This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Rabu, 22 Juni 2022

Tidak ada yang masuk kedalam surga karena amalnya


Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga, manusia bisa masuk surga karena Rahmat Allah SWT. Karena itu kita jangan pernah membangga banggakan amal kita. Janganlah tertipu setan dengan membangga-banggakan amalan kita, sungguh, sesungguhnya bukan hanya amal yang menentukan masuk surga atau nerakakah kita kelak. Dalam sejumlah sabdanya, Rasulullah SAW menegaskan faktor penentu masuk neraka atau surga seorang hamba adalah rahmat Allah SWT. 

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim menjelaskan bahwa manusia tidak bisa dimasukkan ke surga oleh amalnya. Manusia dikatakan dimasukkan ke surga jika Allah SWT memberi rahmat dan karunia kepadanya. Aisyah istri Nabi Muhammad SAW berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Tujulah (kebenaran), mendekatlah dan bergembiralah bahwa sesungguhnya tidak seorang pun dari kalian yang dimasukkan surga  amalnya." Mereka bertanya, "Tidak juga Tuan, wahai Rasulullah?" Nabi SAW menjawab, "Tidak juga aku, kecuali bila Rabb-mu melimpahkan rahmat dan karunia padaku. Dan ketahuilah bahwa amal yang paling disukai Allah adalah yang paling rutin meski sedikit." (HR Muslim).

Dalam hadits lainnya yang disampaikan Jabir salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW juga senda dengan yang disampaikan Aisyah. Hanya rahmat Allah SWT yang dapat memasukan manusia ke surga.

Jabir berkata, aku mendengar Nabi SAW bersabda, "Tidak seorang pun dari kalian yang dimasukkan surga oleh amalnya dan tidak juga diselamatkan dari neraka karenanya, tidak juga aku kecuali karena rahmat dari Allah." (HR Muslim).

Mereka beranggapan bahwa masuk surga adalah kehendak Allah. Lalu untuk apa kita beramal di dunia? Bahkan yang lebih ekstrem, mereka berani menggugurkan perintah syariat jika telah sampai pada maqam hakikat. Bagaimana cara memahami hakikat dengan benar? Sebelum dibahas, kami kutip terlebih dahulu hadits Rasulullah saw berikut ini yang artinya, “Tidak ada amalan seorang pun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelematkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah” (HR Muslim). 

Memang benar jika dikatakan masuk surga tidak didasarkan pada amal, melainkan fadhl (karunia) dan rahmat Allah. Akan tetapi menjadi tidak benar jika memiliki anggapan bahwa amal baik sama sekali tidak memiliki nilai apapun, atau bahkan masih mempertanyakan untuk apa beramal di dunia. Kenapa demikian? Karena Allah telah memberikan sebuah bocoran dan kriteria para penghuni surga dalam firman-Nya, yaitu mereka yang beriman dan beramal kebajikan, mengikuti perintah juga menjauhi larangan-Nya sebagaimana tertulis dalam Surat An-Nisa’ ayat 122 berikut yang artinya, “Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selamanya. Di sana mereka mempunyai pasangan-pasangan yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman.” (Surat An-Nisa’ ayat 57).

Seorang hamba berhak mendapatkan rahmat, apabila ia sudah melakukan ketaatan. Dengan kata lain, orang-orang yang tidak melakukan ketaatan tidak berhak mendapatkan rahmat Allah. Imam Ibnu Hajar mengibaratkan seorang budak yang berharap mendapatkan upah dari tuannya tanpa bekerja terlebih dahulu, tentu merupakan hal yang tidak mungkin. Sebab, upah akan diberikan apabila ia telah bekerja untuk tuannya. 

Inti masuk surga adalah murni rahmat dari Allah, akan tetapi nikmat di dalamnya akan berbeda sesuai dengan kadar amal yang dimiliki seseorang, jika kadar amalnya banyak, maka akan mendapatkan nikmat Allah yang juga banyak. Begitu juga sebaliknya, seorang muslim yang nilai ketaatannya sedikit, akan masuk surga yang di dalamnya terdapat kenikmatan yang sedikit pula.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hanya rahmat dan karunia dari Allah-lah yang bisa memasukkan seseorang ke dalam surga, akan tetapi keduanya bisa didapatkan oleh umat Islam ketika mereka sudah beramal sesuai dengan anjuran dalam ajaran Islam itu sendiri. Terus beramal sesuai syariat sebagai representasi patuh pada perintah-Nya dan meyakini bahwa bukan amal itu yang menyebabkan seseorang masuk surga. 

Imam Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syarf an-Nawawi dalam kitab haditsnya mengatakan bahwa dalam konteks ini, ulama Ahlussunnah wal Jamaah memiliki pandangan yang berbeda dengan kelompok Muktazilah yang menganggap bahwa wajib bagi Allah memberi pahala bagi yang melakukan ketaatan. Kedua perbedaan ini terletak dalam masalah amal baik seorang Muslim yang harus mendapatkan pahala dan kemudian masuk surga. Menurut mazhab Ahlussunnah, Allah tidak menetapkan pahala, siksa, wajib, dan haram dalam semua tuntutan berupa kewajiban dan keharaman. Semua kewajiban itu dilandasi oleh syariat. 

Oleh karenanya, Allah SWT tetap adil apabila menyiksa mereka yang taat dan orang-orang saleh, begitu juga tetap adil apabila memuliakan orang kafir dan memasukkan mereka ke dalam surga. Akan tetapi, benarkah kelak Allah akan melakukan semua itu? Ternyata jawaban Imam Nawawi tidak demikian, ia mengatakan, namun Allah SWT telah memberi khabar dan khabar-Nya benar bahwa Ia tidak akan melakukan demikian akan tetapi memberi ampunan kepada orang mukmin dan memasukkan mereka ke dalam surga dengan rahmat-Nya, dan menyiksa orang munafiq dan mengekalkan mereka dalam neraka karena adil.” 

Dari penjelasan Imam Nawawi di atas, kita semakin yakin bahwa memaknai hadits di atas serta meyakini bahwa amal seseorang tidak memiliki nilai apa-apa sangat keliru, dan kontradiksi dengan kebanyakan ayat dan hadits yang lain. Di antaranya, firman Allah swt dalam Surat Al-Ankabut, yaitu yang artinya, “Orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, sungguh, mereka akan Kami tempatkan pada tempat-tempat yang tinggi di dalam surga.” (Surat Al-‘Ankabut ayat 58). 

Alhasil, beramal saleh dan memperbanyak ketaatan tetap memiliki nilai sangat penting untuk selalu ditingkatkan oleh umat Islam. Pahala dan surga merupakan balasan logis dari adanya ibadah. Tanpanya, akan mustahil seseorang akan dimasukkan dalam surga oleh Allah swt. Dengan kata lain, meski rahmat dan karunia menjadi poin tertinggi untuk meraih surga-Nya Allah SWT, amal ibadah tetap mendukung untuk menjadi salah satu alternatif meraih tempat yang penuh nikmat kelak di hari akhir tersebut.

Meski amal tidak bisa memasukan manusia ke surga, umat Islam tetap diwajibkan melakukan amal baik sesuai perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Karena upaya dan perjuangan melaksanakan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya secara ikhlas bisa menjadi penyebab datangnya rahmat dan karunia Allah SWT. Semoga kita bertobat kepada Allah SWT, menjahui larangan Allah SWT, dan melaksanakan perintah Allah SWT semoga kita mendapat rahmat dari Allah SWT tersebut.

referensi dari youtube sbb :



Tak Ada yang Benar-benar Suci di Dunia Ini, Maka Jangan Pernah Kamu Pesimis Akan Ampunan Allah SWT


Tak Ada yang Benar-benar Suci di Dunia Ini, Maka Jangan Pernah Kamu Pesimis Akan Ampunan Allah SWT. Tidak ada yang benar-benar suci di dunia ini, setiap diri pasti pernah melakukan kesalahan dan dosa, maka kamu yang pernah kelam di masa lalu dan sekarang ingin bertaubat, jangan pernah persimis akan ampunan Allah. Biarlah manusia menilai kesungguhan hati kita dengan segenap penilaiannya, mau dipandang sebelah matapun terserah mereka, yang penting Allah SWT ridho kepadamu.

Jangan Takut, Kamu Berhak Mendapatkan Hidup yang Lebih Baik. Semua orang berhak mendapat hidup yang lebih baik, jadi untuk apa resah dan gelisah untuk mempebaiki diri. Terlanjur membuat kesalahan bukan berarti kita tidak ada kesempatan untuk memperbaikinya. 

Selama nyawa masih tetap bersemayam diraga, kesempatan untuk mendapat hidup lebih baik senantiasa harus kita lakukan. Allah Tidak Melihat Seberapa Besar Dosamu Dimasa Lalu, Tapi Seberapa Ikhlas Taubatmu Hari Ini. Karena Allah SWT tidak pernah melihat seberapa besar dosa dihari kemaren, namun Allah SWT akan selalu melihat seberapa ikhlas taubat kita dalam berserah diri pada-Nya. Maka dari itu, tak usah lagi memikirkan celotehan yang orang lain tengah lontarkan kepada kita.

Semua usaha kita untuk memperbaiki diri akan tetap Allah SWT nilai dan terima, jika memang niat perubahan kita untuk mendapat titik terang menuju hidayahnya.Ingat, Surga Bukan Hanya Milik Orang-orang yang Bersih Dari Dosa, Tetapi Milik Ia yang Mau Bersungguh-sungguh Mengenal Allah SWT.

Surga yang senatiasa Allah janjikan kepada semua hambanya, bukan hanya milik orang-orang yang tak pernah melakukan dosa, tetapi milik ia yang mau bersunggu-sungguh mengenal Allah SWT. Orang-orang yang pernah melakukan dosa sekalipun juga berhak tinggal didalamnya, selagi ia mampu untuk memprbaiki kesalahan-kesalahannya, dan kembali ke jalan Allah SWT. Tidak Usah Hiraukan Apa Kata Orang, Karena Penilaian Manusia Memang Takkan Pernah Berakhir.

Iya tidak usah hiraukan apa yang dikatakan orang lain terhadap kita, karena penilaian manusia memang takkan pernah berakhir. Karena apa?, karena mausia tercipta dengan nafsu, ia mempunyai naluri untuk menilai, memvonis dan menghakimi. Sebab itulah kita diperintah untuk selalu menjaga hati, agar semua sikap dan perilaku kita tetap terjaga dengan baik.

Semangatlah Untuk Mencari Ridho Allah SWT, Ingat Bahwa Allah SWT Selalu Mencintai Kesungguhanmu. Jadi selalu semangatlah untuk selalu mencari ridho Allah SWT, jangan lagi takut akan apa yang ornag lain perbincangkan tentang masa lalu dan dosamu yang kemarin, selagi kamu sungguh-sungguh maka Allah SWT akan menerimamu.

Jangan Pesimis Jika Sudah Terlanjur Berbuat Dosa


Jangan Pesimis Jika Sudah Terlanjur Berbuat Dosa. Alquran Surah Az-Zumar ayat 53-59. Intinya menceritakan saat Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW agar umat senantiasa berserah diri meski berlumuran dosa. Semua dosa bisa diampuni Allah  SWT. Disebutkan, "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah SWT. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Ayat ini oleh ulama dinilai sebagai ayat yang paling memberikan ketenangan dan harapan kepada umat manusia. Pasalnya, tidak ada manusia yang tidak berdosa. Tidak ada pula yang bisa mengampuni dosa kecuali Allah. Allah sendiri menyatakan, hamba-hamba-Nya yang sudah melampaui batas dalam dosa masih bisa diampuni. Beragam jenis orang berdosa. 

Ada yang berdosa tapi masih tidak terlalu buruk dosanya. Ada yang memiliki dosa kecil dan dosa besar. Nabi Muhammad diperintahkan untuk menyampaikan kepada hamba-hamba Allah SWT dengan memberi kesan atau menunjukkan rahmat dan kasih sayang Allah, betapapun berdosanya seseorang. Yang ditekankan ialah agar kita jangan berputus asa dari rahmat Allah SWT karena Allah SWT mengampuni semua dosa. Tidak ada dosa yang tidak diampuni-Nya jika seseorang mau bertobat. 

Kita harus ketahui, ada dosa yang diampuni setelah manusia bertobat. Tetapi ada juga dosa yang diampuni walau seseorang tidak bertobat. Ada dosa yang Allah SWT ampuni walaupun seseorang tidak melakukan kebaikan. Ada dosa yang walaupun dibawa mati, tetap diampuni Allah SWT. Itu karena Allah SWT suka mengampuni. 

Allah SWT senang memberi ampun, maka Tuhan Maha Pengampun atas aneka kesalahan. Ayat-ayat dalam Surah Az-Zumar ini memberi harapan yang sangat besar. Ini menandakan Tuhan berlaku adil. Pada dasarnya, Tuhan itu pemberi rahmat. Karena itu, Allah SWT patut dicintai atas sifatnya yang pemberi rahmat dan keadilan. 

Dalam surah terbut dikatakan, "Kembalilah, kepada Tuhanmu." Kembali itu berarti kita pernah pada satu posisi meninggalkan Allah. Misalnya kita menjauh dari Allah. Dia meminta kita untuk berserah diri. Seperti firman-Nya, "Serahkan dirimu kepada-Ku." Itulah Islam yang pemberi rahmat. Allah banyak memberikan nikmat kepada kita. Sudah semestinya kita mengabdi kepada Allah dengan sempurna dan kita kembali menyerahkan diri kepada Allah. 

Tetapi, Allah juga mengingatkan tidak ada yang dapat menolong kita dari siksa neraka selain Allah. Karena itu, ikutilah dengan sungguh-sungguh apa yang terbaik yang diturunkan Allah. Allah juga memberi tuntunan, jika ada yang berbuat jahat kepada kita, balasan kejahatan itu akan setimpal. Akan tetapi, Allah juga mengatakan jika kita bisa memaafkan, akan lebih baik. Yang lebih tinggi lagi dari memaafkan ialah memberi. Berilah kebaikan bagi orang yang berbuat salah kepada kita, karena memberi lebih baik dari sekedar memaafkan.

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az Zumar {39} : 53-54).

Ayat di atas adalah seruan untuk segenap orang yang terjerumus dalam maksiat, baik dalam dosa kekafiran dan dosa lainnya untuk bertaubat dan kembali pada Allah. Ayat tersebut memberikan kabar gembira bahwa Allah mengampuni setiap dosa bagi siapa saja yang bertaubat dan kembali pada-Nya. Walaupun dosa tersebut amat banyak, meski bagai buih di lautan (yang tak mungkin terhitung). Sedangkan ayat yang menerangkan bahwa Allah tidaklah mengampuni dosa syirik, itu maksudnya adalah bagi yang tidak mau bertaubat dan dibawa mati. Artinya jika orang yang berbuat syirik bertaubat, maka ia pun diampuni Allah SWT.

“Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya?” (QS. At-Taubah 9 :104). 

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah SWT, niscaya ia mendapati Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’ Surah 4 ayat 110).

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An Nisa’ Surah 4 ayat : 145-146).

Kepada orang Nashrani yang menyatakan ideologi trinitas, masih Allah seru untuk bertaubat. Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya kafirlah orang0orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al Maidah Surah 5 ayat ke 73).

Kemudian setelah itu, Allah Ta’ala berfirman,

“Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya?. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Maidah 5 : 74).

Walau mereka -Nashrani- berkata keji dengan mengatakan bahwa Allah SWT adalah bagian dari yang tiga, namun Allah SWT masih memiliki belas kasih dengan menyeru mereka untuk bertaubat jika mereka mau.

Lihatlah orang yang telah membunuh wali Allah, juga diseru untuk bertaubat jika mereka ingin, “Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.” (QS. Al-Buruj 85 : 10).

Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Lihatlah pada orang-orang yang merasa mewah tersebut, mereka telah membunuh wali-wali Allah dan Allah masih menyeru mereka untuk bertaubat.”

Ayat semisal di atas teramat banyak yang juga menerangkan tentang hal yang sama bahwa setiap dosa bisa diampuni bagi yang mau bertaubat. Lihatlah sampai dosa kekafiran pun bisa Allah ampuni jika kita benar-benar bertaubat, apalagi dosa di bawah itu. Sehingga tidak boleh seorang hamba berputus asa dari rahmat Allah SWT walau begitu banyak dosanya.

Setelah Allah SWT menyebutkan ayat di atas, lalu Allah mendorong untuk segera bertaubat, jangan ditunda-tunda. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az Zumar {39} : 53-54).

Maksud ayat ini adalah kembalilah pada Allah dengan berserah diri pada-Nya sebelum datang siksaan yang membuat mereka tidak mendapat pertolongan, yaitu maksudnya bersegeralah bertaubat dan melakukan amalan shalih sebelum terputusnya nikmat. Demikian uraian Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.

Di dalam hadits Qudsi yang diriwayatkan dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allâh berfirman:

“Wahai anak Adam selama engkau masih berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku ampuni engkau apa pun yang datang darimu dan aku tidak peduli. Wahai anak Adam walaupun dosa-dosamu mencapai batas langit kemudian engkau meminta ampun kepada-Ku, Aku akan ampuni engkau dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan sepenuh bumi dosa dan engkau tidak menyekutukan-Ku, maka Aku akan menemuimu dengan sepenuh itu pula ampunan.” (HR. At-Tirmidzi no.3540)

Perbanyaklah taubat dan istighfar, itulah yang akan menghilangkan gelapnya hati dan membuat hati semakin bercahaya sehingga mudah menerima petunjuk atau kebenaran. Segeralah taubat dan jangan tunda-tunda, sebab apabila tanda-tanda Kiamat besar telah tampak, yakni matahari sudah terbit dari barat. Kematian sudah di ambang pintu, yakni nyawa sudah berada di tenggorokan, maka taubat tidak lagi diterima.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau datangnya siksa Rabb-mu atau kedatangan beberapa ayat Rabb-mu. Pada hari datangnya beberapa ayat Rabb-mu, maka iman seseorang sudah tidak lagi berguna, yang sebelumnya itu tidak pernah beriman atau selama dalam imannya itu dia tidak pernah melakukan kebajikan. Katakanlah: “Tunggullah, sesungguhnya Kami akan menunggu”. (QS. Al-An’am {6} : 158)

Dalam surat yang lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

"Taubat itu bukanlah bagi orang-orang yang berbuat kemaksiyatan, sehingga apabila kematian telah datang kepada seseorang di antara mereka lalu ia berkata: “Sungguh sekarang ini aku taubat” dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati dalam keadaan kafir. Bagi mereka Kami sediakan siksa yang pedih". (QS. An-Nisa`{4} : 18).

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba, selama (ruh) belum sampai di tenggorokan". (HR. At Tirmidzi no. 3537)




Larangan Berbuat Dzalim


Islam melarang perbuatan zalim antarsesama manusia. Padahal jelas-jelas Islam jelas melarang perbuatan zalim. "Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam telah memperingatkan umatnya agar tak berbuat zalim. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda dalam hadist riwayat Muslim : 

"Seorang muslim dengan muslim yang lain adalah bersaudara. Ia tidak boleh berbuat zhalim dan aniaya kepada saudaranya yang muslim. Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa membebaskan seorang muslim dari suatu kesulitan, maka Allah akan membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat kelak." (HR Muslim).

bahwasanya Rasulullah Muhammad SAW diriwayatkan Muslim sebagai berikut yang artinya : 'Tahukah kalian siapakah orang yang muflis (bangkrut) itu? Para sahabat menjawab, 'Orang yang muflis (bangkrut) diantara kami adalah orang yang tidak punya dirham dan tidak punya harta.' Rasulullah ï·º bersabda, 'Orang yang muflis (bankrut) dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) melaksanakan shalat, menjalankan puasa dan menunaikan zakat, namun ia juga datang (membawa dosa) dengan mencela si ini, menuduh si ini, memakan harta ini dan menumpahkan darah si ini serta memukul si ini. Maka akan diberinya orang-orang tersebut dari kebaikan-kebaikannya. Dan jika kebaikannya telah habis sebelum ia menunaikan kewajibannya, diambillah keburukan dosa-dosa mereka, lalu dicampakkan padanya dan ia dilemparkan ke dalam neraka. (HR. Muslim).

Dari Jabir bin 'Abdullah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, yang artinya sebagai berikut ini : "Hindarilah kezhaliman, karena kezhaliman itu adalah mendatangkan kegelapan pada hari kiamat kelak! Jauhilah kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan (menghancurkan) orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan." (HR Muslim).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda: "Siapa yang pernah berbuat aniaya sejengkal saja (dalam perkara tanah) maka nanti dia akan dibebani (dikalungkan pada lehernya) tanah dari tujuh bumi". (HR Bukhari). Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Allah SWT Ta'ala berfirman: Ada tiga jenis orang yang aku berperang melawan mereka pada hari qiyamat, seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya, seseorang yang berjualan orang merdeka lalu memakan (uang dari) harganya dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya namun tidak dibayar upahnya". (HR. Bukhari).




3 Jenis Ujian dalam Kehidupan Manusia

Hidup di dunia memang tak luput dari ujian kehidupan. Berbagai beban baik moril maupun materil pun dialami oleh setiap manusia di dunia. Namun, justru semakin berat ujian, maka semakin tinggi derajatnya akan diangkat oleh Allah Subhanahuwata’ala. Maka, manusia sebagai makhluk yang selalu diuji hendaknya menghadapinya dengan berprasangka baik (husnudzon) kepada Allah SWT. 


Ada 3 jeni ujian yang diberikan oleh Allah SWT untuk hamba-Nya di muka bumi. Setiap ujian tersebut merupakan tahapan untuk dinaikkan level derajatnya menuju ke yang lebih tinggi. Hingga siapapun manusia yang bisa melewati level yang ketiga maka dianggap sudah lulus dalam ujian kehidupan.

“Kalau kalian sedang dibimbing oleh Allah SWT menuju kedudukan yang paling tinggi, maka sadarlah teman-teman di saat yang bersamaan, kalian tidak akan sunyi dari rintangan-rintangan,” jelas Ustaz Adi Hidayat. Ketika kalian sedang di kedudukan biasa dan naik luar biasa, maka hambatannya juga akan semakin meningkat ujiannya.

Misalnya orang kecil diuji dengan ujian kecil, orang menengah diuji dengan ujian menengah, begitu pula jika orang yang kedudukannya tinggi maka akan diuji dengan ujian yang lebih tinggi lagi.

“Allah SWT tidak akan menguji dedaunan dengan angin yang menerpa akar, pasti berbeda, karena angin jika kedudukan semakin tinggi, tinggi, maka angin akan semakin kencang akan menerjangnya,” 

1. Ba’sa (Ringan) Misalnya jarang ke masjid sekarang mulai ke masjid. Begitu ke masjid, Allah kasih ujian, sesuai dengan kadar niatnya. Dikasih ujian gerimis. Lalu masih ke masjid nggak. Namun, kamu menjawab tidak masalah. Maka, jika kamu diuji dengan yang ringan akan dinaikkan ke menengah. Kalau kamu belum lulus di sini (ujian ringan), maka akan terus diuji sampai lulus di sini. Hal ini tercantum dalam QS. Al-Baqarah ayat 286 yang Artinya : Allah SWT tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. “Jadi kalau kalian masih ujiannya ringan, kalian akan diberikan yang ringan, kalian naik menengah diberikan yang menengah, kalian naik lagi level tinggi, diberikan lagi ujian yang berat,” .

2. Dhorro’ (Menengah) Yakni ujian yang sudah melukai fisik. Misalnya hujannya makin deras. Kalau dalam kehidupan misalnya celaan biasa dalam kehidupan sehari-hari. “Ini artinya Allah SWT sedang menaikkan iman anda dalam level yang lebih tinggi lagi,” jelasnya. Jadi ketika ada celaan menghujam dalam lisan seseorang, sudah mulai menyakiti, itu sebenernya pengakuan dari Allah lewat lisan orang itu, bahwa anda sedang diangkat keimanan pada tingkat yang lebih tinggi,” tambahnya. “Ada orang mengatakan kamu kenapa pakai jilbab seperti itu (panjang), yang biasa aja kali, jawab seperti ini yang iman biasa sudah banyak, saya ingin menampilkan yang luar biasa, supaya dengan iman itu bisa mendoakan orangtua, mudah-mudahan pahalanya bisa untuk orangtua,”. Masuk kepada bahasa yang baik. Jadi jika kalian bisa melawan hal-hal demikian dengan bahasa yang indah itu nyaman kepada jiwa. Kadang-kadang ada kalimat-kalimat yang tidak perlu pakai dalil.

3. Zulzilu (Berat) Jadi ada ujian yang bisa menggoyangkan diri kita. Membuat gempa hati kita. Kalian sudah tidak kuat, kadang-kadang jalan sempoyongan. Padahal tidak ada gempa di luar, cuma hati kita kayak kena goncangan. “Diserang sana, diserang sini, nggak bisa tidur, nggak bisa makan, ini susah itu susah,”. “Sampai-sampai Rasul Sholallahu’alaihiwasallam, bahkan orang yang beriman, bahkan setelahnya bisa mengatakan kapan ini berakhir,”. “Akan tiba masa anda mengalami satu situasi sampai anda mengatakan kapan berakhirnya seperti ini,”. 

“Perhatikan jika anda berada pada level ini, saya ucapkan selamat kepada anda, karena anda akan diangkat pada kedudukan yang tertinggi di antara sekian ujian yang ada,” sambungnya. Artinya Allah SWT akan naikkan anda pada derajat yang tinggi. Karena hukum ujian Laa yukallifullah nafsan illawusaha, Allah SWT tidak akan menguji seorang hamba diluar batas kemampuannya. “Jadi kalau anda sudah dipandang oleh Allah siap menerima yang ini, maka anda akan diberikan zulzal (mengguncang hati). Kalau anda nggak mampu, anda hanya akan diberikan Dhorro’ atau ba’sa. Jadi mustahil Allah memberikan ujian berat kalau anda tidak sanggup. Karena cuman anda yang sanggup, anda yang dikasih. “Makanya jangan mengeluh, jangan katakan ya Allah SWT kenapa saya ya Allah SWT ,” tambahnya. “Kalau bukan sayang, Allah itu bersifat adil, nggak mungkin menukar sesuatu diluar kadarnya,” jelasnya.

“Jadi kalau kita temen-temen ikuti hukum Allah, mau berat Alhamdulillah, mau ringan Alhamdulillah, mau sedang Alhamdulillah, begitu diangkat artinya ada pengakuan dari Allah bahwa iman kita akan dinagkat,” tuturnya.

“Cuma bahasa Nabi Ayqub Alaihissalam kepada Nabi Yusuf Alaihissalam mesti ada persiapan dalam mengatasi itu semua, tidak cukup hanya mendiamkan saja, anda harus punya rencana,” tambahnya.

Maka untuk menyelesaikan solusi tercantum di QS. Ali Imran ayat 142. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah SWT orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar. Yang ujiannya tercantum dalam QS. Al Baqarah ayat 214, yang artinya,  Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.

“Sedangkan Allah SWT belum melihat kesungguhan anda, jadi kalau perseoalan anda ingin cepat-cepat selesai maka serius menyelesaikannya,” ujar Ustaz Adi Hidayat.

Materi tersebut dari Ustaz Adi Hidayat, berikut videonya sebagai berikut ini : 



Cara bertobat dari uang haram


Pertanyaan : Saat ini saya khawatir telah memakan uang haram, baik langsung maupun tidak langsung, padahal saya telah berusaha untuk menghindarinya, namun saya takut tanpa saya sadari telah memakannya.

Saya pernah mendengar dalam suatu Khotbah Jum’at, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa siapa yang memakan barang haram tidak akan diterima ibadahnya selama 40 tahun, tentu saya sangat takut dan pesimis sehingga berfikir akan sia-sia saja untuk memperbanyak ibadah, sementara ini Alhamdulillah saya tetap rajin beribadah meskipun masih khawatir tidak akan diterima (saya takut nanti akan berfikir percuma ibadah kalau tidak diterima).

Pertanyaan saya, Apakah yang harus saya lakukan agar Allah SWT mengampuni saya dari memakan uang haram yang mengakibatkan ibadah saya tidak diterima selama itu ?

Terdapat hadits yang berbunyi,”Barangsiapa yang memakan sesuap saja dari yang haram maka tidaklah diterima shalatnya sebanyak 40 malam dan tidaklah diterima doanya selama 40 pagi dan setiap daging yang tumbuh dari (sesuatu) yang haram maka api neraka menjadi lebih utama baginya. Sesungguhnya sesuap dari yang haram akan menumbuhkan daging.” (HR. ad Dailami dari Ibnu Masud)

Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits tersebut munkar, tidak dikenal kecuali dari riwayat al Fadhl bin Abdullah. Sementara Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa hadits tersebut maudhu’ (palsu)

Adapun tentang bertaubat dari memakan barang yang diharamkan Allah SWT maka sesungguhnya pintu taubat senantiasa terbuka selama nyawa belum sampai di tenggorokan atau matahari belum terbit dari barat. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawanya belum sampai ke tenggorokan.”

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Musa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: ” Allah SWT Subhanahu Wa Ta’ala akan senantiasa membuka lebar-lebar tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa pada siang hari dan Allah SWT senantiasa akan membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orng yang berbuat dosa pada malam hari, dan yang demikian terus berlaku hingga matahari terbit dari barat.”

Cukuplah bagi anda melakukan taubat nashuha terhadap perbuatan memakan barang yang diharamkan tersebut dengan memenuhi syarat-syaratnya :

  1. Menyesali atas apa yang anda lakukan pada masa lalu.
  2. Meninggalkan kemaksiatan tersebut saat diri anda bertaubat.
  3. Bersungguh-sungguh untuk tidak kembali melakukan perbuatan tersebut selamanya pada masa yang akan datang.
  4. Jika dalam perbuatan tersebut terdapar penzhaliman terhadap kepemilikan orang lain maka diwajibkan bagi anda untuk mengembalikannya berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang pernah berbuat aniaya (zhalim) terhadap kehormatan saudaranya atau sesuatu apapun hendaklah dia meminta kehalalannya (maaf) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang ketika itu tidak bermanfaat dinar dan dirham. Jika dia tidak lakukan, maka (nanti pada hari qiyamat) bila dia memiliki amal shalih akan diambil darinya sebanyak kezholimannya. Apabila dia tidak memiliki kebaikan lagi maka keburukan saudaranya yang dizholiminya itu akan diambil lalu ditimpakan kepadanya”

Dan mudah-mudahan dengan taubat yang sungguh-sungguh Allah akan menggantikan keburukan tersebut dengan kebaikan, dalam surah Al Qur'an Al Furqan : 70 yang artinya, 

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah SWT  dengan kebajikan. dan adalah Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 

Taubat Orang yang Tidak Dapat Mengembalikan Hak-hak Harta : Orang yang memegang hak harta orang lain, ia harus mengembalikan harta itu kepada mereka, atau kepada ahli warisnya. Jika ia tidak memiliki harta yang cukup untuk itu, hendaklah ia berusaha untuk mencari gantinya, sepanjang hidupnya, sesuai kemampuannya. Tiap kali ia mendapatkan suatu harta, hendaklah ia segera membayarkan sebagian dari kewajibannya itu. Setiap orang sesuai dengan haknya. Barangsiapa yang menanggung hutang harta, kemudian ia bertaubat dan menyesal dari perbuatannya itu, maka ia harus mengembalikannya kepada para pemiliknya, atau kepada ahli warisnya.

Kemudian, jika ia tidak mengetahui mereka, atau mereka telah wafat, atau karena masalah lain, maka taubat dalam kasus seperti ini berbeda aturannya: Satu kelompok ulama berpendapat: tidak ada taubat baginya, kecuali dengan mengembalikan kezaliman ini kepada para pemiliknya. Jika ia tidak dapat melakukan itu maka taubatnya pun tidak dapat ia raih. Dan nantinya pada hari kiamat, menanti balasan dengan diambilnya kebaikannya untuk menebus keburukannya itu. Tidak ada jalan lain.

Mereka berkata: ini adalah hak manusia yang tidak sampai kepadanya. Dan Allah SWT tidak membiarkan satu hak hamba untuk dilanggar oleh orang lain sedikitpun. Dan Dia menyampaikan hak masing-masing orang kepada orang tersebut. Dia sama sekali tidak membiarkan suatu kezaliman manusia kepada manusia lain terjadi tanpa konsekwensi. Maka Dia akan mengambil hak orang yang dizalimi dari orang yang menzaliminya, meskipuin itu sebuah tamparan, kata-kata atau satu lemparan batu.

Mereka berkata: tindakan yang paling mudah dilakukan untuk menutupi kesalahannya itu adalah dengan memperbanyak kebaikan, sehingga ia dapat membayar kejahatannya pada hari kiamat nanti dengan kebaikannya itu. Dan tindakan yang paling bermanfaat baginya adalah bersabar atas kezaliman dan aniaya yang dilakukan orang lain kepadanya, serta ghibah dan qadzaf (tuduhan zina) yang dilontarkan mereka kepadanya. 

Hendaklah ia tidak meminta haknya dari mereka di dunia, serta tidak menemuinya, sehingga musuhnya itu akan menutupi kekurangan timbangannya nanti di akhirat, jika memang kebaikannya telah habis. Karena jika ia akan diambil kebaikannya untuk membayar kezaliman yang telah ia lakukan kepada orang lain, maka iapun akan dibayarkan dari orang lain atas kezaliman yang dilakukan mereka kepadanya. Sehingga diharapkan itu dapat memenuhi kekurangannya, atau malah akan menambah timbangannya.

Kemudian mereka berselisih pendapat tentang orang yang memegang uang yang didapatkan dari hasil kezaliman. Sekelompok ulama berkata: hendaknya ia tetap menyimpan uang itu, dan tidak boleh menggunakannya sama sekali. Sekelompok ulama yang lain berkata: hendaknya ia berikan uang tersebut kepada imam atau pejabat yang berwenang, karena ia adalah wakil dari rakyatnya, sehingga ia menyimpankannya untuk mereka. Dan hukum harta itu menjadi harta yang ditemukan dijalan (luqathah).

Sementara sekelompok ulama yang lain berkata: pintu taubat masih terbuka bagi orang ini, dan tidak ditutup oleh Allah SWT baginya serta bagi orang yang berdosa. Taubat orang ini adalah dengan mensedekahkan harta itu kepada orang-orang yang berhak, seperti kepada para fakir-miskin, orang-orang yang membutuhkan, lembaga-lembaga sosial, dan untuk kepentingan kaum muslimin.

Di antaranya adalah untuk: pasukan jihad fi sabilillah dan pusat-pusat dakwah. Jika nanti datang hari pembalasan hak-hak, maka para pemilik uang dapat memilih antara memaafkan apa yang diperbuatnya itu, dan pahala sedekah itu untuk mereka. Atau mereka tidak memaafkannya, sehingga mereka mengambil dari kebaikannya menurut jumlah uang mereka, dan pahala sedekah itu untuknya sendiri. Karena Allah SWT tidak membatalkan pahala sadaqahnya itu. 

Dan Allah SWT tidak menyatukan antara pengganti dan yang digantikan. Kemudian dimintakan kepadanya, dan Allah SWT menjadikan pahala sedekah itu bagi mereka, atau juga dengan mengambil dari kebaikannya sesuai dengan kadarnya untuk diberikan kepada orang yang pernah dizhaliminya itu.

Bahaya meremehkan dan menghina orang lain


Bahaya meremehkan dan menghina orang lain, Ada beberapa wasiat yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abu Jurayy Jabir bin Sulaim. Wasiat yang pertama kita ulas adalah jangan sampai menghina dan meremehkan orang lain. Boleh jadi yang diremehkan lebih mulia dari kita di sisi Allah SWT.

bahyanya jika meremehkan dan menghina kepada orang lain, maka orang tersebut akan di perlakukan oleh orang lain dengan hal yang sama kepada orang tersebut. maka kita harus berhati-hati terhadap hal tersebut kepada orang lain. dan segeralah bertobat kepada Allah SWT, semoga Allah SWT mengampuni segala dosa-dosa hambanya.

Abu Jurayy Jabir bin Sulaim, ia berkata, “Aku melihat seorang laki-laki yang perkataannya ditaati orang. Setiap kali ia berkata, pasti diikuti oleh mereka. Aku bertanya, “Siapakah orang ini?” Mereka menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Aku berkata, “‘Alaikas salaam (bagimu keselamatan), wahai Rasulullah (ia mengulangnya dua kali).” Beliau lalu berkata, “Janganlah engkau mengucapkan ‘alaikas salaam (bagimu keselamatan) karena salam seperti itu adalah penghormatan kepada orang mati. Yang baik diucapkan adalah assalamu ‘alaik (semoga keselamatan bagimu.”

Abu Jurayy bertanya, “Apakah engkau adalah utusan Allah SWT” Beliau menjawab, “Aku adalah utusan Allah SWT yang apabila engkau ditimpa malapetaka, lalu engkau berdoa kepada Allah SWT, maka Dia akan menghilangkan kesulitan darimu. Apabila engkau ditimpa kekeringan selama satu tahun, lantas engkau berdoa kepada Allah SWT, maka Dia akan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untukmu. Dan apabila engkau berada di suatu tempat yang gersang lalu untamu hilang, kemudian engkau berdoa kepada Allah SWT, maka Dia akan mengembalikan unta tersebut untukmu.”

Abu Jurayy berkata lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah wasiat kepadaku.”

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberi wasiat, “Janganlah engkau menghina seorang pun.” Abu Jurayy berkata, “Aku pun tidak pernah menghina seorang pun setelah itu, baik kepada orang yang merdeka, seorang budak, seekor unta, maupun seekor domba.”

Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Rabbnya, (mereka berkata), “Wahai Rabb kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami ke dunia. Kami akan mengerjakan amal shaleh. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yakin (As-Sajdah/32:12)

Allâh Azza wa Jalla , Dzat Yang Maha Penyayang, kasih-sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Di antara petunjuk akan kasih-sayang-Nya, Allâh Azza wa Jalla menciptakan alam semesta beserta isinya untuk kehidupan manusia, hamba-hamba-Nya. Tidak hanya itu saja, bahkan Allâh Azza wa Jalla mengutus para rasul dengan membawa risâlah (wahyu Allâh Azza wa Jalla ) untuk disampaikan kepada mereka, agar mereka dapat menggapai kebahagiaan yang hakiki di dunia maupun di akhirat.

Meskipun demikian, tidak sedikit dari mereka yang masih berkubang dalam lembah kekufuran, mengingkari Allah SWT dan Rasul-Nya, tidak mempercayai surga dan neraka, juga tidak mengimani hari Pembalasan. Bahkan jumlah mereka jauh lebih banyak ketimbang kaum Mukminin. Tidak sebatas menolak ajaran Allah SWT dan dakwah para rasul-Nya, mereka bahkan berani memusuhi dan memerangi dakwah para rasul tersebut. Kendatipun telah diperingatkan dengan ancaman siksa Allah SWT yang akan menimpa orang-orang yang tidak beriman, namun mereka tetap pada pendirian mereka yang batil.

Senin, 20 Juni 2022

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan


Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Bila seseorang mendapatkan musibah , pasti ada pertanyaan yang menyelinap di dalam hati. Apakah musibah yang menimpa tersebut adalah ujian atau hukuman bagi seseorang tersebut.  Hal ini juga dipertanyakan kepada diri kita sendiri, karena yang tahu adalah diri kita sendiri. kita koreksi diri kita sendiri, kemudian nilai diri kita sendiri, jika ini ujian pasti Allah akan mengangkat derajatnya yang lebih baik, jika ini cobaaan, sabar semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita, jika ini hukuman, tobat dan berserah diri kepada Allah SWT, semoga diberikan kekuatan untuk bersabar atas hukuan yang diberikan tersebut, berprasangka baik kepada Allah SWT, karena Allah SWT tidak ingin hambanya menderita di alam barzah, dan akherat, semoga dapat mengurangi dosa-dosa yang di lakukan hambanya tersebut.

Kehidupan manusia memang penuh cobaan. Dan Kami pasti akan menguji kamu untuk mengetahui kualitas keimanan seseorang dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Bersabarlah dalam menghadapi semua itu. Dan sampaikanlah kabar gembira, wahai Nabi Muhammad, kepada orang-orang yang sabar dan tangguh dalam menghadapi cobaan hidup, yakni orang-orang yang apabila ditimpa musibah, apa pun bentuknya, besar maupun kecil, mereka berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka berkata demikian untuk menunjukkan kepasrahan total kepada Allah SWT, bahwa apa saja yang ada di dunia ini adalah milik Allah SWT; pun menunjukkan keimanan mereka akan adanya hari akhir. Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk sehingga mengetahui kebenaran.

Dosa dan kemaksiatan yang dilakukan oleh seseorang, baik kekufuran, kemaksiatan atau dosa besar. Maka Allah Ta’ala menguji disebabkan pelaku kemaksiatan melakukannya berlebihan sebagai hukuman yang disegerakan.

Biasanya manusia itu diberi hukuman dengan tingkat kepahitan sesuai dengan dosa yang ia lakukan. Sebesar apa seseorang mengundang dosa ke dalam dirinya maka sebesar itu balasan atau hukuman yang diterima. Allah SWT telah menimpakan musibah pada waktu Uhud dengan keguguran yang besar. Mereka adalah para Sahabat Nabi sallallahu alaihi wa sallam, manusia terbaik setelah para Rasul dan para Nabi disebabkan menyalahi perintah Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Bagaimana seseorang menyangka hal itu pada dirinya layak untuk mengangkat derajatnya pada setiap musibah yang menimpanya. 

Dahulu Nabi Ibrahim AS bin Adham Rahimahullah ketika beliau melihat hembusan angin kencang dan perubahan (cuaca) di langit beliau mengatakan, “Ini disebabkan dosaku. Kalau sekiranya saya keluar diantara kamu semua, maka tidak akan menimpa pada kalian semua.” Kedua, Keinginan Allah Ta’ala untuk meninggikan derajat orang mukmin yang sabar melalui ujian. 

Sehingga dicoba dengan musibah agar ridho dan bersabar, dan akan diberikan pahala orang-orang sabar di akhirat. Ditulis di sisi Allah SWT termasuk orang yang beruntung. Dimana cobaan seringkali mengiringi para Nabi dan orang-orang sholeh tanpa meninggalkan mereka. Allah menjadikan sebagai kemuliaan bagi mereka agar mendapatkan derajat tinggi di surga. 

Nabi Shalallahu ‘ailaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya pahala yang besar didapatkan melalui cobaan yang besar pula. Apabila Allah Ta’ala mencintai seseorang, maka Allah SWT akan memberikan cobaan kepadanya. Barangsiapa yang ridha, maka Allah SWT akan meridainya. Dan barangsiapa yang murka (tidak menerimanya), maka Allah SWT murka kepadanya” (HR. At-Tirmidzi). 

Menjalani kehidupan secara tentram dan damai itu tidak mudah. Walau segala sesuatu yang kita kerjakan sudah sesuai rencana dan niatan yang baik. Apa benar bahwa manusia memang tempatnya salah dan lupa.? Mengerjakan sesuatu yang benar saja bisa dianggap salah, lalu bagaimana dengan mengerjakan sesuatu yang salah. Bersabarlah saat kita mendapat fitnah atas kebenaran yang kita lakukan. Bisa jadi Allah SWT sedang menguji besarnya keimanan kita dan mengalirkan pahala atas kesabaran dalam menjalani ujian tersebut.

Pada dasarnya sebagai manusia kita tidak bisa memastikan dengan benar-benar pasti, bahwa apa yang Allah SWT turunkan ini merupakan ujian yang meningkatkan derajat atau azab akibat dosa-dosa kita. Akan tetapi, kita bisa mengetahui dari indikasi-indikasi tertentu, yaitu bagaimana seorang hamba menghadapi musibah tersebut. Hendaknya seorang hamba senantiasa berprasangka baik kepada Allah SWT. Dalam setiap kondisi. Allah Subhanahu wa ta’ala lebih utama dalam kebaikan dan Dia Pemilik Ketakwaan dan Pemilik Ampunan. Semoga Kita mendapatkan ampunan oleh Allah SWT, dan semoga artikel ini dapat bermanfaat, Allah Humma,  Amin.

Tanda-tanda Taubat Seseorang Diterima Allah SWT, Salah Satunya Dapat Menjaga Lisan/Berbuat baik untuk lisannya


Tanda-tanda Taubat Seseorang Diterima Allah SWT, Salah Satunya Dapat Menjaga Lisan/Berbuat baik untuk lisannya. Kenyataan bahwa manusia itu adalah makhluk yang tidak luput dari kesalahan. Artinya bila manusia salah adalah hal yang biasa. Namun demikian, karena manusia adalah makhluk Tuhan (Allah SWT) yang diberi akal pikiran maka kita dituntut untuk belajar dari kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Sehingga tidak terperosok dalam dalam lubang yang sama. Begitulah kira-kira ukuran standar hidup manusia.

Dalam kehidupan ini, siapa yang tidak pernah salah. Setiap manusia, bahkan sampai nabi pun pernah membuat kesalahan. Sebab apabila manusia tidak berbuat salah sudah dapat dikatergorikan makhluk yang seperti ini bukan lagi manusia tetapi sudah dapat dikategori malaikat.

Pertanyaan kita adalah kenapa manusia tidak luput dari kesalahan. Jawabannya adalah karena manusia memiliki komponen utama yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan yang lain yaitu Akal dan hawa nafsu. Jika hafa nafsunya di perdepankan maka kita akan terjerumus dalam kesesatan yang nyata, setan akan selalu membisikan kejelekan-kejelekan kepada orang menurutkan hawa nafsunya tersebut. setan akan mendampingi dia dari depan, belakang, saping kanan, samping kiri dan selalu membuat orang tersebut dalam kesesatan yang nyata.

Melalui akal yang dimilikinya, manusia dituntut berpikir untuk menata kehidupan ke arah yang lebih baik, dan selalu menjaga keharmonisan hidup. Termasuk di dalamnya berbuat sesuatu atau bekerja untuk menjaga dirinya selalu dapat hidup. Ketika kehidupan sudah diperolehnya, tak jarang mereka dirasuki keinginan yang lebih besar lagi. Keinginan yang seperti ini diyakini muncul karena adanya hawa nafsu. Sehingga terkdang, karena terlalu sering mengikuti hawa nafsunya mereka hilang akal sehat.

Ketika manusia tidak mampu lagi mengendalikan hawa nafsunya maka muncullah berbagai masalah. Mereka yang seperti ini selalu memanfaatkan akal pikirannya untuk mencapai hawa nafsunya. Dan, ketika hidup manusia sudah diatur oleh hawa nafsu, maka hal ini paling sulit untuk dihentikan. Hal inilah yang menyebabkan manusia sebagai makhluk Tuhan selalu berbuat kesalahan. Namun, itu akan terminimalisir bila hawa nafsu dikendalikan oleh akal sehat manusia.

Pemikiran-pemikiran yang kita berikan yang secara normal sesuai dengan akal pikiran yang sehat terkadang tidak akan ampuh lagi. Apalagi, akal pikiran yang sudah dikendali oleh hawa nafsunya itu cenderung membawa kenikmatan kepada mereka. Karena itu, mereka tidak peduli apa-apa lagi kecuali mengikuti semua hawa nafsunya yang pada umumnya bertentangan dengan harmonisasi hidup di dunia ini.

Padahal konsepnya, akal manusia tidak boleh dikendalikan oleh hawa nafsu. Idealnya hawa nafsulah yang harus dikendalikan oleh seluruh manusia yang ada di dunia. Sebab tidak mungkin manusia terlepas oleh hawa nafsu. Manusia butuh hawa nafsu untuk memberi motivasi-motivasi dalam hidup. Bila hawa nafsu tidak ada maka kita tidak punya keinginan untuk berbuat lebih kreatif dalam rangka menemukan hal-hal yang lebih untuk kehidupan ini.

Karena itu, dalam rangka pencapaian semua tatanan kehidupan yang lebih baik pasti kita dihadapkan pada kesalahan-kesalahan. Namun karena akal pikiran mengendalikan hawa nafsu, maka kita selalu disadarkan untuk belajar dari setiap kesalahan-kesalahan yang ada. Tentu saja kesadaran itu akan mudah muncul bila dalam diri manusia ada suatu pemahaman bahwa selain ada kita masih ada Tuhan (Allah SWT).

“Sesungguhnya taubat di sisi Allah SWT hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah SWT taubatnya, dan Allah SWT Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.”  QS An Nisa' ayat 17.

Allah SWT mengabarkan bahwa taubat yang hanya berhak dialamatkan kepada Allah SWT  adalah haq yang hanya Allah SWT  peruntukkan bagi diri-Nya sebagai kebaikan dan anugerah dari-Nya bagi orang yang melakukan perbuatan dosa. Yaitu kemaksiatan lantaran kejahilan, yaitu kebodohan dirinya akibat perbuatan itu dan konsekuensi kemurkaan serta siksaan Allah SWT  terhadapnya.

Kebodohannya akan hasil dari perbuatannya itu berupa berkurangnya atau hilangnya iman darinya. Maka setiap pelaku kemaksiatan terhadap Allah SWT  adalah jahil dengan kondisi seperti itu walaupun dia mengetahui akan keharamannya. Bahkan mengetahui keharaman sesuatu adalah syarat suatu kemaksiatan yang mendapat hukuman karenanya, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera.

Kemungkinan maknanya adalah mereka bertaubat sebelum menyaksikan kematian, karena Allah menerima taubat seorang hamba apabila dia bertaubat sebelum ada kepastian bahwa dia akan mati. Sedangkan setelah hadirnya kematian, maka tidaklah akan diterima suatu taubat pun dari pelaku kemaksiatan dan tidak akan diterima pula keimanan dari orang kafir.  Sebagaimana Allah berfirman tentang Firaun:  "Hingga bila Firaun itu telah hampir tenggelam, berkatalah dia, 'saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Rabb Yang dipercayai oleh Bani Israil dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”(QS Yunus: 90)   

Allah SWT berfirman di sini, "dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan" yaitu kemaksiatan-kemaksiatan selain kekufuran, "hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, sesungguhnya saya bertaubat sekarang, dan tidak pula (diterima taubatnya) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran bagi orang-orang itu telah kami sediakan siksa yang pedih." 

Yang demikian itu karena taubat dalam kondisi seperti itu adalah taubat yang terpaksa yang tidak berguna bagi pelakunya. Padahal sesungguhnya yang bermanfaat itu hanyalah taubat pilihan atau kesadaran. 

Kemungkinan juga makna firman-Nya "dengan segera" yaitu segera setelah perbuatan dosa tersebut yang mengharuskan adanya taubat, maka maknanya adalah bahwa barang siapa yang bersegera dalam menarik diri sejak timbulnya dosa dan berserah diri kepada Allah serta menyesali perbuatan itu maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosanya. 

Berbeda dengan orang yang terus menerus dengan dosanya dan berkelanjutan dengan aib-aibnya itu hingga menjadi sebuah sifat yang menempel pada dirinya, maka sesungguhnya akan sulit baginya untuk bertaubat secara total bahkan biasanya ia tidak mendapatkan taufik taubat.

Serta tidak dimudahkan kepada sebab-sebabnya seperti seseorang yang melakukan perbuatan dosa atas ilmu yang jelas dan keyakinan yang dibarengi dengan sikap meremehkan pengawasan Allah terhadapnya. Maka sesungguhnya ia telah menutup pintu rahmat bagi dirinya sendiri. 

Memang benar bahwa Allah SWT terkadang memberikan taufik kepada hamba-Nya yang selalu melakukan dosa dan maksiat dengan kesengajaan dan keyakinan menuju taubat yang berguna, Allah SWT akan menghapus dengan taubat itu apa-apa yang telah lalu berupa dosa-dosa dan kejahatan-kejahatannya. Akan tetapi rahmat dan taufik itu lebih dekat pada orang yang pertama, oleh karena itulah Allah menutup ayat pertama tersebut dengan firman-Nya.

"Dan Allah SWT Mahamengetahui Mahabijaksana" dan di antara ilmu Allah SWT bahwa Dia mengetahui orang yang benar dalam taubat dan orang yang berdusta, dan akan membalas setiap dari kedua orang tersebut sesuai dengan hak keduanya menurut hikmah-Nya. 

Di antara hikmah-Nya adalah Allah akan memberikan taufik kepada orang yang hikmah dan rahmat-Nya menghendaki orang tersebut kepada taubat. Allah akan menghinakan orang yang hikmah dan keadilan-Nya menghendaki tidak memberi taufik kepadanya.  


Dianjurkan mendoakan orang tua dan mertua agar panjang umur dalam keberkahan


Dianjurkan mendoakan orang tua dan mertua agar panjang umur dalam keberkahan. Mendoakan kebaikan bagi orang lain merupakan anjuran agama. Sebaliknya, sikap menyumpahi orang lain tidak boleh dilakukan, apalagi orang tersebut merupakan kerabat atau orang tua sendiri. Lantas bagaimana hukumnya menyumpahi mertua agar cepat meninggal. Dalam kitab Shahih Bukhari terdapat suatu hadis yang menyinggung tentang larangan untuk menyumpahi atau melaknat seseorang. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Barang siapa yang melaknat seorang mukmin, maka ia seperti membunuhnya."

Sedangkan, dalam kitab Shahih Muslim juga terdapat suatu hadis yang menyinggung tentang larangan menyumpah. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Orang yang banyak melaknat tidak akan diberi syafaat, dan syahadatnya tidak akan diterima pada Hari Kiamat." Menyumpah atau mendoakan keburukan kepada orang lain tidak dibenarkan. Dalam kitab Risalatul Mu'awanah wal-Mudzaharah wal Muwazarah karya Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad disebutkan, dilarang bagi umat Islam mendoakan datangnya bencana, menyumpahi diri sendiri, keluarga, meskipun mendapatkan tindakan buruk atau dizalimi.

Dilarang bagi umat Islam mendoakan datangnya bencana, menyumpahi diri sendiri, keluarga, meskipun mendapatkan tindakan buruk atau dizalimi. Dalam hal ini, Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad juga menyandarkan pandangannya pada hadis Nabi Muhammad SAW berbunyi: "Jangan mendoakan bencana atas dirimu sendiri, anak-anakmu, ataupun harta-hartamu. Jangan-jangan hal itu bertepatan dengan saat pengabulan doa oleh Allah SWT."

Betapa Allah sangat meninggikan derajat orang tua. Sehingga dalam Hal Ridho-Nya, DIA nomor duakan diri-Nya. Kenapa saya bilang begitu, karena Allah memberikan Ridhoi-Nya Setelah terlebih dahulu kita mendapatkan Ridho kedua orang tua.

Inilah dasar pijakan bagaimana kita harus menempatkan kedua orang tua, terutama Ibu. Allah punya alasan tersendiri agar kita senantiasa memuliakan orang tua. Orang tua tidak ada bekasnya, begitu juga seorang anak.

Orang tua doanya sangat mustajab, sangat didengar Allah. Bisa dibayangkan kalau kita sudah tidak memiliki kedua orang tua, dari Mana kita bisa mendapatkan doa yang mustajab tersebut, siapa yang bisa mendoakan bisa mendoakan kita seperti itu.

Bisa saja kita mendapatkan doa-doa dari anak yatim piatu, para pakir miskin yang selalu kita santuni. Tapi masalahnya, kita bisa mendapatkan doa tersebut Setelah ada tindakan baik Kita terhadap mereka. Lain halnya kedua orang tua, mereka senantiasa mendoakan kita siang dan malam disetiap sujudnya.

Berbahagialah bagi yang masih memiliki kedua orang tua, bisa selalu mendapatkan doa dari mereka. Namun, dimanakah kita menempatkan kedua orang tua tersebut, apakah mereka sudah dimuliakan dalam kesehariannya, apakah sudah membuat mereka tenang dan nyaman dimasa tuanya.

Bagaimana Membahagiakan Orangtua. Membahagiakan orang tua tidak melulu dengan limpahan materi. Kalau belum mampu secara materi, cukup jangan membuat mereka susah dengan perilaku yang tidak baik. Jangan bebankan pikiran mereka dengan beban masalah yang kita perbuat.

Orangtua selalu kuatir terhadap anaknya, mereka selalu mendoakan keselamatan bagi anak-anaknya, ketika anaknya pamit untuk pergi. Itulah pentingnya kita pamit kepada orang Tua ketika kita ingin pergi meninggalkan mereka. Yang membahagiakan orang tua adalah ketika anak-anaknya bahagia. Sebaliknya ketika anaknya terlihat tidak bahagia, maka mereka pun akan terus memikirkannya. Begitulah sejatinya orang tua.

"Satu orang Tua bisa menghidupi dan membahagiakan sepuluh anak-anaknya, tapi sepuluh anaknya belum tentu bisa menghidupi dan membahagiakan satu orangtua." Jangan pernah berpikir bahwa kita bisa membalas budi dan jerih payah orang tua, karena itu tidak akan pernah terbayarkan.

Cara terbaik membalas kebaikan kedua orang tua adalah, dengan memperlakukan mereka sebaik mungkin, dan semulia mungkin. Kalau itu tidak mampu untuk dilakukan, jangan sakiti hati mereka, baik dengan ucapan, maupun perbuatan. Tempatkanlah kedua orang tua diatas singgasana hatimu, takutlah kepada kedua orang tuamu, seperti halnya Takut kepada Tuhanmu, karena Murka Allah pun karena Murkanya kedua orang tua

Sesungguhnya agama juga mengajarkan bagi seluruh kaum Muslim untuk dapat menjalin relasi dengan sebaik-baiknya. Menjalin silaturahim adalah salah satu prinsip yang ditekankan yang perlu dilakukan. Menjalin silaturahim dengan orang lain --apalagi mertua-- sangat dianjurkan. Status mertua meski tak bisa disamakan secara hukum dengan orang tua kandung, keduanya sama-sama orang yang perlu dihormati dan dikasihi. Tak kurang-kurangnya agama memperintahkan umat Islam untuk segera berbakti kepada kedua orang tua sebab anak tidak akan bisa membalas jasa mereka. Rasulullah SAW bahkan menganalogikan besarnya jasa orang tua dengan sesuatu yang sulit apabila hendak membalasnya.

Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: "Seorang anak tidak akan mampu membalas (jasa) orang tua kecuali ia menemukan orang tuanya menjadi budak, lalu ia membelinya dan kemudian memerdekakannya." Seorang anak tidak akan mampu membalas (jasa) orang tua kecuali ia menemukan orang tuanya menjadi budak, lalu ia membelinya dan kemudian memerdekakannya

Allah SWT berfirman dalam Alquran surah al-Isra ayat 23, yang artinya: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia."

Lafaz ihsana dalam ayat tersebut memberi nikmat kepada orang lain atau berlaku baik kepada orang lain. Di dalam redaksi berikutnya dalam ayat tersebut, ditekankan tentang perilaku berbakti kepada orang tua dengan tidak mengucapkan kata 'ah' kepada orang tua. Pandangan Imam Ibnu Katsir yang menyatakan bahwa kata 'ah' di dalam ayat tersebut merupakan kata yang buruk yang paling ringan, tetapi tidak boleh diucapkan kepada orang tua.

Kata 'ah' saja sudah dilarang, sebab itu akan menyakiti orang tua. Kata 'ah' juga menurut Imam Ibnu Katsir dapat diartikan sebagai perlawanan kepada orang tua sehingga tidak dibenarkan mengucapkan hal tersebut. Umat Islam dianjurkan untuk bersikap, bertutur, dan berniatkan baik kepada orang tua. Untuk itu, akan sangat dilarang hukumnya jika mendoakan keburukan kepada orang tua dan juga mertua. Sebaliknya, kita dianjurkan untuk mendoakan orang tua dan mertua agar selalu panjang umur di dalam keberkahan.

Manusia Makhuk Allah SWT Yang sering berbuat salah dan Khilaf


Harus diakui bahwa manusia itu adalah makhluk yang tidak luput dari kesalahan. Artinya bila manusia salah adalah hal yang biasa. Namun demikian, karena manusia adalah makhluk Allah SWT yang diberi akal pikiran maka kita dituntut untuk belajar dari kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Sehingga tidak terperosok dalam dalam lubang yang sama. Begitulah kira-kira ukuran standar hidup manusia. Dalam kehidupan ini, siapa yang tidak pernah salah. Setiap manusia, bahkan sampai nabi pun pernah membuat kesalahan. Sebab apabila manusia tidak berbuat salah sudah dapat dikatergorikan makhluk yang seperti ini bukan lagi manusia tetapi sudah dapat dikategori malaikat.

Pertanyaan kita adalah kenapa manusia tidak luput dari kesalahan? Jawabannya adalah karena manusia memiliki komponen utama yang tidak dimiliki oleh makhluk Allah SWT yang lain yaitu Akal dan hawa nafsu. Melalui akal yang dimilikinya, manusia dituntut berpikir untuk menata kehidupan ke arah yang lebih baik, dan selalu menjaga keharmonisan hidup. Termasuk di dalamnya berbuat sesuatu atau bekerja untuk menjaga dirinya selalu dapat hidup. Ketika kehidupan sudah diperolehnya, tak jarang mereka dirasuki keinginan yang lebih besar lagi. Keinginan yang seperti ini diyakini muncul karena adanya hawa nafsu. Sehingga terkdang, karena terlalu sering mengikuti hawa nafsunya mereka hilang akal sehat.

Nah, ketika manusia tidak mampu lagi mengendalikan hawa nafsunya maka muncullah berbagai masalah. Mereka yang seperti ini selalu memanfaatkan akal pikirannya untuk mencapai hawa nafsunya. Dan, ketika hidup manusia sudah diatur oleh hawa nafsu, maka hal ini paling sulit untuk dihentikan. Hal inilah yang menyebabkan manusia sebagai makhluk Allah SWT selalu berbuat kesalahan. Namun, itu akan terminimalisir bila hawa nafsu dikendalikan oleh akal sehat manusia.

Pemikiran-pemikiran yang kita berikan yang secara normal sesuai dengan akal pikiran yang sehat terkadang tidak akan ampuh lagi. Apalagi, akal pikiran yang sudah dikendali oleh hawa nafsunya itu cenderung membawa kenikmatan kepada mereka. Karena itu, mereka tidak peduli apa-apa lagi kecuali mengikuti semua hawa nafsunya yang pada umumnya bertentangan dengan harmonisasi hidup di dunia ini.

Padahal konsepnya, akal manusia tidak boleh dikendalikan oleh hawa nafsu. Idealnya hawa nafsulah yang harus dikendalikan oleh seluruh manusia yang ada di dunia. Sebab tidak mungkin manusia terlepas oleh hawa nafsu. Manusia butuh hawa nafsu untuk memberi motivasi-motivasi dalam hidup. Bila hawa nafsu tidak ada maka kita tidak punya keinginan untuk berbuat lebih kreatif dalam rangka menemukan hal-hal yang lebih untuk kehidupan ini.

Karena itu, dalam rangka pencapaian semua tatanan kehidupan yang lebih baik pasti kita dihadapkan pada kesalahan-kesalahan. Namun karena akal pikiran mengendalikan hawa nafsu, maka kita selalu disadarkan untuk belajar dari setiap kesalahan-kesalahan yang ada. Tentu saja kesadaran itu akan mudah muncul bila dalam diri manusia ada suatu pemahaman bahwa selain ada kita masih ada Allah SWT. Semoga jika kita terjerumus ke dalam hawa nafsu, salah dan khilaf akan segera bertobat kepada Allah SWT.


Bagaimana Jika Kesalahan/Dosa Kita Tidak Dimaafkan? Begini Menurut Islam



Bagaimana Jika Kesalahan/Dosa Kita Tidak Dimaafkan? Begini Menurut Islam Begini Menurut Islam. Pernah gak sih kamu berbuat salah kepada seseorang hingga akhirnya orang itu bersumpah tidak akan mengampunimu? Mungkin kamu apakah pernah saking jengkelnya dengan seseorang, membuatmu tidak mau memaafkan karena sakit hati. Sebagai manusia biasa, berbuat salah itu hal yang biasa, kita bukan malaikat yang tanpa melakukan kesalahan, selalu patuh dalam jalankan perintah-Nya. Sering kita khilaf, terjerepbap oleh setan/iblis, entah karena tidak bisa menahan emosi ataupun yang lain.

Momen Hari Raya Idul Fitri selalu dimanfaatkan banyak orang untuk saling bermaaf-maafan hingga menjadi budaya di lingkungan kita. Padahal, hal ini sebenarnya adalah hal biasa yang bisa dilakukan kapan pun tanpa menunggu hari raya.

Namun, bagaimana jika kita sudah meminta maaf meskipun di Idul Fitri, tetap tidak mendapatkan maaf dari seseorang yang pernah kita sakiti baik itu sengaja ataupun tidak sengaja? Padahal, katanya, dosa sesama manusia tidak bisa hilang jika tidak mendapatkan maaf.

Rasulullah SAW mengajarkan doa: “Ya Allah, sesungguhnya aku memiliki dosa kepada-Mu dan dosa yang kulakukan kepada makhluk-Mu. Aku bermohon Ya Allah, agar Engkau mengampuni dosa yang kulakukan kepada-Mu serta mengambil alih dan menanggung dosa yang kulakukan kepada makhluk-Mu.”

Dalam doa Nabi tersebut tersirat, diharapkan dosa-dosa yang kita lakukan kepada orang lain (sudah menyampaikan permohonan maaf kepada yang bersangkutan), diambil alih oleh Allah SWT walaupun yang bersangkutan tidak memaafkannya.

Pengambilalihan tersebut antara lain dengan jalan Allah SWT memberikan kepada yang bersangkutan ganti rugi berupa imbalan kebaikan dan pengampunan dosa-dosanya. Tentu hal ini kembali kepada Allah SWT, Sang Maha Pengendali segala sesuatu.

Nah, bagi kamu yang merasa sangat 'gedek' dengan tingkah seseorang hingga bersumpah tidak mau memberikan maaf atau bahkan tidak mau berhubungan (tidak mau membantu) lagi, cobalah baca Al Qur'an Surat An-Nur ayat 22 di bawah ini :

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah SWT mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” 

Dalam surat tersebut juga diterangkan jika Allah Swt adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Allah SWT saja mau memaafkan segala dosa-dosa umat manusia di muka bumi, termasuk dosamu. Lalu kenapa kamu tidak mau memaafkan?

Sedangkan dalam Al Qur'an Surat Ali ‘Imran ayat 134, bahwasanya seorang Muslim yang bertakwa dituntut atau dianjurkan untuk mengambil paling tidak satu dari tiga sikap dari seseorang yang melakukan kekeliruan terhadapnya, yaitu menahan amarah, memaafkan, dan berbuat baik terhadapnya.

“(Yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah SWT mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS Ali Imran: 134)

Jika hal ini masih belum bisa menenangkan hatimu yang penuh emosi kepada seseorang hingga tidak mau memaafkannya, cobalah belajar dari cerita Nabi Yusuf selama hidupnya.

Dalam laman webnya, nu menyampaikan, Nabi Yusuf adalah korban kezaliman luar biasa yang dilakukan oleh saudara-saudara kandungnya sendiri karena merasa tidak diperlakukan sama baiknya oleh orang tua. 

Mereka dengan sengaja bermaksud menyingkirkan Yusuf dengan memasukkannya ke dalam sumur. Sebelumnya bahkan mereka menyiksa Yusuf terlebih dahulu dan tak menghiraukan permintaan tolongnya.

Di fase kehidupan berikutnya, ia juga sempat menjadi budak yang diperjual belikan di pasar budak hingga dipenjara atas sebuah tuduhan satu tindakan tak bermoral yang tak pernah ia lakukan.

Hingga suatu ketika, Nabi Yusuf menjadi seorang pejabat penting di Mesir. Ia memiliki kekuasaan dan pengaruh yang besar di negerinya. Ia menentukan banyak kebijakan publik bagi bangsanya. 

Namun, meski dengan kekuasaan dan pengaruh besar itu, Allah SWT menunjukkan kemuliaan dan kebesaran hati Nabi Yusuf. Saat saudara-saudara Nabi Yusuf yang dulu telah membuangnya, datang ke Mesir untuk meminta pertolongan beberapa kali. Mereka diterima langsung oleh Nabi Yusuf, namun saudara-saudaranya tak mengenalinya karena menyangka Yusuf telah meninggal di dasar sumur itu. 

Pada akhirnya mereka mengenali bahwa pejabat negara yang selama ini mereka datangi dan membantu memenuhi kebutuhan hidup mereka adalah orang yang dahulu pernah mereka singkirkan. 

Mengetahui demikian, mereka akhirnya mengetahui dan mengakui jika Allah lebih memberikan kemuliaan kepada Yusuf dari pada kepada mereka. Kini di hadapan Nabi Yusuf mereka mengakui kesalahan dan dosa-dosanya. 

“Tak ada celaan bagi kalian di hari ini, semoga Allah mengampuni kalian.” (QS. Yusuf: 92)

Padahal, bisa saja Nabi Yusuf membalaskan dendamnya. Dengan kekuasaan dan pengaruh yang dia miliki, dia bisa memberikan hukuman yang berat bagi saudara-saudaranya. Namun hal itu urung dilakukan. 

Menurut Imam al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, tafsir kalimat Nabi Yusuf itu berarti “tak ada kecaman bagi kalian pada hari ini dan aku tidak akan menyebut-nyebut dosa kalian setelah hari ini.”

Kedua, Nabi Yusuf tidak saja memaafkan para saudaranya dan membebaskan mereka dari celaan dan kecaman, tapi abi Yusuf juga menginginkan mereka diampuni oleh Allah SWT atas dosa-dosanya sehingga kelak di akhirat pun mereka terbebas dari siksaan. Sungguh betapa mulianya orang-orang yang berbuat hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Nabi Yusuf. 

Cara menghapus dosa meminta maaf dan saling memaafkan



Salah satu kehidupan manusia adalah suka berbuat salah dan dosa. mansia tidak akan pernah luput dari salah dan dosa. Manusia membutuhkan cara untuk menutupi kekurangannya itu, khususnya dosa yang terarah kepada sesama manusia. Dosa kepada Allah SWT dengan bertobat kepada Allah, jika dosa zalim kepada manusia harus dengan cara tobat kepada Allah SWT dan meminta halal meminta dimaafkan atas perbutan zalim tersebut kepada orang yang terzalimi. Saat orang lain berbuat salah dan dosa yang terarah kepada kita, kita diajari untuk memaafkan. Saat kita berbuat salah dan dosa kepada orang lain, kita diajari untuk meminta maaf. 

Sabar dan Memaafkan : Dalam kehidupan sehari-hari ada saja perbuatan orang lain yang tidak berkenan bahkan menyakitkan hati kita. Bila kita menyimpannya dalam hati, rasa sakit itu ternyata menimbulkan berbagai dampak fisik dan psikologis. Sakit hati membahayakan kesehatan jantung dan sistem peredaran darah, kanker, tekanan darah, asam lambung, flu, sakit kepala, sakit telinga . Sakit hati juga menjadikan hati manusia dipenuhi marah, dendam dan benci kepada orang lain yang dipersepsi merugikannya. Ini menjadi sumber stres dan depresi manusia. Hati yang dipenuhi energi negatif, akan mengarahkan individu untuk berkata-kata yang tidak baik, baik itu dalam bentuk rerasan, pengungkapan kemarahan di depan umum, maupun hujatan. 

Bagaimana semestinya kita menyikapi perilaku orang lain yang mengganggu kita atau keluarga kita, Jawaban pertama adalah kesabaran. Allah ‘azza wa jalla (QS al-Baqarah 2 : 155-156) berfirman:

“Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu, dengan ketakutan, kelaparan, kehilangan harta dan jiwa. Namun, berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang yang apabila ditimpa musibah mengucapkan ‘sesungguhnya kami milik Allah SWT dan kepada-Nyalah kami kembali’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un).

Yang harus menjadi kepastian dalam diri kita adalah apapun yang terjadi, termasuk perilaku orang lain yang menyakitkan hati kita, terjadi karena Allah ‘azza wa jalla mengizinkannya. Tidak mungkin suatu peristiwa terjadi kalau Allah SWT tidak mengizinkannya. Seekor nyamuk tak akan menyentuh kulit apalagi sampai menghisap darah kita kalau Allah SWT tidak mengizinkan. Tidak mungkin ada tamparan mendarat di muka kita kalau Allah tidak mengizinkan. Kalau Allah menghendaki atau mengizinkan suatu kerugian menimpa kita, pasti Allah SWT punya maksud. Maksud utamanya adalah menguji kita dengan cara memberi cobaan kepada kita. Bila punya cara berpikir ilahiyah sebagaimana di atas, maka kita akan sampai kepada pemahaman “Allah SWT sedang menguji saya”. Orang yang mampu bersabar, maka Allah SWT bersamanya. Innallaha ma’ash-shabirin.

Menarik dan dapat menjadi catatan kita sebuah penelitian yang dilakukan oleh Seseorang kita sebut Peneliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi antara intensitas puasa (Senin-Kamis) dengan kesabaran. Puasa melatih seseorang untuk merelevankan setiap perilakunya dengan Allah SWT. Puasa senin dan kamis, sebagaimana penelitian di atas, dapat mengubah diri seseorang untuk menjadi lebih sabar. Lebih-lebih kalau puasa itu dilakukan secara terus-menerus sebagaimana halnya kita lakukan di bulan Ramadhan. Pastilah efek yang ditimbulkannya lebih besar, dalam hal ini adalah melatih kesabaran seseorang.

Jawaban kedua adalah memaafkan. Allah ‘azza wa jalla dalam al-Qur’an (QS al-Maidah, 5:15) berfirman:

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat baik”.

Memaafkan adalah proses untuk menghentikan perasaan dendam, jengkel, atau marah karena merasa disakiti atau didzalimi. Lebih dari itu, pemaafan juga proses menghidupkan sikap dan perilaku positif terhadap orang lain yang pernah menyakiti, pemaafan dapat diartikan kesediaan untuk meninggalkan hal-hal yang tidak menyenangkan yang bersumber dari hubungan interpersonal dengan orang lain dan menumbuh kembangkan pikiran, perasaan, dan hubungan interpersonal yang positif dengan orang lain yang melakukan pelanggaran secara tidak adil.

Memaafkan memang tidak mudah. Butuh proses dan perjuangan untuk melakukannya. Adanya kebaikan bagi diri kita dan bagi orang lain akan menjadikan memaafkan menjadi sesuatu yang mungkin dilakukan. Seorang ahli psikolog, pernah melakukan eksperimen memaafkan pada sejumlah orang. Hasil penelitian Luskin menunjukkan bahwa memaafkan akan menjadikan seseorang: (a) Jauh lebih tenang kehidupannya. Mereka juga (b): tidak mudah marah, tidak mudah tersinggung, dan dapat membina hubungan lebih baik dengan sesama. Dan yang pasti, mereka (c) semakin jarang mengalami konflik dengan orang lain.

Para ahli psikologi mempercayai bahwa memaafkan memiliki efek yang sangat positif bagi kesehatan. Pemaafan (forgiveness) merupakan salah satu karakter positif yang membantu individu mencapai tingkatan optimal dalam hal kesehatan fisik, psikologis, dan spiritual. Pada beberapa tahun belakangan, pemaafan semakin populer sebagai psikoterapi atau sebagai suatu cara untuk menerima dan membebaskan emosi negatif seperti marah, depresi, rasa bersalah akibat ketidakadilan, memfasilitasi penyembuhan, perbaikan diri, dan perbaikan hubungan interpersonal dengan berbagai situasi permasalahan. Pemaafan selanjutnya secara langsung mempengaruhi ketahanan dan kesehatan fisik dengan mengurangi tingkat permusuhan, meningkatkan sistem kekebalan pada sel dan neuro-endokrin, membebaskan antibodi, dan mempengaruhi proses dalam sistem saraf pusat.

Pada saat berpuasa, kesediaan kita untuk memaafkan juga tinggi. Kita memiliki semangat yang tinggi untuk memperoleh pahala dan menguras dosa-dosa kita. Maka, saat lebaran datang, kita bahkan mengobral pemaafan. Semoga pemaafan tidak hanya di bibir, tapi sampai di hati. Allah ‘azza wa jalla melalui Al-Qur’an (QS Ali Imran, 3: 159) memberikan resep agar pemaafan tuntas, yakni memohonkan ampunan bagi mereka serta bermusyawarah.

Maka disebabkan rahmat dari Allah SWT-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Termasuk pengertian memohonkan ampun bagi mereka adalah mendoakan kebaikan bagi mereka, mengusahakan kebaikan bagi mereka, dan sebagainya. Melalui ayat tersebut, Allah SWT juga memerintahkan manusia agar luka yang pernah ada jangan sampai semakin menganga dikarenakan munculnya sebab kemarahan, yaitu dengan bermusyawarah. Oleh karena itu, bermusyawarahlah sebagaimana disampaikan ayat di atas dimaksudkan agar dua orang atau lebih yang pernah konflik hendaknya membuat kesepakatan-kesepakatan sebelum bekerjasama lagi agar peristiwa yang menyakitkan hati tidak lagi terulang.

Meminta Maaf, Dalam al-Qur’an, tidak ditemukan perintah untuk meminta maaf. Namun, dalam al-Hadits ditemukan perintah untuk berusaha dihalalkan dosa-dosa kita kepada saudara kita, yang berarti kita diminta untuk meminta maaf atau dimaafkan. Hal ini sebagaimana diungkapkan sebuah hadis Nabi SAW.

Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rasulullah Saw, “Barangsiapa pernah melakukan kedzaliman terhadap saudaranya, baik menyangkut kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka hendaklah ia minta dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (hari kiamat). (Kelak) jika dia memiliki amal shaleh, akan diambil darinya seukuran kedzalimannya. Dan jika dia tidak mempunyai kebaikan (lagi), akan diambil dari keburukan saudara (yang dizalimi) kemudian dibenankan kepadanya. (HR Al-Bukhari).

Salah satu pengetahuan yang sudah lama kita simpan berkaitan dengan masalah ini adalah dosa orang tidak dimaafkan kecuali korban atau orang yang dirugikan memberi maaf. Memang ada kemungkinan orang yang menjadi korban dari perbuatan dzalim kita akan memberi maaf. Namun, ada kemungkinan juga dia tidak memberikan maaf. Dia simpan kebencian dan kemarahan dalam hatinya. Kalau itu yang terjadi, dosa tetap tersandang dalam diri kita.

Karenanya, pilihan yang lebih proaktif, yaitu meminta maaf, menjadi pilihan yang lebih menjamin kepastian dihapuskannya dosa-dosa. Meminta maaf jelas merupakan salah satu bentuk kerendahhatian (tawadhu’) pribadi dan tentu juga merupakan salah satu bentuk keberanian manusia.

Kita percaya bahwa sekalipun suatu perbuatan salah atau memalukan kita lakukan, tetap ada jalan bagi seseorang untuk memperbaiki diri. Jalan untuk menghapus perbuatan yang memalukan atau perbuatan salah adalah menghapus kesalahan dengan jalan sosial (meminta maaf kepada orang lain) dan spiritual (bertaubat kepada Tuhan) dan melakukan perbuatan yang baik dengan jalan sosial (berbuat positif kepada sesama) dan spiritual (berbuat baik kepada Tuhan).

Satu hal positif yang semestinya dilakukan untuk menghapus perbuatan salah adalah meminta maaf. Kalau perbuatan salah itu terarah kepada seseorang, pemintaan maaf mestinya diarahkan kepada seseorang atau keluarga yang menjadi korban. Bila kesalahan itu tertuju kepada banyak orang, maka permintaan maaf itu semestinya dilakukan secara terbuka, melalui pers.

Selain itu, permintaan maaf sesungguhnya punya manfaat agar orang-orang yang menjadi objek dari perbuatan salah tidak melakukan tindakan yang destruktif dan agresif. Sebagaimana kita ketahui, seringkali orang yang menjadi objek kedzaliman melakukan pembalasan dengan cara yang lebih keras. Temuan dalam psikologi sosial menunjukkan bahwa agresivitas lebih sering didasari oleh alasan membalas perkataan atau perbuatan agresif orang lain. Yang jadi permasalahan adalah balasan itu umumnya lebih keras dibanding rasa sakit yang diterima seseorang.

Permintaan maaf ini berguna untuk meredam amarah yang ada dalam diri orang yang didzalimi. Penyesalan atas kata-kata atau perbuatan di masa lalu serta janji untuk tidak mengulangi perbuatan salah berfungsi untuk meredam amarah yang bergejolak dalam diri seseorang yang disakiti.

Memang dalam teori tak semudah dalam kehidupan kenyaataan, namun jika sudah terjadi kita harus iklas menjalani  telah apa yang di takdirkan kepada kita. Semoga kita dapat bertobat dan meminta halal meminta maaf kepada orang yang telah kita zalimmi tersebut. dan kita harus bertawa kepada Allah SWT atas semua ketetapannya. Semua tidak akan terjadi jika ALlah SWT tidak mengizinkanya, semua yang terjadi juga atas seijina Allah SWT. dan apa yang terjadi kerusakan di bumi dan lautan adalah perbuatan tangan-tangan manusia itu sendiri.