Ghibah merupakan dosa yang berkaitan dengan hak Allah Swt. Sehingga pelakunya dituntut untuk bertaubat dan istighfar, juga menyesal serta bertekad untuk tidak mengulanginya kembali. Juga berkaitan dengan hak anak Adam. Sehingga untuk menggugurkan dosa ini, ada syarat selanjutnya yang harus dipenuhi, agar taubatnya diterima dan menjadi sempurna.
Syarat tambahan inilah yang menjadi perbincangan para ulama. Pendapat pertama mengatakan seorang yang menghibahi saudaranya tebusannya cukup dengan memohonkan ampunan untuk orang yang dighibahi. Mereka berdalil dengan hadits, “Tebusan ghibah adalah engkau memintakan ampun untuk orang yang engkau ghibahi.”
Hikmah dari permohonan ampun untuk orang yang di-ghibah-i ini adalah, sebagai bentuk tebusan untuk menutup kezaliman yang telah ia lakukan kepada orang yang dighibahi. Jadi tidak perlu mengabarkan ghibahnya untuk meminta kehalalan kepada orang yang di-ghibah-i.
Pendapat ini dipegang oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, murid beliau Ibnul Qayyim, Ibnu Muflih, as-Safarini dan yang lainnya. Bahkan Ibnu Muflih menukilkan dari Ibnu Taimiyyah bahwa pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Mereka menguatkan pendapat ini dengan tiga alasan:
Mengabarkan ghibah kepada orang yang di-ghibah-i akan menimbulkan dampak negatif (mafsadah) yang tak dapat dipungkiri, yaitu akan menambah sakit perasaannya. Karena celaan yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang dicela lebih menyakitkan ketimbang celaan yang dilakukan dengan sepengetahuan orang yang dicela. Dia mengira orang yang selama ini dekat dengannya dan berada di sekelilingnya, ternyata dia telah merobek-robek kehormatannya di balik selimut.
Mengabarkan ghibah kepada orang yang di-ghibah-i akan menimbulkan permusuhan. Karena jiwa manusia sering kali tidak bisa bersikap obyektif dan adil dalam menyikapi hal seperti ini.
Mengabarkan ghibah kepada orang yang dighibahi akan memupuskan rasa kasih sayang diantara keduanya. Yang terjadi justru semakin menjauhjan hubungan silaturahim.
Tak diragukan lagi, dampak kerusakan yang timbul dari mengabarkan ghibah ini, lebih buruk daripada pengaruh negatif perbuatan ghibah itu sendiri. Ini menyelisi tujuan syari’at (maqasid asy-syari’ah) yang bertujuan untuk menyatukan hati, memupuk rasa saling menyayangi dan persahabatan. Padahal diantara prinsip yang berlaku dalam syari’at Islam adalah,
“Mencegah kerusakan atau keburukan secara merata, atau memperkecil dampaknya. Bukan menimbulkan kerusakan atau menyempurnakan kerusakan”.
Pendapat kedua menyatakan, memohonkan ampunan saja tidak cukup. Akan tetapi harus ada usaha meminta kehalalan kepada orang yang dighibahi, agar taubatnya diterima di sisi Allah Swt. Dan bagi pihak yang di-ghibah-i, seyogyanya untuk memaafkan saudaranya yang meminta kehalalan karena telah menggunjingnya. Agar ia mendapatkan pahala memaafkan kesalahan orang lain dan keridoan Allah terhadap orang-orang yang pemaaf.
Pendapat ini dipegang oleh Abu Hanifah, Syafi’i, Malik dan riwayat dari Imam Ahmad (ketika membahas permasalahan qadzaf (tuduhan palsu); apakah diharuskan menceritakan tuduhannya kepada orang yang telah dituduh, dalam rangka meminta kehalalannya, atau tidak perlu diceritakan).
Ulama yang menguatkan (merajihkan) pendapat ini adalah al-Ghazali, Qurtubi, Imam Nawawi dan ulama – ulama lainnya yang sependapat dengan mereka. Mereka berdalil dengan hadis dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, yang mana beliau mengatakan,”Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, yang artinya sbb ; “Siapa yang pernah menzalimi saudaranya berupa menodai kehormatan atau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya, hendaknya ia meminta kehalalannya dari kezaliman tersebut hari ini. Sebelum tiba hari kiamat yang tidak akan bermanfaat lagi dinar dan dirham. Pada saat itu bila ia mempunyai amal shalih maka akan diambil seukiran kezaliman yang ia perbuat. Bila tidak memiliki amal kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil kemudia dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari).
Dari hadis ini mereka menyimpulkan, ghibah adalah dosa yang berkaitan dengan hak manusia. Maka dosa tersebut tidak bisa gugur kecuali dengan meminta kehalalan dari orang yang telah ia zalimi.
Mereka menganalogikan (meng-qiyas-kan) masalah ini dengan permasalahan hak harta benda. Dimana bila seorang merusak harta benda milik orang lain atau mengambil tanpa hak, maka bentuk taubatnya adalah dengan menggantinya atau mengembalikannya kepada tuannya.
Mengenai hadis yang dijadikan argumen pendapat pertama, yang artinya sbb ; “Tebusan ghibah adalah engkau memintakan ampun untuk orang yang engkau ghibahi.”
Mereka menilai bahwa, hadis ini maudhu‘ (palsu), dan matan-nya (pesan yang disampaikan dalam hadis) tidak benar. Karena dosa ghibah itu berkaitan dengan hak anak Adam. Sehingga untuk menggugurkan dosanya harus meminta kehalalan kepada orang dizalimi.
Pendapat yang Rajih (kuat) Setelah pemaparan dua pendapat ulama di atas beserta argumen yang mereka utarakan, maka pendapat yang nampaknya lebih rajih wal’ilmu ‘indallah– menurut keterbatasan ilmu kami adalah pendapat kedua; yang menyatakan wajibnya meminta kehalalan kepada orang yang di-ghibah-i.
Terlebih bila orang yang di-ghibah-i dikenal pemaaf dan berdada lapang. Terkadang orang yang meng-ghibah-i tidak bermaksud menghinakan, namun hanya saja dia tergelincir ketika berbicara atau mengobrol. Intinya, yang perlu dipahami bersama bahwa ini adalah konsekensi asal dari tebusan ghibah, yaitu meminta kehalalan kepada orang yang di-ghibah-i.
Adapun bila orang yang di-ghibah-i dikenal tidak pemaaf dan menurut prasangka kuatnya dia tidak akan memaafkan. Bahkan akan menambah kebencian dan permusuhan. Atau bila dia mengabarkan secara global perihal ghibah yang dia lakukan, yang bersangkutan akan meminta penjelasan secara rinci; yang mana bila ia tahu hal tersebut akan membuatnya semakin benci dan marah, maka dalam kondisi ini cukup dengan mendoakan kebaikan untuknya. Serta menyebutkan kebaikan-kebaikannya di hadapan orang-orang. Dan beristighfar kepada Allah Swt atas dosa ghibah yang telah ia lakukan.
Mengubah Takdir dan Nasib Dengan Membuka Pintu Langit dan Bumi. Takdir dan nasib bisa ternyata bisa diubah dengan cara membuka pintu langit dan bumi. Takdir dan nasib bisa diubah dengan cara membuka pintu langit dan bumi. Mengubah takdir dan nasib dengan cara membuka pintu langit dan bumi diajarkan oleh Ustadz Adi Hidayat. Jadi ketika ingin mengubah takdir dan nasib dengan membuka pintu langit dan bumi, Inilah cara mengubah takdir dan nasib dengan membuka pintu langit dan bumi
Kalau anda beraktifitas cari akhirat dulu, dan jangan lupakan pilihan duniamu untuk engkau ambil yang mendukung ibadahmu. Mengambil dunia itu jangan mengambil semuanya, ambilah yang kira kira bermanfaat untuk bekal di akhirat. Misal, bila anda ingin memilih pakaian, niatkan bagaimana supaya kita bisa beribadah dengan pakaian terbaik, Hal itu penting dilakukan agar Allah SWT menyukai dan Rasulullah SAW menyenangi pakaian kita. Maka dunia kata akan mengikuti. Ketika kepentingan akhirat di dahulukan. Sering kali orang orang mengeluh rezekinya macet, pekerjaan tidak terbuka, dan sebagainya. Itu sebenarnya, karena niat dalam mencari dunia bukan untuk kepentingan akhirat. Maka dunia pun menjadi seret. Sedangkan nasib bukan bagian dari diri kita yang langsung kita terima.
Namun nasib itu kita yang memilih, kita yang mengambil. Jadi nasib baik buruk itu pilihan kita. Kita yang memilih, Maka Allah SWT yang menetapkan.maka ketika kita bisa memilih yang baik, lantas mengapa memilih yang buruk. Dan Allah SWT disini saking sayangnya kepada hamba, Allah SWT memberi petunjuk yang disebut hidayah. Hidayat diberikan oleh Allah SWT supaya kita sebagai hamba Allah SWT tidak mengambil nasib yang buruk. Maka Allah SWT mengarahkan hamba kepada hidayah. Pilihannya dua, mengikuti hidayah tersebut atau tidak. Contoh dengan kumandang adzan subuh. Pilihannya ada 2 pergi ke masjid atau meneruskan tidur.
Itu kita memilih nasib. Maka Allah SWT memberi petunjuk, Allah SWT menggerakkan hatinya supaya bersegera ke mesjid mengambil pilihan yang baik, Karena berbarengan dengan itu, setan berpacu memberi pilihan lain yang buruk. Di sana kita lantas mengambil bagian kita yang kemudian menjadi nasib kita. Maka jadikan diri ini supaya mampu bersinergi dengan Allah SWT dan menjadi wali Allah SWT di dunia. Banyak berusaha berdoa dan ikhtiar untuk tujuan akhirat. Maka Allah SWT yang akan mengurusi urusan dunia.
Takdir yang Bisa Diubah dan Tidak Bisa Diubah. Qodho dan Qodar adalah salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh seluruh umat Islam. Percaya pada takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Kewajiban iman kepada Qodho dan Qodar juga disebutkan dalam hadis sahih. Rasulullah SAW bersabda, “Iman ialah percayanya engkau kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan kepada Qodar Allah yang baik maupun buruk”. (HR. Muslim).
Qodho berarti penciptaan dan Qodar artinya ketentuan. Secara istilah, Qodar memiliki makna ketentuan Allah atas segala sesuatu sesuai dengan pengetahuan (al-‘Ilm) dan kehendak-Nya (al-Masyi-ah) yang azali (tidak bermula). Di mana sesuatu tersebut terjadi pada waktu yang telah ditentukan dan dikehendaki oleh-Nya. Qadar mencakup apa pun yang terjadi pada seluruh makhluk di seluruh alam semesta ini. Mulai dari kebaikan, keburukan, kejahatan, keimanan, kekufuran, ketaatan, kemaksiatan, dan lain-lain. Qodar lah yang sering kita sebut juga sebagai takdir.
Dalam Islam, ada dua macam takdir yang kita percayai. Pertama, takdir mubram yang berarti takdir Allah SWT yang telah ditetapkan oleh-Nya dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Kedua, takdir muallaq, yaitu takdir yang masih dapat diubah dengan cara berikhtiar atau berusaha serta berdoa.
Akan tetapi, menurut para ulama, macam-macam takdir juga terbagi berdasarkan waktu penciptaannya. Terdapat empat macam takdir, yaitu takdir azali, takdir ‘umri, takdir sanawi, dan takdir yaumi. Keempatnya juga merupakan bagian dari takdir mubram dan takdir muallaq.
Takdir mubram merupakan ketentuan Allah yang pasti terjadi dan tidak dapat diubah dengan cara apa pun. Ketentuan ini hanya ada pada ilmu Allah, tidak ada satu makhluk lain yang mengetahui hal tersebut selain Dia. Hal ini karena Allah SWT telah menjadikan takdir mubram sebagai ketentuan yang mutlak dan manusia tak akan bisa menentangnya.
Takdir azali pun termasuk bagian takdir mubram. Takdir azali merupakan takdir yang ditulis dalam Lauh Mahfudz, jauh 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Jadi takdir azali ini adalah takdir utama yang pasti terjadi bagi semua makhluk.
Dalam hadis HR. Muslim disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Allah menentukan berbagai ketentuan para makhluk-Nya, 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. Dan ‘Arsy-Nya berada di atas air.”
Contoh Takdir Mubram yang Tak Dapat Diubah
Contoh takdir mubram yang dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Antara lain, yaitu kelahiran dan kematian manusia, gravitasi bumi, bencana, serta hari akhir.
1. Kelahiran dan Kematian Manusia
Seorang anak tidak dapat menentukan siapa ayah atau ibunya, waktu kelahiran, jenis kelamin, ras maupun bentuk fisiknya. Karena hal tersebut sudah ditetapkan oleh Allah SWT dan inilah yang dinamakan takdir ‘umri.
Begitu juga mengenai kematian manusia. Tak ada manusia yang mengetahui kapan ia akan meninggal karena hal tersebut telah ditetapkan dan merupakan ketentuan Allah SWT. Sesuai firman Allah SWT dalam Al-Quran surah Al-A’raf ayat 34.
“Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat menunda atau mempercepatnya sesaat pun.” (QS. Al-A’raf: 34)
2. Gravitasi Bumi
Contoh takdir mubram lainnya, ada gravitasi bumi. Manusia tidak akan bisa berjalan di bumi tanpa adanya gravitasi. Suatu benda juga pasti akan jatuh ke bawah karena ditarik oleh gravitasi bumi.
3. Bencana
Segala bencana yang sudah dan akan terjadi di muka bumi pun salah satu takdir mubram dan merupakan takdir azali. Pasalnya, bencana-bencana tersebut, baik bencana alam atau tha’un (wabah) telah ditetapkan oleh Allah SWT sebelum bumi dan langit diciptakan.
Hal itu tergambar pada firman Allah SWT dalam Al-Quran, “Tiadalah suatu bencana yang menimpa bumi dan pada dirimu sekalian, melainkan sudah tersurat dalam kitab (Lauh Mahfudz) dahulu sebelum kejadiannya,” (QS. Al-Hadid: 22).
4. Hari Kiamat
Demikian pula hari kiamat. Takdir azali ini salah satu takdir mubram yang sudah ditetapkan sejak puluhan ribu tahun lamanya sebelum penciptaan alam semesta oleh Allah SWT. Tidak ada satu makhluk yang mengetahui kapan hari akhir itu akan datang.
Itulah beberapa contoh takdir mubram. Takdir yang tak dapat diubah.
Pengertian Takdir Muallaq, Contoh Takdir yang Bisa Diubah dan Tidak Bisa Diubah
Takdir muallaq merupakan ketentuan Allah SWT yang dapat diubah oleh manusia dengan cara ikhtiar dan doa. Dimulai dari takdir ‘umri, takdir yang berada pada lembaran-lembaran yang ditulis para Malaikat setelah mereka meniupkan roh kedalam janin.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh HR. Muslim, “Sesungguhnya kalian dikumpulkan penciptaannya selama empat puluh hari dalam perut ibunya. Kemudian menjadi segumpal darah seperti itu pula (empat puluh hari), lalu menjadi segumpal daging, dan Dia mengutus seorang Malaikat untuk meniupkan roh padanya, serta diperintahkan (untuk menulis) dengan empat kalimat, yaitu untuk menulis ajalnya, amalnya, rezekinya, dan celaka atau bahagianya.” (HR. Bukhari Muslim)
Tulisan para Malaikat itu mengutip Lauh Mahfudz untuk catatan, seperti umur, rezeki, kesehatan, jodoh, dan seterusnya. Hal-hal tersebut dan hal lain yang dapat diubah dengan melibatkan ruang usaha dan doa bagi manusia di dalamnya, maka semua itu merupakan takdir muallaq.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran surah An-Najm ayat 39-40 yang artinya, “Dan seorang manusia tak akan mendapat selain apa yang telah diusahakannya, dan usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang setimpal pula”.
Kemudian setiap malam Lailatul Qadar, manusia pun akan menerima takdir tahunannya untuk setahun ke depan. Takdir tahunan itu disebut sebagai takdir sanawi. Ketika malam itu tiba, umat Islam berlomba-lomba melantunkan doa dan sedang melaksanakan ibadah puasa, sehingga kita dapat memohon agar takdir kita menjadi lebih baik.
Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman: “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad-Dukhaan: 4)
“Pada malam Lailatul Qadar, turun para Malaikat dan juga Malaikat Jibril dengan izin Allah SWT untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan hingga terbit fajar.” (QS. Al-Qadr: 4-5)
Bahkan, sesungguhnya tak hanya pada malam Lailatul Qadar saja kita berdoa untuk berubahnya takdir muallaq, menjadi seperti yang kita inginkan. Pasalnya, setiap manusia juga memiliki takdir harian yang disebut sebagai takdir yaumi.
Oleh sebab itu lah, takdir muallaq bias diubah dengan doa. Sesuai firman Allah SWT, yanga rtinya sbb ini ; “Dan jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat (bukan dalam artian jarak), Aku kabulkan permohonan orang-orang yang berdoa, jika ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memohon doa kepada-Ku dan beriman kepada-Ku, semoga mereka mendapatkan petunjuk” (QS. al-Baqarah: 186).
Dalam beberapa hadis yang diriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah merubah suatu takdir melainkan doa” (HR. Al Hakim, Hasan). Kemudian, “Tak ada sesuatu yang dapat menolak Qodar kecuali doa” (HR. at-Tirmidzi).
Dalam kitab shahih Al-Mustadrak yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Aisyah RA, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sikap waspada tidak mampu menolak takdir. Doa memberikan manfaat kepada hal-hal yang telah terjadi dan yang belum terjadi. Pada saat musibah itu turun, doa segera menghadapinya. Keduanya saling bertarung hingga tiba hari kiamat”.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pun turut menjelaskan mengenai perihal mengubah takdir dengan doa. Berlandaskan hadits Tsauban RA yang di dalamnya Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya seorang hamba terhalang dari rezekinya karena dosa yang dilakukannya. Sesungguhnya takdir itu tidaklah berubah, kecuali dengan doa. Sesungguhnya doa dan takdir saling berusaha untuk mendahului, hingga hari kiamat, dan sesungguhnya perbuatan baik (kepada orang tua) itu memperpanjang umur.” (HR. Ahmad).
Dari hadis tersebut, Syaikh Abdul Aziz menuturkan bahwa berdoa itu adalah bagian dari takdir, dan takdir itu pasti terjadi. Atas kehendak Allah SWT lah doa itu dikabulkan dan tidak dikabulkan. Allah SWT juga yang menakdirkan dan mencegah segala sesuatu, baik karena doa, sedekah, atau amal salih. Allah SWT pula yang menjadikan perkara-perkara di hadis tersebut sebagai sebab-sebab dari semua itu (rezeki, panjang umur, dan lainnya), yang tidak lepas dari ketetapan-Nya.
Contoh Takdir Muallaq yang Dapat Diubah
Contoh takdir muallaq juga banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Antara lain, seperti ketika seseorang mengalami sakit. Sebagai Maha Pencipta, Allah SWT lah yang menciptakan penyakit dan obat atas penyakit yang dibuatnya. Saat manusia ditakdirkan sakit atau mengalami musibah, masih ada kesempatan untuk berusaha bangkit, berobat, dan berdoa agar sembuh. Selain itu, berikut beberapa contoh lain takdir yang dapat diubah dalam kehidupan kita.
1. Kepandaian Seseorang
Kepandaian, kecerdasan, atau kepintaran seseorang merupakan salah satu contoh takdir muallaq. Beberapa orang mungkin saja memang memiliki kemampuan berpikir di atas rata-rata. Sementara itu, sisanya tergolong normal, bahkan ada juga yang mengalami kesulitan mengingat serta memahami sesuatu.
Akan tetapi, kondisi tersebut bisa kamu ubah dengan belajar lebih giat lagi setiap harinya. Kamu pun bisa mengambil les privat di luar jam sekolah biasa.
2. Kesehatan Seseorang
Kesehatan juga termasuk takdir muallaq. Selama kita hidup, kita diberi kemampuan untuk senantiasa menjaga kesehatan tubuh. Jika tidak menderita penyakit genetik atau bawaan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, kita masih bisa berusaha mendapatkan tubuh yang sehat dengan berikhtiar mengatur pola makan, berolahraga, hingga menjaga kebersihan.
3. Rezeki
Allah SWT sudah mengatur rezeki dengan porsi terbaik untuk semua makhluk-Nya. Namun, kamu pun tidak akan mendapatkannya jika kamu tak berusaha semaksimal mungkin. Misalnya, Allah SWT telah menetapkan rezekimu menjadi seorang miliarder, tetapi kamu hanya pasrah menerima nasib tanpa berusaha lebih keras lagi untuk meraihnya. Maka ketetapan tersebut tak akan terpenuhi karena minimnya usaha yang kamu lakukan.
4. Kebijaksanaan
Kebijaksanaan termasuk sifat yang bisa kamu raih seiring waktu dan usaha serta merupakan takdir muallaq. Tentunya kebijaksanaan tidak datang begitu saja dari pasrah menerima nasib atau mengikuti arus kehidupan.
Agar kamu semakin bijak dalam menjalani kehidupan, kamu harus menerima dan mau belajar dari kesalahan serta memiliki sudut pandang berpikir yang baik. Tak hanya itu, kemampuan untuk jujur pada diri sendiri maupun orang lain juga berperan penting.
Kesimpulan sbb ini : Perjalanan hidup di dunia ini sangatlah dinamis. Tak jarang juga penuh tantangan dan rintangan yang tidak mungkin bisa dihindari karena takdir yang telah ditetapkan. Namun, ketika kita menghadapi masalah tersebut, kita harus menyikapinya dengan bijak dan cerdas. Seseorang tidak akan pandai jika ia malas belajar, tidak akan menjadi sehat dan bugar jika tak pernah berolahraga, dan tak mungkin menjadi kaya jika tak mau bekerja. Walaupun Allah SWT telah menentukan semuanya, tapi selama manusia itu hidup tetap harus berusaha mengubah nasibnya.
Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk paling mulia diantara makhluk-makhluk-Nya yang lain. Setiap manusia pun dikaruniai akal pikiran dan organ-organ tubuh untuk bergerak, sehingga semua potensi dalam diri yang telah diberikan Allah SWT wajib kita gunakan untuk meraih semua impian dan harapan yang kita miliki.
Dengan beriman kepada takdir dengan benar, maka ia akan senang hati untuk selalu berusaha dan berjuang dalam menjalani kehidupannya. Demi mengubah takdir muallaq menjadi lebih baik, maka kamu diharuskan untuk selalu berusaha atau ikhtiar dan terus berdoa serta tawakal dalam menunggu keputusan dari-Nya.
Amalan yang Dapat Mengubah Takdir Buruk Menjadi Baik, di Antaranya Bersedekah dan Silaturahmi, Dalam Ilmu Tauhid, takdir adalah isitilah yang merujuk pada qadla atau keputusan Allah SWT yang telah tertulis di Lauhul Mahfudz. Lalu apakah manusia bisa mengubah takdir yang telah ditetapkan Allah SWT?
Dalam Alquran QS Al-Hadid 22, Allah SWT berfirman yang artinya; ”Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum kami mewujudkannya, sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah SWT".
Ada seseorang yang bertanya tentang takdir kepada Nabi. Wahai Rasulullah apa pendapatmu tentang ruqyah (doa penyembuh) yang kami lakukan, apakah ia bisa menolak takdir Allah? Rasulallah menjawab," Ruqyah itulah bagian dari takdir" (HR Turmudzi). Mengubah takdir kita dimasa yang akan datang, dalam kehidupan kita di dunia sudah ditentukan dengan sedemikian rupa oleh Allah SWT. Yaitu meliputi rezeki, ajal, amal dan kondisi kehidupan, ketentuan Allah SWT bagi diri kita bisa berubah dengan sejumlah amal kebaikan. Allah SWT Maha Pengasih dan Penyayang juga Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Meskipun sudah menentukan nasib kita di dunia ini maka dengan kemurahan Allah SWT dan kuasanya, Allah SWT dapat mengubah ketentuanNya. Ada beberapa amal ibadah yang bisa merubah takdir buruk menjadi takdir baik, di antaranya :
1. Berdoa Luangkan waktu untuk berdoa, supaya Allah SWT dengan kuasanya bisa mengubah takdir buruk menjadi baik.
2. Melakukan amal kebaikan Sebagaimana Sabda Rasul, “Beramalah kamu sekalian karena beramal berbuat kebaikan ibadah akan mengubah sesuatu yang buruk yang telah ditentukan Nya kepadamu" (HR Bukhori dan Muslim).
Hadits lainnya disebutkan “Tiada yang dapat menambah umur seseorang selain amal kebaikan" (HR Ahmad dan Thabrani).
3. Sedekah Sebagaimana sabda Rasululullah, "Sesungguhnya sedekah itu dapat memadamkan kemarahan Allah SWT dan menolak ketentuan yang buruk" ( HR Tirmidzi).
Dalam hadits lain “Bersegeralah bersedekah karena bala tidak pernah mendahului sedekah" (HR Thabrani).
4. Bertasbih "Maukah kalian aku beritahu sesuatu doa yang jika kalian memanfaatkannya itu ketika ditimpa kesedihan atau bencana, maka Allah SWT akan menghilangkan kesedihan itu ? Para sahabat menjawab mau ya rasul, Rasul bersabda; “Yaitu doa “Dzun Nun: La ilaaha illa anta subhanaka inni kuntu minadh dholimin” (HR Imam Ahmad, At Turmudzi dan Al Hakim)
5. Bershalawat Ada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ubay Ibnu Ka’ab. Bahwa ada seorang laki-laki telah mendedikasikan semua pahala shalawatnya untuk rasul. Maka Rasul berkata kepada orang tersebut, "Jika begitu lenyaplah kesedihanmu, dan dosamu akan diampuni" (HR Imam Ahmad At Tabrani)
Itulah 5 hal yang dapat mengubah takdir kita. Marilah kita selalu berdoa kepada Allah SWT. Takdir akan bisa berubah diwaktu yang akan datang, kita masih memiliki harapan takdir yang buruk menjadi takdir yang baik. Allah Humma Aamin.
Menyikapi Hidup Mengalami Takdir Buruk menurut Ibnul Qayyim.Bukanlah yang dimaksud dengan kata takdir dalam frasa “takdir buruk” pada judul di atas adalah perbuatan Allah menakdirkan suatu peristiwa. Karena Allah Maha Indah, baik dzat, nama, sifat, maupun perbuatan-Nya. Allah Maha Indah ditinjau dari segala sisi. Tidak ada satupun keburukan yang terdapat pada diri Allah. Tidak boleh satupun keburukan disandarkan kepada dzat, nama, sifat, maupun perbuatan-Nya.
Apakah yang Dimaksud dengan Takdir Buruk?
Maksudnya adalah peristiwa pahit yang Allah takdirkan terjadi pada makhluk-Nya. Dalam menjalani kehidupan terkadang seorang mukmin menghadapi takdir yang baik, yaitu peristiwa yang menyenangkan dirinya. Sebagai contoh, seorang menikah, berhasil melakukan kebaikan, dan mendapatkan keuntungan dalam bisnisnya yang halal. Ini adalah takdir baik dan menggembirakan.
Tips Menghadapi Takdir Yang Buruk
Namun, terkadang dalam hidupnya seorang mukmin harus menghadapi takdir yang buruk, misalnya sakit keras, ibunya meninggal, dizalimi temannya, dan disebarkan fitnah buruk tentang dirinya (difitnah) sampai merasa sakit hati. Nah, bagaimana sikap seorang mukmin yang baik?
Tips 1 Di dalam kitab Al-Fawaid, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah bertutur yang artinya sbb ;
Jika sebuah takdir yang buruk menimpa seorang hamba, maka ia memiliki enam sikap dan sisi pandang:
Pertama: Pandangan (kaca mata) Tauhid. Bahwa Allahlah yang menakdirkan, menghendaki dan menciptakan kejadian tersebut. Segala sesuatu yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan segala sesuatu yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi.
Penjelasan:
Seorang mukmin yang di dalam hatinya mengakar kuat keimanan terhadap Rabbnya akan memandang segala sesuatu dengan kaca mata iman dan tauhid, terlepas apapun yang dihadapi dan dialaminya. Hatinya meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi, pastilah Allah yang menghendakinya terjadi dan Dialah yang menakdirkannya, baik peristiwa tersebut sebuah kebaikan ataupun keburukan. Namun setiap yang Allah takdirkan terjadi, pastilah ada hikmahnya, baik kita ketahui atau tidak.
Oleh karena itu, ketika mendapatkan musibah, Anda dizalimi orang lain atau difitnah misalnya, maka pandanglah peristiwa itu dengan kacamata iman, Allahlah yang menakdirkan musibah ini menimpa diri saya, Allahlah yang memilih saya untuk menjadi orang yang tertimpa musibah ini ,
Allah lah yang memilih saya menjadi korban fitnah ini. Radhiitu billahi Rabbaa, saya ridha Allah menjadi Rabbku dan Sang Pengaturku. Saya tidak akan memprotes takdir-Nya. Karena setiap hari seorang hamba berpeluang tertimpa musibah, maka pantaslah prinsip hidup yang seperti ini dalam Islam disyari’atkan untuk diwujudkan dalam ucapan dzikir pagi dan sore, bahkan disyari’atkan untuk diucapkan 3 kali,
“Aku rela Allah Swtsebagai Rabb-ku, Islam sebagai agamaku dan Nabi Muhammad shalllallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabiku” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi).
Dengan demikian, setiap kali seorang hamba tertimpa musibah, ia menghadapinya dengan lapang dada dan menggantungkan harapan hatinya semata-mata kepada Sang Pengaturnya agar ia mendapatkan jalan keluar dan mampu bersabar dalam menghadapinya dengan mengharapkan pahala dari-Nya.
Kedua: Kacamata keadilan. Bahwa dalam kejadian tersebut berlaku hukum-Nya dan adil ketentuan takdir-Nya.
Penjelasan
Setiap peristiwa yang ditakdirkan terjadi pada diri seorang hamba pastilah Allah selalu adil dan tidak pernah zalim kepadanya, karena Allah Swt menentukan takdir bagi seorang hamba selalu sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya dan sesuai dengan ilmu-Nya.
Allah Swt berfirman, “Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya” (Fushshilat:46).
Bukankah setiap musibah yang ditakdirkan menimpa kita karena akibat dosa kita?
Allah Swt berfirman, dalam Asy-Syuuraa: 30 yang artinya sebagai berikut ini ;
“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian)” (Asy-Syuuraa: 30).
Tips 3
Kemudian Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata yang artinya sbb ;
Ketiga: Kacamata kasih sayang. Bahwa rahmat-Nya dalam peristiwa pahit tersebut mengalahkan kemurkaan dan siksaan-Nya yang keras, serta rahmat-Nya memenuhinya.
Penjelasan:
Tidaklah Allah Swt menakdirkan atas diri seorang mukmin sebuah peristiwa yang pahit, kecuali didasari kasih sayang-Nya kepada hamba tersebut. Dan kasih sayang-Nya mengalahkan murka-Nya.
Allah Swt berfirman Sebagai berikut yang artinya : “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu” (Al-A’raaf:156).
Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah berfirman, “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku” (HR. Bukhari dan Muslim) .
Keempat: Kacamata hikmah. Hikmah-Nya Subhanahu menuntut menakdirkan kejadian itu, tidaklah Dia menakdirkan begitu saja tanpa tujuan dan tidaklah pula Dia memutuskan suatu ketentuan takdir dengan tanpa hikmah.
Penjelasan:
Hikmah pentakdiran pastilah ada. Namun hikmah tersebut terkadang kita tahu, namun terkadang pula kita tidak tahu. Namun, ketidaktahuan kita terhadap suatu hikmah dari kejadian tertentu , tidaklah menghalangi kita berbaik sangka kepada Allah Ta’ala. Bahwa dengan hikmah Allah, Allah memutuskan suatu takdir. Jadi, kita meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Bijaksana dalam menetapkan takdir-Nya.
Allah Swt berfirman, sebagai berikut ini ;
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mukminuun: 115).
Allah Swt juga berfirman, “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (Al-Qiyaamah: 36).
Tips 5
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah bertutur:
Kelima: Kacamata pujian. Bahwa Dia Subhanahu terpuji dengan pujian sempurna atas penakdiran kejadian tersebut, dari segala sisi.
Penjelasan:
Allah Swt terpuji dari segala sisi, terpuji dzat, nama, sifat maupun perbuatan-Nya, termasuk terpuji saat menakdirkan suatu takdir yang pahit, karena semua itu berdasarkan ilmu dan tuntutan hikmah-Nya.
Allah Swt berfirman, dalam Yuunus: 10 yang artinya sbb ;
“Do’a mereka di dalamnya ialah subhanakallahumma dan salam penghormatan mereka ialah salam. Dan penutup doa mereka ialah segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam.” (Yuunus: 10).
Tips 6
Terakhir, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah Menjelaskan sbb ini ;
Keenam: Kacamata peribadatan. Bahwa orang yang menjalani takdir yang buruk itu adalah sekedar hamba semata dari segala sisi, maka berlaku atasnya hukum-hukum Sang Pemiliknya, dan berlaku pula takdir-Nya atasnya sebagai milik dan hamba-Nya, maka Dia mengaturnya di bawah hukum takdir-Nya sebagaimana mengaturnya pula di bawah hukum Syar’i-Nya. Jadi, orang tersebut merupakan hamba yang berlaku atasnya hukum-hukum ini semuanya.
Penjelasan:
Sebagai seorang mukmin yang meyakini bahwa ia hanyalah milik Allah dan hamba-Nya, maka ia sadar dan mengakui kepemilikan Allah atas dirinya sehingga Dia berhak mengaturnya dengan bentuk pengaturan bagaimanapun juga, semua terserah Dia, Sang Pemilik alam semesta, maka ia ridha dengan pengaturan Rabbnya tersebut dan benar-benar menghamba kepada-Nya saja.
Seorang mukmin juga sadar bahwa dalam keadaan bagaimanapun juga, sebagai seorang hamba, ia tetap tertuntut untuk mempersembahkan peribadatan dan penghambaan kepada Sang Pemiliknya, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana dalam keadaan senang dan lapang, ada tuntutan peribadatan atasnya, maka begitu juga dalam keadaan susah dan tertimpa musibah, ada tuntutan peribadatan atasnya pula. Ia adalah hamba Allah, baik dalam keadaan sedih maupun senang.
Allah Swt berfirman, yang artinya sebagai berikut ini ;
“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba” (Maryam: 93).
Allah Swt berfirman,Al-Furqaan: 63 yang artinya sbb ini ;
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan” (Al-Furqaan: 63).
Iman Kepada Takdir Baik dan Buruk, Cara Terbaik Menerima Takdir, Meskipun Sebenarnya Menyakitkan. Banyak orang mengenal rukun iman tanpa mengetahui makna dan hikmah yang terkandung dalam keenam rukun iman tersebut. Salah satunya adalah iman kepada takdir. Tidak semua orang yang mengenal iman kepada takdir, mengetahui hikmah dibalik beriman kepada takdir dan bagaimana mengimani takdir. Berikut sedikit ulasan mengenai iman kepada takdir Allah Swt yang baik dan yang buruk.
Takdir (qadar) adalah perkara yang telah diketahui dan ditentukan oleh Allah Swt dan telah dituliskan oleh al-qalam (pena) dari segala sesuatu yang akan terjadi hingga akhir zaman. (Terj. Al Wajiiz fii ‘Aqidatis Salafish Shalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 95)
Allah Swt telah menentukan segala perkara untuk makhluk-Nya sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu (azali) dan ditentukan oleh hikmah-Nya. Tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan atas kehendak-Nya dan tidak ada sesuatupun yang keluar dari kehendak-Nya. Maka, semua yang terjadi dalam kehidupan seorang hamba adalah berasal dari ilmu, kekuasaan dan kehendak Allah, namun tidak terlepas dari kehendak dan usaha hamba-Nya.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Qs. Al-Qamar: 49)
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Qs. Al-Furqan: 2)
“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Qs. Al-Hijr: 21)
Mengimani takdir baik dan takdir buruk, merupakan salah satu rukun iman dan prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tidak akan sempurna keimanan seseorang sehingga dia beriman kepada takdir, yaitu dia mengikrarkan dan meyakini dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu berlaku atas ketentuan (qadha’) dan takdir (qadar) Allah Swt.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya sebagai berikut ini ;
“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada qadar baik dan buruknya dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya.” (Shahih, riwayat Tirmidzi).
Jibril ‘alaihis salam pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai iman, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, sebagai berikut ini ;
“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir serta qadha’ dan qadar, yang baik maupun yang buruk.” (Shahih, riwayat Muslim).
Dan Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma juga pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya sebagai berikut ini ; “Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai-sampai kelemahan dan kepintaran.” (Shahih, riwayat Muslim).
Tingkatan Takdir
Beriman kepada takdir tidak akan sempurna kecuali dengan empat perkara yang disebut tingkatan takdir atau rukun-rukun takdir. Keempat perkara ini adalah pengantar untuk memahami masalah takdir. Barang siapa yang mengaku beriman kepada takdir, maka dia harus merealisasikan semua rukun-rukunnya, karena yang sebagian akan bertalian dengan sebagian yang lain. Barang siapa yang mengakui semuanya, baik dengan lisan, keyakinan dan amal perbuatan, maka keimanannya kepada takdir telah sempurna. Namun, barang siapa yang mengurangi salah satunya atau lebih, maka keimanannya kepada takdir telah rusak.
Tingkatan Pertama: al-‘Ilmu (Ilmu)
Yaitu, beriman bahwa Allah Swt mengetahui dengan ilmu-Nya yang azali mengenai apa-apa yang telah terjadi, yang akan terjadi, dan apa yang tidak terjadi, baik secara global maupun terperinci, di seluruh penjuru langit dan bumi serta di antara keduanya. Allah Swt Maha Mengetahui semua yang diperbuat makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan, mengetahui rizki, ajal, amal, gerak, dan diam mereka, serta mengetahui siapa di antara mereka yang sengsara dan bahagia.
Allah Swt telah berfirman, yang artinya sebagai berikut ini ;
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Qs. Al-Hajj: 70)..
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua perkara yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia Maha Mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak juga sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan telah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Al-An’aam: 59)
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (Qs. At-Taubah: 115)
Tingkatan Kedua: al-Kitaabah (Penulisan) Yaitu, mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menuliskan apa yang telah diketahui-Nya berupa ketentuan-ketentuan seluruh makhluk hidup di dalam al-Lauhul Mahfuzh. Suatu kitab yang tidak meninggalkan sedikit pun di dalamnya, semua yang terjadi, apa yang akan terjadi, dan segala yang telah terjadi hingga hari Kiamat, ditulis di sisi Allah Ta’ala dalam Ummul Kitab.
Allah Swt berfirman, artinya sebegai berikut ini ;
“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Yaasiin: 12)
“Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (Qs. Al-Hadiid: 22)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya sbb ini ;
“Allah Swt telah menulis seluruh takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Allah Swt menciptakan langit dan bumi.” (Shahih, riwayat Muslim)
Dalam sabdanya yang lain,artinya ;
“Yang pertama kali Allah ciptakan adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman, ‘Tulislah!’ Ia bertanya, ‘Wahai Rabb-ku apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya Kiamat.'”(Shahih, riwayat Abu Dawud (no. 4700), dalam Shahiih Abu Dawud (no. 3933), Tirmidzi (no. 2155, 3319), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 102), al-Ajurry dalam asy-Syari’ah (no.180), Ahmad (V/317), dari Shahabat ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu)
Oleh karena itu, apa yang telah ditakdirkan menimpa manusia tidak akan meleset darinya, dan apa yang ditakdirkan tidak akan mengenainya, maka tidak akan mengenainya, sekalipun seluruh manusia dan golongan jin mencoba mencelakainya.
Tingkatan Ketiga: al-Iraadah dan Al Masyii-ah (Keinginan dan Kehendak)
Yaitu, bahwa segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi adalah sesuai dengan keinginan dan kehendak (iraadah dan masyii-ah) Allah yang berputar di antara rahmat dan hikmah. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya, dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Dia tidak boleh ditanya mengenai apa yang diperbuat-Nya karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya, tetapi kita, sebagai makhluk-Nya yang akan ditanya tentang apa yang terjadi pada kita, sesuai dengan firman-Nya, yang artinya sbb ; “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (Qs. Al-Anbiyaa’: 23)
Kehendak Allah Swt itu pasti terlaksana, juga kekuasaan-Nya sempurna meliputi segala sesuatu. Apa yang Allah Swt kehendaki pasti akan terjadi, meskipun manusia berupaya untuk menghindarinya, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, maka tidak akan terjadi, meskipun seluruh makhluk berupaya untuk mewujudkannya..
Allah Swt berfirman, Qs. Al-An’aam: 125 artinya sbb ;
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.” (Qs. Al-An’aam: 125).
“Dan kamu tidak dapat menhendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (Qs. At-Takwir: 29)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, yang artinya sbb ini ;
“Sesungguhnya hati-hati manusia seluruhnya di antara dua jari dari jari jemari Ar-Rahmaan seperti satu hati; Dia memalingkannya kemana saja yang dikehendaki-Nya.” (Shahih, riwayat Muslim).
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Para Imam Salaf dari kalangan umat Islam telah ijma’ (sepakat) bahwa wajib beriman kepada qadha’ dan qadar Allah yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit, yang sedikit maupun yang banyak. Tidak ada sesuatu pun terjadi kecuali atas kehendak Allah dan tidak terwujud segala kebaikan dan keburukan kecuali atas kehendak-Nya. Dia menciptakan siapa saja dalam keadaan sejahtera (baca: menjadi penghuni surga) dan ini merupakan anugrah yang Allah berikan kepadanya dan menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki dalam keadaan sengsara (baca: menjadi penghuni neraka). Ini merupakan keadilan dari-Nya serta hak absolut-Nya dan ini merupakan ilmu yang disembunyikan-Nya dari seluruh makhluk-Nya.” (al-Iqtishaad fil I’tiqaad)
Tingkatan Keempat: al-Khalq (Penciptaan)
Yaitu, bahwa Allah Swt adalah Pencipta (Khaliq) segala sesuatu yang tidak ada pencipta selain-Nya, dan tidak ada rabb selain-Nya, dan segala sesuatu selain Allah adalah makhluk. Sebagaimana firman Allah Swt, “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Qs. Az-Zumar: 62)
Meskipun Allah Swt telah menentukan takdir atas seluruh hamba-Nya, bukan berarti bahwa hamba-Nya dibolehkan untuk meninggalkan usaha. Karena Allah telah memberikan qudrah (kemampuan) dan masyii-ah (keinginan) kepada hamba-hamba-Nya untuk mengusahakan takdirnya. Allah juga memberikan akal kepada manusia, sebagai tanda kesempurnaan manusia dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain, agar manusia dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Allah tidak menghisab hamba-Nya kecuali terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukannya dengan kehendak dan usahanya sendiri. Manusialah yang benar-benar melakukan suatu amal perbuatan, yang baik dan yang buruk tanpa paksaan, sedangkan Allah-lah yang menciptakan perbuatan tersebut. Hal ini berdasarkan firman-Nya, sebagai beriku tini ;
“Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Qs. Ash-Shaaffaat: 96)
Dan Allah Swt juga berfirman, yang artinya, “Allah Swt tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)
Hikmah Beriman Kepada Takdir
Beriman kepada takdir akan mengantarkan kita kepada sebuah hikmah penciptaan yang mendalam, yaitu bahwasanya segala sesuatu telah ditentukan. Sesuatu tidak akan menimpa kita kecuali telah Allah tentukan kejadiannya, demikian pula sebaliknya. Apabila kita telah faham dengan hikmah penciptaan ini, maka kita akan mengetahui dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu yang datang dalam kehidupan kita tidak lain merupakan ketentuan Allah atas diri kita. Sehingga ketika musibah datang menerpa perjalanan hidup kita, kita akan lebih bijak dalam memandang dan menyikapinya. Demikian pula ketika kita mendapat giliran memperoleh kebahagiaan, kita tidak akan lupa untuk mensyukuri nikmat Allah yang tiada henti.
Manusia memiliki keinginan dan kehendak, tetapi keinginan dan kehendaknya mengikuti keinginan dan kehendak Rabbnya. Golongan Ahlus Sunnah menetapkan dan meyakini bahwa segala yang telah ditentukan, ditetapkan dan diperbuat oleh Allah memiliki hikmah dan segala usaha yang dilakukan manusia akan membawa hasil atas kehendak Allah.
Ingatlah saudariku, tidak setiap hal akan berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan, maka hendaklah kita menyerahkan semuanya dan beriman kepada apa yang telah Allah tentukan. Jangan sampai hati kita menjadi goncang karena sedikit ‘sentilan’, sehingga muncullah bisikan-bisikan dan pikiran-pikiran yang akan mengurangi nikmat iman kita. Dengarlah sabda Nabi kita SAW, yang artinya sbb ini ;
“Berusahalah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan Allah Swt dan janganlah sampai kamu lemah (semangat). Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau berkata ‘seandainya aku melakukan ini dan itu, niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi katakanlah ‘Qodarullah wa maa-syaa-a fa’ala (Allah Swt telah mentakdirkan segalanya dan apa yang dikehendaki-Nya pasti dilakukan-Nya).’ Karena sesungguhnya (kata) ‘seandainya’ itu akan mengawali perbuatan syaithan.” (Shahih, riwayat Muslim)
Tidak ada seorang pun yang dapat bertindak untuk merubah apa yang telah Allah tetapkan untuknya. Maka tidak ada seorang pun juga yang dapat mengurangi sesuatu dari ketentuan-Nya, juga tidak bisa menambahnya, untuk selamanya. Ini adalah perkara yang telah ditetapkan-Nya dan telah selesai penentuannya. Pena telah terangkat dan lembaran telah kering.
Berdalih dengan takdir diperbolehkan ketika mendapati musibah dan cobaan, namun jangan sekali-kali berdalih dengan takdir dalam hal perbuatan dosa dan kesalahan. Setiap manusia tidak boleh memasrahkan diri kepada takdir tanpa melakukan usaha apa pun, karena hal ini akan menyelisihi sunnatullah. Oleh karena itu berusahalah semampunya, kemudian bertawakkallah. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, ayng artinya ;
“Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Anfaal: 61)
“Barang siapa bertawakkal kepada Allah Swt, niscaya Allah Swt akan mencukupi (keperluan)nya.” (Qs. Ath-Thalaq: 3)
Dan jika kita mendapatkan musibah atau cobaan, janganlah berputus asa dari rahmat Allah dan janganlah bersungut-sungut, tetapi bersabarlah. Karena sabar adalah perisai seorang mukmin yang dia bersaudara kandung dengan kemenangan. Ingatlah bahwa musibah atau cobaan yang menimpa kita hanyalah musibah kecil, karena musibah dan cobaan terbesar adalah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam sabdanya,
“Jika salah seorang diantara kalian tertimpa musibah, maka ingatlah musibah yang menimpaku, sungguh ia merupakan musibah yang paling besar.” (Shahih li ghairih)
Apabila hati kita telah yakin dengan setiap ketentuan Allah, maka segala urusan akan menjadi lebih ringan, dan tidak akan ada kegundahan maupun kegelisahan yang muncul dalam diri kita, sehingga kita akan lebih semangat lagi dalam melakukan segala urusan tanpa merasa khawatir mengenai apa yang akan terjadi kemudian. Karena kita akan menggenggam tawakkal sebagai perbekalan ketika menjalani urusan dan kita akan menghunus kesabaran kala ujian datang menghadang.
Terkait dengan takdir baik dan takdir buruk, satu waktu Nabi SAW ditanya oleh Jibril mengenai rukun iman yang enam. Dengan penuh keyakinan, Nabi SAW menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir serta qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk” (HR. Muslim).
Bagi Syaikh Nawawi Banten qadha adalah kehendak Allah SWT sejak masa azali. Qadha berkaitan dengan keputusan Allah SWT yang berlaku bagi makhluk-Nya. Sementara Qadar adalah penciptaan Allah SWT terhadap segala sesuatu berdasarkan ketentuan yang sesuai dengan ilmu-Nya. Jadi Qadha itu fondasi, qadar itu bangunan.
Lebih jauh, qadha itu alat untuk menakar, sedangkan qadar itu sama dengan benda yang ditakar. Ibarat lain, qadha itu sama dengan bahan yang digunakan untuk dijadikan pakaian, sementara qadar itu adalah pakaian itu sendiri yang dikenakan. Bisa juga, qadha itu ide gambar seorang pelukis dalam imajinasinya, sedangkan qadar itu gambarnya.
Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam al-Tsimar al-Yani’ah beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk adalah wajib. Maksudnya seorang muslim wajib beriman bahwa takdir telah ditentukan oleh Allah SWT sejak masa azali. Masa azali adalah masa dimana ruang dan waktu serta seluruh makhluk belum diciptakan oleh Allah SWT.
Dengan kata lain, lanjut Syaikh Nawawi Banten, apa saja yang tidak ditadirkan oleh Allah SWT, maka kejadiannya itu mustahil. Oleh karena itu, penting dipahami tiga bagian mengenai ilmu tauhid. Pertama, ilahiyyat atau ilmu tentang ketuhanan. Kedua, nabawiyyat atau kenabian. Ketiga, sam’iyyat atau berita yang didengar dari rasul.
Allah SWT menegaskan, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (QS. al-Qamar/54: 49). Ayat ini, menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir, maksudnya Allah SWT telah menentukan apa saja sejak dahulu. Selain itu, segala sesuatu yang terjadi pada waktunya diketahui Allah SWT secara gamblang.
Dalam Qathrul Ghaits, Syaikh Nawawi Banten menyatakan bahwa segala sesuatu baik yang kecil maupun yang besar tak lepas dari takdir, ketentuan, kepastian, ukuran yang tepat, bagian yang ditentukan, keakuratan dan ketepatan. Allah SWT berfirman, “Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis” (QS. al-Qamar/54: 53).
Lebih jauh pada apa saja yang dimiliki oleh manusia, seperti kelemahan atau kekuatan, kebodohan atau kepintaran sejatinya telah ditentukan oleh Allah SWT secara tepat dan akurat. Inilah pesan Nabi SAW, “Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai-sampai kelemahan dan kepintaran” (HR. Muslim). Namun manusia wajib berusaha untuk merubah keadaannya. Orang yang bodoh lalu rajin belajar, maka tadirnya dia akan jadi pintar.
Dalam ayat lain, kembali Allah SWT tegaskan, “Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (QS. al-Furqan/25: 2). Artinya, menurut pengarang Tafsir Jalalain, segala sesuatu itu hanya Allah SWT saja yang mampu menciptakannya dan menetapkannya secara tepat dan sempurna.
Secara lebih terang, kedua ayat di atas diulas oleh Nabi SAW, “Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada takdir baik dan buruk dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya” (HR. Turmudzi)
Orang-Orang Miskin dalam Doa Rasulullah SAW, Allah SWT adalah Zat Yang Maha Sempurna dan Maha Adil. Di antara semua sifat-Nya, Allah SWT melebihkan sebagian hamba dari yang lain. Salah satunya dalam hal rezeki. Ada yang diberi kaya dan miskin.
Dalam QS az-Zukhruf ayat 32, Allah SWT berfirman, "Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka peng hidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat mem pergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan."
Ustaz Ali Hasan Bawazier dalam kajiannya menyebut pembagian hamba yang kaya dan miskin sesuai dengan ketetapan yang diberikan oleh Allah SWT. Dari semua ketetapan yang telah diberikan dan apa-apa yang terjadi di dunia ini adalah bentuk-bentuk dari ujian. Allah SWT memberikan ujian kepada hamba-Nya, salah satunya dengan bentuk harta yang mereka miliki.
QS al-Anbiya ayat 35 menjelaskan lebih dalam tentang ujian yang diberikan Allah SWT. Dalam surah tersebut, Allah berfirman, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan."
"Allah menguji hamba-hamba-Nya dengan keburukan dan kebaikan. Ada yang susah, ada yang lapang, ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang diberikan petunjuk, dan ada yang diberikan kesesatan. Semua ini bentuk ujian Allah SWT kepada seseorang," ujar Ustaz Ali Hasan.
Ia mengingatkan, jika seorang hamba diberikan kelebihan, bukan berarti bentuk cinta dan kasih sayang. Kelebihan yang ia miliki tidak serta-merta menun juk kan jika Allah SWT lebih sayang kepada dirinya dibandingkan makhluk yang lain. Hal tersebut adalah ujian yang harus dilalui. Orang yang diberikan kelebihan dalam hal harta, jabatan, serta kekuasaan, hendaknya lebih berhati-hati dan memperbanyak mengingat Allah SWT.
Manusia cenderung memiliki sifat lupa daratan atau lupa pada Tuhannya ketika mendapatkan kelebihan dan berujung berbuat zalim. Dalam QS asy-Syura ayat 27, Allah telah mengingatkan perihal tersebut, "Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukur n. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat."
Ustaz Ali Hasan menjelaskan, ada seseorang mendapatkan harta diperlukan usaha dan kerja keras. Begitu mendapatkannya, ia akan bersusah payah untuk menjaga kekayaan yang dimiliki. Hidupnya pun akan berputar dalam urusan harta dan melalaikan urusan dengan Allah SWT. Maka itu, Allah SWT memberikan batas atas rezeki yang dimiliki oleh hamba-Nya sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.
Ia pun memberikan sebuah ilustrasi kepada peserta kajian, di mana ketika diberi pilihan untuk diuji dengan kekayaan atau dengan kemiskinan, pasti 90 persen memilih untuk diuji kaya. Padahal, harusnya seorang hamba dalam menentukan pilihan melihat terlebih dulu, golongan mana yang lebih sering lulus ujian di mata Allah SWT.
"Antara orang kaya yang pandai bersyukur dengan orang kaya yang kufur nikmat, mana yang lebih banyak? Antara orang miskin yang sabar dan terus berusaha dengan orang miskin yang tidak sabar, mana yang lebih banyak?" ujar dia.
Allah SWT menginginkan kemudahan bagi umat-umat-Nya, termasuk untuk urusan masuk surga. Dari Abdullah bin 'Amr, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Sesungguhnya kaum fakir dari kalangan muhajirin mendahului orangorang yang kaya menuju surga pada hari kiamat dengan jarak selama 40 tahun." Kaum fakir dari kalangan muhajirin merupakan mereka yang hidup pada zaman Rasul dan rela meninggalkan harta serta keluarga mereka demi Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.
Ustaz Ali Hasan pun menceritakan tentang kisah sahabat Nabi, Mush'ab bin Umair. Ia adalah sahabat Nabi yang meninggal syahid pada awal-awal masa jihad serta meninggal dalam keadaan fakir. Rasulullah bersama sahabat yang lain hanya bisa menangis saat Mush'ab meninggal karena jasadnya yang tidak bisa ditutup oleh satu kain burdah miliknya. Andai kain itu ditaruh di atas ke palanya, terbukalah kedua belah kakinya, begitu pula sebaliknya. Karena hal tersebut, Nabi pun bersabda, "Kaum fakir dari golongan muhajirin masuk surga terlebih dahulu sebelum kaum kaya dari kalangan mereka dengan jarak selama 500 tahun."
Keutamaan orang-orang miskin dalam Islam telah banyak disebutkan dalam hadis dan Alquran. Bahkan, Nabi Muhammad berdoa agar ia dapat dikumpulkan dengan orang-orang miskin. Da lam hadis sahih disebutkan bahwa Nabi pernah berdoa, "Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang miskin."
Apa gunanya terlihat kaya di hadapan orang lain tetapi saat meninggal menyisakan urusan utang? Hiduplah dengan qanaah, cukup dengan apa yang diberikan oleh Allah SWT.
Rasa malu dan iman seorang muslim, Malu adalah sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan yang rendah atau kurang sopan. Islam memerintahkan pemeluknya memiliki sifat malu karena dapat meningkatkan akhlak seseorang menjadi tinggi. Orang yang tidak memiliki sifat malu, akhlaknya akan rendah dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsu.
Sifat malu merupakan ciri khas akhlak orang beriman. Orang yang memiliki sifat ini apabila melakukan kesalahan atau yang tidak patut bagi dirinya akan menunjukkan penyesalan. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki malu merasa biasa saja ketika melakukan kesalahan dan dosa meskipun banyak orang mengetahuinya.
Islam menempatkan malu sebagai bagian dari iman. Orang beriman pasti memiliki sifat malu. Orang yang tidak memiliki malu berarti tidak ada iman dalam dirinya meskipun lidahnya menyatakan beriman. Rasulullah SAW bersabda, ''Iman itu lebih dari 70 atau 60 cabang, cabang iman tertinggi adalah mengucapkan 'La ilaha illallah', dan cabang iman terendah adalah membuang gangguan (duri) dari jalan, dan rasa malu merupakan cabang dari iman.'' (HR Bukhari-Muslim).
Sifat malu perlu ditampilkan seseorang dalam semua aktivitas kehidupan. Melaluinya, seseorang dapat menahan diri dari perbuatan tercela, hina, dan keji. Melalui sifat malu, seseorang akan berusaha mencari harta yang halal dan akan menyesal kalau ketinggalan melakukan kebaikan.
Apabila seseorang hilang malunya, secara bertahap perilakunya akan buruk, kemudian menurun kepada yang lebih buruk, dan terus meluncur ke bawah dari yang hina kepada lebih hina sampai ke derajat paling rendah. Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya Allah apabila hendak membinasakan seseorang, Dia mencabut rasa malu dari orang itu.
Apabila rasa malunya sudah dicabut, kamu tidak menjumpainya kecuali dibenci. Apabila tidak menjumpainya kecuali dibenci, dicabutlah darinya sifat amanah. Apabila sifat amanah sudah dicabut darinya maka tidak akan didapati dirinya kecuali sebagai pengkhianat dan dikhianati. Kalau sudah jadi pengkhianat dan dikhianati, dicabutlah darinya rahmat. Kalau rahmat sudah dicabut darinya, tidak akan kamu dapati kecuali terkutuk yang mengutuk. Apabila terkutuk yang mengutuk sudah dicabut darinya, maka akhirnya dicabutlah ikatan keislamannya.'' (HR Ibn Majah).
Tiga Macam Rasa Malu
Ada tiga macam malu yang perlu melekat pada seseorang. Pertama, malu kepada diri sendiri ketika sedikit melakukan amal saleh kepada Allah dan kebaikan untuk umat dibandingkan orang lain. Malu ini mendorongnya meningkatkan kuantitas amal saleh dan pengabdian kepada Allah dan umat.
Kedua, malu kepada manusia. Ini penting karena dapat mengendalikan diri agar tidak melanggar ajaran agama, meskipun yang bersangkutan tidak memperoleh pahala sempurna lantaran malunya bukan karena Allah. Namun, malu seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya dari Allah karena ia terpelihara dari perbuatan dosa.
Ketiga, malu kepada Allah. Ini malu yang terbaik dan dapat membawa kebahagiaan hidup. Orang yang malu kepada Allah, tidak akan berani melakukan kesalahan dan meninggalkan kewajiban selama meyakini Allah selalu mengawasinya.
Mengingat sifat malu penting sebagai benteng memelihara akhlak seseorang dan sumber utama kebaikan, maka sifat ini perlu dimiliki dan dipelihara dengan baik. Sifat malu dapat memelihara iman seseorang tersebut.
Rasulullah SAW tampak keheranan mendengar pengakuan tulus Ma’iz bin Malik. Sadarkah Ma’iz bahwa pengakuannya berakibat dijatuhi hukuman mati? Karena itu, Rasulullah bertanya, apakah orang ini sedang mengalami gangguan kejiwaan. Ia tidak gila! jawab sahabat yang hadir.
Rasulullah SAW masih juga meragukan ketulusannya. Beliaupun menyuruh salah seorang di antara yang hadir untuk mencium aroma tubuhnya. Jangan-jangan ada bau minuman keras, bisa diduga laki-laki ini sedang mabuk berat. Juga tak tercium sedikit pun bau minuman keras di tubuhnya.
Untuk lebih meyakinkan, Rasulullah SAW bertanya langsung kepadanya, apakah betul Anda berzina. Ya, jawab Ma’iz, seraya mendesak agar segera dibersihkan dirinya dari dosa zina, dia siap menjalani hukuman rajam.
Kasus serupa terjadi pada diri wanita Ghamidiyah asal lembah Juhainah. Di hadapan Rasulullah SAW ia mengaku hamil hasil zina, dan memohon agar dijatuhi hukuman rajam seperti terjadi pada Ma’iz. Rasulullah SAW menganjurkan agar ia segera bertaubat kepada Allah, sambil menunggu lahir bayi yang di kandungnya.
Wanita itu kembali melaporkan diri setelah bayinya lahir, dan mendesak agar segera menjalani eksekusi. Rasulullah SAW masih juga menyuruhnya pulang dan memberinya kesempatan untuk menyusui sampai anaknya bisa disapih. Wanita malang ini datang kembali sambil menggendong anaknya, di tangannya ada sepotong roti sebagai tanda bahwa sang anak benar-benar sudah disapih.
Kesempatan ini mestinya dapat dimanfaatkan oleh Ghamidiyah untuk melarikan diri. Rasulullah pun tidak akan menyuruh para sahabat mencari wanita itu, atau memasukkannya dalam daftar buronan jika benar bahwa setelah anaknya disapih ternyata ia tidak melaporkan diri. Tampaknya Rasulullah SAW sangat memahami bahwa wanita ini sungguh-sungguh bertaubat dan tidak akan mengulangi perbuatannya.
Ma’iz dan Ghamidiyah adalah sosok dua anak manusia langka di zaman sekarang ini. Keduanya datang melaporkan diri, mengakui kesalahannya, lalu minta dihukum dengan hukuman paling berat yang merenggut nyawa. Keduanya seperti tidak yakin bahwa taubatnya diterima oleh Allah, jika hanya dengan lantunan doa dan istighfar, tanpa menjalani hukuman rajam. Keduanya memilih hukuman di dunia walaupun teramat berat, daripada di akhirat nanti dihukum dengan hukuman yang lebih dahsyat.
Usai eksekusi para sahabat masih memperdebatkan, apakah taubatnya diterima oleh Allah atau tidak? Bahkan Umar bin Khattab mempertanyakan, apa layak menshalatkan jenazah orang yang berbuat dosa zina seperti ini? Sungguh Allah telah menerima taubatnya. Bila taubatnya dibagikan kepada seluruh umat ini, niscaya taubatnya masih tersisa, ujar Rasulullah SAW meyakinkan. (HR Muslim No 1695).
Perubahan drastis bisa terjadi pada diri seorang Muslim, manakala keyakinan akan adanya kehidupan di hari akhirat, meresap ke lubuk hati yang paling dalam.
Pembagian Harta Haram, Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, Harta haram ada dua macam: (1) haram karena sifat atau zatnya, (2) haram karena pekerjaan atau usahanya. Harta haram karena usaha seperti hasil kezholiman, transaksi riba dan maysir (judi). Harta haram karena sifat (zat) seperti bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih atas nama selain Allah Swt.
Harta haram karena usaha lebih keras pengharamannya dan kita diperintahkan untuk wara’ dalam menjauhinya. Oleh karenanya ulama salaf, mereka berusaha menghindarkan diri dari makanan dan pakaian yang mengandung syubhat yang tumbuh dari pekerjaan yang kotor.
Adapun harta jenis berikutnya diharamkan karena sifat yaitu khobits (kotor). Untuk harta jenis ini, Allah telah membolehkan bagi kita makanan ahli kitab padahal ada kemungkinan penyembelihan ahli kitab tidaklah syar’i atau boleh jadi disembelih atas nama selain Allah. Jika ternyata terbukti bahwa hewan yang disembelih dengan nama selain Allah, barulah terlarang hewan tersebut menurut pendapat terkuat di antara pendapat para ulama yang ada. Telah disebutkan dalam hadits yang shahih dari ‘Aisyah, yang artinya sebagai beriku ini ;
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai suatu kaum yang diberi daging namun tidak diketahui apakah hewan tersebut disebut nama Allah ketika disembelih ataukah tidak. Beliau pun bersabda, “Sebutlah nama Allah (ucapkanlah ‘bismillah’) lalu makanlah.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 56-57)
Pekerjaan yang Haram Pertama: Karena mengandung ghoror (ketidakjelasan) Dari Abu Hurairah, ia berkata, artinya sebagai berikut ini ;
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidak jelasan)” (HR. Muslim no. 1513).
Berbagai bentuk ghoror:
a. Ghoror dalam akad, Misalnya tunai dengan harga sekian dan kredit dengan harga lebih mahal dan tidak ada kejelasan manakah akad yang dipilih. Dari Abu Hurairah, ia berkata, yang artinya sebagai berikut ini ;
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua bentuk transaksi dalam satu akad” (HR. An Nasai). Sedangkan jika sudah ada kejelasan, misalnya membeli secara kredit –walau harganya lebih tinggi dari harga tunai-, maka tidak termasuk dalam larangan hadits di atas. Karena saat ini sudah jelas transaksi yang dipilih dan tidak ada lagi dua bentuk transaksi dalam satu akad. Sehingga dalil di atas bukanlah dalil untuk melarang jual beli kredit. Jual beli secara kredit itu boleh selama tidak ada riba di dalamnya.
b. Ghoror dalam barang yang dijual
Ghoror dalam barang bisa jadi pada jenis, sifat, ukuran, atau pada waktu penyerahan. Ghoror bisa terjadi pula karena barang tersebut tidak bisa diserahterimakan, menjual sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dilihat.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari munabadzah, yaitu seseorang melempar pakaiannya kepada yang lain dan itulah yang dibeli tanpa dibolak-balik terlebih dahulu atau tanpa dilihat keadaan pakaiannya. Begitu pula beliau melarang dari mulamasah, yaitu pakaian yang disentuh itulah yang dibeli tanpa melihat keadaaannya” (HR. Bukhari no. 2144). Jual beli ini terdapat jahalah (ketidakjelasan) dari barang yang dijual dan terdapat unsur qimar (spekulasi tinggi) dan keadaan barang tidak jelas manakah yang dibeli.
c. Ghoror dalam bayaran (uang)
Ghoror dalam masalah bayaran boleh jadi terjadi pada jumlah bayaran yang akan diperoleh, atau pada waktu penerimaan bayaran, bisa jadi pula dalam bentuk bayaran yang tidak jelas.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang disebut dengan “habalul habalah”. Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat jahiliyah. “Habalul habalah” adalah transaksi jual beli yang bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir” (HR. Bukhari)). Cucu dari unta tersebut tidak jelas diperoleh kapankah waktunya. Pembayarannya baru akan diberi setelah cucu unta tadi muncul dan tidak jelas waktunya. Bisa jadi pula unta tersebut tidak memiliki cucu.
Kedua: Karena mengandung riba
Riba ada tiga macam:
a. Riba fadhel, yaitu riba yang terjadi pada barang yang sejenis karena adanya tambahan.
Contoh: Menukar emas 24 karat dengan emas 18 karat dengan salah satu dilebihkan dalam hal timbangan. Atau menukar uang Rp 10 ribu dengan pecahan seribu rupiah namun hanya 9 lembar.
b. Riba nasi-ah, yaitu riba yang terjadi pada barang yang sejenis atau beda jenis namun masih dalam satu sebab (‘illah) dan terdapat tambahan dalam takaran atau timbangan dikarenakan waktu penyerahan yan tertunda. Contoh: Membeli emas yaitu menukar uang dengan emas, namun uangnya tertunda, alias dibeli secara kredit atau utang.
c. Riba qordh, yaitu riba dalam utang piutangan dan disyaratkan adanya keuntungan atau timbal balik berupa pemanfaatan. Seperti, berutang namun dipersyaratkan dengan pemanfaatan rumah dari orang yang berutang.
Contoh: Si B meminjamkan uang sebesar Rp 1 juta pada si A, lalu disyaratkan mengembalikan Rp 1,2 juta rupiah, atau disyaratkan selama peminjaman, rumah si A digunakan oleh si B (pemberi utang). Hal ini berlaku riba qordh karena para ulama sepakat, “Setiap utang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba”.
Contoh jual beli yang mengandung riba: Jual beli kredit lewat pihak ketiga (leasing) Jual beli secara kredit asalnya boleh selama tidak melakukan hal yang terlarang. Namun perlu diperhatikan bahwa kebolehan jual beli kredit harus melihat beberapa kriteria. Jika tidak diperhatikan, seseorang bisa terjatuh dalam jurang riba.
Kriteria pertama, barang yang dikreditkan sudah menjadi milik penjual (bank). Kita contohkan kredit mobil. Dalam kondisi semacam ini, si pembeli boleh membeli mobil tadi secara kredit dengan harga yang sudah ditentukan tanpa adanya denda jika mengalami keterlambatan. Antara pembeli dan penjual bersepakat kapan melakukan pembayaran, apakah setiap bulan atau semacam itu. Dalam hal ini ada angsuran di muka dan sisanya dibayarkan di belakang.
Kriteria kedua, barang tersebut bukan menjadi milik si penjual (bank), namun menjadi milik pihak ketiga. Si pembeli meminta bank untuk membelikan barang tersebut. Lalu si pembeli melakukan kesepakatan dengan pihak bank bahwa ia akan membeli barang tersebut dari bank. Namun dengan syarat, kepemilikan barang sudah berada pada bank, bukan lagi pada pihak ketiga. Sehingga yang menjamin kerusakan dan lainnya adalah bank, bukan lagi pihak ketiga. Pada saat ini, si pembeli boleh melakukan membeli barang tersebut dari bank dengan kesepakatan harga. Namun sekali lagi, jual beli bentuk ini harus memenuhi dua syarat: (1) harganya jelas di antara kedua pihak, walau ada tambahan dari harga beli bank dari pihak ketiga, (2) tidak ada denda jika ada keterlambatan angsuran. (Faedah dari islamweb.net)
Jika salah satu dari dua syarat di atas tidak bisa dipenuhi, maka akan terjerumus pada pelanggaran. Pertama, boleh jadi membeli sesuatu yang belum diserahterimakan secara sempurna, artinya belum menjadi milik bank, namun sudah dijual pada pembeli. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya sebagai berikut ini ;
“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari).
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim).
Atau bisa jadi terjerumus dalam riba karena bentuknya sama dengan mengutangkan mobil pada pembeli, lalu mengeruk keuntungan dari utang. Padahal para ulama berijma’ (bersepakat) akan haramnnya keuntungan bersyarat yang diambil dari utang piutang.
3. Mengandung dhoror (bahaya) dan pengelabuan (tindak penipuan)
Contohnya adalah menimbun barang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa” (HR. Muslim ).
Imam Nawawi berkata, “Hikmah terlarangnya menimbun barang karena dapat menimbulkan mudhorot bagi khalayak ramai.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 43). Artinya di sini jika menimbun barang tidak menyulitkan orang lain maka tidak ada masalah. Seperti misalnya kita membeli hasil panen di saat harga murah. Lalu kita simpan kemudian kita menjualnya lagi beberapa bulan berikutnya ketika harga menarik, maka seperti ini tidak ada masalah karena jual beli memang wajar seperti itu. Jadi, larangan memonopoli atau yang disebut ihtikar, maksudnya ialah membeli barang dengan tujuan untuk mempengaruhi pergerakan pasar. Dengan demikian ia membeli barang dalam jumlah besar, sehingga mengakibatkan stok barang di pasaran menipis atau langka. Akibatnya masyarakat terpaksa memperebutkan barang tersebut dengan cara menaikkan penawaran atau terpaksa membeli dengan harga tersebut karena butuh.
Contoh jual beli yang mengandung pengelabuan atau penipuan disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata, yang artinya sebagai berikut ini ;
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim no. 102). Jika dikatakan tidak termasuk golongan kami, maka itu menunjukkan perbuatan tersebut termasuk dosa besar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya sebagai berikut ini ;
“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban).
4. Terlarang karena sebab lain
a. Jual beli saat shalat jum’at, artinya sbb ini ;
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10). Perintah meninggalkan jual beli dalam ayat ini menunjukkan terlarangnya jual beli setelah dikumandangkannya azan Jum’at, yaitu azan kedua.
b. Jual beli di lingkungan masjid
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya sbb ini ;
“Bila engkau mendapatkan orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya: ‘Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu.’ Dan bila engkau menyaksikan orang yang mengumumkan kehilangan barang di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah Swt tidak mengembalikan barangmu yang hilang.’” (HR. Tirmidzi,).
Termasuk juga terlarang adalah berjualan di lingkungan masjid yang masih masuk dalam pagar masjid. Hal ini karena para ulama telah menggariskan satu kaidah yang menyatakan, yang artinya sbb ini ;
“Sekelilingnya sesuatu memliki hukum yang sama dengan hukum yang berlaku pada sesuatu tersebut.” (Al Asybah).
c. Jual beli barang yang nanti digunakan untuk tujuan haram
Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya (yakni Buraidah), beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya sbb ini ;
“Siapa saja yang menahan anggur ketika panen hingga menjualnya pada orang yang ingin mengolah anggur tersebut menjadi khomr, maka dia berhak masuk neraka di atas pandangannya” (HR. Thobroni dalam Al Awsath. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Harta yang Bercampur Halal dan Haram, Dalam hadits Abu Hurairah disebutkan bahwa kita diperintahkan untuk mengonsumsi dan menggunakan harta yang halal. Itulah yang Allah terima. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya sebagai berikut ini ;
“Sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah Swt tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (halal).” (HR. Muslim no. 1015)
Mengenai hukum menggunakan harta yang bercampur antara halal dan haram sudah dikemukakan jawabannya oleh Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berikut ini.
1. Jika yang bercampur kebanyakannya itu haram
Untuk harta yang bercampur antara halal dan haram jika yang haram lebih banyak, Imam Ahmad berpendapat bahwa sudah sepantasnya harta tersebut dijauhi kecuali sesuatu yang sedikit atau sesuatu yang sulit dikenali.
Namun para ulama Hambali berselisih pendapat, apakah menggunakannya dihukumi haram ataukah makruh. Ada dua pendapat dalam masalah ini.
2. Jika yang bercampur kebanyakannya itu halal
Untuk harta yang kebanyakannya itu halal, maka boleh digunakan dan boleh makan dari harta semacam itu. Ada riwayat dari Al Harits dari ‘Ali yang mendukung hal ini. Alasan masih dibolehkannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu dan para sahabat biasa bermuamalah dengan orang musyrik dan ahli kitab. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tahu kalau mereka tidak menjauhi yang haram seluruhnya.
3. Jika samar bagian antara harta halal dan haram.
Jika sama bagian yang halal dan haram, maka itu jadi syubhat. Untuk wara’ atau kehati-hatian lebih baik ditinggalkan. Sufyan berkata, “Aku tidak kagum dengan harta semacam itu. Yang kukagumi adalah meninggalkan harta semacam itu.”
Imam Ahmad punya pendapat untuk harta semacam ini, beliau mengatakan, “Jika harta yang haram itu banyak, harta tersebut dikeluarkan sesuai kadarnya dan sisanya boleh dimanfaatkan. Adapun jika harta tersebut sedikit, maka dijauhi seluruhnya. Karena kalau yang sedikit ini dihindari akan selamat dari yang haram, beda jika harta tersebut banyak.”
Sebagian ulama Hambali menganggap sikap Imam Ahmad di atas adalah dalam rangka untuk wara’ atau bersikap hati-hati terhadap yang haram. Tetap saja masih boleh memanfaatkan sisa harta yang halal baik harta tersebut jumlahnya banyak atau sedikit setelah bagian yang haram itu dikeluarkan. Namun jika suatu harta jelas diketahui sisi haramnya, yang haram tersebut jelas tidak boleh dimanfaatkan.
Bagini Doa Nabi Muhammad Tatkala Dosa Kepada Orang Lain Tidak Termaafkan, Ternyata tidak mudah menyampaikan maaf kepada orang yang telah kita sakiti. Apalagi jika kesalahan tersebut sebelumnya tidak diketahui orang yang kita sakiti, biasanya dalam bentuk fitnah. Kalau kita datang minta maaf, mungkin bukannya maaf yang kita terima tetapi justru kemarahan dan putus hubungan. Tapi bila kita meminta ampunan kepada Allah atas segala kesalahan seseorang kepada orang lain, Allah tidak akan mengampuni jika yang bersangkutan belum meminta maaf kepada orang yang kita sakiti. Di titik ini, keseimbangan hidup di bumi perlu diperhatikan ketika ingin memperoleh kebaikan di langit.
Prof Dr Muhammad Quraish Shihab dalam karyanya Membumikan Al-Qur’an mengungkapkan doa yang dibaca Nabi Muhammad SAW saat menghadapi situasi di atas: Rasulullah SAW mengajarkan doa: “Ya Allah, sesungguhnya aku memiliki dosa kepada-Mu dan dosa yang kulakukan kepada makhluk-Mu. Aku bermohon Ya Allah, agar Engkau mengampuni dosa yang kulakukan kepada-Mu serta mengambil alih dan menanggung dosa yang kulakukan kepada makhluk-Mu.”
Dalam doa Nabi tersebut tersirat bahwa diharapkan dosa-dosa yang dilakukan terhadap orang lain yang telah dimohonkan maaf kepada yang bersangkutan akan diambil alih oleh Allah SWT walaupun yang bersangkutan tidak memaafkannya. Pengambilalihan tersebut antara lain dengan jalan Allah memberikan kepada yang bersangkutan ‘ganti rugi’ berupa imbalan kebaikan dan pengampunan dosa-dosanya. Tentu hal ini kembali kepada Allah, Sang Maha Pengampun segala dosa.