This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Rabu, 13 Juli 2022

Iman Kepada Takdir Baik dan Buruk

Iman Kepada Takdir Baik dan Buruk

Iman Kepada Takdir Baik dan Buruk, Cara Terbaik Menerima Takdir, Meskipun Sebenarnya Menyakitkan. Banyak orang mengenal rukun iman tanpa mengetahui makna dan hikmah yang terkandung dalam keenam rukun iman tersebut. Salah satunya adalah iman kepada takdir. Tidak semua orang yang mengenal iman kepada takdir, mengetahui hikmah dibalik beriman kepada takdir dan bagaimana mengimani takdir. Berikut sedikit ulasan mengenai iman kepada takdir Allah Swt yang baik dan yang buruk.

Takdir (qadar) adalah perkara yang telah diketahui dan ditentukan oleh Allah  Swt dan telah dituliskan oleh al-qalam (pena) dari segala sesuatu yang akan terjadi hingga akhir zaman. (Terj. Al Wajiiz fii ‘Aqidatis Salafish Shalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 95)

Allah Swt telah menentukan segala perkara untuk makhluk-Nya sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu (azali) dan ditentukan oleh hikmah-Nya. Tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan atas kehendak-Nya dan tidak ada sesuatupun yang keluar dari kehendak-Nya. Maka, semua yang terjadi dalam kehidupan seorang hamba adalah berasal dari ilmu, kekuasaan dan kehendak Allah, namun tidak terlepas dari kehendak dan usaha hamba-Nya.

Allah Ta’ala berfirman, yang artinya “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Qs. Al-Qamar: 49)

“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Qs. Al-Furqan: 2)

“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Qs. Al-Hijr: 21)

Mengimani takdir baik dan takdir buruk, merupakan salah satu rukun iman dan prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tidak akan sempurna keimanan seseorang sehingga dia beriman kepada takdir, yaitu dia mengikrarkan dan meyakini dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu berlaku atas ketentuan (qadha’) dan takdir (qadar) Allah Swt.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya sebagai berikut ini ;

“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada qadar baik dan buruknya dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya.” (Shahih, riwayat Tirmidzi).

Jibril ‘alaihis salam pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai iman, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, sebagai berikut ini ;

“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir serta qadha’ dan qadar, yang baik maupun yang buruk.” (Shahih, riwayat Muslim).

Dan Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma juga pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya sebagai berikut ini ; “Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai-sampai kelemahan dan kepintaran.” (Shahih, riwayat Muslim).

Tingkatan Takdir

Beriman kepada takdir tidak akan sempurna kecuali dengan empat perkara yang disebut tingkatan takdir atau rukun-rukun takdir. Keempat perkara ini adalah pengantar untuk memahami masalah takdir. Barang siapa yang mengaku beriman kepada takdir, maka dia harus merealisasikan semua rukun-rukunnya, karena yang sebagian akan bertalian dengan sebagian yang lain. Barang siapa yang mengakui semuanya, baik dengan lisan, keyakinan dan amal perbuatan, maka keimanannya kepada takdir telah sempurna. Namun, barang siapa yang mengurangi salah satunya atau lebih, maka keimanannya kepada takdir telah rusak.

Tingkatan Pertama: al-‘Ilmu (Ilmu)

Yaitu, beriman bahwa Allah Swt mengetahui dengan ilmu-Nya yang azali mengenai apa-apa yang telah terjadi, yang akan terjadi, dan apa yang tidak terjadi, baik secara global maupun terperinci, di seluruh penjuru langit dan bumi serta di antara keduanya. Allah Swt Maha Mengetahui semua yang diperbuat makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan, mengetahui rizki, ajal, amal, gerak, dan diam mereka, serta mengetahui siapa di antara mereka yang sengsara dan bahagia.

Allah Swt telah berfirman, yang artinya sebagai berikut ini ;

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Qs. Al-Hajj: 70)..

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua perkara yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia Maha Mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak juga sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan telah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Al-An’aam: 59)

“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (Qs. At-Taubah: 115)

Tingkatan Kedua: al-Kitaabah (Penulisan) Yaitu, mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menuliskan apa yang telah diketahui-Nya berupa ketentuan-ketentuan seluruh makhluk hidup di dalam al-Lauhul Mahfuzh. Suatu kitab yang tidak meninggalkan sedikit pun di dalamnya, semua yang terjadi, apa yang akan terjadi, dan segala yang telah terjadi hingga hari Kiamat, ditulis di sisi Allah Ta’ala dalam Ummul Kitab.

Allah Swt berfirman, artinya sebegai berikut ini ;

“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Yaasiin: 12)

“Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (Qs. Al-Hadiid: 22)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya sbb ini ;

“Allah Swt telah menulis seluruh takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Allah Swt menciptakan langit dan bumi.” (Shahih, riwayat Muslim)

Dalam sabdanya yang lain,artinya ;

“Yang pertama kali Allah ciptakan adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman, ‘Tulislah!’ Ia bertanya, ‘Wahai Rabb-ku apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya Kiamat.'”(Shahih, riwayat Abu Dawud (no. 4700), dalam Shahiih Abu Dawud (no. 3933), Tirmidzi (no. 2155, 3319), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 102), al-Ajurry dalam ­asy-Syari’ah (no.180), Ahmad (V/317), dari Shahabat ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu)

Oleh karena itu, apa yang telah ditakdirkan menimpa manusia tidak akan meleset darinya, dan apa yang ditakdirkan tidak akan mengenainya, maka tidak akan mengenainya, sekalipun seluruh manusia dan golongan jin mencoba mencelakainya.

Tingkatan Ketiga: al-Iraadah dan Al Masyii-ah (Keinginan dan Kehendak)

Yaitu, bahwa segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi adalah sesuai dengan keinginan dan kehendak (iraadah dan masyii-ah) Allah yang berputar di antara rahmat dan hikmah. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya, dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Dia tidak boleh ditanya mengenai apa yang diperbuat-Nya karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya, tetapi kita, sebagai makhluk-Nya yang akan ditanya tentang apa yang terjadi pada kita, sesuai dengan firman-Nya, yang artinya sbb ; “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (Qs. Al-Anbiyaa’: 23)

Kehendak Allah Swt itu pasti terlaksana, juga kekuasaan-Nya sempurna meliputi segala sesuatu. Apa yang Allah Swt kehendaki pasti akan terjadi, meskipun manusia berupaya untuk menghindarinya, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, maka tidak akan terjadi, meskipun seluruh makhluk berupaya untuk mewujudkannya..

Allah Swt berfirman, Qs. Al-An’aam: 125 artinya sbb ;

“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.” (Qs. Al-An’aam: 125).

“Dan kamu tidak dapat menhendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (Qs. At-Takwir: 29)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, yang artinya sbb ini ;

“Sesungguhnya hati-hati manusia seluruhnya di antara dua jari dari jari jemari Ar-Rahmaan seperti satu hati; Dia memalingkannya kemana saja yang dikehendaki-Nya.” (Shahih, riwayat Muslim).

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Para Imam Salaf dari kalangan umat Islam telah ijma’ (sepakat) bahwa wajib beriman kepada qadha’ dan qadar Allah yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit, yang sedikit maupun yang banyak. Tidak ada sesuatu pun terjadi kecuali atas kehendak Allah dan tidak terwujud segala kebaikan dan keburukan kecuali atas kehendak-Nya. Dia menciptakan siapa saja dalam keadaan sejahtera (baca: menjadi penghuni surga) dan ini merupakan anugrah yang Allah berikan kepadanya dan menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki dalam keadaan sengsara (baca: menjadi penghuni neraka). Ini merupakan keadilan dari-Nya serta hak absolut-Nya dan ini merupakan ilmu yang disembunyikan-Nya dari seluruh makhluk-Nya.” (al-Iqtishaad fil I’tiqaad)

Tingkatan Keempat: al-Khalq (Penciptaan)

Yaitu, bahwa Allah Swt adalah Pencipta (Khaliq) segala sesuatu yang tidak ada pencipta selain-Nya, dan tidak ada rabb selain-Nya, dan segala sesuatu selain Allah adalah makhluk. Sebagaimana firman Allah Swt, “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Qs. Az-Zumar: 62)

Meskipun Allah Swt telah menentukan takdir atas seluruh hamba-Nya, bukan berarti bahwa hamba-Nya dibolehkan untuk meninggalkan usaha. Karena Allah telah memberikan qudrah (kemampuan) dan masyii-ah (keinginan) kepada hamba-hamba-Nya untuk mengusahakan takdirnya. Allah juga memberikan akal kepada manusia, sebagai tanda kesempurnaan manusia dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain, agar manusia dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Allah tidak menghisab hamba-Nya kecuali terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukannya dengan kehendak dan usahanya sendiri. Manusialah yang benar-benar melakukan suatu amal perbuatan, yang baik dan yang buruk tanpa paksaan, sedangkan Allah-lah yang menciptakan perbuatan tersebut. Hal ini berdasarkan firman-Nya, sebagai beriku tini ;

“Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Qs. Ash-Shaaffaat: 96)

Dan Allah Swt juga berfirman, yang artinya, “Allah Swt tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)

Hikmah Beriman Kepada Takdir

Beriman kepada takdir akan mengantarkan kita kepada sebuah hikmah penciptaan yang mendalam, yaitu bahwasanya segala sesuatu telah ditentukan. Sesuatu tidak akan menimpa kita kecuali telah Allah tentukan kejadiannya, demikian pula sebaliknya. Apabila kita telah faham dengan hikmah penciptaan ini, maka kita akan mengetahui dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu yang datang dalam kehidupan kita tidak lain merupakan ketentuan Allah atas diri kita. Sehingga ketika musibah datang menerpa perjalanan hidup kita, kita akan lebih bijak dalam memandang dan menyikapinya. Demikian pula ketika kita mendapat giliran memperoleh kebahagiaan, kita tidak akan lupa untuk mensyukuri nikmat Allah yang tiada henti.

Manusia memiliki keinginan dan kehendak, tetapi keinginan dan kehendaknya mengikuti keinginan dan kehendak Rabbnya. Golongan Ahlus Sunnah menetapkan dan meyakini bahwa segala yang telah ditentukan, ditetapkan dan diperbuat oleh Allah memiliki hikmah dan segala usaha yang dilakukan manusia akan membawa hasil atas kehendak Allah.

Ingatlah saudariku, tidak setiap hal akan berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan, maka hendaklah kita menyerahkan semuanya dan beriman kepada apa yang telah Allah tentukan. Jangan sampai hati kita menjadi goncang karena sedikit ‘sentilan’, sehingga muncullah bisikan-bisikan dan pikiran-pikiran yang akan mengurangi nikmat iman kita. Dengarlah sabda Nabi kita SAW, yang artinya sbb ini ;

“Berusahalah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan Allah Swt dan janganlah sampai kamu lemah (semangat). Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau berkata ‘seandainya aku melakukan ini dan itu, niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi katakanlah ‘Qodarullah wa maa-syaa-a fa’ala (Allah Swt telah mentakdirkan segalanya dan apa yang dikehendaki-Nya pasti dilakukan-Nya).’ Karena sesungguhnya (kata) ‘seandainya’ itu akan mengawali perbuatan syaithan.” (Shahih, riwayat Muslim)

Tidak ada seorang pun yang dapat bertindak untuk merubah apa yang telah Allah tetapkan untuknya. Maka tidak ada seorang pun juga yang dapat mengurangi sesuatu dari ketentuan-Nya, juga tidak bisa menambahnya, untuk selamanya. Ini adalah perkara yang telah ditetapkan-Nya dan telah selesai penentuannya. Pena telah terangkat dan lembaran telah kering.

Berdalih dengan takdir diperbolehkan ketika mendapati musibah dan cobaan, namun jangan sekali-kali berdalih dengan takdir dalam hal perbuatan dosa dan kesalahan. Setiap manusia tidak boleh memasrahkan diri kepada takdir tanpa melakukan usaha apa pun, karena hal ini akan menyelisihi sunnatullah. Oleh karena itu berusahalah semampunya, kemudian bertawakkallah. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, ayng artinya ;

“Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Anfaal: 61)

“Barang siapa bertawakkal kepada Allah Swt, niscaya Allah Swt akan mencukupi (keperluan)nya.” (Qs. Ath-Thalaq: 3)

Dan jika kita mendapatkan musibah atau cobaan, janganlah berputus asa dari rahmat Allah dan janganlah bersungut-sungut, tetapi bersabarlah. Karena sabar adalah perisai seorang mukmin yang dia bersaudara kandung dengan kemenangan. Ingatlah bahwa musibah atau cobaan yang menimpa kita hanyalah musibah kecil, karena musibah dan cobaan terbesar adalah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam sabdanya,

“Jika salah seorang diantara kalian tertimpa musibah, maka ingatlah musibah yang menimpaku, sungguh ia merupakan musibah yang paling besar.” (Shahih li ghairih)

Apabila hati kita telah yakin dengan setiap ketentuan Allah, maka segala urusan akan menjadi lebih ringan, dan tidak akan ada kegundahan maupun kegelisahan yang muncul dalam diri kita, sehingga kita akan lebih semangat lagi dalam melakukan segala urusan tanpa merasa khawatir mengenai apa yang akan terjadi kemudian. Karena kita akan menggenggam tawakkal sebagai perbekalan ketika menjalani urusan dan kita akan menghunus kesabaran kala ujian datang menghadang.

Terkait dengan takdir baik dan takdir buruk, satu waktu Nabi SAW ditanya oleh Jibril mengenai rukun iman yang enam. Dengan penuh keyakinan, Nabi SAW menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir serta qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk” (HR. Muslim).

Bagi Syaikh Nawawi Banten qadha adalah kehendak Allah SWT sejak masa azali. Qadha berkaitan dengan keputusan Allah SWT yang berlaku bagi makhluk-Nya. Sementara Qadar adalah penciptaan Allah SWT terhadap segala sesuatu berdasarkan ketentuan yang sesuai dengan ilmu-Nya. Jadi Qadha itu fondasi, qadar itu bangunan.

Lebih jauh, qadha itu alat untuk menakar, sedangkan qadar itu sama dengan benda yang ditakar. Ibarat lain, qadha itu sama dengan bahan yang digunakan untuk dijadikan pakaian, sementara qadar itu adalah pakaian itu sendiri yang dikenakan. Bisa juga, qadha itu ide gambar seorang pelukis dalam imajinasinya, sedangkan qadar itu gambarnya.

Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam al-Tsimar al-Yani’ah beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk adalah wajib. Maksudnya seorang muslim wajib beriman bahwa takdir telah ditentukan oleh Allah SWT sejak masa azali. Masa azali adalah masa dimana ruang dan waktu serta seluruh makhluk belum diciptakan oleh Allah SWT.

Dengan kata lain, lanjut Syaikh Nawawi Banten, apa saja yang tidak ditadirkan oleh Allah SWT, maka kejadiannya itu mustahil. Oleh karena itu, penting dipahami tiga bagian mengenai ilmu tauhid. Pertama, ilahiyyat atau ilmu tentang ketuhanan. Kedua, nabawiyyat atau kenabian. Ketiga, sam’iyyat atau berita yang didengar dari rasul.

Allah SWT menegaskan, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (QS. al-Qamar/54: 49). Ayat ini, menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir, maksudnya Allah SWT telah menentukan apa saja sejak dahulu. Selain itu, segala sesuatu yang terjadi pada waktunya diketahui Allah SWT secara gamblang.

Dalam Qathrul Ghaits, Syaikh Nawawi Banten menyatakan bahwa segala sesuatu baik yang kecil maupun yang besar tak lepas dari takdir, ketentuan, kepastian, ukuran yang tepat, bagian yang ditentukan, keakuratan dan ketepatan. Allah SWT berfirman, “Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis” (QS. al-Qamar/54: 53).

Lebih jauh pada apa saja yang dimiliki oleh manusia, seperti kelemahan atau kekuatan, kebodohan atau kepintaran sejatinya telah ditentukan oleh Allah SWT secara tepat dan akurat. Inilah pesan Nabi SAW, “Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai-sampai kelemahan dan kepintaran” (HR. Muslim). Namun manusia wajib berusaha untuk merubah keadaannya. Orang yang bodoh lalu rajin belajar, maka tadirnya dia akan jadi pintar.

Dalam ayat lain, kembali Allah SWT tegaskan, “Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (QS. al-Furqan/25: 2). Artinya, menurut pengarang Tafsir Jalalain, segala sesuatu itu hanya Allah SWT saja yang mampu menciptakannya dan menetapkannya secara tepat dan sempurna.

Secara lebih terang, kedua ayat di atas diulas oleh Nabi SAW, “Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada takdir baik dan buruk dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya” (HR. Turmudzi)


Referensi sebagai beikut ini ;






Orang-Orang Miskin dalam Doa Rasulullah SAW


Orang-Orang Miskin dalam Doa Rasulullah SAW, Allah SWT adalah Zat Yang Maha Sempurna dan Maha Adil. Di antara semua sifat-Nya, Allah SWT melebihkan sebagian hamba dari yang lain. Salah satunya dalam hal rezeki. Ada yang diberi kaya dan miskin.

Dalam QS az-Zukhruf ayat 32, Allah SWT berfirman, "Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka peng hidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat mem pergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan."

Ustaz Ali Hasan Bawazier dalam kajiannya menyebut pembagian hamba yang kaya dan miskin sesuai dengan ketetapan yang diberikan oleh Allah SWT. Dari semua ketetapan yang telah diberikan dan apa-apa yang terjadi di dunia ini adalah bentuk-bentuk dari ujian. Allah SWT memberikan ujian kepada hamba-Nya, salah satunya dengan bentuk harta yang mereka miliki.

QS al-Anbiya ayat 35 menjelaskan lebih dalam tentang ujian yang diberikan Allah SWT. Dalam surah tersebut, Allah berfirman, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan."

"Allah menguji hamba-hamba-Nya dengan keburukan dan kebaikan. Ada yang susah, ada yang lapang, ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang diberikan petunjuk, dan ada yang diberikan kesesatan. Semua ini bentuk ujian Allah SWT kepada seseorang," ujar Ustaz Ali Hasan.

Ia mengingatkan, jika seorang hamba diberikan kelebihan, bukan berarti bentuk cinta dan kasih sayang. Kelebihan yang ia miliki tidak serta-merta menun juk kan jika Allah SWT lebih sayang kepada dirinya dibandingkan makhluk yang lain. Hal tersebut adalah ujian yang harus dilalui. Orang yang diberikan kelebihan dalam hal harta, jabatan, serta kekuasaan, hendaknya lebih berhati-hati dan memperbanyak mengingat Allah SWT.

Manusia cenderung memiliki sifat lupa daratan atau lupa pada Tuhannya ketika mendapatkan kelebihan dan berujung berbuat zalim. Dalam QS asy-Syura ayat 27, Allah telah mengingatkan perihal tersebut, "Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukur n. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat."

Ustaz Ali Hasan menjelaskan, ada seseorang mendapatkan harta diperlukan usaha dan kerja keras. Begitu mendapatkannya, ia akan bersusah payah untuk menjaga kekayaan yang dimiliki. Hidupnya pun akan berputar dalam urusan harta dan melalaikan urusan dengan Allah SWT. Maka itu, Allah SWT memberikan batas atas rezeki yang dimiliki oleh hamba-Nya sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.

Ia pun memberikan sebuah ilustrasi kepada peserta kajian, di mana ketika diberi pilihan untuk diuji dengan kekayaan atau dengan kemiskinan, pasti 90 persen memilih untuk diuji kaya. Padahal, harusnya seorang hamba dalam menentukan pilihan melihat terlebih dulu, golongan mana yang lebih sering lulus ujian di mata Allah SWT.

"Antara orang kaya yang pandai bersyukur dengan orang kaya yang kufur nikmat, mana yang lebih banyak? Antara orang miskin yang sabar dan terus berusaha dengan orang miskin yang tidak sabar, mana yang lebih banyak?" ujar dia.


Allah SWT menginginkan kemudahan bagi umat-umat-Nya, termasuk untuk urusan masuk surga. Dari Abdullah bin 'Amr, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Sesungguhnya kaum fakir dari kalangan muhajirin mendahului orangorang yang kaya menuju surga pada hari kiamat dengan jarak selama 40 tahun." Kaum fakir dari kalangan muhajirin merupakan mereka yang hidup pada zaman Rasul dan rela meninggalkan harta serta keluarga mereka demi Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.

Ustaz Ali Hasan pun menceritakan tentang kisah sahabat Nabi, Mush'ab bin Umair. Ia adalah sahabat Nabi yang meninggal syahid pada awal-awal masa jihad serta meninggal dalam keadaan fakir. Rasulullah bersama sahabat yang lain hanya bisa menangis saat Mush'ab meninggal karena jasadnya yang tidak bisa ditutup oleh satu kain burdah miliknya. Andai kain itu ditaruh di atas ke palanya, terbukalah kedua belah kakinya, begitu pula sebaliknya. Karena hal tersebut, Nabi pun bersabda, "Kaum fakir dari golongan muhajirin masuk surga terlebih dahulu sebelum kaum kaya dari kalangan mereka dengan jarak selama 500 tahun."

Keutamaan orang-orang miskin dalam Islam telah banyak disebutkan dalam hadis dan Alquran. Bahkan, Nabi Muhammad berdoa agar ia dapat dikumpulkan dengan orang-orang miskin. Da lam hadis sahih disebutkan bahwa Nabi pernah berdoa, "Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang miskin."

Apa gunanya terlihat kaya di hadapan orang lain tetapi saat meninggal menyisakan urusan utang? Hiduplah dengan qanaah, cukup dengan apa yang diberikan oleh Allah SWT. 


Referensi sebagai berikut ini ;






Rasa malu dan iman seorang muslim


Rasa malu dan iman seorang muslim, Malu adalah sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan yang rendah atau kurang sopan. Islam memerintahkan pemeluknya memiliki sifat malu karena dapat meningkatkan akhlak seseorang menjadi tinggi. Orang yang tidak memiliki sifat malu, akhlaknya akan rendah dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsu.

Sifat malu merupakan ciri khas akhlak orang beriman. Orang yang memiliki sifat ini apabila melakukan kesalahan atau yang tidak patut bagi dirinya akan menunjukkan penyesalan. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki malu merasa biasa saja ketika melakukan kesalahan dan dosa meskipun banyak orang mengetahuinya.

Islam menempatkan malu sebagai bagian dari iman. Orang beriman pasti memiliki sifat malu. Orang yang tidak memiliki malu berarti tidak ada iman dalam dirinya meskipun lidahnya menyatakan beriman. Rasulullah SAW bersabda, ''Iman itu lebih dari 70 atau 60 cabang, cabang iman tertinggi adalah mengucapkan 'La ilaha illallah', dan cabang iman terendah adalah membuang gangguan (duri) dari jalan, dan rasa malu merupakan cabang dari iman.'' (HR Bukhari-Muslim).

Sifat malu perlu ditampilkan seseorang dalam semua aktivitas kehidupan. Melaluinya, seseorang dapat menahan diri dari perbuatan tercela, hina, dan keji. Melalui sifat malu, seseorang akan berusaha mencari harta yang halal dan akan menyesal kalau ketinggalan melakukan kebaikan.

Apabila seseorang hilang malunya, secara bertahap perilakunya akan buruk, kemudian menurun kepada yang lebih buruk, dan terus meluncur ke bawah dari yang hina kepada lebih hina sampai ke derajat paling rendah. Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya Allah apabila hendak membinasakan seseorang, Dia mencabut rasa malu dari orang itu.

Apabila rasa malunya sudah dicabut, kamu tidak menjumpainya kecuali dibenci. Apabila tidak menjumpainya kecuali dibenci, dicabutlah darinya sifat amanah. Apabila sifat amanah sudah dicabut darinya maka tidak akan didapati dirinya kecuali sebagai pengkhianat dan dikhianati. Kalau sudah jadi pengkhianat dan dikhianati, dicabutlah darinya rahmat. Kalau rahmat sudah dicabut darinya, tidak akan kamu dapati kecuali terkutuk yang mengutuk. Apabila terkutuk yang mengutuk sudah dicabut darinya, maka akhirnya dicabutlah ikatan keislamannya.'' (HR Ibn Majah).

Tiga Macam Rasa Malu

Ada tiga macam malu yang perlu melekat pada seseorang. Pertama, malu kepada diri sendiri ketika sedikit melakukan amal saleh kepada Allah dan kebaikan untuk umat dibandingkan orang lain. Malu ini mendorongnya meningkatkan kuantitas amal saleh dan pengabdian kepada Allah dan umat.

Kedua, malu kepada manusia. Ini penting karena dapat mengendalikan diri agar tidak melanggar ajaran agama, meskipun yang bersangkutan tidak memperoleh pahala sempurna lantaran malunya bukan karena Allah. Namun, malu seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya dari Allah karena ia terpelihara dari perbuatan dosa.

Ketiga, malu kepada Allah. Ini malu yang terbaik dan dapat membawa kebahagiaan hidup. Orang yang malu kepada Allah, tidak akan berani melakukan kesalahan dan meninggalkan kewajiban selama meyakini Allah selalu mengawasinya.

Mengingat sifat malu penting sebagai benteng memelihara akhlak seseorang dan sumber utama kebaikan, maka sifat ini perlu dimiliki dan dipelihara dengan baik. Sifat malu dapat memelihara iman seseorang tersebut.


Referensi sebagai berikut ini ;


Mengaku bersalah/bertaubat

Mengaku bersalah/Bertoubat

Rasulullah SAW tampak keheranan mendengar pengakuan tulus Ma’iz bin Malik. Sadarkah Ma’iz bahwa pengakuannya berakibat dijatuhi hukuman mati? Karena itu, Rasulullah bertanya, apakah orang ini sedang  mengalami gangguan kejiwaan. Ia tidak gila! jawab sahabat yang hadir. 

Rasulullah SAW masih juga meragukan ketulusannya. Beliaupun menyuruh salah seorang di antara yang hadir untuk mencium aroma tubuhnya. Jangan-jangan ada bau minuman keras, bisa diduga laki-laki ini sedang mabuk berat. Juga tak tercium sedikit pun bau minuman keras di tubuhnya.

Untuk lebih meyakinkan, Rasulullah SAW bertanya langsung kepadanya, apakah betul Anda berzina. Ya, jawab Ma’iz, seraya mendesak agar segera dibersihkan dirinya dari dosa zina, dia siap menjalani hukuman rajam.

Kasus serupa terjadi pada diri wanita Ghamidiyah asal lembah Juhainah. Di hadapan Rasulullah SAW ia mengaku hamil hasil zina, dan memohon agar dijatuhi hukuman rajam seperti terjadi pada Ma’iz. Rasulullah SAW menganjurkan agar ia segera bertaubat kepada Allah, sambil menunggu  lahir bayi yang di kandungnya.

Wanita itu kembali melaporkan diri setelah bayinya lahir, dan mendesak agar segera menjalani eksekusi. Rasulullah SAW masih juga menyuruhnya pulang dan memberinya kesempatan untuk menyusui sampai anaknya bisa disapih. Wanita malang ini datang kembali sambil menggendong anaknya, di tangannya ada sepotong roti sebagai tanda bahwa sang anak benar-benar sudah disapih.

Kesempatan ini mestinya dapat dimanfaatkan oleh Ghamidiyah untuk melarikan diri. Rasulullah pun tidak akan menyuruh para sahabat mencari wanita itu, atau memasukkannya dalam daftar buronan jika benar bahwa setelah anaknya disapih ternyata ia tidak melaporkan diri. Tampaknya Rasulullah SAW sangat memahami bahwa wanita ini sungguh-sungguh bertaubat dan tidak akan mengulangi perbuatannya.

Ma’iz dan Ghamidiyah adalah sosok dua anak manusia langka di zaman sekarang ini. Keduanya datang melaporkan diri, mengakui kesalahannya, lalu minta dihukum dengan hukuman paling  berat yang merenggut nyawa. Keduanya seperti tidak yakin bahwa taubatnya diterima oleh Allah, jika hanya dengan lantunan doa dan istighfar, tanpa menjalani hukuman rajam. Keduanya memilih hukuman di dunia walaupun teramat berat, daripada di akhirat nanti dihukum dengan hukuman yang lebih dahsyat.

Usai eksekusi para sahabat masih memperdebatkan, apakah taubatnya diterima oleh Allah atau tidak? Bahkan Umar bin Khattab mempertanyakan, apa layak menshalatkan jenazah orang yang berbuat dosa zina seperti ini? Sungguh Allah telah menerima taubatnya. Bila taubatnya dibagikan kepada seluruh umat ini, niscaya taubatnya masih tersisa, ujar Rasulullah SAW meyakinkan. (HR Muslim No 1695).

Perubahan drastis bisa terjadi pada diri seorang Muslim, manakala keyakinan akan adanya kehidupan di hari akhirat, meresap ke lubuk hati yang paling dalam.


Referensi sebagai berikut ini ; 







Membersihkan Harta Haram (2)

Membersihkan Harta Haram

Pembagian Harta Haram, Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, Harta haram ada dua macam: (1) haram karena sifat atau zatnya, (2) haram karena pekerjaan atau usahanya. Harta haram karena usaha seperti hasil kezholiman, transaksi riba dan maysir (judi). Harta haram karena sifat (zat) seperti bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih atas nama selain Allah Swt.

Harta haram karena usaha lebih keras pengharamannya dan kita diperintahkan untuk wara’ dalam menjauhinya. Oleh karenanya ulama salaf, mereka berusaha menghindarkan diri dari makanan dan pakaian yang mengandung syubhat yang tumbuh dari pekerjaan yang kotor.

Adapun harta jenis berikutnya diharamkan karena sifat yaitu khobits (kotor). Untuk harta jenis ini, Allah telah membolehkan bagi kita makanan ahli kitab padahal ada kemungkinan penyembelihan ahli kitab tidaklah syar’i atau boleh jadi disembelih atas nama selain Allah. Jika ternyata terbukti bahwa hewan yang disembelih dengan nama selain Allah, barulah terlarang hewan tersebut menurut pendapat terkuat di antara pendapat para ulama yang ada. Telah disebutkan dalam hadits yang shahih dari ‘Aisyah, yang artinya sebagai beriku ini ;

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai suatu kaum yang diberi daging namun tidak diketahui apakah hewan tersebut disebut nama Allah ketika disembelih ataukah tidak. Beliau pun bersabda, “Sebutlah nama Allah (ucapkanlah ‘bismillah’) lalu makanlah.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 56-57)

Pekerjaan yang Haram Pertama: Karena mengandung ghoror (ketidakjelasan) Dari Abu Hurairah, ia berkata, artinya sebagai berikut ini ;

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidak jelasan)” (HR. Muslim no. 1513).

Berbagai bentuk ghoror:

a. Ghoror dalam akad, Misalnya tunai dengan harga sekian dan kredit dengan harga lebih mahal dan tidak ada kejelasan manakah akad yang dipilih. Dari Abu Hurairah, ia berkata, yang artinya sebagai berikut ini ;

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua bentuk transaksi dalam satu akad” (HR. An Nasai). Sedangkan jika sudah ada kejelasan, misalnya membeli secara kredit –walau harganya lebih tinggi dari harga tunai-, maka tidak termasuk dalam larangan hadits di atas. Karena saat ini sudah jelas transaksi yang dipilih dan tidak ada lagi dua bentuk transaksi dalam satu akad. Sehingga dalil di atas bukanlah dalil untuk melarang jual beli kredit. Jual beli secara kredit itu boleh selama tidak ada riba di dalamnya.

b. Ghoror dalam barang yang dijual

Ghoror dalam barang bisa jadi pada jenis, sifat, ukuran, atau pada waktu penyerahan. Ghoror bisa terjadi pula karena barang tersebut tidak bisa diserahterimakan, menjual sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dilihat.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari munabadzah, yaitu seseorang melempar pakaiannya kepada yang lain dan itulah yang dibeli tanpa dibolak-balik terlebih dahulu atau tanpa dilihat keadaan pakaiannya. Begitu pula beliau melarang dari mulamasah, yaitu pakaian yang disentuh itulah yang dibeli tanpa melihat keadaaannya” (HR. Bukhari no. 2144). Jual beli ini terdapat jahalah (ketidakjelasan) dari barang yang dijual dan terdapat unsur qimar (spekulasi tinggi) dan keadaan barang tidak jelas manakah yang dibeli.

c. Ghoror dalam bayaran (uang)

Ghoror dalam masalah bayaran boleh jadi terjadi pada jumlah bayaran yang akan diperoleh, atau pada waktu penerimaan bayaran, bisa jadi pula dalam bentuk bayaran yang tidak jelas.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang disebut dengan “habalul habalah”. Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat jahiliyah. “Habalul habalah” adalah transaksi jual beli yang bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir” (HR. Bukhari)). Cucu dari unta tersebut tidak jelas diperoleh kapankah waktunya. Pembayarannya baru akan diberi setelah cucu unta tadi muncul dan tidak jelas waktunya. Bisa jadi pula unta tersebut tidak memiliki cucu.

Kedua: Karena mengandung riba

Riba ada tiga macam:

a. Riba fadhel, yaitu riba yang terjadi pada barang yang sejenis karena adanya tambahan.

Contoh: Menukar emas 24 karat dengan emas 18 karat dengan salah satu dilebihkan dalam hal timbangan. Atau menukar uang Rp 10 ribu dengan pecahan seribu rupiah namun hanya 9 lembar.

b. Riba nasi-ah, yaitu riba yang terjadi pada barang yang sejenis atau beda jenis namun masih dalam satu sebab (‘illah) dan terdapat tambahan dalam takaran atau timbangan dikarenakan waktu penyerahan yan tertunda. Contoh: Membeli emas yaitu menukar uang dengan emas, namun uangnya tertunda, alias dibeli secara kredit atau utang.

c. Riba qordh, yaitu riba dalam utang piutangan dan disyaratkan adanya keuntungan atau timbal balik berupa pemanfaatan. Seperti, berutang namun dipersyaratkan dengan pemanfaatan rumah dari orang yang berutang.

Contoh: Si B meminjamkan uang sebesar Rp 1 juta pada si A, lalu disyaratkan mengembalikan Rp 1,2 juta rupiah, atau disyaratkan selama peminjaman, rumah si A digunakan oleh si B (pemberi utang). Hal ini  berlaku riba qordh karena para ulama sepakat, “Setiap utang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba”.

Contoh jual beli yang mengandung riba: Jual beli kredit lewat pihak ketiga (leasing) Jual beli secara kredit asalnya boleh selama tidak melakukan hal yang terlarang. Namun perlu diperhatikan bahwa kebolehan jual beli kredit  harus melihat beberapa kriteria.  Jika tidak diperhatikan, seseorang bisa terjatuh dalam jurang riba.

Kriteria pertama, barang yang dikreditkan sudah menjadi milik penjual (bank). Kita contohkan kredit mobil. Dalam kondisi semacam ini, si pembeli boleh membeli mobil tadi secara kredit dengan harga yang sudah ditentukan tanpa adanya denda jika mengalami keterlambatan. Antara pembeli dan penjual bersepakat kapan melakukan pembayaran, apakah setiap bulan atau semacam itu. Dalam hal ini ada angsuran di muka dan sisanya dibayarkan di belakang.

Kriteria kedua, barang tersebut bukan menjadi milik si penjual (bank), namun menjadi milik pihak ketiga. Si pembeli meminta bank untuk membelikan barang tersebut. Lalu si pembeli melakukan kesepakatan dengan pihak bank bahwa ia akan membeli barang tersebut dari bank. Namun dengan syarat, kepemilikan barang sudah berada pada bank, bukan lagi pada pihak ketiga. Sehingga yang menjamin kerusakan dan lainnya adalah bank, bukan lagi pihak ketiga. Pada saat ini, si pembeli boleh melakukan membeli barang tersebut dari bank dengan kesepakatan harga. Namun sekali lagi, jual beli bentuk ini harus memenuhi dua syarat: (1) harganya jelas di antara kedua pihak, walau ada tambahan dari harga beli bank dari pihak ketiga, (2) tidak ada denda jika ada keterlambatan angsuran. (Faedah dari islamweb.net)

Jika salah satu dari dua syarat di atas tidak bisa dipenuhi, maka akan terjerumus pada pelanggaran. Pertama, boleh jadi membeli sesuatu yang belum diserahterimakan secara sempurna, artinya belum menjadi milik bank, namun sudah dijual pada pembeli. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya sebagai berikut ini ;

“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari).

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim).

Atau bisa jadi terjerumus dalam riba karena bentuknya sama dengan mengutangkan mobil pada pembeli, lalu mengeruk keuntungan dari utang. Padahal para ulama berijma’ (bersepakat) akan haramnnya keuntungan bersyarat yang diambil dari utang piutang.

3. Mengandung dhoror (bahaya) dan pengelabuan (tindak penipuan)

Contohnya adalah menimbun barang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa” (HR. Muslim ).

Imam Nawawi berkata, “Hikmah terlarangnya menimbun barang karena dapat menimbulkan mudhorot bagi khalayak ramai.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 43). Artinya di sini jika menimbun barang tidak menyulitkan orang lain maka tidak ada masalah. Seperti misalnya kita membeli hasil panen di saat harga murah. Lalu kita simpan kemudian kita menjualnya lagi beberapa bulan berikutnya ketika harga menarik, maka seperti ini tidak ada masalah karena jual beli memang wajar seperti itu. Jadi, larangan memonopoli atau yang disebut ihtikar, maksudnya ialah membeli barang dengan tujuan untuk mempengaruhi pergerakan pasar. Dengan demikian ia membeli barang dalam jumlah besar, sehingga mengakibatkan stok barang di pasaran menipis atau langka. Akibatnya masyarakat terpaksa memperebutkan barang tersebut dengan cara menaikkan penawaran atau terpaksa membeli dengan harga tersebut karena butuh.

Contoh jual beli yang mengandung pengelabuan atau penipuan disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata, yang artinya sebagai berikut ini ;

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim no. 102). Jika dikatakan tidak termasuk golongan kami, maka itu menunjukkan perbuatan tersebut termasuk dosa besar.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya sebagai berikut ini ;

“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban).

4. Terlarang karena sebab lain

a. Jual beli saat shalat jum’at, artinya sbb ini ;

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10). Perintah meninggalkan jual beli dalam ayat ini menunjukkan terlarangnya jual beli setelah dikumandangkannya azan Jum’at, yaitu azan kedua.


b. Jual beli di lingkungan masjid

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya sbb ini ;

“Bila engkau mendapatkan orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya: ‘Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu.’ Dan bila engkau menyaksikan orang yang mengumumkan kehilangan barang di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah  Swt tidak mengembalikan barangmu yang hilang.’” (HR. Tirmidzi,).

Termasuk juga terlarang adalah berjualan di lingkungan masjid yang masih masuk dalam pagar masjid. Hal ini karena para ulama telah menggariskan satu kaidah yang menyatakan, yang artinya sbb ini ;

“Sekelilingnya sesuatu memliki hukum yang sama dengan hukum yang berlaku pada sesuatu tersebut.” (Al Asybah).

c. Jual beli barang yang nanti digunakan untuk tujuan haram

Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya (yakni Buraidah), beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya sbb ini ;

“Siapa saja yang menahan anggur ketika panen hingga menjualnya pada orang yang ingin mengolah anggur tersebut menjadi khomr, maka dia berhak masuk neraka di atas pandangannya” (HR. Thobroni dalam Al Awsath. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Referensi sebagai berikut ini ;



Harta yang Bercampur Halal dan Haram

Miswari Budi Prahesti

Harta yang Bercampur Halal dan Haram, Dalam hadits Abu Hurairah disebutkan bahwa kita diperintahkan untuk mengonsumsi dan menggunakan harta yang halal. Itulah yang Allah terima. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya sebagai berikut ini ;

“Sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah Swt tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (halal).” (HR. Muslim no. 1015)

Mengenai hukum menggunakan harta yang bercampur antara halal dan haram sudah dikemukakan jawabannya oleh Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berikut ini.

1. Jika yang bercampur kebanyakannya itu haram

Untuk harta yang bercampur antara halal dan haram jika yang haram lebih banyak, Imam Ahmad berpendapat bahwa sudah sepantasnya harta tersebut dijauhi kecuali sesuatu yang sedikit atau sesuatu yang sulit dikenali.

Namun para ulama Hambali berselisih pendapat, apakah menggunakannya dihukumi haram ataukah makruh. Ada dua pendapat dalam masalah ini.

2. Jika yang bercampur kebanyakannya itu halal

Untuk harta yang kebanyakannya itu halal, maka boleh digunakan dan boleh makan dari harta semacam itu. Ada riwayat dari Al Harits dari ‘Ali yang mendukung hal ini. Alasan masih dibolehkannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu dan para sahabat biasa bermuamalah dengan orang musyrik dan ahli kitab. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tahu kalau mereka tidak menjauhi yang haram seluruhnya.

3. Jika samar bagian antara harta halal dan haram.

Jika sama bagian yang halal dan haram, maka itu jadi syubhat. Untuk wara’ atau kehati-hatian lebih baik ditinggalkan. Sufyan berkata, “Aku tidak kagum dengan harta semacam itu. Yang kukagumi adalah meninggalkan harta semacam itu.”

Imam Ahmad punya pendapat untuk harta semacam ini, beliau mengatakan, “Jika harta yang haram itu banyak, harta tersebut dikeluarkan sesuai kadarnya dan sisanya boleh dimanfaatkan. Adapun jika harta tersebut sedikit, maka dijauhi seluruhnya. Karena kalau yang sedikit ini dihindari akan selamat dari yang haram, beda jika harta tersebut banyak.”

Sebagian ulama Hambali menganggap sikap Imam Ahmad di atas adalah dalam rangka untuk wara’ atau bersikap hati-hati terhadap yang haram. Tetap saja masih boleh memanfaatkan sisa harta yang halal baik harta tersebut jumlahnya banyak atau sedikit setelah bagian yang haram itu dikeluarkan. Namun jika suatu harta jelas diketahui sisi haramnya, yang haram tersebut jelas tidak boleh dimanfaatkan.


Referensi Sebagai berikut ini ;




Senin, 11 Juli 2022

Bagini Doa Nabi Muhammad Tatkala Dosa Kepada Orang Lain Tidak Termaafkan

Bagini Doa Nabi Muhammad Tatkala Dosa Kepada Orang Lain Tidak Termaafkan

Bagini Doa Nabi Muhammad Tatkala Dosa Kepada Orang Lain Tidak Termaafkan, Ternyata tidak mudah menyampaikan maaf kepada orang yang telah kita sakiti. Apalagi jika kesalahan tersebut sebelumnya tidak diketahui orang yang kita sakiti, biasanya dalam bentuk fitnah. Kalau kita datang minta maaf, mungkin bukannya maaf yang kita terima tetapi justru kemarahan dan putus hubungan. Tapi bila kita meminta ampunan kepada Allah atas segala kesalahan seseorang kepada orang lain, Allah tidak akan mengampuni jika yang bersangkutan belum meminta maaf kepada orang yang kita sakiti. Di titik ini, keseimbangan hidup di bumi perlu diperhatikan ketika ingin memperoleh kebaikan di langit.

Prof Dr Muhammad Quraish Shihab dalam karyanya Membumikan Al-Qur’an mengungkapkan doa yang dibaca Nabi Muhammad SAW saat menghadapi situasi di atas: Rasulullah SAW mengajarkan doa: “Ya Allah, sesungguhnya aku memiliki dosa kepada-Mu dan dosa yang kulakukan kepada makhluk-Mu. Aku bermohon Ya Allah, agar Engkau mengampuni dosa yang kulakukan kepada-Mu serta mengambil alih dan menanggung dosa yang kulakukan kepada makhluk-Mu.”

Dalam doa Nabi tersebut tersirat bahwa diharapkan dosa-dosa yang dilakukan terhadap orang lain yang telah dimohonkan maaf kepada yang bersangkutan akan diambil alih oleh Allah SWT walaupun yang bersangkutan tidak memaafkannya. Pengambilalihan tersebut antara lain dengan jalan Allah memberikan kepada yang bersangkutan ‘ganti rugi’ berupa imbalan kebaikan dan pengampunan dosa-dosanya. Tentu hal ini kembali kepada Allah, Sang Maha Pengampun segala dosa.


Referensi sebagai berikut ini :




Sudahlah Maafkanlah Dia Agar Allah Swt Memaafkan Kita

Miswari Budi Prahesti

Sudahlah Maafkanlah Dia Agar Allah Swt Memaafkan Kita, Maafkanlah dia agar Allah Swt memaafkan kita. Semoga kita bisa menghilangkan dendam, kesalahan orang lain tak perlu kita tuntut di akhirat. Allah Swt berfirman, yang artinya sbb ini ;

"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur: 22).

Penjelasan ayat, Disebutkan oleh Aisyah saat ujian yang menimpanya ketika difitnah berselingkuh, ia mengatakan,

“Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan sepuluh ayat (terbebasnya Aisyah dari tuduhan selingkuh), maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu–beliau adalah orang yang memberikan nafkah kepada Misthah bin Utsatsah radhiyallahu ‘anhu karena masih ada hubungan kerabat dan karena ia orang fakir–berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan memberi nafkah kepadanya lagi untuk selamanya setelah apa yang ia katakan kepada Aisyah.’ Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat berikut (yang artinya), “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)

“Lantas Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Baiklah. Demi Allah, sungguh aku suka bila Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuniku.’ Kemudian beliau kembali memberi nafkah kepada Misthah yang memang sejak dahulu ia selalu memberinya nafkah. Bahkan ia berkata, ‘Aku tidak akan berhenti memberi nafkah kepadanya untuk selamanya.’ Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai persoalanku. Beliau berkata, ‘Wahai Zainab, apa yang kamu ketahui atau yang kamu lihat?’ Ia menjawab, ‘Wahai Rasulullah! Aku menjaga pendengaran dan penglihatanku. Demi Allah, yang aku tahu dia hanyalah baik.’ Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, ‘Dialah di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyaingiku dalam hal kecantikan, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala melindunginya dengan sifat wara’. Sedangkan saudara perempuannya, Hamnah binti Jahsy radhiyallahu ‘anha bertentangan dengannya. Maka, binasalah orang-orang yang binasa.” (HR. Bukhari).

Pelajaran penting yang bisa dipetik dari ayat di atas tentang memaafkan: 

Memaafkan orang lain adalah sebab Allah memberikan ampunan kepada kita. Wajibnya memberikan maaf ketika ada yang mau bertaubat dan memperbaiki diri. Kejelekan tidaklah dibalas dengan kejelekan, balaslah kejelekan dengan kebaikan. Berikanlah maaf kepada orang yang berbuat jelek kepada kita. Inilah ayat-ayat dan hadits yang memerintahkan untuk memaafkan yang lain walau berat untuk memaafkan.

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134)

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asyu-Syura: 40)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin membuatnya mulia. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim, no. 2588)

Memaafkan yang salah berlaku jika yang salah tersebut tahu akan kesalahan dan kezalimannya, ini dianjurkan. Begitu pula ketika dengan memaafkannya, maka akan lebih menyelesaikan masalah dan kita yang mengalah. Hal ini tidak berlaku jika yang berbuat zalim terus menerus zalim dan melampaui batas. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.” (QS. Asy-Syura: 39)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, 


“Kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau pun berkata, ‘Akan muncul kepada kalian sekarang seorang penduduk surga.’ Maka munculah seseorang dari kaum Anshar, jenggotnya masih basah terkena air wudhu, sambil menggantungkan kedua sendalnya di tangan kirinya. Tatkala keesokan hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan perkataan yang sama, dan munculah orang itu lagi dengan kondisi yang sama seperti kemarin. Tatkala keesokan harinya lagi (hari yang ketiga) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengucapkan perkataan yang sama dan muncul juga orang tersebut dengan kondisi yang sama pula. Tatkala Nabi berdiri (pergi) maka ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash mengikuti orang tersebut lalu berkata kepadanya, “Aku bermasalah dengan ayahku dan aku bersumpah untuk tidak masuk ke rumahnya selama tiga hari. Jika menurutmu aku boleh menginap di rumahmu hingga berlalu tiga hari?” Maka orang tersebut menjawab, “Silakan.”

Anas bin Malik melanjutkan tuturan kisahnya,

“Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash bercerita bahwasanya ia pun menginap bersama orang tersebut selama tiga malam. Namun ia sama sekali tidak melihat orang tersebut mengerjakan shalat malam. Hanya saja jika ia terjaga di malam hari dan berbolak-balik di tempat tidur maka ia pun berdzikir kepada Allah dan bertakbir, hingga akhirnya ia bangun untuk shalat Shubuh. ‘Abdullah bertutur, ‘Hanya saja aku tidak pernah mendengarnya berucap kecuali kebaikan.’

Dan tatkala berlalu tiga hari –dan hampir saja aku meremehkan amalannya- maka aku pun berkata kepadanya, ‘Wahai hamba Allah (fulan), sesungguhnya tidak ada permasalahan antara aku dan ayahku, apalagi boikot. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata sebanyak tiga kali bahwa akan muncul kala itu kepada kami seorang penduduk surga. Lantas engkaulah yang muncul, maka aku pun ingin menginap bersamamu untuk melihat apa sih amalanmu untuk aku teladani. Namun aku tidak melihatmu banyak beramal. Lantas apakah yang telah membuatmu memiliki keistimewaan sehingga disebut-sebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Orang itu berkata, ‘Tidak ada kecuali amalanku yang kau lihat.’ Abdullah bertutur,

‘Tatkala aku berpaling pergi, ia pun memanggilku dan berkata bahwa amalannya hanyalah seperti yang terlihat, hanya saja ia tidak memiliki perasaan dendam dalam hati kepada seorang muslim pun dan ia tidak pernah hasad kepada seorang pun atas kebaikan yang Allah berikan kepada yang lain.’ Abdullah berkata, ‘Inilah amalan yang mengantarkan engkau (menjadi penduduk surga, pen.) dan inilah yang tidak kami mampui.” (HR. Ahmad)

Maafkan dan Hapuslah Dendam

Kesimpulan mudahnya dari ayat yang kita bahas, maafkanlah orang yang berbuat salah kepada kita, semoga Allah memaafkan kesalahan kita pula. Tak perlu kita menuntut balasan kesalahan dia di akhirat, karena kita juga belum tentu selamat. Kalau kita masih kurang puas dengan alasan ini, ingat saja bahwa Allah itu Maha Pengampun. Semua dosa kita itu dimaafkan oleh Allah ketika kita mau bertaubat nashuha walaupun itu dosa syirik dan dosa besar. Lantas kenapa kita sebagai manusia tidak mau memaafkan kesalahan orang lain, padahal bisa jadi itu hanya kesalahan kecil atau kesalahan yang hanya sekali atau itu kesalahan yang bisa dimaafkan agar tidak membuat hati kita sakit.

Semoga kita bisa memaafkan dan menghilangkan rasa dendam, walaupun sebagian kita merasakan berat. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Referensi sebagai berikut ini ;




Menebus dosa pada orang yang telah meninggal

Miswari Budi Prahesti


Dalam kehidupan sehari-hari pastilah terdapat kesalahan kita sebagai manusia dan berakibat melakukan dosa. Melakukan sebuah dosa dari diri sendiri memang hal yang terkadang karena kita lalai atau karena terpojok akan sesuatu. Dosa juga dapat karena kita dapat pada orang lain mulai dari dosa kecil maupun besar. Alangkah baiknya pada segala dosa kita memohon ampun pada Allah SWT dan meminta maaf pada pihak yang berkaitan dengan kesalahan kita pada orang tersebut.

Lantas bagaimana bila orang yang berkaitan dengan kita sudah tutup usia (Meninggal) dan kita belum sempat meminta maaf dengan kesalahan kita pada orang tersebut.

Mohon maaf atas perbuatan zalim yang dilakukan pada orang lain merupakan kewajiban bagi tiap muslim sesuai dengan sabda Rasulullah SAW berikut, Artinya: “Barangsiapa yang berbuat zalim kepada saudaranya, baik terhadap kehormatannya maupun sesuatu yang lainnya, maka hendaklah ia meminta maaf kepadanya sebelum tidak ada lagi dinar dan dirham. Jika ia punya amal salih, maka amalannya itu akan diambil sesuai dengan kadar kezaliman yang dilakukannya. Dan jika ia tidak punya kebaikan, maka keburukan orang yang ia zalimi itu dibebankan kepadanya,” (HR Bukhari).

Hal yang paling utama, tentunya menurut penuturan Syekh Muhammad adalah memohon ampunan kepada Allah SWT. Layaknya hakim, Allah SWT memutuskan apakah kesalahan hamba diampuni atau tidak. Keputusan Allah SWT tentunya adil dan tidak mendatangkan kerugian.

“Jika tulus bertobat kepadaNya dan dia (orang yang dizalimi) melihatmu (pada Hari Pembalasan) meminta pengampunan untuknya, mungkin dia akan memaafkanmu pada hari itu jika dia belum memaafkanmu di dunia ini,” tulisnya.

Allah SWT pun pernah berfirman dalam surah Al Zumar ayat 53 yang menyebutkan bahwa Dia adalah Dzat yang Maha Pengampun,

Artinya: Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang".

Di samping itu, cara yang dapat dilakukan seorang muslim untuk menebus dosa kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah mendoakannya. Doa dari seorang muslim yang masih hidup kepada mukmin yang telah meninggal dunia merupakan amalan jariyah bagi yang telah pergi.

Artinya: “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang sholeh.” (HR Muslim).

Cara lain yang dapat dilakukan adalah menyambung silahturahmi dengan karib kerabat. Hal ini sesuai hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar RA yang menyatakan pentingnya silaturahmi.

“Bentuk kebaktian kepada orang tua yang paling tinggi, menyambung hubungan dengan orang yang dicintai bapaknya setelah ayahnya meninggal.” (HR Muslim).

Referensi sebagai berikut  ini ;





Doa untuk Orang-orang yang Pernah Kita Sakiti, dan Kesulitan Meminta Maaf ke Mereka

Doa untuk Orang-orang yang Pernah Kita Sakiti, dan Kesulitan Meminta Maaf ke Mereka

Doa untuk Orang-orang yang Pernah Kita Sakiti, dan Kesulitan Meminta Maaf ke Mereka. Sebagai manusia, pastinya kita pernah melakukan kesalahan. Memang begitulah manusia, tidak ada yang sempurna. Memohon ampun kepada Allah SWT atau bertaubat kepada-Nya cukup mudah.Karena Allah SWT memiliki sifat Ghafur yang artinya maha mengampuni. Ketika kita menyesali dosa-dosa yang telah kita perbuat, lantas kita bertaubat kepada-Nya, maka Allah SWT dengan keridloan-Nya akan menerima taubat kita.

Yang menjadi permasalahan sulit adalah ketika kita meminta maaf kepada sesama manusia.Untuk meminta kerelaan seseorang yang telah kita sakiti, kita harus melakukan kontak atau berkomunikasi dengannya. Dalam proses komunikasi dengan manusia, tidaklah semudah yang dibayangkan. Sering kali dijumpai seseorang telah memutuskan untuk tidak ingin bertemu dan menjalin hubungan apapun yang berkaitan dengan orang yang telah menyakitinya.

Lalu bagaimana caranya untuk dapat menyelesaikan masalah dengan seseorang yang telah kita sakiti, Bagaiman cara meminta kerelaannya agar mau memaafkan kita? Dijelaskan dalam kitab Sulamut Taufiq, Syaikh Muhammad Nawawi Al Banteni, terdapat dua jenis perbuatan dosa. Pertama, dosa yang berupa meninggalkan kewajiban seperti halnya, sholat lima waktu, puasa, akat, dan seterusnya, maka yang harus dilakukan adalah dengan langsung menggantinya atau mengqadlanya.

Kedua, dosa yang berhubungan dengan hak-hak orang lain, maka yang harus dilakukan adalah harus meminta keridloan orang yang disakiti untuk memaafkan kesalah yang telah diperbuat secara langsung. Namun, jika tidak memungkinkan untuk meminta maaf secara langsung karena terpisah jarak atau bahkan sudah tidak dapat menghubunginya atau lost contac, yang harus dilakukan adalah menundukkan diri kepada Allah SWT untuk mendo’akan orang yang telah kita sakiti. ujuannya agar kelak dihari kiamat, orang tersebut diluluhkan hatinya oleh Allah SWT sehingga meu merelakan dan memaafkan kita.

Alm Hadlratusy Syaikh KH. Achmad Asrori RA memberikan cara untuk mendoakan orang yang pernah kita sakiti berupa bacaan doa sebagai berikut:

Allahumma Shalli Wasallim ‘Alaa Nabiyyika Wa habibika Sayyidinaa Muhammadin Wa Aalihii, Wa Atsibniy ‘Alaa Maa Qara’tu, Waj ‘Alhu Fii Shahaaifi Man Lahuu ‘Alayya Tabu’atun Min ‘Ibaadika Min Maalin Wa ‘Irdlin” (Dibaca 3X) Was Shallallaahu ‘Alaa Sayyidina Muhammadin Wa Aalihii Wa Shahbihii Wa Sallama

Artinya: Ya Allah limpahkanlah rahmat dan salam kepada Nabi-Mu dan kekasih-Mu, pimpinan kami yaitu Nabi Muhammad serta kepada keluarganya. Dan berikanlah pahala atas apa yang saya baca tadi. Lalu masukkanlah pahala itu kedalam buku catatan amal orang yang pernah saya dhalimi dari hamba-hamba-Mu, baik kedhaliman berupa materi maupun harga diri (dibaca 3X).

Semoga Allah Swt menganugrahkan rahmat serta salam-Nya kepada pemimpin kami, yaitu Nabi Muhammad, keluarga, serta para sahabat. Sebelum membaca doa tersebut dianjurkan membaca:

  • Surat Al Ikhlas (Qul Huwallahu Akhad....) 12X
  • Surat Al Falaq (Qul A’udzu Birabbil Falaq...) 1X
  • Surat An Nas (Qul A’udzu Birabbin Nas...) 1X

Semoga Allah Swt menganugrahkan rahmat serta salam-Nya kepada pemimpin kami, yaitu Nabi Muhammad, keluarga, serta para sahabat. Sebelum membaca doa tersebut dianjurkan membaca :

  • • Surat Al Ikhlas (Qul Huwallahu Akhad....) 12X
  • • Surat Al Falaq (Qul A’udzu Birabbil Falaq...) 1X
  •  Surat An Nas (Qul A’udzu Birabbin Nas...) 1X

Doa di atas dianjurkan untuk dibaca setiap malam. Semoga kita selalu dalam lindung Allah SWT Aamin ya robbal 'alamin

Referensi sebegei berikut ini ;



Ketahui Macam Takdir dalam Agama Islam


Ketahui Macam Takdir dalam Agama Islam. Seluruh peristiwa yang ada di alam raya dari sisi kejadiannya dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu disebut dengan takdir. Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa takdir, termasuk manusia.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, takdir merupakan ketentuan atau ketetapan Allah SWT yang telah ditetapkan sejak zaman azali. Akan tetapi manusia tetap berusaha serta bertawakal, selebihnya diserahkan kepada Allah SWT.

Sedangkan secara istilah, takdir merupakan segala yang terjadi, sedang terjadi serta akan terjadi yang telah ditetapkan oleh Allah SWT baik yang baik maupun yang buruk. Segala sesuatu yang terjadi atas rencananya pasti serta tentu, namun manusia diberi hak untuk berusaha sekuat tenaga.

Berikut adalah pengertian dan macam takdir yang ada dalam agama Islam yang patut Anda ketahui.

Pengertian Takdir

Takdir secara bahasa berasal dari kalimat Qoddaro – Yuqoddiru – Taqdiiroon artinya ketentuan, ukuran, ketetapan, rumusan, untuk referensi, seperti disajikan pada surat berikut:

"Yang kepunyaan-Nya lah kerajaan langit dan bumi dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan-Nya dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya." (AlFurqaan:2).

Dari beberapa ayat al-Qur'an, dapat ditelusuri definisi takdir, baik secara etimologi maupun terminologi. Mengutip M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, kata takdir (takdir) terambil dari kata qaddara berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar, atau ukuran, sehingga jika kita berkata, “Allah telah menakdirkan demikian,” maka itu berarti Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya.

Al-Raghib mengatakan: “qadar berarti kemampuan atau penguasaan ilmu, yang mencakup juga kehendak. Dengan qadar tersebut terwujud sesuatu yang sesuai dengan pengetahuan dan kehendak tersebut.”

Takdir menurut istilah, dapat diartikan sebagai suatu peraturan tertentu yang telah dibuat oleh Allah Swt., baik aspek struktural maupun aspek fungsionalnya, untuk undang-undang umum atau kepastian-kepastian yang dikaitkan di dalamnya, antara sebab dan akibat (causaliteit). Sehingga seluruh ciptaan ini mampu atau dapat berinteraksi antara yang satu dengan yang lain, yang kemudian melahirkan kualitas-kualitas atau kejadian-kejadian tertentu.

Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang harus diimani sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan tentang takdir hanya dapat dipelajari dari informasi Tuhan, yaitu informasi Allah melalui Alquran dan hadis. Secara keilmuan umat Islam dengan sederhana telah mengartikan takdir sebagai segala sesuatu yang sudah terjadi.

Macam Takdir

Para ulama berpendapat bahwa macam takdir terdiri dari dua macam, yaitu: takdir mubram dan takdir mu’allaq. Berikut penjelasan selengkapnya; 

Macam takdir yang pertama yaitu takdir Mubram. Takdir Mubram adalah suatu ketentuan yang bersifat pasti dan tidak dapat diubah oleh siapapun.

Ini juga dikenal dengan takdir mutlak, seperti contoh bahwa takdir manusia pasti mati. Kematian adalah salah satu rahasia terbesar dalam kehidupan manusia. Tidak ada seorangpun yang tahu kapan ia akan mati, dan dalam keadaan bagaimana ia akan mati.

Tapi, siapapun manusia itu pasti akan mengalami kematian, "Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui".(Yasiin:38).

2. Takdir Muallaq

Macam takdir yang kedua yaitu takdir Muallaq. Takdir Muallad adalah suatu ketentuan berdasarkan situasi dan kondisi, seperti jika seseorang rajin belajar, maka ia akan pandai. Tapi, jika ia malas, maka ia akan bodoh.

Orang yang rajin bekerja akan kaya, dan yang malas berusaha akan miskin, sebagaimana firman-Nya: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri". (Ar-Rad:11). 

Takdir Muallaq masih dapat berubah melalui upaya, ikhtiar, dan doa sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Manusia diwajibkan mempergunakan tenaga, akal pikirannya untuk berusaha mencapai kehendak dan keinginan disertai dengan segala syarat-syarat dan perhitungan sebab-akibat.

Pengaruh Keimanan terhadap Takdir dalam Kehidupan Manusia

Mengutip dari Jurnal Mudarissuna Intitut Agama Islam Negeri Metro, dengan beriman kepada takdir dengan benar, seseorang akan giat berusaha dan berjuang dalam menjalani kehidupannya. Sebab tanpa adanya usaha dan perjuangan sesuai tujuan, apapun hal yang diinginkan tidak akan tercapai.

Selain itu, manusia juga harus berpijak pada Sunnatullah. Dengan memahami takdir dalam bentuk yang tepat, manusia akan terhindar dari kejerumusan berupa bencana ataupun kesengsaraan.

Maka dari itu, seseorang harus beribadah, berusaha, serta berjuang dengan bertumpu pada Sunnah yang telah ditetapkan oleh Allah. Upaya tersebut agar cita-cita yang sedang diperjuangkannya dapat tercapai sesuai dengan rencana tanpa keluar dari ajaran agama.

Referensi sebagai berikut ini ;







Ayat Al-Quran tentang Takdir Manusia, Tercatat di Lauh Mahfudz

Ayat Al-Quran tentang Takdir Manusia, Tercatat di Lauh Mahfudz

Menerima Akan Takdir Yang Ditetapkan, Allah SWT telah menetapkan takdir setiap manusia dan makhluk-Nya yang diciptakan di muka bumi ini. Allah SWT pun menyimpannya dalam Ummul Kitab atau Lauh Mahfudz, sebagaimana firman-Nya: "Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)." (QS. Ar-Ra'd: 39).

Dalam Islam, kita mengenal dua jenis takdir. Pertama, takdir muallaq yakni takdir yang masih dapat diubah dengan cara berikhtiar atau berusaha dan tentu saja dengan berdoa. Kedua, takdir mubram yang berarti takdir yang telah Allah SWT tetapkan dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun.

Ketentuan takdir juga terdapat dalam beberapa ayat dalam Al-Quran berikut ini. Simak ulasannya sampai habis, ya.

1. Surat Al-Furqan ayat 2 yang artinya sbb ini ;

Artinya: Yang memiliki kerajaan langit dan bumi, tidak mempunyai anak, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(-Nya), dan Dia menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat.

Melalui ayat ini, Allah SWT telah menciptakan dan menetapkan semua yang ada di alam semesta sudah sesuai sebagaimana mestinya. Penciptaan bumi dan langit serta segala isinya adalah takdir yang telah Allah Swt buat dan tidak dapat diubah oleh siapa pun.


Referensi sebagai berikut ini ;




Hukum Ditraktir dengan Uang Haram dalam Islam


Hukum Ditraktir dengan Uang Haram dalam Islam, Sebenarnya tidak ada uang haram ataupun uang halal, namun halal dan haramnya sebuah uang tergantung pada perbuatan manusianya bukan pada uangnya. Lalu uang seperti apa yang dimaksud sebagai uang haram? Yang dimaksud sebagai uang haram dalam Islam adalah uang yang didapat melalui jalan yang tidak halal atau cara mendapatkannya dilarang dalam Islam. Jadi, sebutan uang haram hanyalah perumpamaan. Uang menjadi haram karena dari hasil perbuatan yang melanggar larangan agama, maka haramnya bersifat li ghairi(karena perbuatan) bukan li zatihi(karena zatnya).

Uang disepakati sebagai salah satu bentuk harta kekayaan, maka manusia akan melakukan aktivitas seperti bekerja untuk mendapatkan uang. Ada sebagian orang yang mencari uang dengan cara halal dan adapula sebagian yang menggunakan cara haram. Maka dari itu, dalam ajarannya, Islam telah menunjukan secara jelas antara yang halal dan yang haram. Berikut ini harta haram menurut Islam.

Harta Haram Menurut Pandangan Islam

Harta haram dibagi menjadi dua, yaitu harta haram karena pekerjaan atau cara mendapatkannya. Dan harta haram karena zatnya. Berikut penjelasannya :

Haram karena sifat atau zatnya

Yang dimaksud harta haram karena sifat atau zatnya adalah makanan haram menurut Islam seperti daging babi, daging anjing, hewan yang disembelih atas nama selain Allah dan binatang haram dalam Islam yang jelas-jelas dilarang untuk dikonsumsi.

Harta haram karena pekerjaan atau cara mendapatkannya

Maksudnya adalah, harta tersebut haram karena cara mendapatkannya dengan cara yang tidak halal. Misalnya, seseorang mendapatkan harta melalui perjudian, harta riba dari bunga bank menurut Islam, harta hasil menipu, mencuri, dan lain-lain. Harta jenis ini sangat diharamkan dalam Islam, oleh karena itu kita sebagai seorang muslim yang baik harus wara(berhati-hati) serta menghindarkan diri dari makanan atau harta yang mengandung hal-hal syubhat(kesamaran tentang kehalalan atau keharaman dari sesuatu) yang berasal dari pekerjaan kotor (tidak halal).

Dalam persoalan ini para ulama masih memiliki perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan boleh namun dengan beberapa ketentuan. Dan ada sebagian ulama yang beranggapan bahwa harta yang didominasi dengan keharaman sebaiknya dihindari dan ditinggalkan saja.

Seseorang pernah bertanya kepada Ibnu Mas’ud ra. mengenai tetanggannya yang memakan riba secara terang-terangan, namun tidak merasa bersalah dengan harta yang didapatkannya dengan cara yang buruk. Lalu tetangganya mengundangnya untuk makan. Dan Ibnu Mas’ud berkata “Penuhilah undangannya. Sesungguhnya kenikmatan(makanan) itu adalah milik kalian, sedangkan dosanya adalah terhadap orang itu.” Dan dalam sebuah riwayat si penya berkata “Saya tidak mengetahui apapun yang yang menjadi miliknya, kecuali hal yang buruk atau hal yang haram,” tetapi Ibnu Mas’ud tetap menjawab “Penuhilah undangannya,”

Dan dalam hadits Rasulullah SAW. terdapat beberapa hadits yang menjelaskan bahwa beliau pernah memakan makanan dari orang-orang Yahudi dan melakukan transaksi dengan mereka, padahal dalam Al-Quran telah diuraikan bahwa orang-orang Yahudi memakan harta riba dan harta yang haram. Hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut :

Hadits Anas bun Malik ra. beliau berkata :

“Sesungguhnya seorang perempuan Yahudi mendatangkan(daging) kambing yang telah diracuni kepada Nabi Muhammad SAW, kemudian beliau tetap memakan daging itu…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits Aisyah ra. beliau berkata :

“Rasulullah SAW. meninggal, sementara baju besi beliau tergadai disisi seorang Yahudi dengan harga tiga puluh shâ’ jelay. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan ada beberapa fatwa ulama mengenai persoalan hukum menerima uang haram, sebagai berikut :

Seseorang pernah bertanya kepada Ibnu Baz rahimahullah : “Apakah saya boleh meminjam sesuatu dari seseorang yng perdagangannya dikenal dengan hal-hal yang haram serta dia mengambil hal yang haram?” Lalu Ibnu Baz menjawab “Engkau, wahai saudaraku, tidak pantas meminjam dari orang ini atau bermuamalah dengannya sepanjang(seluruh) muamalahnya adalah hal yang haram dan dikenal dengan muamalah riba yang diharamkan, atau selainnya. Maka, engkau tidak boleh bermuamalah dengannya tidak pula meminjam darinya, tetapi engkau wajib berbersih dan menjauh dari hal tersebut. Namun, jika dia bermuamalah dengan hal yang haram, dan dengan hal yang selain haram, yakni bahwa muamalahnya ada yang terlihat yang baiknya, tetapi ada pula yang buruk, tidaklah mengapa (engkau bermuamalah) dengannya, tetapi meninggalkan hal itu sesungguhnya lebih afdhal berdasarkan sabda (Rasulullah) shallallâhu ‘alaihi wa sallam. yang memerintahkan kita untuk emninggalkan segala sesuatu yan meragukan dan menujulah kita kepada hal yang tidak meragukan.”

Jadi, dapat disimpulkan dari beberapa pendapat diatas mengenai hukum menerima pemberian atau ditraktir dengan uang haram adalah tidak boleh, jika kita mengetahui asal usul darimana dan bagaimana uang untuk mentraktir itu didapatkan dan lebih baik kita menolaknya secara halus dan baik-baik. Namun boleh, jika kita tidak mengetahui sama sekali darimana dan bagaimana uang untuk mentraktir tersebut didapatkan.

Seseorang pernah bertanya kepada Ibnu Baz rahimahullah : “Apakah saya boleh meminjam sesuatu dari seseorang yng perdagangannya dikenal dengan hal-hal yang haram serta dia mengambil hal yang haram?” Lalu Ibnu Baz menjawab “Engkau, wahai saudaraku, tidak pantas meminjam dari orang ini atau bermuamalah dengannya sepanjang(seluruh) muamalahnya adalah hal yang haram dan dikenal dengan muamalah riba yang diharamkan, atau selainnya. Maka, engkau tidak boleh bermuamalah dengannya tidak pula meminjam darinya, tetapi engkau wajib berbersih dan menjauh dari hal tersebut. Namun, jika dia bermuamalah dengan hal yang haram, dan dengan hal yang selain haram, yakni bahwa muamalahnya ada yang terlihat yang baiknya, tetapi ada pula yang buruk, tidaklah mengapa (engkau bermuamalah) dengannya, tetapi meninggalkan hal itu sesungguhnya lebih afdhal berdasarkan sabda (Rasulullah) shallallâhu ‘alaihi wa sallam. yang memerintahkan kita untuk emninggalkan segala sesuatu yan meragukan dan menujulah kita kepada hal yang tidak meragukan.”

Jadi, dapat disimpulkan dari beberapa pendapat diatas mengenai hukum menerima pemberian atau ditraktir dengan uang haram adalah tidak boleh, jika kita mengetahui asal usul darimana dan bagaimana uang untuk mentraktir itu didapatkan dan lebih baik kita menolaknya secara halus dan baik-baik. Namun boleh, jika kita tidak mengetahui sama sekali darimana dan bagaimana uang untuk mentraktir tersebut didapatkan.

Referensi Sebagai berikut ini ;