah mencintai hamba-Nya.
Dalam sebuah hadis qudsi, Allah SWT pernah berfirman yang artinya: “Jika Aku mencintai seorang hamba, maka Aku turunkan ujian (kesulitan dan kesempitan) kepadanya. Hal itu agar ia memohon kepadaKu (agar ujian dapat diangkat darinya melalui doa-doa yang dipanjatkan).”
Hal yang harus diingat, setiap ujian atau cobaan yang diberikan Allah Swt kepada hamba-Nya selalu diselipkan solusi. Solusi tersebut umumnya disesuaikan dengan kadar tingkatan manusia itu sendiri. Hal ini ditegaskan Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 286.
“La yukallifullaha nafsan illa wus-aha.” Yang artinya: “Allah tidak membebani seseorang (menurunkan ujian), kecuali sesuai dengan kesanggupannya.”
Begini Cara Allah Swt Menghukum Hamba-Nya dengan Kasih Sayang. Setiap perbuatan buruk yang dilakukan oleh manusia pasti akan diberi balasan oleh Allah SWT. Balasan yang akan diterima bisa saja ketika orang tersebut masih hidup di dunia ataupun kelak nanti di akhirat. Akan tetapi, biasanya Allah akan memberikan musibah kepada hamba-Nya karena ingin menggugurkan dosa orang tersebut.
Hal itulah yang menjadi bentuk hukuman dari Allah SWT pada saat orang tersebut masih hidup di dunia. cara Allah meghukum hamba-Nya dengan kasih sayang. Orang yang menerima suatu musibah bisa jadi dikarenakan hukuman yang diberikan oleh Allah SWT untuk mengugurkan dosa yang telah dilakukan.
Tidak hanya itu, musibah yang diberikan oleh Allah juga bertujuan agar orang tersebut bisa menyadari atas kesalahan yang telah dilakukan. Sehingga, dengan seperti itu orang tersebut bisa mendapat pelajaran dan bertaubat kepada Allah SWT. Allah Swt menghukum hamba-Nya di dunia karena bentuk rasa kasih sayangnya terhadap hamba-Nya itu.
Sebab Allah Swt ingin menangguhkan hukuman kelak di akhirat, ketika segala dosa yang telah dilakukan bisa gugur dengan hukuman yang diterima di dunia.Apabila segala dosa yang telah dilakukan gugur karena musibah itu, maka hukuman di akhirat nanti tidak akan diberikan. Asalkan orang tersebut menyesali kesalahannya dan bertaubat.
Hal itu diberikan karena Allah sayang kepada hamba-Nya, menginginkan hamba-Nya agar bisa memperbaiki kesalahan yang pernah diperbuat.
Misalnya ada seorang koruptur, orang tersebut telah mengkorupsi uang sebanyak 5 miliyar. Dari uang 5 miliyar itu dikembangkan untuk membua usaha, sehingga menjadi 10 miliyar. Karena Allah Swtsayang pada hamba-Nya, maka orang tersebut diuji kehilangan sebagian hartanya.
Hal ini disebabkan Allah tidak ingin hamba-Nya itu memakan uang yang haram, maka Allah Swt ambil semua yang sumbernya tidak halal. Tidak hanya itu, Allah Swt juga ingin agar hamba-Nya itu kembali ke jalan yang benar dan tidak korupsi lagi. Allah Swt tidak ingin jika orang tersebut nantinya akan mendapatkan hukuman di akhirat kelak.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Allah Swt memberikan musibah kepada seseorang bisa dikarenakan ingin mengugurkan dosannya dan memberikan hukuman atas keburukan yang diperbuat. Dan apabila orang tersebut bertaubat, maka hukuman di akhirat tidak akan diberikan. Itu karena saking sayangnya Allah Swt kepada hamba-Nya.